Sabtu, 24 Desember 2011

Fanfic: How much does it cost? (Merry Christmas, dude!)

Title: How much does it cost?
Chapter: 1/2  (Merry Christmas, dude!)
Starring: the GazettE, Dir n Grey
Author: xellonich a.k.a Suzuki Sachino
Pairing: Kyo x Ruki
Rating: NC
Genre: drama, angst
Warning: mentioned rape, Bahasa.
Disclaimer: I’m only owned the story; they belong to whatever Gods up! (_   _ )a


Salju. Turun perlahan bagaikan kapas putih yang dingin. Meski di dalam ensiklopedi dan buku cerita, ia digambarkan dengan bentuk heksagonal yang cantik dengan detail yang rumit dan berwarna cemerlang, namun pada kenyataannya ia hanyalah butiran es yang menggumpal dan jatuh dengan rasa dingin yang membuatmu kebas. Membuatmu kedinginan dan mati rasa.

Takanori menghembuskan nafasnya yang kini terlihat seperti asap putih di udara. Ia merapatkan syal hitam yang usang di lehernya sembari mengepalkan tangannya yang berbalut sarung tangan hitam yang menipis. Takanori menyesuaikan diri dengan dingin yang tak kunjung hilang. Dengan tubuhnya yang seperti membeku karena dinginnya udara dan nasibnya.

Tak sengaja ia melihat seorang pria menggendong anak lelakinya di pundak dan istrinya di sebelahnya sedang berjalan sembari membawa kantung belanjaan mereka yang penuh untuk persiapan Natal besok. Mereka bertiga terlihat seperti keluarga kecil yang bahagia yang bisa kau temukan dalam buku pelajaran sebagai keluarga inti yang berbahagia karena memiliki anak yang sehat atau mungkin dalam koran-koran atau majalah keluarga. Yang anehnya selalu memasang senyum lebar mereka sembari saling berpelukan, hal yang tidak pernah lagi Takanori rasakan sejak ibunya meninggal karena kecelakaan pesawat. Sampai sekarang ia tidak bisa lagi mengerti apa arti kebahagiaan sesungguhnya.

Sesekali ia melirik ponselnya yang memantulkan bayangan wajahnya dalam balutan make up, terutama eyeliner tebal dan smokey eyeshadow yang membingkai mata birunya.

12.50 PM.

Seharusnya pria itu sudah datang menemuinya, tapi sampai sekarang batang hidungnya pun tidak terlihat. Takanori mendesah, mantelnya yang kebesaran membuat agak susah berjalan dan kini telah dibasahi oleh salju, membuatnya semakin berat. Kalau saja ia tidak ada ‘janji’ dengan tiga orang pelanggannya, ia tidak akan sudi keluar dari kamar kecilnya yang hangat. Meski dengan bayang ketakutan jika sewaktu-waktu ayahnya mendobrak masuk dan memaksanya seperti yang sudah-sudah.

“Hai,” sebuah sentuhan di bahunya membuat Takanori menoleh, takut jika seorang teman sekolah atau mungkin gurunya memergokinya.  Sebuah senyum tersungging di bibirnya saat melihat pria itu. “Maaf aku terlambat,” Ogata Hiroshi – nama pelanggannya itu – menyatukan bibirnya dengan bibir merah milik Takanori.

Sesaat kemudian Takanori mendorongnya pelan. “Di sini tempat umum,” ia berbisik membuat Hiroshi tersenyum, senyum yang lebih tepat diartikan sebagai senyum menginginkan sesuatu daripada rasa perhatian.

“Baiklah… kau mau ke hotel yang mana?” ia menggandeng tangan pemuda yang lebih pantas menjadi anaknya itu ke sebuah jalan yang dipenuhi deretan love hotel dan bar.

Takanori tersenyum manis, terlalu manis sampai ia merasa ngilu. “Terserah saja,” dan Hiroshi mengajaknya masuk ke sebuah love hotel terdekat.


Takanori mengerang selagi Hiroshi menciumi setiap mili tubuhnya dengan bernafsu. Ia menahan kedua tangan Takanori di atas kepalanya selagi ia sibuk dengan tubuh kecilnya yang sepucat susu. Takanori mendesah, merintih saat Hiroshi melakukan permainan yang lebih kasar dan membuat bulu kuduknya merinding. Hiroshi tidak mau berhenti, tidak akan, meskipun anak itu telah merintih, hampir menjerit dan menangis. Itu malah memicunya untuk berbuat lebih liar dan kasar terhadap Takanori.

Takanori menyeka air matanya dengan selimut yang membalut tubuhnya. Ia mengatur nafasnya seraya melihat Hiroshi memakai kembali pakaiannya. Senyum terpeta jelas di wajah pria itu. “Hari ini aku sangat puas denganmu,” ia membungkuk dan mencium bibir Takanori yang semakin merah, “aku akan membayarmu lebih.” Anak itu tersenyum lemah.

“Terima kasih banyak Hiroshi.” Ia menerima beberapa lembar puluhan ribu yen dan menggenggamnya erat-erat.

“Kembali, Ru-chan.” Hiroshi mengangkat dagu Takanori dan menggigit bibirnya pelan sementara anak itu melingkarkan lengannya ke leher Hiroshi. Menempelkan tubuhnya yang telanjang ke kemeja dan jas mahal yang dipakai Hiroshi.

Ruki, nama buatan yang selalu ia pakai ketika mengenalkan diri kepada calon pelanggannya seakan telah menjadi topeng untuk menutupi identitasnya yang paling berharga. Karena hanya itulah yang tersisa dari harga dirinya yang telah diinjak-injak, tercemar dan tak akan pernah bisa bersih kembali. Baik Ruki maupun Takanori keduanya sama saja, sama-sama tak dihargai kecuali dengan uang. Tak pernah bisa mengerti arti kasih sayang yang tulus seutuhnya dan tak bisa lagi mendalami arti bahagia. Karena baik kasih sayang maupun kebahagiaannya telah direnggut sejak lama. Sejak pertama kali harga dirinya dilecehkan.

Takanori bangun, rasa nyeri sekilas merayapi punggungnya namun ia abaikan. Ia masuk ke dalam kamar mandi dan membasuh wajah serta tubuhnya dengan air hangat, mencoba menghilangkan rasa jijik terhadap dirinya sendiri. Lagi pula ia masih harus melayani dua orang lagi, maka ia harus segera membereskan penampilannya yang sekarang sangat berantakan.

Waterproof eyeliner-nya sedikit hilang di bagian ujung-ujung matanya dan tubuhnya basah. Campuran antara keringat dan sperma yang ditinggalkan Hiroshi. Ia memasukkan dirinya ke dalam air hangat bercampur wangi sabun vanilla yang dibelinya. Entah mengapa ia jadi mengingat orang yang menolongnya. Meski wajah orang itu menyeramkan, terkesan dingin dan tak bersahabat tapi ia memperlakukan dirinya dengan sopan, dengan baik dan penuh perhatian. Ia menghela nafas kemudian menggeleng merasa tak pantas.

Setelah satu jam membersihkan diri dan memperbaiki make up-nya, ia keluar lagi ke jalan yang dingin, sedikit merindukan kamar hotel yang hangat sembari mencari keberadaan pelanggan keduanya.

~†~†~†~

Pemuda itu membeku di tempat duduknya. Wajahnya pucat pasi. Seharian ini tubuhnya lelah harus membereskan rumah dan ‘bekerja’ meski pekerjaannya belum berakhir. Tapi kini matanya disuguhi pemandangan menjijikan yang membuat perutnya bergolak dan matanya berair merasakan lambungnya menjadi perih seketika.

Dipisahkan oleh beberapa meja di depan, Takanori harus menahan keinginan untuk muntah saat melihatnya. Ia menunduk, berusaha tidak menghiraukan suara Aoi yang terdengar manja dan memuakkan berikut suara Reita yang terdengar begitu lembut dan dalam. Suara yang sama yang membuatnya harus merasakan pengkhianatan yang begitu sakit.

Ia mencoba menghirup udara yang terasa lengket dan berat di dalam café bernuansa Natal itu, seakan tenggorokannya disumbat aspal yang menggelegak. Takanori berusaha berdiri dengan tergesa-gesa, mencari jalan menuju toilet terdekat untuk memuntahkan seluruh isi perutnya yang tak lebih dari nasi dan sup miso tanpa isi yang ia makan pagi tadi.

Sungguh, Takanori tidak akan pernah bisa menahan keinginan untuk muntah setiap kali ia melihat Reita dan Aoi bersama di depannya. Mengingat tiap detik paling menyakitkan dan membuatnya jijik saat ia diikat oleh Reita, orang yang pernah disebutnya sebagai kekasih di ambang jendela apartment. Dipaksa menyaksikan orang yang kau cintai berhubungan intim dengan orang lain tentu akan membuatmu mual, bukan hanya itu, kau pasti akan depresi, menjadi semakin benci terhadapnya dan lama kelamaan kau tidak akan merasakan apa-apa lagi terhadap orang yang pernah kau cintai itu kecuali perasaan dendam yang begitu besar.

Takanori memegangi sisi washtafel, tertunduk lemah setelah mencuci mulutnya dengan obat kumur yang selalu ia bawa di saku celananya. Ia berusaha menahan air mata yang bergulir pelan di pipinya yang sempurna walau perlahan air mata yang berikutnya jatuh lebih cepat dan deras.

“Matsumoto?”

Takanori tersentak, ia mengangkat wajahnya dan menatap cermin. Di belakangnya berdiri seorang pria berambut pirang kotor yang mengenakan pakaian serba hitam dengan wajah yang sangat dikenalnya. Kyo.

~†~†~†~

Takanori duduk dengan tidak nyaman, membelakangi Reita dan Aoi yang terpaut lima meja dengannya. “Jadi kenapa kau sendirian di sini?” Kyo membuka pembicaraan.

Ia menghembuskan nafas. “Aku tidak sendiri, aku ada janji dengan temanku,” dustanya.

“Oh. Kau tidak seperti orang yang punya banyak teman,” komentar Kyo selagi mengaduk espresso-nya.

Takaori menyipitkan matanya, “Kau orang yang sok tahu.” Tapi tatapan Kyo yang menusuk membungkamnya. Tatapannya begitu dalam, begitu mengintimidasi seakan kau adalah pencuri yang akan dihukum mati, mata yang menyiratkan aura pembunuh.

“Kau lemah.”

“Apa?!” ia membelalakkan matanya, menaikkan intonasi suaranya secara tak sengaja.

“Sudah dua kali kita bertemu dan kau selalu menangis.”

“Kita hanya bertemu di saat yang tidak tepat,” tukasnya.

“Kau mengelak.”

“Apa urusanmu?” tanyanya sengit.

“Berarti kau lemah,” ujarnya santai.

Takanori tiba-tiba berdiri sementara ekspresi wajah Kyo tak berubah. “Kau tidak tahu apa-apa!” serunya dalam nada rendah yang mencemooh kemudian berbalik.

“Ruki?” Takanori terkesiap. Itu suara yang sangat dikenalnya.

“Astaga, kau masih menjual diri?” ejek suara lain dengan nada dramatis yang dibuat-buat.

Sekali lagi Takanori membeku.

“Hah, kau masih sama bodohnya ya,” tawa Reita terdengar sangat menyakitkan diiringi derai tawa Aoi yang menjijikan.

Kyo hanya menatap mereka bertiga dalam diam. Meneguk espresso-nya dan melihat perubahan di wajah Takanori. Wajah anak itu berubah dari ketus menjadi hampa kemudian menjadi memerah menahan marah. Kyo tak berkomentar, apalagi membela Takanori, ia hanya duduk dan menyaksikan sebagai seorang penonton yang tidak ambil bagian dalam pertunjukan drama kacangan.

“A…aku,” belum sempat Takanori menjawab, sebuah pukulan mendarat di wajahnya. Tubuhnya terpelanting dan menabrak kursi yang tadi ia duduki.

Reita menatapnyaa dengan wajah menghinanya. “Maaf, tanganku gatal ingin memukul wajahmu yang sok polos.” Ia mendengus dan Aoi terkikik, “Ayo kita pergi.”

Kyo berdecak pada espresso yang tumpah di meja dan pada burger yang terlempar ke lantai. “Tunggu.”

Reita menoleh dan sebuah tinju mendarat di pipinya diikuti teriakan Aoi dan pengunjung yang lain. Aneh, kenapa saat Takanori yang diperlakukan begitu mereka terlihat biasa saja?

“Itu karena kau telah menumpahkan minumanku.” Sebuah tinju bersarang di perut Reita. “Dan itu karena kau telah bertingkah menyebalkan.” Kemudian ia meletakkan uang dimeja dan menarik Takanori keluar dari café tersebut meninggalkan Aoi yang berteriak panik mencoba menolong Reita berdiri.

Kyo menyeret Takanori menjauhi café tersebut sampai akhirnya anak itu berontak dan melepaskan diri. “Kau sudah gila ya?” bentaknya pada Kyo.

“Apa?” pria itu duduk di sebuah bangku taman.

“Kau memukulnya!”

“Dia memukulmu lebih dulu.”

“Tapi–”

“Matsumoto, sudahlah mau hanya berusaha menolongmu.”

Takanori mengatupkan mulutnya dan menatap Kyo setengah tidak percaya. “Kau mau menolongku?”

Kyo menyalakan rokoknya. “Menurutmu?”

Rona merah merambati pipi Takanori. “Te-terima kasih Kyo.”

Pria itu tersenyum. Kemudian menghembuskan asap rokok di udara yang dingin. “Matsumoto, apa kata mereka itu benar?”

“A-apa?” Takanori masih berusaha bersikap galak untuk menyembunyikan rona merah di pipi yang sialnya tidak kunjung hilang.

“Kau menjual diri?”

Takanori mengangguk lemah.

“Tadi yang kau bilang teman itu, maksudmu orang yang mau memakaimu?”

Sedikit berjengit akan pemakaian kosa kata yang kasar itu Takanori mengangguk lagi. “Aku melakukannya untuk mencari makan, bukan berarti aku senang melakukan pekerjaan kotor ini.”

Kyo mengangkat kakinya dan duduk bersila. “Kalau aku membayarmu kau mau libur untuk sementara waktu?”

Takanori membulatkan matanya. “Tapi–”

“Aku tidak akan memakaimu sampai kau siap,” lagi-lagi Takanori berjengit, “aku hanya iseng.” Katanya sembari menyalakan puntung rokok kedua.

Anak itu menunduk dalam, berusaha menahan air mata yang siap jatuh. Heran, akhir-akhir ini ia jadi mudah menangis. “Te-terima kasih,” ia tersedak isakannya sendiri.

“Yah kau juga perlu libur.” Kyo mengusap rambut Takanori dengan lembut.

Jam di taman berdentang keras membunyikan lonceng kedua belas.

“Ah, selamat natal, Matsumoto.” Kyo menghisap rokoknya dalam dan membuat kabut tipis di sekitar mereka. Takanori tersenyum. Baru kali ini ia merasa hangat di tengah salju yang turun.

1 komentar:

  1. kasian rukinya T.T
    perasaan jadi sebel ma karakter Reita n Aoi disini ....

    BalasHapus