Jumat, 03 Juni 2011

EPISTLE – Recall | Chapter 2a / 3 | Reita’s birthday fanfic

Title: EPISTLE – Recall | Chapter 2a / 3 | Reita’s birthday fanfic
Starring: the GazettE
Author: Suzuki Sachino
Pairing: Reita x Ruki
Rating: PG
Genre: fantasy, romance, angst
Warning: using the born name of character, texts typed like this before ~†~†~†~ are the past time.
Disclaimer: I’m only owned the story; they belong to whatever Gods up! (_   _ )a
Summary:
Music: the GazettE – Break Me



~†~†~†~
“Aki?” wanita berambut coklat tersebut bertelut, mengusap dahi Reita dengan lembut. “Bangun sayang,” ia menggoyangkan bahu Reita yang masih saja pulas tertidur di sofa.

Pria itu menggeliat sedikit. Bahunya bergerak sebentar hingga keheningan datang kembali.

“Ayolah Aki… aku punya janji dengan dokter hari ini,” ia mengguncangkan bahu suaminya itu lebih keras dan membalikkannya dengan cepat. Tapi apa yang dilihatnya membuatnya menjerit.

“Astaga! Akira!” Misaki memekik ketakutan. Tangannya gemetaran sampai akhirnya pikiran warasnya membuat ia berlari menuju telpon rumah.

“Ambulans!” ia berteriak panik mencari-cari nomor rumah sakit yang biasa ia hubungi saat Reita mendapati keadaan begini. “Ambulans!!!”

Dari lengan Reita yang terluka, darah bercucuran tanpa bisa dihentikan sama sekali. Entah sudah berapa liter darah yang menetes keluar dari luka yang tak terlalu lebar tersebut hingga membuat separuh wajah, leher, bahu dan bajunya berwarna merah kehitaman terkena darahnya yang mengering. Bahkan sofanya pun berwarna kehitaman.

Akira… jangan mati! Wanita itu menangis selagi perawat memberikan morfin penghilang rasa sakit dan infus yang menggelantung meski sebenarnya tak dibutuhkan.
Reita, sudah ada di ambang batas hidupnya.

~†~†~†~

Tubuh polos itu menggeliat. Retinanya menangkap berkas cahaya matahari pagi yang menerobos masuk melewati celah tirai transparan. Baru saja ia ingin menggaruk belakang telinganya, ia langsung berhenti dan tertegun. Menyadari keanehan paling besar yang ia temui dari atas kepalanya.

Ia merentangkan kedua tangannya ke depan namun menjerit kaget saat menyadari tangannya tanpa bulunya yang kecoklatan. Ia mengerjap-ngerjap bingung. Dirabanya kepalaya sekali lagi, yang ia temukan adalah kedua telinga kucingnya namun dengan rambut lembut yang tiga belas kali lipat lebih panjang daripada rambutnya dulu. Dipegangnya tangannya sendiri yang halus dan panjang seperti tangan yang biasa menyentuhnya dan mengusapnya ketika malam, hanya saja ini lebih jelas warnanya. Ia menundukkan kepalanya dan melihat badannya sudah berbeda, kakinya juga lebih panjang daripada yang dulu.

Eh? Kenapa? Kenapa ini?! Ia mencoba mengerakkan jarinya yang panjang perlahan-lahan, rasanya aneh dan agak menyusahkan. Ia mencoba menggerakkan kakinya yang sekarang bisa ditekuk sampai menyentuh badannya sendiri dengan mudah. Sungguh suatu hal yang aneh dan baru baginya. Bahkan perutnya pun terasa sangat berbeda saat itu berkeriuk meminta diisi.

Pintu yang dibuka membuatnya menolehkan kepala.

Matanya memandangi pria jangkung yang membawa pakaian di tangannya dengan takut.

“Kau sudah bangun?” pria tersebut mendekati ranjang dan telinganya bergerak-gerak menangkap tiap langkahnya.

Ia mencengkram selimut di pangkuannya dan mundur perlahan.

