Rabu, 29 Desember 2010

EMERALD (One-shot)

Title: EMERALD (One-shot)
Starring: Alice Nine, My Daddy Kamijo Versailles
Author: Yuuji Sano
Genre: fluff. Adolescence.
Rating: PG
Pairing: Tora x Saga
Warning: none
Disclaimer: I’m only owned the story line. (sad)



“Saga…” pemuda berambut hitam itu tiba-tiba saja muncul di hadapannya. Ia meloncat, memberikan senyum yang memesona Saga, namun ditampiknya pikiran itu jauh-jauh.

“Iya Tora? Ada apa?” Saga mundur sejauh mungkin dari wajah tampan yang selalu memancarkan aura yang bisa membuatnya meleleh dalam sekejap itu.

Ia yakin, wajahnya pasti terlihat sangat merah, dasar bodoh! Ia merutuk dirinya sendiri, tak sadar jika wajahnya yang tak kalah menawan selalu memancarkan aura kecantikan yang sanggup menundukkan siapa pun. Andai ia sadar, andai ia mau sedikit saja berbagi senyum manis yang dimilikinya…

“Hei? Kenapa sih kau selalu begitu akhir-akhir ini jika bertemu denganku? Memangnya aku mau memakanmu?” ia tertawa renyah, mencoba membuat Saga lebih santai, namun semua itu sia-sia. Predikat Prince Charming yang disandangnya di SMA itu membuat siapapun selalu begini. Enggan, sungkan, merasa tidak pantas dan terlalu terpukau jika beradu pandang dengannya. Hah, rasanya capek jika ia terus begini, tapi ini?

Hei! Ini Saga! Demi Tuhan!

Ini Saga, temannya sedari kecil yang selalu bermain bersamanya! Teman terbaik yang pernah ia miliki di dunia! Teman yang begitu manis dan polos, sampai tak menyadari kecantikan alami yang dimiliki dirinya sendiri. Sampai-sampai ia membuat Tora kecewa. Kecewa dengan cara Saga menutupi keindahan kedua bola mata miliknya yang bisa menyihir siapapun dengan contact lens. Ya, mata indah berwarna emerald yang mengagumkan itu kini dilapisi warna hitam kelabu yang menjemukan.

Dulu ketika memasuki kelas 2 SMP,     Tora terkaget-kaget melihat Saga pertama kali menutupi warna matanya, Saga hanya menjawab dengan senyuman. “Mataku rusak Torashii…” hanya itu, tiga kata biasa yang sebenarnya menancapkan panah pertama dalam hati Tora.

Kenapa harus contact lens berwarna hitam yang pada akhirnya membuat matanya berwarna sama seperti orang lain? Kenapa bukan contact lens bening yang memamerkan warna emerald cantik yang sangat ia cintai? Saga hanya membalas dengan anggukan disertai senyum manis, lalu pergi ke perpustakaan.

Ah! Perpustakaan… di mana lagi tempat favorit Saga untuk berdiam diri seharian? Bahkan mungkin jika penjaga perpustakaan tidak mencuri-curi pandang kepadanya untuk memberi isyarat perustakaan ingin ditutup, ia tak akan pernah beranjak satu mili pun dari tempatnya. Membenamkan pikiran juga hidupnya dalam tumpukan buku, dan di sinilah mereka sekarang.

Saga menggeleng cepat, Tora telah membuatnya terjebak di sini. Di antara barisan rak yang menekan punggungnya, jendela besar dengan kaca yang dingin bertiraikan air hujan dan tubuhnya yang melampaui batas tinggi badannya. Ia tersudut dalam keadaan masih mendekapkan tumpukan buku tebal dari berbagai macam dasar ilmu sejarah.

Tora terdiam, membaca deret sampul buku yang didekap Saga dengan sangat protektif. Sejarah Jepang, Pengaruh Jepang terhadap Dunia, Sejarah dan Tekhnologi, dan entah apa lagi karena rambut coklat kemerahan Saga menutupinya. Khas Saga, ia tersenyum. “Kau membaca ini semua?” ia mendekatkan wajahnya ke wajah Saga.

Saga bisa merasakan darahnya berdesir ketika nafas hangat Tora menyusuri kening dan pipinya, merasakan jantungnya bergedup lebih cepat. Seakan degup itu ingin berteriak memecah hikmad perpustakaan yang damai.

“I… iya, aku… membacanya ini semua. Ini bahan presentasiku, Tora!” ia menundukkan kepala semakin dalam, merasa sangat canggung di bawah tatapan tajam yang seakan ingin mengebor matanya. Berusaha menemukan perasaan yang dikuburnya dalam-dalam.

“Hmm? Bahan presentasi?” Tora menaikkan dagu Saga, memandangi wajah yang terlihat pasrah dan sungkan.

Ekspresi yang selalu membuat dahi Tora berkerut, kenapa Saga selalu menampakkan ekspresi itu akhir-akhir ini? Ke mana senyumnya yang dulu sangat manis? Seakan ekspresi ceria Saga sudah hilang, ikut tenggelam dalam warna hitam buatan di matanya itu. Mata itu seperti tidak bisa bercerita lagi, dilapisi tirai gelap yang sulit disingkirkan.

“Kamu bekerja terlalu keras… kau belajar setiap waktu. Tidakkah kau merasa jemu?” bibirnya hanya berjarak beberapa centimeter dari bibir merah Saga yang rasanya ingin ia lahap sekarang juga.

Saga menatap wajah Tora dari balik kedua bola mata yang keruh karena pengaruh warna contact lens-nya, meneguk ludahnya karena terlalu gugup. “Ti… tidak… aku ‘kan tidak berpikir jika sekolah itu untuk main-main!” nada kalimat itu terdengar lebih tajam dari yang seharusnya dan Saga menyadari itu. Terutama setelah melihat perubahan ekspresi Tora yang terlihat tersinggung.

“Main-main? Jangan-jangan, kau pikir aku ini bermain-main? Aku juga belajar Saga! Kau tahu itu ‘kan?” Tora semakin mendesak tubuh Saga ke dalam rak buku besar yang seakan ingin melenyapkannya dalam deretan buku tebal.

Bagaimana Saga bisa tak tahu?

Seluruh sekolah juga tahu, bila Tora, sang Prince Charming merupakan salah satu siswa paling pintar dan terkenal. Prestasinya sangat cemerlang, ia selalu menempati peringkat pertama dalam ujian, dan Saga? Saga selalu mengikutinya duduk manis di peringkat kedua. Sekuat apa pun Saga berusaha dan belajar, ia tidak pernah bisa menyaingi nilai Tora yang terlampau tinggi untuk diraih, sama seperti dirinya terlalu jauh untuk digapai.

“Aku tahu… tidak perlu dikatakan aku juga tahu.” Ia menjawab dengan rasa kecut, menyesali kata-katanya tadi.

Tora tersenyum kecil, “Kau tidak perlu belajar terlalu keras… kau sudah cukup pintar. Sangat pintar malah! Jadi jangan memaksakan diri, ya? Aku tidak ingin kau sakit…” jemarinya menyingkirkan helaian rambut Saga yang menutupi matanya, membuat Saga menahan nafasnya, benar-benar gugup dan gemetar.

“Mm… memangnya kenapa jika aku sakit? Aku ‘kan tidak meminta pertolonganmu jika aku jatuh sakit!” lagi-lagi nada ketus itu… padahal bukan itu maksud Saga. Ia senang diperhatikan Tora, sangat senang malah. Tapi ia merasa sedikit canggung dan takut jika ia bisa dilabrak–budaya menyebalkan oleh teman-temannya karena terlalu dekat dengan Tora.

“Ketus… kenapa sih kau tidak bisa berbicara manis seperti yang dulu lagi? Aku merindukan Saga yang dulu… Sagacchi!” ia menempelkan dahinya di dahi Saga, tidak peduli meski Saga terang-terangan menghindar darinya.

“A… ku… bu… bukan yang dulu! Setiap orang bi… bisa… berubah…” terbata-bata ia merangkai kata-kata yang akhirnya bisa ia ucapkan dengan lirih. Sungguh sulit berbicara dengan adanya Tora dengan jarak sedekat itu, sungguh siksaan baginya.

Shou tersenyum lagi, namun entah dari mana Saga mendapat keberanian untuk mendorong Tora. “Maaf Tora, aku tidak punya waktu!” Saga berjalan cepat-cepat, meninggalkan Tora di belakang.

Tapi bukan Tora namanya jika menyerah begitu saja, ia berjalan mengekori Saga. Memerhatikan Saga menyerahkan kartu perpustakaan berwarna abu-abu yang telah penuh oleh nomor seri, judul buku dan tanggal peminjaman. Memang, dialah yang paling sering meminjam buku dan mengunjungi perpustakaan lebih dari siapapun di sekolah itu.

“Kau benar-benar tidak punya waktu?” Tora mengambil langkah panjang-panjang untuk mendahului Saga.

Saga mengernyitkan dahinya, kedua tangan mendekap tumpukan buku dan di pundaknya bergantung tas selempang. “Kalau begitu,” Tora mengambil tumpukan buku berat yang di dekap Saga. “… biar aku yang membuatmu punya waktu!” dan Tora berlari sepanjang koridor yang kosong, membuat Saga terpaku sejenak.

“TORA!” ia berlari mengejar Tora yang tertawa-tawa. Merasa tidak terlalu direpotkankan dengan berat buku-buku dan tasnya sendiri.

~†~†~†~

Dengan senyum lebar, pagi-pagi Tora bertandang ke rumah Saga. Ia memakai kaus lengan pendek yang bertumpuk dengan lengan panjang bergaris untuk menghalau udara dingin yang terlalu kejam.

“Tunggu sebentar…” terdengar suara Saga yang membuat senyumnya semakin lebar. Sepertinya ini akan menjadi kejutan di pagi yang damai (?) untuk Saga.

Ketika pintu dibuka, Tora menyapa dengan begitu ceria, “Ohayou Sa…”

BRRAAKK!!!

Belum sempat Tora menyelesaikan kalimatnya, Saga sudah membanting pintu tepat di depan hidung mancungnya tanpa ampun. Meninggalkan Tora yang terbengong-bengong dengan senyum tolol yang masih bergelantung di wajahnya.

“Saga??? Buka pintunya! Aku ‘kan hanya ingin bertemu denganmu!” Tora mengetuk pintu rumah itu dengan brutal. Namun Saga menahannya keras-keras.

“Pergi!” namun kiranya tenaga Tora lebih besar hingga akhirnya berhasil mendorong pintu itu sampai terbuka. Ia menatap Saga dengan berang, siapa yang merasa senang jika kedatangannya secara baik-baik malah diusir begitu saja? Tentu Tora tidak senang dengan perbuatan kasar Saga.

“Berani-beraninya kau!” Tora mengayunkan tangannya seperti hendak memukul Saga, dan Saga refleks menutup mata ketakutan. Tapi tangan Taora menyentuh pipi Saga perlahan dan membelai bibir merahnya. Merasakan itu mata Saga terbuka pelan-pelan dan melihat Tora begitu dekat.

“Matamu…” Tora terkesima menatap mata indah milik Saga yang berkilauan seperti batu emerald. “Emerald… cantik sekali, Sagacchi…” ia menahan nafas saat memandanginya kemudian mengecup bibir merah Saga penuh kasih. Ia tak bisa menahan untuk mengagumi rasa manis di bibirnya, terlalu rumit untuk dijelaskan. Tapi sangat menyenangkan.

Saga terkesiap, lagi-lagi darahnya berdesir dengan cepat dan memerahkan kedua pipinya.

Betapa bodohnya ia karena lupa mengenakan contact lens hitam yang sebenarnya normal tanpa minus, padahal biasanya ia selalu memakai contact lens itu sejak baru bangun tidur. Saga menghela nafas, mengerjap beberapa kali untuk menyadarkan dirinya sendiri.

Mereka berdua masih dalam posisi seperti itu sampai sebuah suara tegas mengagetkan mereka. “Ehem… Tora, apa yang mau kau lakukan kepada anakku?” mereka serentak menengok ke sumber suara tersebut. Di mana seorang pria berambut pirang pucat dengan mata yang sewarna dengan Saga, menatap Tora dengan tatapan curiga, berdiri kurang lebih dua meter jaraknya.

“Eh? Ka… Kamijo-san?” Tora tergagap, masih memegang pipi kanan Saga, memepet tubuh Saga ke dinding. Bagus, belum apa-apa ia sudah mencari masalah dengan ayah mertua… eh, maksud saya dengan ayah Saga!

Mata Kamijo menyipit berbahaya, “Ohayou Tora, aku akan merasa lebih senang lagi untuk menerimamu di rumahku jika kau tidak perlu berada pada posisi yang mengancam anakku.” Ia melipat kedua tangannya di depan dada, memancarkan aura pembunuh pekat kepada Tora yang tampaknya mulai sadar dengan apa yang ia perbuat.

~†~†~†~

“Ugh… aku lupa jika ayahmu itu galak sekali…” Tora merebahkan badannya di atas ranjang Saga yang cukup besar untuk dua orang sekaligus.

Di sisi ranjang lainnya, Saga duduk dan tertawa kecil, mengingat bagaimana ekspresi bersalah Tora yang lebih menyerupai seorang pandir ketika diceramahi ayahnya. Untung saja sekarang ayahnya sudah berangkat untuk bekerja, meski dengan ancaman tidak akan segan menghabisi Tora jika berani menyentuh anaknya. Jika Kamijo tidak kunjung pergi, mungkin ceramah itu akan ditambah sekian jam lagi sampai Tora benar-benar merasa mabuk dan jera.

“Habis kau seenaknya sih! Pagi-pagi sudah membuat ayahku mengeluarkan ceramah yang menyentuh kalbu begitu. Kau hebat sekali…” Saga menutup mulutnya, berusaha untuk berhenti tertawa tapi tak bisa.

Tora menaikkan salah satu alisnya, tersenyum karena dapat kembali melihat ukiran senyum yang ia nantikan sejak lama. “Hei, kau cantik sekali jika tersenyum begitu…” ia menggapai tangan Saga, lalu menarik tubuh anak itu untuk jatuh ke atas ranjang.

“Tora!” Saga memekik, namun Tora tertawa senang mendengarnya.

“Kau manis sekali…” Tora berkata seraya mengecup keningnya sekilas. Tindakan ini berhasil membuat pipinya bersemu lagi.

“… dan kau anak nakal!” Saga menyentil dahi Tora pelan, membuat Tora mencebik seperti anak kecil. Lucu sekali eksresi itu, membuat Saga gemas.

“Biar saja aku nakal~~” Tora berguling di ranjang, merapat ke tubuh Saga, “Tapi yang penting…” ia menatap ke dalam mata indah itu. “… aku mencintaimu Saga…” lalu memberikan kecupan terlembut yang sangat hangat dan menyenangkan.

Saga tersenyum, inilah yang ia tunggu sejak lama.

Kata-kata yang terdengar sangat sederhana namun butuh nyali yang sangat besar untuk diungkapkan, yang bahkan tidak bisa ia lakukan. Padahal ia sangat fasih merangkai kata-kata dalam berpidato, dalam menjaga setiap perkataannya untuk tetap tenang, namun sepertinya semua itu buyar jika ada Tora. Keberadaan Tora telah berhasil membuat sistem kerja otaknya kacau, berantakan hanya dengan tatapan dengan mata abu-abu bening itu.

“A… aku… aku juga mencintaimu…” Saga membalas dengan senyum malu-malu. Tak tahan melihat itu, Tora melingkarkan lengannya di pinggang Saga, mendekapnya lebih erat lalu mengunci bibir mereka dalam ciuman yang dalam.

Mungkin sudah satu menit atau satu jam mereka berciuman seperti itu, sampai akhirnya melepaskan ciuman mereka. Hening sekali sambil berpandang-pandangan.

“Kau tahu Sagacchi?” Tora mendekat dan membelai pipi mulus Saga. “Aku sangat menyukai warna matamu, jadi jangan kau pasang contact lens itu ya?” ia bertanya pelan dan Saga mengangguk kuat-kuat.

“Anak pintar… jadi mau tidak kita teruskan yang tadi?” Tora menampakkan seringai, merebahkan tubuhnya kepada Saga. “Kalau setengah-setengah ‘kan kurang seru, Sagacchi~” ia terus mendorong Saga sampai terbaring di ranjang. Agaknya ia telah lupa atas larangan Kamijo untuk tak menyentuh anaknya.

“TORA!”


~End of story~

Author’s note: Jangan tanya saya kenapa buat yang begini, saya saja tidak mengerti kenapa mengetik yang begini apalagi judulnya, jangan tanya lah...
Nah, yang pasti ini pesanan dari Erika Fmv Sakamoto Byrne~ maaf begitu lama menunggu…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar