Kamis, 26 Mei 2011

EPISTLE – I Deal | Chapter 1/3 | Reita’s birthday fanfic

Title: EPISTLE – I Deal | Chapter 1/3 | Reita’s birthday fanfic
Starring: the GazettE
Author: Suzuki Sachino
Pairing: Reita x Ruki
Rating: PG
Genre: fantasy, fluff
Warning: none
Disclaimer: I’m only owned the story; they belong to whatever Gods up! (_   _ )a
Summary: Cantik itu apa? Nama makanan?
Music: 12012 – I Deal



~†~†~†~

Hari ini.

Aku akhirnya setuju untuk melakukannya. Akhirnya aku menyetujui sendiri ide gilaku yang tercetus begitu saja saat melihatnya.

Aku tahu, hal ini mungkin akan bertentangan dengan hukum alam. Bahkan dengan Tuhan yang katanya selalu mengamati tiap insan. Tapi sekarang, aku yang akan menjadi Tuhan bagi dia… bagi ciptaanku yang sudah seharusnya menikmati hidupnya dalam wujud yang baru.

Misaki, aku selalu mencintaimu.
~†~†~†~
Seekor anak kucing berbulu kuning kecoklatan berlapis debu dan kerak jalanan duduk di sudut jalan yang sepi. Kaki belakangnya sibuk menggaruk-garuk belakang telinganya selagi matanya terpejam. Sisa potongan ikan busuk dan sedikit susu basi mengisi perutnya seharian ini, memenuhinya walau hanya sebentar.

Sudah siangkah?

Anak kucing yang baru menginjak usia dua bulan itu menengadah menatap matahari yang bersinar jingga keemasan condong ke arah barat. Sejujurnya, ia tak pernah mengenal siang ataupun malam. Yang ia tahu hanyalah waktunya mencari makan dari tong-tong sampah tempat manusia membuang sisa-sisa makanan yang masih sedap dikecap dan waktunya ia mengistirahatkan tubuh kecilnya yang ringkih akibat kekurangan susu sebelum masa sapih.

Induknya telah lama menghilang dan yang ia bisa lakukan hanyalah bertahan hidup.

Anak kucing tersebut meloncat dari undakan tangga sebuah gudang barang yang sudah lama tak terpakai. Berlenggak-lenggok di atas pagar sebuah bangunan setengah hancur. Di mana ia sering sekali melihat beberapa orang manusia beranggota tubuh tak lengkap dan terkadang hampir tembus pandang melayang-layang di dalamnya. Meringis dan menyeringai kepada si anak kucing yang ia balas dengan mengeong senang.

Bukankah jika ada yang menyapa, ia harus tetap senang membalas sapaannya? Tak peduli jika itu makhluk sebangsanya maupun manusia sampai makhluk menyerupai manusia yang tembus pandang sekalipun.

Ia menahan berat tubuhnya dengan keempat kakinya sebelum akhirnya berlari senang ke kerumunan burung merpati yang riuh memperebutkan roti kering. Itulah sapaan hangatnya kepada kawanan burung yang langsung terbang menghindarinya.

Anak kucing tersebut berputar mengitari bangku taman sebentar, mencari remah bacon dan tuna yang sekiranya bisa ia telan. Bosan tak menemukan apa pun, ia berlari sampai ke balik restoran favoritnya.

Restoran sushi.

Sebenarnya, ia tidak tahu apa nama restoran tersebut, tapi melihat gambar ikan besar yang dipajang juga cumi-cumi yang merah telah menggugah seleranya. Adakah sisa makanan baginya saat ini?

“Kaneko-chan?” seorang anak perempuan tiba-tiba berjongkok di hadapannya sebelum ia sempat menyebrangi jalan.

Kaneko? Kucing itu menelengkan kepalanya.

“Kawaii ne~” anak perempuan itu tertawa menampilkan gigi susunya yang berderet rapi dan putih bersih. Tangannya memainkan salah satu telinga besar milik sang anak kucing yang tak mengerti.

Menyenangkan~ ia memejamkan matanya, menikmati belaian lembut dari sang gadis cilik yang tertawa senang. Nafasnya teratur dan terdengar jelas.

“Tami-chan, jangan dipegang!” tangan lain yang lebih besar menatik tangan gadis cilik tersebut.

Eh? Kenapa berhenti? Anak kucing itu memandang ke atas.

Seorang wanita menyeret tangan anak perempuannya yang meronta. “Tidak! Mama, aku mau pegang! Mama lepaskan!” rengeknya.

“Tami berhenti! Dia itu kotor!” cecarnya.

Kotor? Anak kucing itu menggerak-gerakkan telinganya.

“Tapi dia lucu ma!” tukas anak itu keras kepala.

“Tidak boleh! Dia kucing liar! Kamu bisa terkena penyakit saat memegangnya, ayo segera pulang!” wanita tersebut menarik tangan anaknya sampai menghilang di tikungan jalan.

Liar itu apa? Ia masih berdiri dengan bingung di pinggir jalan yang sepi.

Tapi harumnya daging ikan segar mengusik pemikirannya. Ia terdiam sebentar dan menoleh kembali ke restoran sushi tersebut.

Waktunya makan.

Ia mengayunkan kaki-kaki kecilnya dengan ringan. Berharap mendapatkan potongan ikan yang lezat hari ini. Tak jauh dari langkah kakinya yang mungil, sepasang mata mengamatinya lekat-lekat.

~†~†~†~

“Kawaii-chan…” makhluk yang menyerupai manusia namun tembus pandang itu berbisik padanya.

Apa? Anak kucing itu menghentikan kesibukannya menjilati seluruh tubuhnya, menatap ke arah wajah cantik namun sangat pucat tersebut.

“Tidak ada, aku hanya ingin duduk di sini.” Makhluk itu tersenyum selagi mengelus-elus dagu sang anak kucing. Dengkuran menyenangkan terdengar dari makhluk kecil tersebut.

“Kau sudah makan ya? Aku lihat perutmu sudah penuh…” ia menggelitik perut sang anak kucing yang membulat kekenyangan.

Iya, aku diberikan potongan tuna terenak tadi. Ia mengeong senang. Eh? Atau iwaki ya? Aku tidak tahu yang pasti enak~ dengkurnya semakin senang.

“Oh baguslah, kau pasti sangat senang… hari ini aku seperti biasa, melayang di langit-langit bertemu Ran, Yomi, Taro dan yang lain. Seperti biasa aku berusaha mengingat masa laluku.” Jelasnya sembari menyibak rambut hitam panjangnya.

Sama seperti malam-malam sebelumnya, ia akan duduk di undakan tangga itu untuk bertemu dengan sesosok makhluk yang akan menuangkan cerita kesehariannya. Menuangkan cerita akan masa lalunya yang sebenarnya sangat membingungkan. Ia bertutur lembut meski sang anak kucing sudah tentu tidak mengerti sepenuhnya yang ia katakan, namun ia tetap bercerita. Karena ia tidak tahu kepada siapa harus bercerita selain kepada makhluk kecil yang tak akan protes dan tak akan takut saat melihat sosoknya.

Begitulah, sang kucing kecil mendengarkan mahkluk tersebut meski dengan mata setengah terpejam sampai akhirnya jatuh tertidur. Dalam tidurnya pun ia masih bisa mendengar jika sekarang makhluk menyerupai wanita dalam ras manusia tersebut tengah menyitir nada-nada lembut untuk lagu nina-bobo-nya. Begitu lembut dan membuai.

~†~†~†~

“Sudah selesai…” pria tersebut berdiri, memutar tabung reaksi bertutup gabus bersegel lilin tersebut perlahan. Cairan serum berwarna kuning pucat berputar di dalamnya, seolah tak menyentuh dan membasahi dinding tabungnya.

Matanya tajam dan nafasnya memburu saat mengamati bahan percobaannya mencicit, mendesis dan memandang takut padanya. Ia mendengus melihat tikus putih dan ular derik tersebut. “Tenang saja, aku tidak akan mencobanya pada kalian.” Seketika ular tersebut menunduk-nundukkan kepalanya dan tikus putih tersebut merayap ke sisi lain kotaknya.

“Aku tidak mau jika hasil penelitianku yang sangat berharga ini harus kuberikan pada kalian. Aku juga jijik jika harus membayangkan memiliki kalian dalam wujud yang lebih mulia.” Komentarnya sembari meletakkan tabung tersebut secara hati-hati ke dalam plat khusus yang menguncinya agar tidak jatuh. Dibukanya kotak besi berpendingin tempat di mana ramuan khusus buatannya berjejer rapi.

Ia menguncinya dengan kode di plat tipis dan berbalik badan, “Aku mau mencari keberadaan makhluk istimewa itu besok, sekarang aku ingin menyempurnakan serum pengabadian wujudnya terlebih dahulu.” Ujarnya kepada binatang percobaannya yang tak menyahutinya.

Senyum tipis tersungging di wajah pucatnya yang dingin. Rambut pirangnya semakin pucat saja dan terlihat kotor.

“Ah, mungkin aku juga harus membersihkan diri besok…” ia mengangkat bahu sedikit, membuat larutan lain dalam batas pH normal. Mana mungkin jika larutan dengan kandungan asam maupun kandungan basa berle berlebih bisa diminum, bukan?
~†~†~†~
Hidungnya yang merah muda mengendus-endus udara, ia menarik ujung-ujung telinga besarnya sampai ke belakang. Duduk diam mengendusi udara yang lembap. Bau tanah bercampur air tercium segar.

Anak kucing itu melompat-lompat ke undakan paling tinggi. Menoleh ke kanan kirinya di mana ia hanya bisa menemukan tumpukan kayu berayap yang telah mengelupas catnya, pecahan kaca jendela dan tumbuhan liar yang sangat menyenangkan untuk dia jadikan karena petak umpat. Dari siapa? Dari kupu-kupu dan semilir angin yang melebur ketika hawa hangat menerpa.

Anak kucing tersebut bergidik sedikit saat merasakan angin dingin menerpanya. Perlahan turun rintikan hujan hingga menetesi ekornya. Ia terlonjak kaget. Dilihatnya makhluk yang menyerupai manusia tersebut melayang ke arah, mimik khawatir kentara di wajah pucatnya.

“Kenapa? Kamu kenapa?” makhluk itu berputar ke sekelilingnya. Ia menggapai bulu halus yang berdiri karena kedinginan.

“Jangan takut… jangan takut sayang…” bisiknya menenangkan sang anak kucing yang ketakutan terlebih saat petir menyambar-nyambar. Rasanya menyeramkan…

Bunyi gemerisik dari seberang jalan membuat kucing kecil itu semakin meringkuk dalam pelukan sang makhluk yang tak bisa dibilang hangat sama sekali. Ia menggulung badannya lebih lagi. Matanya terpancang mengamati sosok pria yang jangkung dengan mantel hitam tahan airnya, sebuah kantung belanjaan ada di pelukkannya berlari plastik serta sebuah kotak berjeruji besi di tangannya.

“Ah! Itu dia!” Pria itu berlari ke arahnya dengan sorot mata yang membuatnya mendesis ketakutan.

Siapa dia? Pergi kau! Anak kucing itu mendesis ketakutan, sementara makhluk yang memeluknya melotot pada sosok asing tersebut.

“Kau pergi! Jangan membuat dia ketakutan! Berhenti!” makhluk itu berusaha berteriak menghentikan pria asing itu namun ia tetap berjalan mendekatinya.

Pria itu menjulurkan tangan bersarung hitam. Menjepit kulit tengkuknya dengan hati-hati. “Aku menemukanmu…” sang anak kucing menendang udara kosong sementara makhluk itu tak bisa beranjak dari lingkungan gudang itu.

“Tidak! Jangan! Jangan ambil temanku!! Kembalikan! Kembalikan!!!!!” makhluk itu menjerit sementara sang anak kucing mengeong saat dimasukkan ke dalam kandang besi yang dingin terlebih setelah tersiram air hujan.

Petir menyambar dan pria itu berjalan cepat menuju rumahnya sambil menyelubungi kandang itu dengan mantelnya yang panjang. Raungan sang makhluk pucat tak dihiraukannya karena ia tak bisa arena tak memmiliki mendengarnya memiliki kepekaan seperti halnya sang anak kucing.

~†~†~†~

Putih… busa putih terakhir yang menempel di badan sang anak kucing segera disiramnya dengan air hangat. Pria itu tersenyum senang. Melihat ke bawah di mana kucuran air yang sangat keruh bekas mandi sang anak kucing, sekarang yang tertinggal adalah warna kuning kecoklatan yang cantik dan berkilauan. Senyumnya semakin lebar.

“Selesai…” ia mengeringkan tubuh kecil itu dengan handuk dan hair dryer.

Lepaskan! Suara apa itu? Anak kucing itu menoleh ke sebuah alat bercorong yang menyeramkan.   

Suaranya menyeramkan! Matanya membesar dan ia memberontak menendangi pria tersebut.

Pria itu menghela nafas. “Diam! Sebentar lagi juga selesai, diamlah.” Ia mendekatkan hair dryer itu ke tubuh anak kucing tersebut perlahan-lahan.

Pria itu akhirnya berhenti, menatap kepada anak kucing yang gemetar ketakutan tersebut. “Jangan takut, namaku Reita.” Ia mengusap bagian belakang telinga sang anak kucing perlahan selagi menjalankan hair dryer itu ke tubuhnya perlahan. “Kau jangan takut, aku akan memberikan kehidupan baru yang lebih pantas untuk makhluk cantik sepertimu…” ia menyetel hair dryer itu sampai lebih hangat lagi selagi anak kucing di dalam pelukkannya mendengkur senang.

Cantik itu apa? Nama makanan? Matanya membulat lagi. Kali ini karena euphoria kesenangan. Berikan padaku… makanannya! Anak kucing itu menyurukkan kepalanya ke tangan pria bernama Reita tersebut dengan senang.

Reita tersenyum. “Ayo kemari anak manis…” ia mengangkat anak kucing tersebut dan mengalaskannya dengan handuk tebal.

Ia membawa anak kucing itu turun menuju laboratoriumnya di basement yang cukup luas dan bersih. Meski begitu sang anak kucing masih dapat mencium keberadaan makhluk lain yang tak lain adalah binatang percobaan pria asing ini.

Mereka siapa? Anak kucing tersebut mengeong pelan sembari menengadah menatap sang pria yang tak menjawab.

Aneh.

Karena biasanya jika ia bertanya maka akan dijawab. Oleh dedaunan yang bergemerisik, oleh kupu-kupu yang berkejaran, oleh anjing tua yang matanya sudah rabun, oleh kucing-kucing besar dalam lautan makanan dalam tempat sampah, bahkan oleh makhluk menyerupai manusia yang tembus pandang.

Berjalan ke arah kotak penyimpanannya, sang pria mengambil serum dalam tabung. Dibukanya plat pengunci tersebut dan diambil tabungnya perlahan-lahan. Diambilnya jarum suntik dan diisinya dengan cairan serum tersebut hingga penuh.

Mana makanannya? Anak kucing tersebut menengadah menatap Reita yang berbau lumpur bercampur mint yang aneh. Itu? Kupingnya bergerak sedikit saat Reita mengusap kaki belakangnya dengan alcohol yang dingin dan mendekatkan jarumnya ke kaki belakangnya.

“Tahan ya… ini akan sedikit sakit…” dan jarum itu menancap dalam sampai menuju pembuluh darah utama.

Anak kucing itu mengeong kesakitan.

Sakit! Sakit!!! Ia menggelinjang. Menendangi dan mencakari tangan Reita.

Namun pria itu tak berhenti. Tanpa banyak bicara ia menginjeksikan seluruh cairan berwarna kuning pucat tersebut sampai ke tubuh sang anak kucing. Masuk melalui pembuluh vena cava menuju jantung. Dari sana serum bekerja, menjalar keluar jantung melalui arteri ke seluruh tubuh. Meresapkan serumnya dengan sempurna.

Pria itu akhirnya mencabut jarumnya, dan sang anak kucing terkulai lemas. Ia menutup matanya dan bernapas begitu cepat sampai akhirnya jatuh tertidur karena kelelahan.

“Tidurlah kucing kecil… kita lihat bagaimana perubahanmu besok.” Dia mengusap perlahan kepala anak kucing tersebut dan membawanya ke luar laboratorium. Meletakkannya di atas sebuah ranjang besar yang jarang ia tiduri.

Ranjangnya dan Misaki saat dulu.


To be continued…

2 komentar:

  1. Kereennn!! *.*
    Sachi,, cepet dilanjut yhaa,,

    Saiia tebak,,
    ntar kucing'a ntu Ruki yaakk..
    *digeplakcozsoktw*

    BalasHapus
  2. wah.. keren nih.... lanjut yaaa... ^^b

    BalasHapus