“Tidak usah takut begitu…” Reita duduk di sisi ranjang. Ia melihat ke arah seorang anak lelaki yang ketakutan, atau lebih tepatnya ke kedua telinga kucing yang masih menempel di kepalanya.

Ia terdiam melihat telinga kucing yang sewarna dengan rambut anak itu bergerak-gerak. “Ah! Kenapa yang ini bisa tertinggal?!” tangannya terulur menyentuh telinga kucing yang bergerak ke belakang. Menandakan ia tak mau disentuh.

“Kamu siapa?” sebuah suara mengagetkan Reita. Suara dari anak ini?

Reita menghela nafas, mengusap telinga kucing itu perlahan hingga anak itu menutup matanya tersenyum senang. “Harusnya yang ini tidak tersisa…” anak itu menyurukkan kepalanya ke dada Reita manja, menyukai usapan Reita di telinganya dan meminta lebih. Tapi pria itu menarik tangannya dan memegang bahu anak itu kemudian mendorongnya.

Anak itu menatapnya bingung dengan mata sebelah kuning sebelah biru itu. “Hah… aku juga lupa, kau ‘kan kucing, juga penderita heterochromia.” Reita menatap kedua mata yang berlainan warna itu seraya berdecak.

“Ayo, kau harus pakai baju, sini aku bantu.” Ia menarik badan anak tersebut dan memasukkan kaus dari atas kepalanya. “Keluarkan tanganmu,” anak itu mengerutkan keningnya. “Tekuk tanganmu dan keluarkan lewat lubang yang ada di sebelah ini.” Reita menarik tangan anak itu perlahan. “Sebelahnya kau lakukan sendiri,” titahnya selagi memakaikan celana melewati kedua kaki sang anak itu dengan hati-hati.

Sekilas Reita terlihat menahan nafas dan gemetar.

“Nah sudah,” ia melepas kaki anak itu.

Anak itu melihatnya tanpa banyak bertanya. Ia lebih cenderung mengamati, karena sepertinya ia sulit merangkai kata-kata. Telinga sebelah kanan berdiri tegak ketika mengamati Reita sedangkan yang sebelah kirinya bergerak mendengarkan deruan dan desiran angin dari celah jendela yang dibuka sedikit.

“Nah, yang penting sekarang adalah nama. Bagaimana jika namamu adalah Hikaru?” ia menepuk-nepuk kepala anak itu pelan namun kernyitan di dahinya membuat Reita diam. “Kau tidak suka ya?”

“Hikaru?” Itu namaku? Ia menggerakkan telinga tak setuju.

Reita berpikir sebentar. “Kalau Ren?”

Anak itu mengernyit lagi.

“Hiro?”

Anak itu menggerak-gerakkan telinga kucingnya tak senang.

“Jun?”

Anak itu akhirnya menggeleng pelan.

“Kyou?”

Anak menggeleng lebih keras.

“Moe?”

Anak itu mulai bosan dan melihat ke langit-langit.

“Takeru?”

Anak itu sudah tak mendengarkannya.

“Hah… masalah nama saja kau sudah menyusahkan!” Reita menghela nafas. Anak itu tetap memandangi langit-langit, tak memperdulikan perkataannya.

“Kalau Rookie?” ia mencoba mencari nama lain.

Anak itu kembali memandangnya, matanya berbinar senang. “Iwaki?”

Reita tertawa kecil. “Bukan, tapi Rookie dalam bahasa Inggris artinya prajurit baru. Dalam katakana ditulis Ruki,” jelasnya. Entah anak itu mengerti apa itu katakana apalagi bahasa Inggris. “Iwaki itu nama jenis ikan laut,” imbuhnya.

Iwaki? Ikan katamu? Mata anak itu berbinar-binar semakin indah.

“Kau suka?”

Ikan? Tentu saja! “Aku suka!” anak itu menahan tubuhnya dengan kedua tangannya dan menyandarkan kepalanya di dada Reita. Melakukan kebiasaannya sebagai seekor anak kucing ketika ia sedang gembira.  Berikan padaku ikannya… iwaki!

Reita tertawa, mengusap puncak kepala anak itu. “Baiklah, namamu adalah Ruki, kau mengerti?”

Anak itu mengangguk, menyuruk-nyurukkan kepalanya ke leher Reita dengan manja.

“Anak pintar. Sekarang ayo sarapan,” ia menepuk kepala anak itu dan beranjak menuju pintu.

Eh? Ikannya mana?

Reita menoleh dan mendapati anak itu masih duduk di atas ranjang.

“Ruki, ayolah…” ia melambai pada anak tersebut. “Ayolah, kau mau ikan untuk sarapan tidak?”

Begitu mendengar kata ikan, anak yang dipanggil Ruki tersebut meloncat turun dari ranjang dan berdiri di samping Reita. Pria itu tertawa, ia memegang pundak Ruki dan membimbingnya ke ruang makan. Di sana meja kaca yang tidak terlalu besar dengan piring-piring yang ditata untuk dua orang berisi makanan lezat tersedia.

“Nah, aku tahu kau sangat menyukai ikan di restoran sushi di blok sebelah, jadi aku memesan sushi untukmu.” Reita berujar.

Mata Ruki membulat melihat daging ikan yang merah dan berbau harum yang ia sukai, membuat perutnya meronta untuk segera diisi. Ruki segera menunduk di atas sushi set-nya. Ia menggigit, mengambil irisan ikan yang polos bumbu dari atas nasi.

“Tapi sebelumnya aku akan mengajarimu memakai sumpit yang benar dan tata cara makan sambil duduk.” Reita menyentil dahi Ruki yang sibuk mengunyah irisan ikan tersebut dan menelannya cepat.

“Nyaaa…” ia memegang dahinya dengan kedua tangan. Merengut pada Reita yang menyentil dahinya.

“Dasar anak kucing.” Pria itu menghela nafas, mendudukkan Ruki di kursi sementara mata anak itu melihat semua makanan dengan wajah kelaparan.

“Pertama, ketika makan kau harus duduk di kursi, jika di tatami kau harus bersila tapi jika dalam upaacara minum teh kau harus bertelut. Kedua, kau harus memakai sumpitmu.” Reita menyelipkan dua batang sumpit itu di antara jari telunjuk dan jari tengah juga jari telunjuk dan ibu jari tangan kanan Ruki.

Kletek.

Sumpit itu jatuh dari tangan Ruki. Anak itu menatap Reita bingung, karena selama jadi kucing, mana mungkin dia memakai sumpit.

Reita menarik nafas, berusaha sabar. “Kita ulangi ya,” dan ia membetulkan letak sumpit itu berulang kali di tangan kanan Ruki yang gemetaran.

Akhirnya setelah percobaan setelah satu jam yang cukup melelahkan dan menguji kesabaran Reita, rekor Ruki paling bagus adalah bisa memegang sumpit dalam waktu sepuluh detik lamanya. Itu juga ia masih gemetaran hingga akhirnya di sela acara makan Reita, ia juga harus menyuapi Ruki dengan sumpitnya. Makan siang nanti Reita akan berencana mengajarinya memakai sendok dan garpu saja disusul pengajaran tentang semua hal yang biasa dilakukan manusia dalam kesehariannya.

~†~†~†~

Reita membuka kelopak matanya yang terasa begitu berat. Samar-samar didengarnya suara Misaki menangis tertahan dan merasakan lengan atasnya basah. Ia menggerakkan kepalanya, hanya untuk sekedar menoleh saja ia sudah begitu sulit dan sakit.

“Misaki…” ia berbisik lirih.

Wanita yang dipanggil Misaki itu mengangkat kepalanya. Matanya merah dan wajahnya begitu pucat sementara rambut panjangnya terlihat sedikit berantakan. “Akira! Astaga, aku kira kau tak akan bisa selamat!” air mata mengucur lebih deras menatap wajah Reita yang seperti sudah tak berwarna lagi saking pucatnya.

Reita mengangkat tangan kirinya dan mengusap air mata istrinya dengan lembut. “Hei, jangan menangis… seperti aku mau mati saja.” Pria itu menyunggingkan senyumnya mencoba menghibur sang istri.

Tapi Misaki hanya tersenyum tipis, tak bisa menghentikan air mata yang jatuh dengan derasnya. “Ya, ku kira aku tak bisa menyelamatkanmu.” Ia menggenggam tangan Reita dan membasahinya dengan air mata. “Aku panggil dokter ya,” tangannya menggapai tombol berwarna biru di samping bagian atas ranjang Reita.

“Ya sayang… jangan khawatir, mana mungkin aku mau cepat mati.” Senyum yang terbentuk dari bibir membiru yang kering itu membuat Misaki menahan nafas, membayangkan rasa sakit yang selalu Reita tahan hanya untuk membuatnya tidak khawatir.

Wanita itu memandangi Reita dari balik matanya yang berair. “Akira…”

“Hmm?”

“Jangan membuatku panik dengan tidak memberitahukan luka kecil seperti itu.”
Reita meremas tangan Misaki. “Maaf.”

“Kau tahu betapa bahayanya luka begitu, pendarahannya akan sulit berhenti, Aki.”
Sebelum Reita sempat menjawab, seorang dokter muda dan perawat masuk ke dalam ruangan. Mereka berusaha bersikap seprofesional mungkin, padahal tiga jam yang lalu mereka sangat ketakutan saat nyawa pasien mereka hampir melayang.

“Maaf Suzuki-san, saya harus melakukan pemeriksaan terlebih dahulu.” Misaki mengangguk dan dokter muda itu melakukan prosedur pemeriksaan rutin bagi pasien langganan mereka. Langganan masuk ICU dan langganan transfusi darah tentunya.

~†~†~†~

“Hei hei…” Ruki mencolek Reita dengan pensil.

“Stop! Kenapa kau menusukku?” Reita menangkap tangan Ruki yang dari tadi sibuk bermain pensil dan pulpen yang menggelinding di lantai. Sampai capek Reita melihat tingkahnya yang melompat ke sana ke mari sampai membentur dinding, membuat buku-buku berantakan dan akhirnya duduk terdiam, merasakan kepalanya berdenyut.

Anak itu menatap Reita bingung. “Menusuk itu apa?”

Reita menghela nafas dan memukul kepalanya sendiri sementara Ruki tertawa sendiri.

Diam. Reita sibuk dengan laptopnya sementara Ruki sudah berhenti dengan permainan yang membahayakan barang-barang di sekitarnya tersebut. Sekarang ia mencoba duduk manis memerhatikan Reita.

“Kamu dokter?” Ruki sudah duduk di atas meja, melipat kedua kakinya dan memandangi Reita yang terkejut.

“Kamu ini!” pria itu mengendong sang anak dengan mudahnya dan mendudukkannya di sofa. “Jangan duduk di meja, tidak sopan!” ia memarahi Ruki yang hanya menatapnya.

“Kamu dokter ya?” ia bertanya lagi.

“Bukan.” Reita kembali ke layar laptopnya.

“Lalu kenapa kamu memakai jas putih ini? Ini bukannya untuk dokter?” telinga kucingnya bergerak-gerak. Bersemangat mencium campuran bau pewangi pakaian, obat dan wangi dari tubuh Reita di jas tersebut.

“Hei! Jangan mengendus seseorang seperti itu, itu tidak sopan Ruki.” Ia menepuk kepala Ruki.

“Lagipula aku bukan dokter, aku ilmuwan, peneliti, aku bekerja untuk negara tapi bukan seorang dokter, banyak orang berbaju jas putih seperti ini. Petugas laboratorium, ilmuwan, mahasiswa dan siswa yang praktek di laboratorium, dan yang lainnya.” Ia berhenti dan memandang Ruki.

“Kamu sudah mengerti Ruki?”

Ruki menatap Reita lagi. “Mahasiswa? Jadi kamu mahasiswa?” dan Reita mengacak-acak rambutnya sendiri dengan kesal.


Sejam kemudian…

Ruki duduk di sofa, menonton siaran berita yang Reita setelkan untuknya. Ia disuruh Reita untuk duduk diam di situ sementara pria itu pergi ke basement melakukan sesuatu yang entah ia tidak tahu itu apa. Ia menekan-nekan remote TV dengan dua jari telunjuk malas-malasan.

Orang itu sedang apa ya? Ruki menegakkan kepalanya dan mencium bau amis dari kejauhan. Amis yang menguar begitu pekat dan menusuk.

“Ugh…” Ruki beranjak dari duduknya dan mengendus udara. Membuka pintu basement dan turun perlahan ia mencium amis darah semakin pekat.

“Hei…” mata Ruki membulat menyaksikan cairan merah menetes dari jari-jari pria tersebut. Jasnya berbalur merah darah yang mengering.

“Jangan menyentuhku Ruki!” Reita terbatuk menahan kuncuran darah yang tak berhenti.

Mata anak itu berair. “A…aa…” Ruki terduduk lemas. Air matanya mengalir begitu saja dari kedua bola matanya yang berbeda satu sama lain. Telinganya lunglai dan jatuh sementara seluruh tubuhnya bergetar.

“Jangan dilihat Ru!” Reita berusaha membungkuk menutupi darahnya.

“Keluarlah! Sebentar lagi ada dokter yang akan menjemputku dengan ambulans. Pakai hoodie-mu, jangan sampai mereka melihat telingamu Ru…” tapi Ruki tak bergeming dan tetap menangis tanpa isakan.

“Ruki… keluar!” Reita berteriak, menyentak hoodie anak itu dan kali ini Ruki melompat dan berlari keluar sampai menabrak seorang pria yang juga memakai jas putih yang sama dengan Reita.
Pria tersebut menatap Ruki bingung. “Maaf nak, kamu siapa?” Ruki menunjuk ke basement.

“Rei… darah…” terbata-bata ia mencoba menjelaskan namun pria itu terlanjur pergi. Berlari ke basement bersama dua orang perawat, peralatan dan sebuah brankar.

Tiga menit kemudian kelompok kecil itu sudah berlari kembali ke ambulans ditambah Ruki yang mengikutinya sambil berlinang air mata dan Reita yang terus saja mengeuarkan darah di atas brankar.

“Rei…” ia menghapus air matanya dan masuk ke dalam ambulans bersama sang dokter yang terlihat tenang. Terlalu tenang.

“Maaf… kau siapanya?” sapa dokter itu halus selagi sang perawat memegangi infuse supaya tidak terlalu bergoncang.

Ruki memegangi tangan Reita yang bebas dari tetesan darah. “Ruki, kata Reita namaku Ruki…”

“Lalu?”

“Aku… mungkin aku saudaranya?”

Pria itu menaikkan alisnya. “Oh baiklah, aku Takashima Kouyou… teman dan dokter pribadi Akira.”

Ruki menengadah. “Akira?”

Pria tersebut mengangguk. “Reita itu nama aslinya Akira, sedangkan aku biasa dipanggil Uruha. Kamu anak dari siapa? Umurmu berapa?”

Ruki menggeleng dan untunglah pria bernama Uruha tersebut sudah sibuk mengurusi Reita yang tekanan darahnya mulai stabil namun mengalami kejang. Anak itu memerhatikan darah yang berangsur-angsur membeku akibat proses pemberian antikoagulen.

Mobil ambulans berhenti dan akhirnya semua orang serentak bergerak. Mendorong brankar Reita dan membuka pintu ambulans secara bersamaan. Ruki turun dengan bingung saat banyak tangan mendorong dan bergantian memasangkan alat-alat ke tubuh Reita dengan gerakan cepat dan terlatih.



To be continued...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar