Rabu, 02 Januari 2013

Fanfic: Out of the Blue - Oneshot


Title: Out Of the Blue
Chapter: one-shot
Starring: Alice Nine
Author: xellonich a.k.a Suzuki Sachino
Pairing: Tora x Saga
Rating: PG
Genre: fluff | drama | romance | mystery
Warning: none.
Words: 4962.
Disclaimer: I’m only owned the story; they belong to whoever GOD up! (_   _ )a
Comment: Terima kasih pada mata kuliah Nihon Bunka, dan pada minggu tenang yang sama sekali membuat saya tidak tenang~~ 
(TT ^ TT)




Hatsumode, merupakan kegiatan di mana seluruh rakyat Jepang akan pergi ke kuil di pagi pertama tahun baru. Biasa ini dilakukan pada tiga hari pertama di saat ganjitsu atau tahun baru, yaitu pada tanggal satu sampai pada tanggal tiga Januari. Mereka akan berdoa di kuil bersama dengan jutaan rakyat lainnya, memohon berkat dan rahmat untuk tahun yang lebih baik dari tahun yang sebelumnya.

Tak terkecuali Saga yang sejak jauh-jauh hari mempersiapkan rencana untuk pergi ke Kuil Meiji, salah satu kuil terkenal yang ada di wilayah Tokyo. Sebenarnya ini bukan rencananya, hanya saja Nao, temannya yang terlalu bersemangat yang menyarankannya, padahal jika dipikir jika ia datang ke kuil yang ada di ujung jalan dekat kaki bukit yang ada di dekat mansion-nya pasti akan lebih praktis. Tapi Nao tetaplah Nao, dengan keras kepala ia membujuk Saga, dan Saga yang tetaplah Saga, dengan patuh mengiyakan karena ia terlalu sayang kepada temannya yang malah mau membawa Kai, kekasihnya itu ikut serta. Tidak apalah, pikir Saga, mungkin dengan begitu ia tidak perlu berjalan kaki karena Kai mempunyai mobil Porsche putih susu yang cukup nyaman. Kemudian mereka akan makan osechi ryouri, makanan khas tahun baru yang dipesan Kai dari sebuah restoran yang mengkhususkan diri untuk buka pada saat tahun baru dan mengantarkan osechi ryouri langsung ke rumah para pelanggan.

Dua minggu lagi. Saga mencatat janji dengan Nao di agenda barunya, tepat di angka dua Januari pukul empat pagi. Ah, Nao, Saga hanya bisa mendesah, dengan keras kepala lagi Nao menyatakan bahwa ia ingin melihat matahari terbit dari bukit dekat kuil Meiji yang katanya ‘sangat indah dan mempesona’ dan Saga harus melihatnya. Penekanan di kata ‘harus’.

Nao berujar, bahwa pada saat itulah para dewa terbangun dengan segar dan siap mendengarkan permohonan kita sehingga dapat dikabulkan dengan sesegera mungkin. Anggukan pasrah Saga siang tadilah yang membuat Nao tersenyum senang, sangat senang dan merencanakan semuanya itu dengan Kai yang juga hanya patuh mengiyakan. Paling tidak Kai juga senasib dengannya, dan ia harus menjemput Nao jam tiga pagi, atau tidak? Karena kemungkinan besar Kai malah akan menginap di apartment Nao dan melakukan hal yang tidak sepantasnya untuk diperbincangkan di muka umum, terlebih dengan banyak anak di bawah umur di sekitarnya.

“Sakamoto-kun, ohayou gozaimasu,” seorang pria tua berusia lanjut menyapa Saga yang sedang mengeluarkan sampah kaleng sesuai dengan jadwal yang diberikan landlord awal bulan ini.

“Amano-san, ohayou gozaimasu,” ia membungkuk sedikit dan memasang senyum terbaiknya kepada pria yang dikenal murah hati itu.

“Cuacanya kurang bagus ya?” pria itu terbatuk dan melirik lewat ke luar pintu besi tempat pembuangan sampah itu dengan wajah sedih.

“Iya, Amano-san mau kubantu?” pemuda itu memapah Amano-san yang tertatih berjalan ke luar, disambut dengan hujan salju yang membuat tulang terasa ngilu.

“Terima kasih, Sakamoto-kun, aku ini sudah terlalu letih jika harus berjalan sendiri membuang sampah atau sekedar ke luar dari kamarku,” ucapnya lirih sembari tersenyum. Memang, di usianya yang mencapai delapan puluh tahun ini Amano-san terlihat kurang sehat meski ada perawat yang datang tiga kali seminggu untuk membantunya.

“Kalau butuh bantuan, Amano-san bisa saja meminta tolong padaku, kamarku hanya ada satu lantai di bawah kamar Amano-san dan letak elevator mansion kita tidak terlalu jauh dengan kamarku,” tawar Saga ramah selagi mengetik password untuk membuka sliding glass door mansion itu.

Pria tua itu menepuk punggung Saga, “baik sekali kau, Sakamoto-kun, bagaimana jika kau mampir ke tempatku? Kemarin anakku mengirim nure-senbei dan mochi.”

“Terima kasih atas keramahannya, Amano-san,” ia menekan tombol lantai yang tertera di sebelah pintu elevator. Begitu terdengar bunyi yang menandakan elevator itu berhenti mereka ke luar dan berjalan hingga ke ujung dan membuka salah satu pintu mansion berwarna biru itu.

Sudah dua jam sejak Saga tiba di sana. Pria tua itu menyuguhkan teh genmai yang menghangatkan badannya dan nure-senbei yang terasa sangat manis namun pas di lidah. Amano-san memang salah satu lansia yang ramah di lingkungan ini dan tergabung dalam perkumpulan yang terkadang saling bertemu seminggu sekali, namun dikarenakan cuaca yang kurang baik sepertinya pertemuan minggu ini dibatalkan dan ia yang merasa kesepian mengajak Saga bertandang untuk menjadi teman bicaranya.

“Sudah jarang anak muda yang sopan sepertimu, Sakamoto-kun.” Ia berujar terlebih pada dirinya sendiri dengan tatapan menerawang. Saga hanya tersenyum, berhati-hati menuang teh genmai ke cangkir teh pria tersebut. “Mayoritas masyarakat sudah tidak menghargai kami lagi, kaum yang lebih tua dan seringkali dipandang sebagai parasit,” senyum sedih terukir di wajah tuanya yang pebuh keriput dan bintik hitam membuat Saga menghentikan aktivitas menguyah nure-senbei-nya dan menunduk dalam.

“Kau begitu baik dan perhatian kepada siapa saja, kebaikan hatimu itu seperti mutiara yang harus disimpan, dijaga dan dipoles dengan semestinya,” tangan keriputnya yang agak pucat menggenggam tangan Saga yang seputih salju, terasa dingin beberapa derajat daripadanya. “Aku jadi ingin menjodohkanmu dengan cucuku,” senyum mengukir di wajah tuanya yang lelah, tetapi dengan lebih mantap lagi, senyum bahagia.

Saga terdiam beberapa detik, manik mata emerald-nya membulat sempurna. “Eh?!”

Pria itu melepas tangannya, “Ahahah, wajahmu lucu sekali,” ia terbahak sendiri membuat Saga menghembuskan nafas lega. “Harusnya kau lihat wajahmu tadi!” ia menepuk-nepuk kedua pahanya yang duduk bersila, tidak seperti Saga yang duduk bertelut – untuk bersikap lebih sopan.

Pemuda berambut coklat kemerahan itu ikut tertawa kecil dan terdengar manis, “Amano-san bisa saja...” komentarnya.

Amano-san menghapus air mata di ujung matanya yang berwarna kelabu kehijauan itu dan menatap Saga dengan punggung tegap, “tapi aku serius, Sakamoto-kun.” Sorot matanya yang tajam membuat Saga menelan ludahnya. “Hei, tehmu sudah hampir habis, apa kau mau menuangnya lagi?” ia menengok ke cangkir teh Saga yang seperempat penuh.

Saga melihat isi cangkirnya sendiri, “a-ah tidak usah repot-repot, ini sudah cukup,” ia memutar cangkir tehnya tiga kali searah jarum jam dan meneguknya perlahan sampai habis kemudian mengelapnya dengan ibu jari dan memutarnya kembali berlawan dengan arah jarum jam, persis seperti pada saat upacara minum teh. “Terima kasih atas teh-nya,” ia menunduk ke arah Amano-san yang tersenyum simpul.

“Terima kasih atas kesediaanmu untuk bertandang ke tempatku, Sakamoto-kun, aku harap aku masih bisa mengajakmu bertandang ke mari di lain waktu,” pria itu tersenyum mempersilakan Saga untuk pulang.

Pemuda itu berdiri, mengambil syalnya di tempat penyimpanan mantel dan ketika sedang memakai sneakers-nya pria itu berucap lagi, “Perkataanku hari ini, tolong jangan dilupakan.” Nada serius kental terdengar di dalam setiap suku katanya.

Saga hanya mengangguk bingung, “Baiklah saya permisi dulu, terima kasih Amano-san, semoga saya bisa bertandang lagi di lain waktu.” Ia berdiri kemudian menunduk dan membuka pintu.

Ia menganggap pria tua itu hanya kesepian dan butuh teman jadi apa salahnya bersikap sopan untuk menemaninya sebentar saja. Saga membetulkan letak syalnya sembari berjalan, ujung syalnya menyapu mantel seseorang yang berpapasan dengannya di koridor. “Maaf!” serunya cepat, menarik syal abu-abunya yang tidak sengaja tersangkut di kancing mantel hitam orang tersebut.

Pemuda jangkung berambut hitam yang ditabraknya itu hanya menatapnya, “tidak apa-apa.” Ia membantu Saga melepas ujung syalnya dan berjalan kembali.

“Ma-maaf!” Saga membungkuk yang tentu saja sia-sia karena pemuda berambut hitam yang terkesan dingin itu tidak melihatnya. Ia mendesah dan melanjutkan langkahnya tetapi menoleh kembali dan melihat sekilas pemuda itu memasuki salah satu pintu, yang paling ujung.

~†~†~†~

“Lihat! Kai-kun, ada Gundam Café!” Nao menarik – setengah menyeret tangan Kai yang terlihat penuh memegang tas belanja yang Nao hasilkan dari hasil perburuannya di Akihabara sejak pagi ke arah café tersebut. Sebagian besar adalah game yang baru saja dirilis dan majalah musik yang mengulas tentang artist favoritnya.

“Nao mau pesan apa?” Kai menatap Nao yang menelusuri buku menu dengan penuh minat.

Moccachino, cheesecake, dan double melon ice cream,” ucapnya.

“Saya pesan moccachino, cheesecake, double melon ice cream, wagyu steak set, chocolate chip ice cream dan esspreso,” ia tersenyum pada pelayan berpenampilan seperti Lacus Clyne dari anime Gundam Seed yang segera mengangguk kemudian beralih ke meja pemesanan dengan cepat.

Selagi mereka menunggu pesanan, Nao mengetik email pada Saga, mengajaknya untuk datang ke Gundam Café tempatnya berada. “Kau sedang apa?” Kai bertanya.

“Mengajak Sagacchi datang ke sini,” ucapnya ringan.

“Jangan begitu, jangan langsung mengajaknya seperti itu, mungkin saja Sakamoto-kun ada keperluan lain, lebih baik jangan mengganggunya.” Kai menasihati kekasihnya itu dengan sabar.

“Tapi dia pasti datang kok, dia sudah membalas email-ku, lagipula aku sudah merencanakannya sejak dua hari yang lalu,” kilahnya.

“Ini ‘kan malam Natal, mungkin Sakamoto-kun sedang bersama kekasihnya dan sibuk sendiri.”

Nao tertawa renyah, “Sagacchi belum mempunyai kekasih, Kai-kun, ia pasti sedang menonton TV atau bermalas-malasan, Sagacchi itu anak rumahan.” Ia melanjutkan mengetik lagi.

“Hh... meski begitu belum tentu ia tidak punya acara lain ‘kan,” Kai menata pesanan mereka yang sudah datang.

“Sudahlah, nanti dia pasti datang, lihat saja!” ucapnya yakin dan agak keras kepala kemudian menyendok penuh double melon ice cream-nya ke dalam mulutnya.

Setengah jam kemudian, setelah Nao memesan cangkir moccachino-nya yang kedua, Saga datang dengan terengah-engah, syal merah tuanya terlihat basah diterpa hujan salju dan angin dingin. “Maaf aku terlambat,” engahnya sembari duduk dan melepas mantel coklatnya yang basah.

“Tidak juga kok, kau mau pesan apa?” Nao bertanya dengan ceria melihat pelayan yang lewat menghampirinya.

“Yang sama denganmu saja,” ia menebas salju yang mencair di ujung celananya.

Nao mengucap ulang pesanannya dan menoleh pada Saga, “Kau pucat sekali,” komentarnya.

“Wajahku sudah seperti ini sejak lahir, Nao,” jawabnya sedikit malas.

“Tapi ini beda, kau kenapa?”

“Hanya pekerjaan yang berlebih, tugasku untuk syarat UAS membuat makalah dan artikel ilmiah jadi mau tak mau aku harus mengirimkannya sebelum tahun baru,” mata Saga melihat kantung belanja yang ada di sebelah Kai, “itu apa?”

Game, majalah, dan sejenisnya,” Kai menjawab.

“Uke-san pasti repot ya?” ia bertanya kepada Kai penuh simpati.

“Ah tidak,” pemuda berambut hitam itu tersenyum menampilkan lesung pipinya, “hobiku juga musik dan game jadi ini tidak memberatkanku sama sekali, lagipula aku ini kan pacar Nao,” ia meraih tangan Nao dan menatap manik mata hazel Nao dengan tatapan sayang membuat Saga iri melihatnya.

Sahabatnya ini memang beruntung, mendapatkan kekasih yang sangat perhatian dan mengerti dirinya. Sejak tiga tahun yang lalu, sejak awal SMA, dan Nao serta Kai sebagai seniornya sekelas, ia merasa seperti pajangan saja jika bersama mereka. Ya, Nao memang bersahabat dengannya tetapi ia dan Nao mempunyai selisih usia dua tahun dan sekarang Nao sudah bekerja, sementara Saga baru saja mengenal dunia kampus yang menurutnya terasa asing dan kurang bersahabat.

“Ne Sagacchi, ayo kita lihat gunpla di sana,” Nao menunjuk ke etalase yang memajang berbagai jenis gunpla di dalamnya. Lagi, Saga dengan patuh beranjak dari kesibukannya memakan double melon ice cream yang dipesannya dan menuju etalase bersama Nao, meninggalkan Kai yang hanya tersenyum simpul. Dasar Nao.

Saga berjalan, memisahkan diri dari Nao dan Kai yang mengantri tiket bioskop. ‘One Piece Z itu keren!!!’ Saga mengingat kata-kata Nao yang bersemangat, ia sudah menontonnya dua kali dan katanya ia ingin menontonnya untuk ketiga kali sebelum tahun baru bersama Kai – yang tentunya sudah diajak Nao menonton di kesempatan sebelumnya. Ia tersenyum kecil dan menghampiri konter penjual popcorn dan latte, setelah memesan dan membayar untuk tiga orang, tidak sengaja matanya menangkap sosok berambut hitam acak-acakan yang rasanya pernah ia lihat sebelumnya, tidak terasa asing.

Siapa? Saga mengernyitkan dahi melihat orang itu terlihat tergesa-gesa ke luar dari bioskop dan menyebrang jalan. Ia berbalik perlahan dan berjalan, menyeimbangkan latte yang ada di atas nampan dan tiga kantung popcorn yang ia jinjing. Di depan pintu masuk theatre Nao dan Kai menunggunya.


“Jaa ne Sagacchi~” Nao melambai padanya dari balik kaca mobil Porsche putih susu Kai yang berkilau.

“Jaa mata, ki o tsukete,” Saga membalas lambaiannya dan berjalan ke arah gedung mansion yang menjulang di antara gedung lainnya. Pemuda itu berjalan ke konbini yang terletak tepat di sebelah masionnya. Ia berjalan ke arah rak pendingin yang menyediakan makanan beku dan mengambil beberapa kotak bento siap saji dari dalamnya. Saga berbalik dan mengambil makanan kecil juga jus serta beberapa botol air mineral untuk persediaannya. Niatnya adalah untuk tidak ke luar sepanjang Natal sampai sebelum tahun baru supaya ia bisa cepat mengirimkan email tugasnya dan belajar.

Jalanan penuh dengan lampu berwarna jingga, hijau dan merah menyemarakan malam musim dingin yang gelap itu. Bulan yang muncul tertutup kabut awan tipis yang membentuk halo berwarna keperakan di langit, membuat Saga melangkahkan kakinya dengan cepat ke mansionnya.

Angin dingin menerpa, menelusup ke celah sarung tangan dan mantel Saga yang sudah ia rapatkan. Mungkin landlord lupa menyetel suhu koridor supaya lebih tinggi, Saga mendesah, menunggu elevator terbuka, tangannya terasa kebas dan tidak nyaman. Begitu pintu elevator terbuka, ia langsung masuk dan melihat Amano-san tersenyum padanya.

“Amano-san? Konbanwa,” sapa Saga dan pria tua itu tersenyum, berjalan ke luar elevator dalam diam. Saga menatapnya aneh. Apa ia ingin bersantai di ruang duduk yang ada di lobi ya? Pikir Saga namun pintu elevator langsung menutup dan mengantarnya ke lantai yang ia tuju, meskipun rasa dingin yang dari tadi ia rasa masih merambati punggungnya.

~†~†~†~

Teh genmai yang Saga minum pagi itu membuatnya lebih hangat dan mengerjakan sisa tugasnya dengan semangat. Tiga malam sebelumnya setelah perayaan Natal yang langsung Saga tolak mentah-mentah, ia melihat sekotak teh genmai bersama sebuah surat di dalam kotak suratnya yang ada di lantai dasar, di luar lobi mansion. Ia yang masih mengenakan piyama dan sweater hijau tua di atasnya mengambilnya dengan ragu. Selain teh genmai dan surat itu, masih ada surat tebal dari universitasnya. Mungkin kurang kerjaan atau apa, sehingga surat tebal itu dikirim di hari Natal.

Saga mengisi cangkirnya dengan teh genmai lagi dan mengetik di notebook-nya. Tugasnya itu sudah masuk ke dalam tahap akhir dan ia memeriksanya berulang kali sebelum akhirnya mengirimnya ke email dosennya. “Owatta!” ia mengangkat tangannya dan melemaskan otot-ototnya yang terasa kaku karena seminggu ini hanya bergerak sedikit dan ia merasa sangat lelah.

Ia membuka jendelanya, melihat salju masih turun dengan intensitas yang sama dengan hari-hari sebelumnya, “Ohayou~” ia merentangkan tangannya, menghirup udara dingin yang terasa segar dalam-dalam kemudin menghembuskannya kembali.

Pemuda itu mengambil handuknya dan mandi, setelah tadi menyetel ofuro-nya dengan suhu yang pas di cuaca sedingin ini. Setengah jam kemudian ia duduk di sofa, menonton TV sembari memakan ramen instant yang ia buat, sarapan sekaligus makan siangnya hari ini.

Sebenarnya pemuda itu masih merasa terganggu dengan surat yang dikirim bersama teh genmai itu. Surat dengan tulisan yang terlihat gemetar namun dengan kata-kata yang tegas dan menyiratkan sesuatu yang kurang bisa Saga terjemahkan dengan baik. Tangannya mengambil surat yang ditulis di atas kertas tebal berwarna krem dengan wangi yang kuat, seperti harum kayu yang menyenangkan.

‘Sakamoto-kun, di musim dingin yang tidak bisa kujalani sebaik dulu ini, aku harap kau bisa hidup dengan lebih bak. Bilamana Sakamoto-kun merasa ada yang mengganjal, silakan bertandang ke tempatku, aku akan mendengarkanmu dan aku akan mencoba memberi petunjuk yang tepat. Sakamoto-kun, tolong ingat janjiku, bersama teh genmai ini, maukah kau bertandang ke tempatku lebih sering?’

Desahannya terdengar jelas, ia beranjak dari duduknya dan mencuri bekas mangkuk dan cangkir yang ia gunakan sejak kemarin. Bukannya ia malas, hanya saja ia sedikit repot dengan tugas-tugasnya dan hari ini ia bertekad merapikan tempatnya sendiri. Mencuci piring disusul mencuci baju sembari menyedot debu dan memasang kembali sprei yang ia gunakan. Tak lama jemurannya sudah tergantung lemas di atas mesin cucinya yang sudah berhenti berbunyi, penyedot debunya sudah masuk ke dalam lemari penyimpanan dan gelas, cangkir, dan mangkuknya telah berkilau di dalam lemari.

Saga tersenyum senang dan memutuskan untuk berjalan-jalan ke luar sebentar, ia memakai sweater coklat muda, syal krem, mantel coklat yang menyentuh lututnya dan jeans hitam kemudian memakai sepatu boots-nya. Setelah mengunci pintu dan menyusuri koridor yang sepi, ia berhenti di depan pintu elevator yang langsung terbuka.

Seorang pria tua mengenakan sweater tebal berwarna pucat berikut dengan syalnya yang berwarna serasi dan celana olahraga berwarna gelap menyambutnya dengan senyum ramah. “Konnichiwa Amano-san!” sapa Saga ramah kemudian masuk ke dalam elevator, “Amano-san mau saya antar?” tawar Saga baik hati, dan lagi-lagi rasa dingin yang janggal merambatinya, membuat bulu kuduknya meremang. Mungkin karena pagi itu dingin?

“Terima kasih Sakamoto-kun, bagaimana jika kau mampir ke tempatku?” pria itu tersenyum pada Saga yang tanpa berpikir dua kali mengangguk pelan dan memandangi pintu elevator. Begitu pintu elevator terbuka, ia mau memapah Amano-san tetapi  hanya menangkap udara kosong.

Wajah manisnya terlihat bingung dan tanpa sadar menapak ke luar dari elevator. Ia masih merasa aneh terlebih saat melihat seseorang berjalan di koridor lantai itu, menuju pintu tertutup di ujung sana. Punggung dan rambut hitam acak-acakan yang terasa sangat familiar. “Hei!” tanpa sadar Saga berteriak memanggil pemuda yang langsung menoleh padanya.

Saga berlari ke arah pemuda yang menatapnya dengan tatapan aneh tersebut – dan apakah itu terlihat muram? “Hei, maaf,” setelah didekati dan diperhatikan, pemuda berambut hitam itu lebih tinggi darinya dan matanya tidak sepenuhnya hitam, ada seberkas warna kelabu dan hijau di manik matanya yang terlihat tajam dan kurang bersahabat. “Apa kau kerabat penghuni di sini?” ia melirik pada pintu biru yang tertutup itu.

“Ya,” jawabnya singkat.

“Boleh aku ikut masuk untuk mengunjungi tempatnya juga?” Saga menengadah sedikit untuk menatap manik mata yang tidak asing itu.

Tangan pemuda jangkung itu terlihat menggenggam kunci pintunya keras-keras, “ya,” jawabnya tertahan dan Saga memperhatikannya.

“Ada apa? Tadi aku mau mengantarnya ke sini, tapi Amano–”

“Tidak ada.” Ia menatap mata emerald Saga lekat-lekat, dan Saga terpaku. “Kakekku tidak ada.”

“Ma-maaf?” tatapan bingung Saga semakin membuat pemuda itu terlihat kurang nyaman. Manik emerald mata Saga melihat pemuda itu mendesah dan mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya bersuara dengan lirih.

“Kakekku sudah tidak ada.” Ia melihat Saga menatapnya dengan nyalang, “dia meninggal pada malam Natal yang lalu.”

“Ta-tapi tadi beliau ada di dalam elevator, bersamaku! Tadi Amano-san... Amano-san...” lidah Saga terasa kelu, dingin, rasa dingin mulai itu merambati punggungnya, tengkuknya, buluk kuduknya meremang kembali, seluruh badannya terasa begitu dingin dan ngilu. Lemas, Saga jatuh terduduk ke lantai.

“Hei, kau baik-baik saja?” Pemuda itu bertelut di depan Saga yang tampak pucat dan gemetar. Ia tidak mau bergerak sama sekali dan tuburnya yang gemetar seakan terpaku di titik di mana ia jatuh terduduk, air mata mengalir perlahan bagai kristal bening tanpa terdengar isakan sedikit pun. Dengan nanar Saga menatap pemuda berambut hitam itu dan menarik lengannya, membuat pemuda itu merasa kelu.

“Aku bersumpah, aku melihatnya... aku...” rangkaian kata yang sudah Saga susun sedemikian rupa langsung buyar dan semuanya tergantung di ujung lidahnya yang tidak mau bergerak, tenggorokannya tercekat.

Pemuda itu menelan ludah, mencoba membasahi kerongkongannya yang terasa mengering dan sempat kelihangan kata-kata, “mungkin kau mau masuk dulu?” ia mempersilakan dan Saga mengangguk, mencoba berdiri di atas kakinya yang terasa lunglai sementara pemuda itu membalikan badan, menyibukan diri untuk membuka kunci pintu itu sementara matanya yang memanas menitikan air mata.

Seduhan teh genmai yang pemuda itu angsurkan padanya membuatnya tersadar, “silakan diminum, hanya ini yang kutemukan selain sake beras di lemari penyimpanan.” Kata-kata pemuda itu terdengar berat dan pedih di telinga Saga.

“Terima kasih,” pemuda berambut coklat kemerahan itu berujar lirih. Mereka berdua terdiam lama sekali, hanya menatap cangkir teh masih-masing dengan isinya yang masih mengepul, berada dalam kotatsu kecil yang dipasang di tengah ruangan, mencoba menghangatkan tubuh mereka yang sama dinginnya dengan udara di luar, tidak, mungkin lebih dingin lagi. “Beliau sangat menyukai teh genmai,” ucapnya tiba-tiba membuat pemuda di hadapannya itu tersenyum simpul.

“Rasa pedesaan,” jemari panjangnya menyentuh cangkir tehnya yang hangat. Saga mengangkat wajahnya, memandangi pemuda itu yang ikut mengangkat wajahnya, selama seperkian detik mata mereka bertemu dan seakan tidak ingin untuk saling melepaskan kontak selama sepersekian detik. “Kakekku menyukai rasa pedesaan, rasa teh genmai yang mengingatkannya pada ladang gandum di desa, ladang gandum yang ia olah dengan tangannya sendiri.”

“Teh ini juga yang ia kirimkan padaku pada Natal yang lalu.”

Pemuda itu membelalakkan mata ,“Mustahil, sejak malam Natal, kakekku dirawat di rumah sakit dan ia tidak tertolong lagi bahkan sebelum hari Natal datang.” Jelasnya dan Saga terpaku.

“Tapi... tapi waktu malam Natal aku bertemu dengannya di elevator, aku menyapanya dan tadi aku juga...” Saga menatap nyalang ke arah pemuda yang menatapnya dengan tidak percaya. Rasa dingin yang kerap merambati dirinya saat bertemu orang tua itu di kali terakhir, wajah yang begitu tenang dan seakan tidak menyiratkan apa pun berikut udara kosong yang ditangkapnya saat ia ingin menggandeng dan memapahnya. “Apakah... apakah... mungkin i-itu rohnya?” tanya Saga tanpa sadar setengah gemetar.

“Mungkin saja,” dan jawaban singkat itu membuat perutnya bergolak dan ia kembali merasa dingin menjalari tubuhnya.

“A... Amano-san tinggal di mana?” tanya Saga yang tidak tahu-menahu asal orang tua itu langsung mengalihkan pembicaraam.

“Kanagawa, kampung halaman kami di Kanagawa, kota yang nyaman dan menyenangkan,” pemuda itu menatap dalam ke dalam mata Saga yang terlihat penuh dengan rasa ingin tahu meski terbersit seberkas rasa takut terlihat hingga akhirnya mereka terlihat canggung dan melirik ke arah lain.

“Amano-san merasa kesepian di sini, katanya ia sangat ingin bersama anak dan cucunya sekali lagi, selagi beliau bisa.”

Pemuda berambut hitam itu berdeham, “Kakekku memang terlalu sering berkata begitu. Di akhir hayatnya pun, ia malah memilih mendatangimu dibandingkan aku. Rasanya ia bahkan tidak menganggapku.”

Hening lagi membuat mereka tidak tahu harus berkata apa lagi.

“Kenapa...” suara lirih Saga terdengar kurang yakin tetapi mampu membuat pemuda itu mengalihkan perhatiannya padanya. “Kenapa... Amano-san harus tinggal di mansion seperti ini? Kenapa ia tidak bisa tinggal bersama dengan anaknya?”

Pertanyaan yang terdengar polos itu membuatnya terdiam lama sekali sampai akhirnya berkata, “Orang tuaku, mereka dan egonya sendiri. Mereka merasa bahwa kakek akan menyusahkan jika ditinggal di kampung halaman dan berniat untuk merawatnya, awalnya aku kira itu hal yang bagus dan kakek akan tinggal di rumah kami.”  Ia berhenti dan meneguk teh genmai-nya diikuti Saga yang juga meminumnya dengan tata cara yang terlatih membuat pandangan pemuda itu jatuh kepadanya. “Kau seperti cucu yang ia impikan, cucu yang baik hati, sopan, yang ia idamkan dapat membuat hidupnya di masa tua lebih bahagia dan terasa hangat dibanding aku yang lebih mementingkan diri sendiri, dan bahkan... bahkan tidak bisa membelanya saat ia harus pergi mencari tempat tinggal lain saat anaknya sendiri merasa ia sudah terlalu merepotkan,” senyum miris di wajah tampan itu membuat Saga rasa bersalah muncul dalam hatinya.

“Mereka dan pendapat tolol mereka yang mengatakan bahwa kakekku terlalu rewel, terlalu sering meminta yang bukan-bukan.” Setitik air mata membahasi pipi tirus itu membuat Saga menunduk dalam, merasa sangat segan. “Mereka merasa kakek dan penyakitnya terlalu memberatkan, dan mereka bilang asuransi kakekku sendiri sudah cukup untuk menghidupinya, dan itu, meskipun memang benar, tetap saja... tetap saja... ‘kan?” ia bertanya pada Saga yang menggenggam cangkir tehnya di atas kotatsu erat-erat.

“Aku rasa Amano-san tidak akan memandang keluargamu sejahat itu,” Saga menanggapi dengan perasaan tercekat yang menghinggapi kerongkongannya. “Amano-san berkata, bahwa keluarganya sangat hebat, anaknya sangat menyayanginya, terutama cucunya. Ia berkata bahwa mereka semua menyayanginya, mengunjunginya tiap minggu, bahkan sering mengiriminya makanan kesukaannya,” perkataan yang terdengar polos itu membut pemuda itu ikut tersenyum. “Hanya saja mereka terlalu sibuk, sehingga sepertinya mereka terkadang mengesampingkan dirinya yang sudah tua dan ada di ujung hidupnya.”

Pemuda itu mengusap wajah tampannya dengan tangannya yang besar. “Kau, yang sering datang ke mari, bukan?” anggukan Saga memastikan pertanyaannya. “Sebelumnya aku sering mendengarmu dari kakekku yang bersemangat, yang mengatakan ia bertemu anak muda yang sangat sopan dan selalu menolongnya ketika ia membutuhkan jadi aku tidak perlu khawatir.” Pemuda itu tertawa kecil, “dan karena itu aku sempat bertengkar padanya, merasa tidak dihargai karena tiap minggu aku merasa sudah menyempatkan diri datang ke sini untuk sekedar menemaninya yang seperti pendongeng itu. Aku merasa, untuk apa repot-repot jika aku datang hanya untuk mendengar keluhannya dan merasa tidak berguna tiap kali aku menjenguknya yang ter-terlihat masih sehat-sehat saja itu.”

Saga menangkap tangan pemuda yang lebih besar darinya itu, mengenggamnya dan menampakkan perbedaan warna tangan yang cukup terlihat. Tangan pemuda itu berwarna pucat, tetapi tidak sepucat Saga dan tangan itu terasa lebih hangat, lebih hangat daripada tangan Saga yang sering kali tidak menampakkan warna kemerahan sedikitpun. “Jangan begitu, Amano-san sangat menyayangimu. Beliau selalu membanggakan anak dan cucunya, Amanosan selalu mengatakan bahwa keluarganya sangat sukses dan berharap suatu hari nanti cucunya bisa sekuat harimau yang tegap berdiri dan menghadapi semuanya tanpa gentar meski di-dirinya sudah tidak ada di sampingnya lagi.” Suara Saga gemetar, dan air mata membasahi pipinya lagi, kali ini lebih deras dan dengan isakan yang terdengar begitu jelas di telinga pemuda berambut hitam legam itu. “Bahkan matamu adalah mata yang sama dengan yang dimiliki Amano-san... kau sangat berharga baginya, kau dan keluargamu,” jelasnya di sela isaknya yang makin tidak terkontrol.

Pemuda itu berdiri dan segera duduk di sampingnya, memeluknya yang langsung menenggelamkan diri dalam pelukannya, membenamkan wajahnya di mantel hitam yang tak asing itu. “Kakekku memang terlalu pandai membuat lelucon, padahal namaku sendiri artinya sudah menjadi ‘harimau’.” Ia memaksakan dirinya tertawa yang terdengar sangat janggal. “Aku Amano Tora, dan kau?”

“Sakamoto, Sakamoto Saga.” Jawabnya pelan tapi mampu membuat pemuda bernama Tora itu terdiam.

“Sakamoto?” pemuda dalam pelukannya mengangguk pelan sekali, “Sakamoto-kun?!” ulangnya sekali lagi membuat Saga menatapnya bingung.

“A-ada apa?” ia merasa aneh melihat senyum lembut terpatri di wajah tampan itu.

“Aku rasa aku tahu kenapa kakekku mengajakmu ke sini.” Ia menepuk pundak Saga. “Sakamoto Saga, bersediakah kau menikah denganku, sesuai dengan permintaan kakekku di dalam surat wasiatnya?”

Saga memandang manik mata hitam dengan berkas kelabu kehijauan itu dengan wajah bingung. “Eh??!” ia hampir berteriak dan Tora hanya tertawa kecil.

“Aku rasa itu artinya iya,” ia menunduk, rambut hitamnya yang seperti tirai lembut menyentuh pipi Saga dengan kelembutannya yang tak tercela. Saga terpaku, merasakan nafas pemuda itu menyapu wajahnya, membuatnya mematung dan tidak bisa mengalihkan pandangannya dari mata yang terlihat tajam dan dalam itu, pipinya memanas. Detik berikutnya Tora menutup jarak di antara mereka, menyatukan bibir keringnya di atas bibir kemerahan Saga yang terasa hangat dan lembut itu.

~†~†~†~

Saga duduk di balkon rumah besar bergaya barat yang baru pertama kali itu ia datangi. Matanya terasa perih, pipinya terasa sangat dingin dan tenggorokannya terasa sakit, menahan isak tangismu di depan orang lain tidak akan pernah membuatmu merasa lebih baik. Ia mengusap air matanya yang bergulir seperti kristal di pipinya yang sepucat salju.

“Kakekku memang selalu menyukai musim dingin,” sebuah suara terdengar sayup dari pemuda berambut hitam di sebelahnya. Jas hitam yang dikanji membentuk dadanya yang bidang dan terlihat pas di tubuhnya, kini telah dibuka hingga dasi hitamnya menjuntai ke luar, tertiup angin dingin. Wajah tampannya yang juga pucat terlihat menahan perasaan perih dan berat hati.

Saga meremas tangannya sendiri yang terasa kebas, di balik jas hitam yang ia kenakan, ia mengenakan sweater hitam yang kerahnya menyembul dari balik kerah jasnya. “Amano-san bilang jika salju turun ia sedih karena tidak bisa melihat temannya.”

Pemuda itu tersenyum tipis dan menatap ke taman yang terlihat putih bersih berselimut salju tipis, “Dulu ia mengatakan padaku bahwa ia menyukai musim ini karena pada saat ini keluarga akan berkumpul dengan menghangatkan diri dalam kotatsu, menikmati nabe dan bersama mengharapkan yang lebih baik.”

“Khas Amano-san,” komentar Saga.

Mereka berdua terdiam lama hingga akhirnya pemuda berambut hitam itu merentangkan tangannya, “Jaa! Kakekku memang sudah tua dan masih saja berbakat melucu, ‘kan?” ia menoleh pada Saga yang tersenyum malu.

“Aku rasa hal itu tidak usah dibahas,” pinta Saga sembari menyibukkan diri menatap awan yang berarak pelan di langit.

“Tapi aku mau membahasnya,” kedua tangan yang lebih besar dan lebih hangat menangkupkan tangan kanan Saga yang terasa kebas. “Kau mau ‘kan mengikuti permintaan terakhirnya, Sagacchi?” ia menatap Saga dengan serius.

Saga bersumpah, suhu di sekitarnya sudah tidak terasa beku lagi melainkan sangat panas, membuatnya terasa meleleh. Ia yakin pipinya pasti memerah dan wajahnya terlihat bodoh. “Ya...” ia melirik ke arah lain sebelum akhirnya tangan besar itu menangkap dagunya dan bibir tipis yang menyunggingkan senyum lembut itu kini mendarat di atas bibirnya yang terasa basah.

Baik Kai maupun Nao, dan semua orang yang melihat itu hanya tersenyum. “Mungkin ini memang takdir Tora-shi,” ucap seorang wanita setengah baya yang tersenyum lembut melihat kedua pemuda itu menghangatkan diri dengan caranya sendiri.

Seorang pria yang tak lain adalah suaminya, memeluk punggung wanita itu. “Ayahku mungkin memang sudah merencanakannya, ia selalu bilang bahwa cucunya harus bersama dengan orang yang ia restui.”

“Apakah Amano-san pernah mengatakan hal itu pada kekasih Amano-kun yang sebelumnya?” tanya Nao dengan tiba-tiba membuat Kai mengeraskan tangannya yang sednag menggenggam tangan Nao.

“Tidak ada. Tidak ada satu pun kekasih Tora yang pernah ayahku restui,” pria itu tersenyum menatap foto ayahnya yang tersenyum di altar berikut guci kecil berisi abunya.

“Ah begitukah? Berarti Sagacchi orang yang sangat istimewa di matanya,” komentar Nao membuat pasangan suami istri itu ikut tersenyum meski baru saja mereka datang dari tempat kremasi untuk mengkremasi tubuh orang tua itu.

“Ayah memang selalu mempunyai mata yang bagus,” ucap wanita tersebut dan tersenyum melihat anaknya menggandeng tangan pemuda berambut coklat kemerahan dengan senyum bahagia yang terpasang di wajah tampannya.

“Ayah, ibu, Saga sudah setuju untuk ikut ke Kanagawa bersama kita untuk menguburkan abu kakek.” Tora tersenyum sembari memeluk pinggang ramping pemuda yang lebih pendek darinya itu.

“Maaf jika nanti merepotkan,” ia menunduk dengan malu-malu memandang kedua orang tua dan adik Tora serta kedua temannya yang memandangnya.

Sekarang di tahun yang baru ini, sepertinya permohonan Saga sudah terwujud meski ia tidak pergi ke kuil besar yang terkenal di pagi buta menurut saran Nao itu. Ia sudah mendapatkan kebahagiaan yang ia harap untuk mengisi semua hari dan hidupnya yang terasa seperti jalanan di musim dingin pada malam hari, suram meski ada lampu berkelap-kelip yang menerangi tetap saja ia merasa selalu ada yang kurang untuk menerangi. Terima kasih atas semuanya, wahai dewa yang mengabulkan permintaan kecil Saga melalui sedikit permainan nasib yang berdampak besar baginya saat ini.


 

~Fin~



Notes:
Teh genmai: teh hijau yang disajikan dengan tumbukan gandum
Osechi ryouri: makanan khas tahun baru yang hanya dibuat dan dimakan pada saat tiga hari pertama di tahun baru atau san-ga-nichi yang biasanya dimasak tiga hari sebelumnya
Ki o tsukete: ‘jagalah jiwamu!’ atau diterjemahkan sebagai ‘hati-hati di jalan!’
Owatta: futsuukei dari ‘owarimashita’ yang berarti ‘akhirnya selesai!’ atau ‘sudah selesai!’
Masnsion di Jepang terutama yang di atas 70.000yen per bulan kebanyakan sudah memiliki sistem pengamanan berupa kartu pass dan password khusus, jika ada yang mau bertamu, ia harus meminta landlord untuk membuatkan kartu pass  cadangan, tentunya dengan alasan yang jelas seperti relasi dan lainnya. Kotak surat untuk para penghuni terletak di bawah, di luar lobi yang lepas dari pemakaian password, disediakan seperti loker khusus denan kunci untuk membuka pintunya dan lubang yang cukup untuk memasukkan surat atau paket kecil dengan papan nama masing-masing penghuni (biasanya sebuah keluarga memiliki satu kotak surat sendiri).


Happy New Year 2013!!! \ (^ 0 ^) /



11 komentar:

  1. AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA gw meweeeek!! kenapa taun baru malah pada bikin angst semuaaaaaaaa, gw jadi kangen ama mbah gw kan TTATT

    BalasHapus
  2. hahahah, padahal maksud saya supaya senang gitu saya update ada bacaan baru di tahun baru 8'D
    cep cep cep, pasti beliau sudah tenang di alam sana kok, kita di sini cuma bisa mendoakan dan berusaha yang terbaik

    BalasHapus
  3. assshhh!!
    kakeknya meninggal... TwT
    sachiiiii, ntuuu!!
    yg bagian arwah"an aku jadi ikut merinding tau'.. #peluk sachi XDD

    wew! kakeknya Tora-chan keyen! bisa milih mate yg cucok(?) buat sagacchi XDD


    haiiihh.... pasangan KaNa romantis"an mulu' nih, plus Kai jadi seme manjain uke XDD

    BalasHapus
  4. Q_Q hiiii.... sedih~~~ DX kakeeeeeekkkkk!!!! <<cucu yg tidak berbakti
    saia baru sembuh dari galau dibuat nyesek lagi, tidaaaaaaaakkkkkk!!!!! *galau lagi*
    ah Tora manisnya gyaaaaaaa!! XDD ToSanya manis~~ <3 daisuuukiiiiiii <3 <3 <3

    BalasHapus
  5. Sudah baca ulang xDD
    pantas tadi pas baca diperjalanan ke tempat kerja kok rasanya ada yg kurang, ternyata bagian pentingnya ketinggalan xD

    yosh seperti biasanya Sakun kalo bikin ff selalu bagus ><)b
    tata bahasanya rapi banget! Makin enak dibaca dan dapet feel kalo itu memang settingnya di Jepang, khas Jepang banget deh. Ga sia2kan kuliah sasjep *oke ini nyimpang*

    suka Nao disini yang Nao BANGET! dari gundam cafe dan Akihabara LOL
    Kai juga pasrah-pasrah aj punya pacar gitu xD
    paling suka kalimat

    -Karena kemungkinan besar Kai malah akan menginap di apartement Nao dan melakukan sesuatu yang tidak sepantasnya diperbincangkan dimuka umum-

    ano 'sesuatu' itu apa yah? *senyum mesum* fufufu

    truuus Saga nya baik hati sekali, aduh suka banget deh pokonya ><

    kalo Tora .. Errrr emang 'macan' banget yah, main terkam aja gitu, baru juga kenal, eh Saga udah disosor aja bibirnya >:o

    paling nyesek pas bagian si kakeknya bilang
    "mayoritas masayarakat sudah tidak menghargai kami lagi, kaum yang lebih tua dan seringkali dipandang sebagai parasit."
    setelah baca sampei akhir, kasian juga yah si kakek, ternyata dipandang sebagai parasit juga sama keluarganya sendiri Q_Q

    overall ceritanya baguuus banget nget! ><)b

    o iya ada typo, kata"amanosan" ga pake tanda (-) xD

    BalasHapus
  6. Minna sankyuu~~~~~
    Iya soal typo dan jkata yang janggal pasti akan saya perbaiki late
    Terima kasih mau membcanya 8'"D
    Saya juga suka dgn sifat pair Kai x Nao, Kai sebagai seme tetap sabar menghadapi sang uke yg seringkli keras kepala dan soal 'sesuatu' di apartment itu silakan bayngkan sendiri XD

    Memang pada kenyataannya di Jepang banana lansia yg kurang diperhatikan dan tinggal terpisah dr keluarganya karena memang sering dianggap krg berguna DDX

    Ini cerita tahun baru, di mna ada kematian, selama masih ada harapan, akan muncul kehidupan baru (^ ^)

    BalasHapus
  7. itu Tora maen sosor ama maen lamar aja yak *geleng2*,,, mauuuuuuu #eehh
    Saga nya unyu2 pisan disinih,, anak baek2,, biasanya paling ero(r),, XD

    BalasHapus
  8. wakakakak, tapi sifat sebenernya kan Saga juga pendiem, tipe yang malas ngomong dan sopan ke yang lebih tua, cuma gara" Alice Nine Channel aja jadinya gitu 8'DD

    BalasHapus
  9. huweeee kakek amano kenapa harus meninggal.. ga bisa liat torasaga nikah deh hiks hiks
    tpi sumpah kakek amano punya penglihatan yang bagus pinter milih cucu menantu XDD

    BalasHapus
  10. nya..
    ending ny manis..
    walau sempet mengharukan waktu kakek amano meninggal...
    saga d sini manis..banget...
    *kbnyakan manis ny*

    BalasHapus
  11. Iya sudah waktunya sih, memang mau
    memang Saga sifatnya manis ya

    BalasHapus