Sabtu, 24 Desember 2011

Fanfic: How much does it cost? (Get the Fuck off)

 Title: How much does it cost? | oneshot
Chapter: 0.25 (Get the Fuck off)
Starring: the GazettE, Dir n Grey
Author: xellonich a.k.a Suzuki Sachino
Pairing: ?
Rating: PG
Genre: drama, angst
Warning: mentioned rape, Bahasa.
Disclaimer: I’m only owned the story; they belong to whatever Gods up! (_   _ )a


 
Bukan keinginan Kyo untuk berjalan di taman sendirian seperti ini, tentu saja. Memangnya siapa orang kurang kerjaan yang mau berjalan malam-malam begini ke sebuah taman yang hanya diterangi cahaya temaram lampu jalanan sementara banyak lampu tamannya yang mati? Ia hanya ingin mencari udara sejuk untuk mengatasi suntuknya.

Duduk di salah satu bangku, ia menyulut api untuk rokok yang dihisapnya dengan nikmat. Matanya terpejam menikmati tiap hisapannya akan nikotin yang mengisi setiap nanomili alveolusnya. Kyo menyandarkan punggungnya ke bangku yang basah sehabis badai salju yang baru berhenti sepuluh menit lalu. Dalam pikirannya berucap bahwa saat paling menyenangkan adalah merokok sehabis hujan, racun dari nikotin lebih mudah diserap oleh pembuluh darah di alveolusnya yang telah tercemar.

Dihembuskannya asap yang terpelintir angin malam mengantarnya entah ke mana. Sama seperti pikirannya yang melayang entah ke mana.

Memangnya belum cukupkah apartment mewah, karir yang cemerlang dan kekayaan yang melimpah itu? Agaknya semuanya itu tidak cukup. Tidak ada yang mengerti bahwa karirnya yang cemerlang dalam dunia musik dan apartment mewahnya dan kekayaannya dan semuanya itu tidak bisa membuat ia bahagia. Mungkin pada awalnya memang ia berbahagia, tapi itu cuma sekejap. Setelah ia melewati akhir pekan dengan perempuan yang berbeda-beda dengan tempat yang berbeda-beda pula membuatnya menjadi semakin jenuh dan muak. Entah Mayumi, entah Satomi, entah Maiko dan siapa pun itu. Perempuan itu sama saja, hanya memanfaatkan harta kekayaannya, mereka hanya melihat apa yang ia miliki dan memang ia akui salahnya sendirilah yang telah berusaha membeli mereka – para perempuan jalang itu – dengan uang yang ia miliki.

Sebuah isakan terdengar membuyarkan konsentrasinya memikirkan hidupnya yang terasa kosong dan memuakkan. Ia menajamkan pendengarannya, mendengarkan suara isakan itu sebentar-sebentar terceguk-ceguk dan sebentar-sebentar seperti erangan yang tertahan. Ia tetap tak mau membuka mata, jika manusia, ia tidak mau peduli, tapi jika itu makhluk yang tak kasat mata, mau tak mau ia harus angkat kaki dari tempat itu. Bukan karena ia takut, tapi karena ia tidak mau mengusik keberadaan empunya tempat itu dan menjadi pengganggu yang tak dinginkan.

Ia membuka mata dan melihat seseorang duduk di ayunan, menangis dan berusaha untuk menahannya namun tak bisa. Ah, saatnya ia pergi.

Ketika ia keluar dari balik bayangan pohon, orang yang menangis itu berhenti dan mengangkat wajahnya. Kyo tidak berharap menemukan seorang wanita cantik yang patah hati atau seorang anak kecil kabur dari rumah hanya karena ayahnya tidak mau membelikannya sepeda yang telah ia idamkan sejak dulu, tentu saja tidak. Yang ia lihat ini lain daripada yang ia bayangkan sebelumnya.

Seorang anak lelaki berambut pirang pucat yang basah berikut  hoodie merah tuanya dan celana abu-abu yang semakin gelap terkena salju yang mencair. Ia memperkirakan anak itu pastilah sudah berjam-jam ada di bawah salju, kemungkinan besar sebentar lagi ia mati karena hipotermia. Bibirnya terlihat membiru sama seperti ujung-ujung jarinya yang kecil dan pipinya terlihat bekas tamparan, Kyo berani bertaruh jika sebenarnya bibir yang menarik perhatiannya itu berwarna merah tua yang seakan menggoda untuk dikecup. Badannya yang kecil terlihat jelas disebabkan hoodie-nya yang kebesaran menempel di tubuhnya. Wajahnya pucat dan terlihat tersiksa, seolah memohon sesuatu.

“Err…” Kyo berusaha memecah keheningan yang tidak menyenangkan itu, “aku bisa pergi, kau teruskan saja kesibukanmu.” Anak itu menatapnya dengan nanar, seperti kehilangan kesadarannya membuat Kyo sedikitnya merasa iba. “Selamat malam,” ucapnya lagi ragu-ragu.

Sebuah isakan keluar begitu saja di saat anak itu ingin menjawab. Isakan yang terdengar pilu dan kesepian. Betapa teganya ia jika harus meninggalkan anak sekecil itu di taman tengah malam seperti ini. Apalagi tidak ada yang tahu apakah di sekitar sini ada seorang maniak atau kriminal atau semacamnya.

“Kau tidak pulang?” anak itu menggeleng. “Orang tuamu bisa khawatir,” anak itu menggeleng lagi “Kau bisa sakit,” dan anak itu mengisak semakin keras.

“Ah!” ia menghampiri anak itu, melihat dari dekat betapa ringkih dan pucatnya ia. “Ikut aku,” ajaknya. Anak itu menatapnya, kali ini dengan pandangan bertanya.

~†~†~†~

“Kita ke minimarket.” Kyo menarik pintu kaca itu dan mempersilakan anak itu memasuki ruangan minimarket yang memiliki penghangat. “Yang mana?” anak itu menunjuk ke deretan sabun berbau vanilla. Kyo mengernyit tapi tanpa protes mengambil sabun itu beserta sebotol shampoo diikuti dengan sekota teh, sebungkus besar muffin dan sandwich.

Ia menenteng kantung belanjanya dan anak itu mengekorinya memasuki apartment. Dengan serampangan Kyo melepas sepatunya dan membiarkannya berserakan berikut jaketnya yang dingin, namun anak itu secara tak diduga mengumpulkannya dan meletakkannya ke rak sepatu dan gantungan yang ada di dekat situ sebelum mengikuti Kyo yang menaruh kantung itu di pantry.

Anak itu berusaha untuk tidak duduk karena takut membasahi kursi dan sofa milik Kyo sampai akhirnya Kyo menyodorkan selembar handuk bersih, sehelai kaus putih dan sebuah celana panjang coklat yang bisa ia temukan dari dalam lemarinya. “Bersihkan badanmu.” Anak itu menuruti perintahnya, melangkah ke kamar mandi dengan bath tub yang berisi air hangat dan sebotol sabun serta shampoo dengan wangi vanilla.

Selagi anak itu mandi, Kyo menyiapkan kamar tamunya, menjerang teh Darjeeling bercampur madu dan menghangatkan beberapa tangkup sandwich dan beberapa buah muffin yang baru dibelinya dari minimarket untuk tamu kecilnya.

Dua puluh menit kemudian anak itu keluar dari kamar mandi dengan wajah memerah dan rambut yang basah – kali ini dengan harum vanilla yang ringan dari. Ia menunduk, menghampiri Kyo yang duduk di kursi di depan meja makan dengan wajah malu.

“Sudah?” anak itu mengangguk pelan. “Makan.” Anak itu berjalan pelan dan duduk di kursi di hadapan Kyo dengan wajah menunduk. Anak itu mengambil sebuah muffin secara perlahan dan memakannya. “Kau tidur di kamar tamu, besok kau harus pergi.”

“Tidak!” anak itu berhenti menggigit muffin-nya dan menatap Kyo. Pria itu menatapnya, merasa puas akhirnya mendengar suara anak itu untuk pertama kalinya.

“Kenapa?”

“Ma-maaf…” wajah anak itu memelas. Mata Kyo tidak bisa lepas dari bibir merahnya yang entah kenapa terlihat sangat menggoda untuk dikecup atau mungkin dikulum. “Tolong, biarkan aku tinggal di sini sedikit lebih lama,” ia menengadah sedikit, menatap wajah Kyo dengan mata birunya yang cemerlang seperti danau yang jernih.

Pria itu dia, menatap wajah polos anak itu, “Namamu?”

“Matsumoto.”

Sebuah senyum terpaksa tersungging di bibir tipis Kyo, “Hanya nama keluarga?” anak itu tak menjawab. “Baiklah, aku Kyo.”

~†~†~†~

“Hei, Taka tidak masuk lagi ya?” pemuda berambut pirang madu itu mengamati bangku di samping Yutaka yang kosong.

“Iya, sudah dua hari dia tidak masuk. Apa mungkin dia sakit ya?” Yutaka bertanya balik pada Kouyou, pemuda berambut pirang madu yang sekarang memainkan ponselnya.

“Tidak tahu ya, yang pasti dia ketinggalan banyak pelajaran, dan nilai. Lihat kan Nishikawa-sensei sampai uring-uringan mendata nilanya?”

“Padahal sebentar lagi kan ujian, apa dia nantinya akan siap?” Kouyou hanya mengangkat bahu dan segera menghadap ke depan karena guru mereka sudah datang.

~†~†~†~

Takanori terbangun di ranjang yang asing, sama seperti hari-hari sebelumnya, tapi kini ia berpakaian lengkap dan tak ada beberapa lembar uang di dekat bantalnya. Ia duduk, mengerjap menyesuaikan mata dengan cahaya matahari pukul enam pagi di musim dingin. Kamar itu cukup hangat dengan dekorasi bergaya Victorian lengkap dengan wallpaper bernuansa coklat dan krem.

Ah, dia ingat. Kemarin dengan bodohnya ia kabur dari rumah hanya karena tidak tahan mendengar cacian ayahnya. Ayah tercintanya itu menampar, mendorong, memperkosa dan menginjak-injak badannya hanya karena ia merasa kurang sehat untuk keluar malam itu. Keluar dan menjajakan dirinya untuk kemudian memberikan ayahnya itu uang dan uang yang lebih banyak lagi.

“Kau sudah bangun?” Takanori sedikit tersentak, menatap pria yang menolongnya hanya mengenakan celana hitam panjang dan bertelanjang dada.

“Terima kasih,” ucapnya.

“Kau akan pulang sekarang?”

Takanori mendesah. Tentu saja, mana mungkin pria ini sebaik yang ia duga, pastilah dia sama dengan yang lainnya. Sama brengsek dan tidak peduli pada dirinya yang letih dengan darah mengalir di pahanya. Mereka tak peduli, mereka malah tertawa dan membiarkan dirinya menahan sakit pulang ke rumah dengan bus paling pagi untuk kemudian tertatih ke sekolah dan berpura-pura tidak tahu apa-apa. Sampai sore tiba dan ayahnya memaksanya, membuka lukanya yang semalam belum juga sembuh. Begitu terus dari hari ke hari.

“Belum, tapi nanti siang aku akan pergi.” Janjinya meski rasa sakit karena pukulan dan hasil injakan ayahnya belum juga hilang. Paling tidak Kyo sedikit lebih baik padanya, sedikit merasa kasihan dan memperbolehkannya tinggal di apartment yang bahkan tak akan sanggup ia bayar sewanya selama sebulan dengan bekerja selama setahun.

“Oh.” Kyo berbalik dan meninggalkan Takanori yang menghela nafas, turun dari tempat tidur hangat itu dengan serangan rasa nyeri.

Setelah membersihkan diri, mengganti baju dengan bajunya yang semalam dicuci dan dikeringkan Kyo serta memakan apa pun yang masih bisa masuk ke perutnya, Takanori memakai sepatunya. Ia berusaha tersenyum berterima kasih kepada Kyo. “Terima kasih banyak.” Ia membungkukkan badan tak peduli Kyo membalas atau tidak.

Selangkah kemudian lengannya ditarik dengan keras menyebabkan desisan tak sengaja keluar dari bibirnya. “Kau masih sakit,” ucapnya datar.

Takanori terdiam, menarik tangannya dengan kasar. “Bukan urusanmu,” jawabnya ketus, melangkah keluar dari apartment tersebut.

~†~†~†~

Pemuda itu menarik nafas. Di dalam bus dia berusaha meyakinkan dirinya bahwa ia akan baik-baik saja. Bahwa ia tidak perlu khawatir karena nantinya ayahnya akan lupa dan memaafkannya. Tapi ia hanya tertawa getir mengetahui hal itu tak akan pernah terjadi.

Sekarang ia berdiri di depan pintu rumahnya yang berupa kondonium sederhana yang ia bayar dengan penghasilannya yang tak tetap. Belum sempat ia memasukkan kunci kondonium, pintu telah mengayun terbuka. Menampakkan wajah ayahnya yang terlihat berang. “Masuk.” Tanpa perlu disuruh dua kali, Takanori melompat masuk dan menundukkan kepalanya.

“Kamar,” dan anak itu berusaha menyembunyikan gemetarannya, mengikuti langkah ayahnya ke kamar utama.

~†~†~†~

“Ahh… Reita~” suara desah nafas dan kecap terdengar. Erangan dan suara tawa terkikik yang menjijikan itu terdengar begitu jelas di telinganya.

“Sshhhtt...” Pemuda yang disebut Reita itu melahap bibir kekasihnya dengan lapar sementara kekasihnya itu menariknya untuk memperdalam ciuman mereka.

“Tapi kau yang membuatku ingin menjerit…” suara manja menyebalkannya seakan menusuk telinga meski dalam nada yang berat dan dalam.

Takanori membuang muka.

Reita dan kekasihnya sudah membuka semua benda yang menghalangi tubuh mereka untuk saling bersentuhan. Dalam posisi setengah menunduk Reita menyeringai sementara kekasihnya terkikik lagi. “Lihat Rei, Ruki membuang muka,” ejeknya sembari memandangi pemuda berambut pirang pucat yang terikat di ambang jendela.

Pemuda berambut pirang itu tertawa, tersirat nada meremehkan di dalamnya, “Biarkan saja dia, Aoi. Aku tidak mau kau jadi tidak konsentrasi melayaniku.” Aoi tertawa kecil dan melingkarkan tangannya ke leher Reita, melanjutkan aktivitas mereka tepat di depan mata Takanori yang terikat. Menahan air mata yang siap jatuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar