Minggu, 12 Mei 2013

Fanfic: Secrète? (Des Secrets et Réalité) - Oneshot?


Title: Secrète? (Des Secrets et Réalité)
Chapter: one-shot?
Starring: Alice Nine, GACKT
Author: xellonich a.k.a Suzuki Sachino
Pairing: Gackt x Saga, Tora x Saga
Rating: PG
Genre: drama | fluff | angst?
Warning: kiss
Disclaimer: I’m only own the story; they belong to whoever GOD up! (_   _ )a
Comment: I love you, kanji kanji kanji~ (bermandikan kanji card)



Bukannya aku mau mau menuduh. Aku hanya ingin berpikir kritis, bukankah hal itu yang biasanya orang lakukan jika melihat sesuatu yang janggal terjadi tepat di depan mata kita? Membuat spekulasi dan menerka apa yang ganjil dari kedaan yang disajikan dengan fakta-fakta yang sebenarnya tidak bisa disebut minim. Hanya saja, rancu, dan terlihat kurang bisa dipahami tanpa adanya penjelasan.

Itulah yang sekarang sedang aku lakukan. Yang sedang aku pikirkan hanyalah hal sederhana yang memang seharusnya menjadi sederhana. Kalau saja hal itu tidak dilakukan tepat di depan mataku dan berhubungan erat dengan kehidupanku juga.

“Torakun?” Kulihat wajahnya yang penuh dengan garis lembut, kulitnya yang seputih susu, tulang pipi yang tinggi, dagu yang membulat, bibir yang tipis sewarna sakura yang sedang bersemi, dan yang paling membuatku kagum padanya adalah mata hijau terangnya yang selalu membuatku bertanya sebenarnya dari mana asalnya. Wajah yang begitu feminim dan harusnya hanya dimiliki oleh seorang wanita. “Tolong jangan beri tahu siapa pun, ya?” nada suaranya memohon, dan aku tidak akan pernah menyangka seorang anak lelaki seumuranku bisa mengeluarkan suara semanis dan selembut itu. Yah, pantas sih dengan parasnya yang cantik.

Aku mengangguk pelan, membuatnya menggores senyum manis di wajah cantiknya yang sudah membuatku kehilangan orientasi. Payah? Menyedihkan? Memang, itulah yang sering aku katakan pada diriku sendiri karenanya. Tapi siapapun yang bergender sama dengannya ketika melihat dirinya, aku yakin paling tidak mereka pernah merasa bahwa ada yang salah pada diri mereka. Salah karena merasa malu dan merasakan degupan jantung mereka menjadi lebih cepat. Salah karena saat ini aku juga merasakannya, hal yang tidak seharusnya aku rasakan, bukan?

Aku rasa, aku memang tidak akan pernah normal jika bersamanya. Mungkin memang ada yang salah denganku sejak awal aku bertemu dengannya dan menyetujui untuk merahasiakan sesuatu yang begitu besar.

~†~†~†~

“Kamui.”

Aku melihatnya menyelipkan rambut coklat kemerahannya ke balik telinganya dengan jemarinya yang ramping. Aku lihat kukunya berkilauan, mungkin dia habis manikur? Wajahnya juga terlihat segar, dan aku selalu mempertanyakan, wajarkah seorang lelaki memiliki kulit seputih, sehalus, dan selembut itu? Bahkan aku sering mendengar siswi di kelasku memujinya, dan juga ingin memiliki kulit yang sesempurna itu.

“Kamui?”

Blazernya terlihat kebesaran karena tubuhnya memang terlalu kecil. Yang aku tahu, saat aku sedang membeli seragam sekolah baru di saat-saat terakhir musim pendaftaran, aku juga melihatnya. Kami terpaksa membeli blazer dengan ukuran paling besar karena hanya tinggal itu stok yang tersisa. Ketika aku tidak merasakan perbedaan ukuran yang berarti, tubuhnya terlihat tenggelam di balik blaze-rnya yang meski sudah dikecilkan, tetap saja terlihat sangat longgar di badannya. Tapi aku suka itu, karena seringkali ujung lengannya menutupi tangannya, menampakan sedikit ujung-ujung jarinya yang membuatnya terlihat manis dan ingin kupeluk karena ia terlihat seperti anak kucing yang selalu kedinginan. Ah, aku sudah tidak normal, bahkan melihatnya menggigiti bibir bawahnya sendiri yang terlihat merekah sembari melirik ke arahku sudah membuatku ingin menciumnya dan memeluknya dengan erat. Aku benar-benar tidak normal.

“KAMUI!”

Aku tersentak, tersadar, dan melihat ke arah Hayashi-sensei yang menatapku dengan tatapan tajam. Memangnya aku salah apa?

“Hadir.” Jawabku tanpa pikir panjang membuat semua orang yang melihatku menahan tawa, kecuali dirinya yang menatapku dengan khawatir.

Hayashi-sensei semakin galak menatapku, dan aku rasa wajahku tidak menunjukan ekspresi apapun karena aku terlalu malas untuk memperkerjakan ototku untuk setidaknya melakukan reaksi terhadap situasi genting yang sedang aku hadapi. “Jawabannya?”

Aku menatapnya bingung. Jawaban apa?

“Maaf sensei, jawaban apa?”

Hayashi-sensei tersenyum, err, mungkin itu senyum dingin karena aku merasa bulu kudukku meremang. “Nah, Kamui, menurutmu pada jaman apa pangeran Shotoku berkuasa dan hendak digulingkan oleh oposisinya?”

Aku menatapnya lurus-lurus. Serius ya, pangeran Shotoku itu siapa? Memangnya aku tahu dia? Kenal saja tidak, kan?

“Hmm... yang pasti bukan jaman Hessei...” Seisi kelas langsung meledak dalam tawa mengejek, kecuali dia, dia tetap memasang wajah khawatirnya yang semakin membuatku ingin mengusap kealanya dan memeluknya.

“DIAM!” raung Hayashi-sensei yang seketika membuat kelas hening kembali, lebih terasa mencekam. “Jadi, Kamui, kau pikir kita hidup di jaman apa? Kalau Pangeran Shotoku hidup di jaman Hessei, pasti kita masih bisa bertemu dengannya, kan?” err, sepertinya aku mendengar penekanan di beberapa kata dalam kalimatnya.

“Tidak? Apa mungkin di jaman Heian?” dan yang sadari, selanjutnya aku sudah berada di luar setelah dikeluarkan dari kelas secara tidak hormat, berdiri di koridor dengan wajah bodoh memandangi langit di luar jendela. Begitu biru, begitu luas dengan awan yang berarak pelan. Begitu cerah ya?

Lagi-lagi aku kehilangan konsentrasi saat terlalu berkonsentrasi memperhatikannya. Yah, kalau ada yang lebih menarik, dan membuatku selalu tertarik padanya, untuk apa aku memperhatikan hal lain? Aku bingung dengan pikiranku, sejak lama aku memakai logika dan sekarang sepertinya logikaku berbalik menusukku. Logika untuk menganalisis kenyataan yang tidak terbantah. Logika yang seringkali menuntutku untuk berbuat tidak sesuai dengan moral yang tidak sengaja ditanamkan dan lambat laun mendominasi diriku untuk selalu mengatakan itu hal yang wajar.

“Sakamotokun!” kudengar namanya dipanggil dan ia yang sedang kesulitan membawa buku langsung berhenti dan menoleh ke belakang.

Bisa kulihat matanya yang cantik itu berbinar senang. “Kamuisensei!” serunya membuatku menyesal memilih berdiri di balkon sekolah sebelah barat ini.

“Nah...” kulihat pria jangkung itu tersenyum padanya, “Sagachan, mau ke tempatku?” kudengar suara merendah.

Argh sial! Aku yang sedang duduk di balkon dan tidak terlihat oleh mereka merasa sangat sial, merasa sangat panas mendengar obrolan mesra mereka tepat di depanku. Terlebih lagi dari sudut ini aku bisa melihat ekspresi pemuda cantik yang selalu aku kagumi itu sedang malu. Wajah cantiknya memerah dan matanya menatap pria itu dengan penuh harap. Sial! Sial! Sial!!! Dia manis sekali!

“Gakusan... tapi bagaimana dengan Torakun? Aku tidak enak jika kehadiranku menjadi pengganggu bagi dirinya.” Dari sini bisa Saga menatap pria itu dengan tatapan khawatir yang sama yang seringkali ia tujukan padaku. Ah, jadi dia mengasihaniku juga rupanya?

Senyum lebar tersungging di wajahnya, terpeta jelas di otakku karena sudah tujuh belas tahun kehidupanku menyaksikan senyum yang sama. “Anakku itu akan baik-baik saja, Sagachan.” Tangannya mengusap rambut kemerahan Saga yang selalu harum lavender itu dengan perlahan—aku berulang kali tidak sengaja menciumnya, oke, aku sengaja. Yah, padahal aku sangat menginginkan bahwa akulah yang harusnya berada di sana, akulah yang harusnya memperlakukan Saga dengan lembut seperti itu.

“Ta-tapi Torakun terlihat tidak senang jika aku ada di dekatnya,” tutur Saga begitu polos membuatku gemas. Hei, bukannya aku tidak senang, aku ini malah sangat senang, hanya saja aku tidak bisa menunjukkan perasaanku yang sesungguhnya ini kepadamu.

“Shhtt!” Tangannya makin turun ke pinggang ramping itu, memeluknya sambil mengambil sebagian buku di tangan Saga dengan tangan lainnya. “Tidak apa-apa, nanti Tora kusuruh main ke luar, kita bisa menghabiskan waktu berdua bersama... ‘kan?” begitu kulihat tangannya mulai meremas tubuh bagian belakang Saga dan mulutnya menciumi leher jenjangnya dengan nafsu, aku langsung memalingkan muka.

Kudengar suara lembut itu mendesah, meminta ayahku untuk berhenti dan mencoba melepaskan diri dengan alasan mau mengembalikan buku ke perpustakaan. Kudengar lagi suara ayahku yang merayunya dan berjanji untuk mengantarnya, tetapi yang selanjutnya terdengar adalah suara desahan dan erangan tertahan disambung rintihan yang membuat bulu kudukku meremang. Entah apa yang mereka lakukan di koridor yang sudah sepi sejak usainya jam pelajaran sejam yang lalu. Astaga, mereka tidak takut ketahuan ya? Satu hal yang aku yakini, desahan dan erangan itu sepertinya akan terekam dengan jelas dalam otakku dan tidak akan pernah bisa dihapus lagi.

Suara itu terlalu indah.

~†~†~†~

“Tadaima,” dengan langkah gontai aku melepas sepatu dan melihat ada sepatu dengan ukuran dua nomor lebih kecil di rak. Sepatu anak sekolah yang kurang lebih mirip dengan milikku. Sepatu Saga.

“Okaeri~” suara bernada manis itu menyapaku.

Andai, aku mendengarkannya hanya untukku sendiri. Berdiri dan menuju ruang makan, Saga dengan hanya mengenakan kaus lengan pendek coklat kebesaran dan celana khaki super pendek lengkap dengan apron ungu polkadot berdiri di koridor dengan wajah gembira. Argh! Astaga!! Aku butuh tissue! Tissue!!!

“To-Torakun!!!” nada paniknya menyadarkanku. “Kamu sakit? Torakun mimisan!” katanya setengah terpekik membuatku refleks menyentuh atas bibirku, basah. Ah, sudah kubilang kan kalau aku butuh tissue...

Yang kutahu selanjutnya aku sudah berbaring di sofa selagi ia membersihkan darah yang mengalir dari hidungku. Dasar payah, rutukku pada diri sendiri. Sudah keberapa kalinya aku membuatnya khawatir begini? Aku memang egois, dan dia selalu sabar meladeniku yang seringkali seperti anak hilang haus akan perhatian. Perhatiannya tentu saja.

Mataku memindai tiap lekuk wajahnya yang begitu sempurna, layaknya manekin yang tidak pernah bisa berhenti kukagumi. Tidak apa-apa kan kalau aku mengagumi hal-hal yang indah? Apalagi jika hal indah itu berada tepat di depan mataku, tentunya akan sulit mengalihkan pandanganku darinya. Err, alasan yang lemah lagi ya?

“Sagachan, supnya sudah mendidih,” ceteluk ayah dari dapur.

“Ya, Gakusan, matikan saja,” dan kilasan warna merah kecoklatan rambutnya terpeta jelas di ingatanku sebelum akhirnya ia beranjak pergi ke dapur, tidak lupa melemparkan pandangan meminta maaf padaku. Tolong jangan berikan aku pandangan itu, seandainya saja aku bisa mengucapkannya pada Saga yang sekarang sibuk menuang sup ke tiga buah mangkuk berikut menata meja makan kami—ayah dan aku maksudnya.

Ya, semenjak hubungan antara ayah dan Saga—teman sekelasku—sudah berjalan dua tahun ini, menyambangi rumah, memasak, sampai bersih-bersih agaknya sudah menjadi jadwal rutin di agendanya. Aku merasa dia menjadi pengganti ibuku karena ayah selalu menyanjungnya, dengan caranya sendiri, dan Saga selalu membantunya dalam urusan rumah tangga. Sisanya aku, aku berperan sebagai seorang anak, penyimpan dan pelindung rahasia yang terasa akan sangat sulit untuk dibeberkan dan dipercaya oleh orang lain.

Bayangkan saja jika aku dengan ringannya mengatakan pada bibi tetangga, “Bi, sebenarnya Saga itu pacaran dengan ayah, bukan denganku.” Pasti keluarga kami langsung hancur berantakan diterpa berbagai makian dan cemoohan serta kecaman dari sana-sini. Hal terakhir yang sebenarnya paling tidak ingin kulakukan, tetapi nyatanya harus, yaitu menutup mulutku dan mencoba mengentaskan segala macam perasaanku padanya.

Demi Saga, demi ayah, demi diriku, dan demi Hiroto.

Hiroto, adik kecilku yang tidak akan pernah kulupakan meski sekarang ia sudah tidak akan pernah hadir di antara kami lagi. Ia adalah seorang anak yang sangat periang, rambutnya berwarna pirang menyala, keturunan dari ibu tiriku. Eh, aku juga belum bilang ya kalau aku ini masih memiliki darah Prancis dan adikku memiliki keturunan darah Jerman?

Jadi, Hiroto itu anak dari istri kedua ayahku yang sudah lama berpisah sejak Hiroto masih batita—aku sendiri masih berusia empat tahun. Nah, ayahku yang memang berasal berdarah Prancis-Jepang menikah dengan wanita Jepang yang bermukim di Prancis, dan lahirlah aku. Tak lama berselang, ibuku sakit karena kanker rahim yang sangat ganas, menggerogoti tubuhnya dengan perlahan tapi pasti hingga ibu kembali ke pangkuan yang Maha Kuasa tepat setahun setelah aku mampu mencerna makanan padatku. Tahun-tahun itu begitu berat bagi ayah, dan aku yang masih terlalu kecil tidak mengerti kerumitannya dari sekelumit ingatanku saja.

Hiroto itu merupakan anak yang penuh semangat, meski ia baru resmi tinggal di Prancis saat berusia tiga tahun, ia mampu beradaptasi dengan cepat, dan memberikan warna baru yang lebih cerah pada kehidupanku dan ayah. Aku ingat ketika ia berceloteh ingin menjadi polisi dengan seragam birunya yang keren, memakai topi dan lencana yang berkilauan yang bisa ia banggakan serta menangkap orang jahat dan menolong banyak orang. Celotehan sederhana dan penuh harapan dari seorang anak kecil yang memiliki hidup yang begitu singkat.

Adik kecilku itu tidak bertahan hingga musim dingin kedua belas pada kehidupannya. Sekitar tiga tahun yang lalu, di mana aku masih di sekolah menengah dan menempuh ujian kelulusan sekola menengah atas yang bagaikan neraka. Hiroto sendiri sudah merasakan ujian yang beratus-ratus kali lipat beratnya, ujian kehidupan.

Ia meregang nyawa oleh karena leukimia dan kelainan jantung bawaan yang dideritanya tidak kunjung membaik meski sudah dilakukan kemoterapi dan pengobatan selama lima tahun terakhir yang menyebabkan sebagian besar rambut pirang indahnya rontok. Bersamaan dengan rontoknya segala harapanku untuk mengajak adikku bermain bersama, berbagi pengalaman bersama, bertumbuh bersama. Tubuh Hiroto yang dulunya sangat sehat di Prancis hingga akhirnya ketika kami pindah ke Jepang, ia mengalami perubahan sedikit demi sedikit yang begitu nyata dan mengerikan. Ingatanku akan tubuhnya yang semakin pucat, ringkih dan sulit bergerak membayangiku, menghantui sampai saat ini. Permohonannya untuk bertemu dengan ibu kandungnya di saat-saat terakhirpun tidak bisa ayah wujudkan. Ia meninggal dengan perjuangan bertahan hidupnya yang tidak bisa dibilang sebentar.

Anak sekecil itu harus mengalami berbagai macam hal yang membuat mentalnya seharusnya perlahan-lahan ikut terkikis tetapi tidak pernah terjadi. Hiroto selalu dengan kuatnya tersenyum bangga di kala aku menunjukkan medali atau piala atau piagam atau sekedar selembar kertas ujian dengan nilai bagus yang selalu kuusahakan untuk kuraih sebanyak-banyaknya. Demi bisa melihatnya tertawa bahagia bersamaku. Tiap kata-kata penyemangat yang ia berikan terdengar miris di telingaku karena seharusnya ialah yang kusemangati untuk tetap bertahan.

Adik kecilku, aku hanya ingin kau bertahan lebih lama lagi, aku ingin kau melihatku meraih semua yang tidak mampu kau raih akan segala keterbatasanmu yang membuat dadaku selalu sesak jika mengingatnya. Aku ingin melihat senyummu, tertawa bersamamu dan bersama ayah sebentar lagi saja, tidakkah kau melihat tangisku di balik ukiran senyumku?

“Tora?” suara ayah menyadarkanku dari lamunanku sendiri. Kulihat wajahnya yang kental akan perpaduan garis halus dan tegas yang merupakan versi lebih tua dari wajahku, dengan mata hazel keemasan yang agaknya tidak terlihat begitu berbeda dengan mataku sendiri.

“Torakun, ayo dimakan nanti keburu dingin,” sambung suara lain yang bernada lebih lembut.

Aku mengangguk secara otomatis, menyuap nasi dan mengunyahnya perlahan sembari memperhatikan tangan putih Saga yang lentik menyuapi tumisan daging pada ayahku yang dengan lahap memakannya seakan aku tidak akan menggubrisnya. Memang aku tidak akan menggubrisnya, melainkan melihat mereka berdua yang seperti pengantin baru bermesraan di depan mataku dengan senyum yang menggantung lemah. Pada saat itu, aku jadi makin sadar kenapa aku berhenti membuat orang lain berharap yang terbaik dariku dan lebih membutuhkan orang-orang ini di sampingku.

Karena aku sudah cukup kehilangan lagi, baiknya sekarang aku menyimpan apa yang tidak perlu kukeluarkan dan menikmati momenku dengan orang-orang yang selalu menyayangiku. Meski terkadang rasanya sakit.


LA FIN...?

2 komentar:

  1. chotto matte..... ini Gaku jadi bapaknya Tora? O_O
    banyak yang typo Sa wkwk. eh tapi entah kenapa aku ngerasa gaya penulisan fanfic Saa beda sama yang dulu ._. apa karena uda lama ga baca ya, tapi emang beda sih(?)
    dulu kadang sampe baca beberapa kali biar ngerti, tapi itu malah asiknya dan bikin fic sachun beda ><
    gomen banyak protes(?) *plak* tapi overall bagus sih teteeeppp... dan ga ketebak lol kirain awal tadi yang di kelasnya itu si gaku O_O
    thanks btw Saa uda bolehkn baca hohoho

    BalasHapus
    Balasan
    1. sankyuu ya Caprii udah baca!!
      Wakakak sekarang gaya penulisan jadi lebih aneh, jelas atau gimana? Bedanya gimana? Aneh ya??? XDa
      ga apa protes kan jadi saya bisa memperbaiki
      asik asik susah ketebak? Maaf pendek nanti oneshot selanjutnya saya lanjut penjelasannya ya
      sekali lagi terimakasih!!

      Hapus