Sabtu, 30 Juli 2011

The[real]Engaged (Chapter 9/?)

Starring: ScReW, the GazettE, Sugizo (soloist), Yoshiki (X-Japan)
Author: xellonich a.k.a Suzuki Sachino
Pairing: Byou x Ruki, Reita x Ruki, Manabu x Kai / Kai x Manabu (?), Reita x OFC, (?) x OFC
Rating: PG – 15
Genre: drama, romance, angst?
Warning: MxM, kiss?
Disclaimer: I’m only owned the story; they belong to whatever Gods up! (_   _ )a
Music: 12012 – Boku no Kara Kara
           



X’s POV

“Erina, berapa usianya?” Aku melihat orang itu bertanya. Nada yang congkak yang sebenarnya sangat tidak aku sukai, terlebih ia mengucapkan itu kepada orang yang kucintai.

“Delapan belas tahun.” Gadisku yang sangat aku cintai menjawab sekenanya. Aku tahu, karena jika hanya padakulah dia mau bermanja.

Dia menghela nafas, seolah berbicara pada gadisku itu hanyalah hal sia-sia. “Bukan itu, tapi yang satu itu.” Aku mengernyitkan dahi mendengar perkataannya. Maksudnya apa?

Aku membenarkan posisi dudukku sehingga suaranya bisa lebih jelas ku dengar.

“Mungkin sekitar…” Apa? Apa?!

Aku tak dapat mendengar apapun berkat suara berisik dari seorang nenek yang mengomel kepada pelayan. Dasar sial. Aku tidak mengerti inti permasalahan yang mereka bicarakan. Aku masih tidak bisa menangkap apa yang pemuda brengsek itu maksudkan kepada gadisku.

Pemuda itu menghela nafas lagi.

Aku benci melihatnya seperti itu. Mungkin dia pikir dirinya sangat tampan dan mempesona hingga setiap gadis mau bersamanya. Hingga setiap gadis mau memohon dan mengemis-ngemis hanya untuk menjadi kekasihnya? Atau pajangannya? Atau mainannya?

Tapi ternyata meski aku berusaha menepis. Dia sudah berhasil merebut gadis yang sangat aku cintai selama ini, dia telah lancang memilikinya, telah lancang menyakitinya.

“Oh… tapi kenapa tidak terlihat?” dia bertanya dengan nada angkuh itu, sesuatu yang paling aku benci. Termasuk ketika di sekolah, ia berlagak seperti bintang dan sombong akan perlakuan para siswi dan guru kepadanya.

Dia menyebalkan.

Aku segera membayar minumanku dan pergi dari situ secepatnya.

Erina, sayangku… cincin ini masih milikmu.

~†~†~†~

Sugizo membungkuk di depan pria bermantel hitam, menyambut kedatangan pria itu dalam diam. Mereka berdua berjalan menuju ruangan yang memang sudah direservasi untuk pertemuan mereka di restoran tradisional tersebut.

“Selamat datang tuan,” sapa pria itu meski mata hijaunya tak menunjukkan ekspresi yang berarti.

Pria itu hanya mengangguk. “Terimakasih Sugizo, kau masih mau menemuiku.”

“Ya tuan, apakah ada yang bisa saya bantu?” Tanya Sugizo sopan, teramat sopan malah sementara dua orang pelayan berkimono membawakan nampan besar berisi makanan dan sake yang mereka pesan kemudian menatanya di meja.

“Ya tentu saja aku sengaja memanggilmu karena butuh bantuan.” Pria itu menuruh para pelayan pergi. Serentak mereka berdua membungkuk dalam dan menutup pintu gesernya hati-hati.

“Saya tahu tuan, namun bantuan dalam bentuk apa yang Anda butuhkan?”

Pria itu menarik napas. “Seperti yang kau tahu,” ia memegang cawannya yang sekarang berisi sake yang dituang Sugizo. “Bahwa wanita yang kurang waras itu sepertinya punya rencana lain untuk perusahaanku.” Ia meneguk sakenya yang hangat.

“Dan ia mempersulit keadaan dengan melakukan hal yang tak perlu,” lanjutnya. “Ah silakan diminum dulu,” ia mempersilakan Sugizo yang menghabiskan sakenya dalam sekali teguk.

“Wanita itu menjebakku hingga sekarang perusahaanku tergantung perusahaannya dan ia seolah ingin mempermainkanku lebih jauh dengan menggunakan bidakku yang paling penting.” Pria itu menggertakkan giginya. “Ia menyuruh anakku bertunangan dengan anaknya yang jelas-jelas lelaki, entah apa yang ada di pikiran wanita licik itu. Rasanya tak habis rasa kesalku jika harus diungkapkan kata-kata. Wanita itu terlalu kurang ajar!”

Sugizo memandang pria itu dengan tatapan yang berbeda. “Maaf tuan, namun nyonya Matsumoto tidak seperti yang Anda katakan,” selanya.

Pria itu menyipitkan mata, “Tahu apa kau?!” bentaknya. “Kau tidak tahu dia siapa! Dia dalang dibalik semuanya, dan yang memegang semuanya dan mengancamku, tidak, mengancam semuanya sampai keluarga Hayase pun ada di genggamannya, semuanya! Dia yang berkuasa dan dia seenaknya bertingkah seperti orang tidak waras!” pria itu menarik napas.

“Yang aku inginkan hanya ketenangan, juga untuk anakku.”

Hening, pria itu menyorongkan cawannya. “Aku harus minum untuk menenangkan diri.”

Sugizo mengangguk dan menuangkan sakenya.

“Maka dari itu aku mohon Sugizo, aku hanya minta kau menyingkirkan anaknya supaya jauh dari anakku. Supaya anakku tidak terkontaminasi dan dijadikan bonekanya.” Tangan Yoshiki masuk mengambil sebuah botol kecil dari dalam kantung dalam jasnya kemudian mengangsurkannya pada Sugizo.

Mata hijau pria tampan tersebut meredup sekilas saat menerima botol dan menciumi bau almond yang pekat. “Saya mengerti tuan,” jawabnya sembari mengangguk patuh.

Pria itu memijat dahinya sendiri. “Aku harap kau bisa melakukannya dengan baik, kau satu-satunya harapanku, jadi kerjakan dengan baik ya.”

Sugizo tersenyum tak tertebak, “Akan saya kerjakan sebaik dan serapi mungkin, tuan Yoshiki.”


Ruki, pemuda bertubuh kecil itu berjalan keluar dari bangunan gedung sekolahnya sendirian. Tentu saja, mana mungkin ia punya teman jika setiap orang yang berusaha berteman dengannya malah ia acuhkan dan dianggap angin lalu. Kebanyakan teman-temannya yang bergerombol akhirnya jarang menyapanya lagi.

Sejak kapan mereka itu temannya? Mereka hanya kenalan, orang yang tak sengaja Ruki kenal dan bersama-sama melanjutkan pendidikan di sekolah yang sama. Apa pedulinya? Mereka semua sama saja. Nanti jika semuanya berpencar untuk masuk universitas, mereka pasti juga akan lupa dengannya.

Ruki memutuskan tak menunggu jemputannya, tak menunggu supir ataupun ‘ayahnya’ itu menjemputnya. Ia hanya berjalan, menyusuri jalanan yang agak sepi karena memang letak sekolahnya yang dimaksimalkan untuk tak terlalu ramai akan aktivitas kota.

Ia menghela nafas panjang selagi berjalan tak tentu arah. Yang ia inginkan hanyalah ketenangan dan bukannya dimanjakan oleh kekayaan untuk nantinya dimanfaatkan keluarganya sendiri. Dijadikan boneka yang berguna untuk memperalat orang lain.

Tiba-tiba SUV hitam berdecit di sampingnya.

Ruki tak menghiraukannya dan tetap berjalan di bawah rindangnya pohon yang memasuki awal musim semi. Ia bisa mendengar pintu mobil dibuka lalu ditutup kembali dengan cepat kemudian disusul suara langkah kaki.

“Taka!” Sugizo menarik pundak Ruki.

Pemuda itu berhenti dan menengadah sedikit menatap Sugizo yang tampak khawatir. “Aku mencarimu ke sekolah dan ternyata kau ada di sini, kau tidak apa-apa?”

“Apa urusanmu?” Ruki mendengus.

Pria itu berdecak, “ikut aku,” ia menarik tangan Ruki tapi anak itu tak kunjung bergerak.

“Aku tidak mau.” Sugizo berdecak kesal, ia menarik Ruki lebih kasar.

“Hei lepas!”

Tapi Sugizo mengeluarkan saputangannya dan membekap Ruki sampai anak itu ambruk ke pelukannya. “Maaf sayang…” ia menggendong pemuda itu masuk ke mobilnya. Melajukannya ke tempat yang hanya bisa diketahui olehnya

~†~†~†~

Kai baru saja ingin berbelok di ujung koridor berlapis wallpaper coklat muda sembari membawa tasnya yang penuh akan buku dan bahan tugasnya. Ketika ia selesai menjejalkan sisa alat tulis dan dompetnya, seseorang menabraknya. “Hei!”

Orang yang menabraknya menengadah lalu mundur. “Ma…maafkan saya hanya saja…”

Mata Kai melebar. Mata coklat hazel yang terlihat kosong, kulit yang pucat, rambut pirang panjang, badan yang kecil… “Anda… Matsumoto-san?!” serunya kaget. Dilihat dari dekat ternyata ia lebih kecil dari yang ku duga, ujarnya dalam hati.

Mata Ruki langsung menyipit heran. “Anda kenal saya?”

Kai mengangguk setengah bingung.

“Bagus! Kalau begitu Anda bisa beritahu ke mana jalan keluarnya??!” cerocosnya setengah memaksa. Hampir-hampir mengguncang bahu Kai dengan kasar.

Kai tergeragap, “Ma-Matsumoto-san! He-hentikan saya su-sulit ber-nafas!”

Ruki segera melepas cengkramannya di bahu Kai. “Ah maaf, saya tidak sengaja… saya hanya sedikit panik.” Ia membungkuk memberi hormat dengan kaku.

Kai menarik nafas, “Iya, saya mengerti… sedikit panik, tentu saja.” Ucapnya sedikit menyindir.

Pemuda itu menatap Kai, kali ini matanya tidak kosong melainkan tajam dan hampir membuat bulu kuduk Kai meremang. Mengingat betapa pucatnya dia dan kaus putih kebesaran yang dipakaikan ke tubuhnya seolah membuatnya transparan. Seperti roh penasaran yang mendendam.

“Tunjukan di mana jalan keluarnya.” Suara dingin Ruki mengelukan lidah Kai seketika. Wajahnya sepucat kaus yang ia kenakan, bibirnya sewarna salem yang terkelupas dan bahkan Kai sedikit menunduk untuk menyadari bahwa kakinya masih menapak tanah. Hei, dia juga menabraknya bukan, berarti dia padat?

“Tunjukan jalannya!” Ruki berteriak dengan nada penuh perintah.

Kai mengernyitkan dahinya. Betapa buruknya etika tuan muda ini. Apakah dia tidak diajari sopan santun belakangan ini?

Sebelum pria itu sempat berbicara, sosok anak didiknya muncul di ujung koridor. Tepat menuju Ruki yang masih menatapnya seakan ingin membunuhnya dengan tatapan membunuh yang bisa berubah menjadi pisau tajam. Kai berusaha tersenyum baik, “Matsumoto-san, apakah guru etika Anda tidak mengajari Anda cara bertanya dengan sopan?”

Pemuda itu menggertakan giginya. Tapi tiba-tiba ia menutup mulutnya, terbatuk-batuk hebat sementara tubuhnya terhuyung.

Melihat itu Kai menjadi bingung, “Matsumoto-san!” ia kerepotan membawa barang-barangnya dan bingung harus bertindak apa.

Sementara itu Byou berlari dan menangkap tubuh tunangannya yang lunglai dan lemas. “Takanori!” tapi tubuh Ruki bergetar semakin hebat, ia mendorong Byou. Dengan cekatan Kai menangkap tubuhnya dan memeganginya yang terbatuk semakin keras.

“Ta-Taka… Taka kau kenapa??!” Byou bertanya, wajahnya semakin pucat melihat Ruki mencengkram perutnya sendiri dengan wajah menyeramkan.

“Ka-kamar mandi!” Ruki tersengal.

Tanpa perlu perintah kedua kali, Byou segera mengangkat tubuh kecil Ruki dan membawanya ke toilet terdekat. Di sana Ruki segera membuka penutup closet-nya dan memuntahkan semua isi perutnya. Peluh membanjiri figurnya yang ringkih.

~†~†~†~

Reita menunduk mengikat tali sepatunya sementara Manabu sibuk beraktrasi di depan siswi-siswi dengan sepatu rodanya di atas bangku-bangku taman. Hah dasar pamer!

“Hoi,” sesosok bayangan berada tepat di atasnya.

Reita menengadah. Menatap wajah Aoi yang tampak tidak bersahabat. “Oh hei,” Reita berdiri dan menepuk bisep Aoi main-main.

Tapi nampaknya Aoi tidak bereaksi sebagaimana yang ia perkirakan. Pemuda yang sudah memotong rambutnya sendiri dan mengecatnya menjadi silver itu terlihat sinis. Ia memandang Reita dengan tatapan menyeramkan.

Sebaliknya, pemuda berambut pirang itu hanya menatapnya dengan santai. Terlihat tenang meskipun dalam hati ia bertanya kenapa temannya ini memandanginya secra instens dalam aura dendam yang pekat.

“Kau…” nada suaranya dalam dan gelap, “pengecut!”

BUAGH.

Manabu yang sedari tadi sibuk menebar feromon kepada para siswi yang terpesona olehnya langsung berhenti. Para siswi terdiam beberapa milisekon dan yang mereka lakukan selanjutnya adalah berteriak, memekik dengan nyaring.

“KYAAAA!!!” dan mereka berhamburan ketakutan menjauhi tempat tersebut sementara para siswa malah berdatangan. Mendekati kedua orang yang berada di pinggir lapangan sepak bola itu dengan bertanya-tanya.

Reita yang terkejut mengusap darah di ujung bibirnya. “Ap-”

BUAGH!

Aoi menyarangkan pukulannya lagi, kali ini ke arah perut Reita. Menyebabkan pemuda itu membungkuk sebentar. “Kau munafik Rei!” pemuda yang sekarang berambut silver itu menyiapkan tinjunya. Tapi ia kalah cepat dengan Reita, belum sempat ia menyerang, tinju Reita mengenai wajahnya dengan telak.

BRUGH.

Aoi terpelanting dan mendarat dengan kasar di batu-batu. Reita menatapnya dengan bingung. “Kau kenapa sih?!” tanyanya setengah membentak. Tentu saja dia menjadi naik pitam, salah apa yang ia perbuat sampai ia dipukuli tanpa alasan yang jelas?

Manabu menghampiri mereka. “Apa-apaan kalian?” sementara para siswa sudah mengerubungi mereka, menonton dengan santai.

Pemuda berambut silver tersebut berdiri tegak kembali dan siap menerjang Reita. Namun Reita sekali lagi lebih cepat, mengelak mundur dan menyebabkan Aoi terhuyung dengan emosi makin meluap.

“Reita, Aoi hentikan!” teriak Manabu menengahi, ia hampir memukul wajah Aoi lagi jika Aoi terus merangsek maju seperti babi hutan yang mengamuk. “Kalian kenapa? Rasanya tadi baik-baik saja!” Ia berdiri di tengah, memalang Aoi dan Reita dengan tubuhnya dan kakinya yang beralas sepatu roda, menyebabkan tingginya setara dengan kedua temannya.

Reita mendengus. “Tanya saja dia,” ia memasang wajah jijik kepada Aoi.

Seperti Reita, Aoi juga memasang mimik jijik, “Cih! Dasar kau pengecut!” cecarnya dengan nada menghina di tiap suku kata.

“Apa katamu?!” Reita maju lagi, bersiap memukul Aoi, kali ini tepat di tengah wajahnya yang tengil.

“SUDAH!” seru Manabu seraya mendorong mereka berdua menjauh. “Kalian berdua ini bertengkar seperti anak kecil!”

“Hei Manabu, aku tidak bersalah ya. Dia yang mulai duluan, dia yang memukul-”

“Reita sudah diam!” Manabu berseru lagi. “Kalian berdua, harus menyelesaikan hal ini dengan kepala dingin, bukan seperti sekarang,” jelas Manabu. “Cuci muka kalian, masih ada dua kelas lagi yang harus kita hadiri.”

Manabu berdecak dan meninggalkan mereka berdua dengan ayunan yang anggun untuk melajukan sepatu rodanya menuju koridor sekolah. Sementara itu kedua pemuda tersebut melempar pandangan aneh dan pergi tanpa berkata apa-apa. Kerumunan para siswa hanya berdecak tak puas.

~†~†~†~

“Arashi…?” pria yang sedari tadi terdiam itu menoleh, mendapati istrinya menatapnya khawatir.

“Ya Satsuki?”

Wanita yang dipanggil Satsuki itu menghela nafas. “Arashi aku takut, aku takut melihatnya tumbuh seperti itu.”

Wajah Arashi mengeras. “Jangan bersikap lembek kepada anak keras kepala itu. Anak itu harus mengerti kerasnya dunia.” Ia membenarkan letak tangannya di atas tongkat hitam berujung logam.

“Ta-tapi… aku khawatir. Aku sangat khawatir melihat ia tersiksa, melihat ia menjadi berandalan,” gemetar suara Satsuki ditampik pria bernama Arashi itu dengan desisan tak sabar.

“Kau, apa pun yang terjadi, anak itu harus tetap pada tempatnya sekarang.” Jelas Arashi lurus-lurus sementara supir mereka melewati sebuah container dengan gerakan yang apik dan luwes sebelum hampir saja menabrak sebuah Harley hingga akhirnya berjalan mulus mendapati lampu hijau menyala.

“Arashi…” Satsuki menarik nafas. “Apakah Haruna…” wanita itu memandangi kerutan samar di dekat mata suaminya, “jadi dia alasanmu?”

Pria itu menghela nafas berat. “Tunggu saja sayang, tunggu saja…” ia menoleh pada istrinya dan tersenyum menenangkan. “Mana mungkin aku membiarkan pemuda tengil berotak cemerlang yang akan menjadi pewarisku itu tersia-sia?”

Satsuki menatap pria itu setengah tidak percaya. “A-Arashi… benarkah itu?” ia mencoba menelan tangisnya.

Senyum lembut di wajah pria itu semakin nyata. “Nanti jika semuanya sudah siap, kita akan jemput Akira,” dan meledaklah tangisan bahagia Satsuki di dalam mobil itu. “Sshh… tunggu sampai ia lulus sayang, sabarlah…” Arashi mengusap punggung Satsuki dengan lembut sementara istrinya menjatuhkan air mata begitu deras.



To be continue...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar