Title: Out Of the Blue
Chapter: one-shot
Starring: Alice Nine
Author: xellonich a.k.a Suzuki Sachino
Pairing: Tora x Saga
Rating: PG
Genre: fluff
| drama
| romance | mystery
Warning: none.
Words: 4962.
Words: 4962.
Disclaimer: I’m only owned the story; they belong to whoever GOD up! (_
_ )a
Comment: Terima kasih pada mata kuliah Nihon
Bunka, dan pada minggu tenang yang sama sekali membuat saya tidak tenang~~
(TT ^ TT)
(TT ^ TT)
Hatsumode,
merupakan kegiatan di mana seluruh rakyat Jepang akan pergi ke kuil di pagi
pertama tahun baru. Biasa ini dilakukan pada tiga hari pertama di saat ganjitsu
atau tahun baru, yaitu pada tanggal satu sampai pada tanggal tiga Januari.
Mereka akan berdoa di kuil bersama dengan jutaan rakyat lainnya, memohon berkat
dan rahmat untuk tahun yang lebih baik dari tahun yang sebelumnya.
Tak
terkecuali Saga yang sejak jauh-jauh hari mempersiapkan rencana untuk pergi ke
Kuil Meiji, salah satu kuil terkenal yang ada di wilayah Tokyo. Sebenarnya ini
bukan rencananya, hanya saja Nao, temannya yang terlalu bersemangat yang
menyarankannya, padahal jika dipikir jika ia datang ke kuil yang ada di ujung
jalan dekat kaki bukit yang ada di dekat mansion-nya
pasti akan lebih praktis. Tapi Nao tetaplah Nao, dengan keras kepala ia
membujuk Saga, dan Saga yang tetaplah Saga, dengan patuh mengiyakan karena ia
terlalu sayang kepada temannya yang malah mau membawa Kai, kekasihnya itu ikut
serta. Tidak apalah, pikir Saga, mungkin dengan begitu ia tidak perlu berjalan
kaki karena Kai mempunyai mobil Porsche putih susu yang cukup nyaman. Kemudian
mereka akan makan osechi ryouri, makanan khas tahun baru yang dipesan Kai dari
sebuah restoran yang mengkhususkan diri untuk buka pada saat tahun baru dan
mengantarkan osechi ryouri langsung ke rumah para pelanggan.
Dua
minggu lagi. Saga mencatat janji dengan Nao di agenda barunya, tepat di angka
dua Januari pukul empat pagi. Ah, Nao, Saga hanya bisa mendesah, dengan keras
kepala lagi Nao menyatakan bahwa ia ingin melihat matahari terbit dari bukit
dekat kuil Meiji yang katanya ‘sangat indah dan mempesona’ dan Saga harus
melihatnya. Penekanan di kata ‘harus’.
Nao
berujar, bahwa pada saat itulah para dewa terbangun dengan segar dan siap mendengarkan
permohonan kita sehingga dapat dikabulkan dengan sesegera mungkin. Anggukan
pasrah Saga siang tadilah yang membuat Nao tersenyum senang, sangat senang dan
merencanakan semuanya itu dengan Kai yang juga hanya patuh mengiyakan. Paling
tidak Kai juga senasib dengannya, dan ia harus menjemput Nao jam tiga pagi,
atau tidak? Karena kemungkinan besar Kai malah akan menginap di apartment Nao dan melakukan hal yang
tidak sepantasnya untuk diperbincangkan di muka umum, terlebih dengan banyak
anak di bawah umur di sekitarnya.
“Sakamoto-kun,
ohayou gozaimasu,” seorang pria tua berusia lanjut menyapa Saga yang sedang
mengeluarkan sampah kaleng sesuai dengan jadwal yang diberikan landlord awal bulan ini.
“Amano-san,
ohayou gozaimasu,” ia membungkuk sedikit dan memasang senyum terbaiknya kepada
pria yang dikenal murah hati itu.
“Cuacanya
kurang bagus ya?” pria itu terbatuk dan melirik lewat ke luar pintu besi tempat
pembuangan sampah itu dengan wajah sedih.
“Iya,
Amano-san mau kubantu?” pemuda itu memapah Amano-san yang tertatih berjalan ke
luar, disambut dengan hujan salju yang membuat tulang terasa ngilu.
“Terima
kasih, Sakamoto-kun, aku ini sudah terlalu letih jika harus berjalan sendiri
membuang sampah atau sekedar ke luar dari kamarku,” ucapnya lirih sembari
tersenyum. Memang, di usianya yang mencapai delapan puluh tahun ini Amano-san
terlihat kurang sehat meski ada perawat yang datang tiga kali seminggu untuk
membantunya.
“Kalau
butuh bantuan, Amano-san bisa saja meminta tolong padaku, kamarku hanya ada
satu lantai di bawah kamar Amano-san dan letak elevator mansion kita tidak terlalu jauh dengan kamarku,” tawar
Saga ramah selagi mengetik password
untuk membuka sliding glass door
mansion itu.
Pria
tua itu menepuk punggung Saga, “baik sekali kau, Sakamoto-kun, bagaimana jika
kau mampir ke tempatku? Kemarin anakku mengirim nure-senbei dan mochi.”
“Terima
kasih atas keramahannya, Amano-san,” ia menekan tombol lantai yang tertera di
sebelah pintu elevator. Begitu terdengar bunyi yang menandakan elevator itu
berhenti mereka ke luar dan berjalan hingga ke ujung dan membuka salah satu
pintu mansion berwarna biru itu.
Sudah
dua jam sejak Saga tiba di sana. Pria tua itu menyuguhkan teh genmai yang
menghangatkan badannya dan nure-senbei yang terasa sangat manis namun pas di
lidah. Amano-san memang salah satu lansia yang ramah di lingkungan ini dan
tergabung dalam perkumpulan yang terkadang saling bertemu seminggu sekali,
namun dikarenakan cuaca yang kurang baik sepertinya pertemuan minggu ini
dibatalkan dan ia yang merasa kesepian mengajak Saga bertandang untuk menjadi
teman bicaranya.
“Sudah
jarang anak muda yang sopan sepertimu, Sakamoto-kun.” Ia berujar terlebih pada
dirinya sendiri dengan tatapan menerawang. Saga hanya tersenyum, berhati-hati
menuang teh genmai ke cangkir teh pria tersebut. “Mayoritas masyarakat sudah
tidak menghargai kami lagi, kaum yang lebih tua dan seringkali dipandang
sebagai parasit,” senyum sedih terukir di wajah tuanya yang pebuh keriput dan
bintik hitam membuat Saga menghentikan aktivitas menguyah nure-senbei-nya dan
menunduk dalam.
“Kau
begitu baik dan perhatian kepada siapa saja, kebaikan hatimu itu seperti
mutiara yang harus disimpan, dijaga dan dipoles dengan semestinya,” tangan
keriputnya yang agak pucat menggenggam tangan Saga yang seputih salju, terasa
dingin beberapa derajat daripadanya. “Aku jadi ingin menjodohkanmu dengan
cucuku,” senyum mengukir di wajah tuanya yang lelah, tetapi dengan lebih mantap
lagi, senyum bahagia.
Saga
terdiam beberapa detik, manik mata emerald-nya
membulat sempurna. “Eh?!”
Pria
itu melepas tangannya, “Ahahah, wajahmu lucu sekali,” ia terbahak sendiri
membuat Saga menghembuskan nafas lega. “Harusnya kau lihat wajahmu tadi!” ia
menepuk-nepuk kedua pahanya yang duduk bersila, tidak seperti Saga yang duduk
bertelut – untuk bersikap lebih sopan.
Pemuda
berambut coklat kemerahan itu ikut tertawa kecil dan terdengar manis,
“Amano-san bisa saja...” komentarnya.
Amano-san
menghapus air mata di ujung matanya yang berwarna kelabu kehijauan itu dan
menatap Saga dengan punggung tegap, “tapi aku serius, Sakamoto-kun.” Sorot
matanya yang tajam membuat Saga menelan ludahnya. “Hei, tehmu sudah hampir
habis, apa kau mau menuangnya lagi?” ia menengok ke cangkir teh Saga yang
seperempat penuh.
Saga
melihat isi cangkirnya sendiri, “a-ah tidak usah repot-repot, ini sudah cukup,”
ia memutar cangkir tehnya tiga kali searah jarum jam dan meneguknya perlahan
sampai habis kemudian mengelapnya dengan ibu jari dan memutarnya kembali
berlawan dengan arah jarum jam, persis seperti pada saat upacara minum teh.
“Terima kasih atas teh-nya,” ia menunduk ke arah Amano-san yang tersenyum
simpul.
“Terima
kasih atas kesediaanmu untuk bertandang ke tempatku, Sakamoto-kun, aku harap
aku masih bisa mengajakmu bertandang ke mari di lain waktu,” pria itu tersenyum
mempersilakan Saga untuk pulang.
Pemuda
itu berdiri, mengambil syalnya di tempat penyimpanan mantel dan ketika sedang
memakai sneakers-nya pria itu berucap
lagi, “Perkataanku hari ini, tolong jangan dilupakan.” Nada serius kental terdengar
di dalam setiap suku katanya.
Saga
hanya mengangguk bingung, “Baiklah saya permisi dulu, terima kasih Amano-san,
semoga saya bisa bertandang lagi di lain waktu.” Ia berdiri kemudian menunduk
dan membuka pintu.
Ia
menganggap pria tua itu hanya kesepian dan butuh teman jadi apa salahnya
bersikap sopan untuk menemaninya sebentar saja. Saga membetulkan letak syalnya
sembari berjalan, ujung syalnya menyapu mantel seseorang yang berpapasan
dengannya di koridor. “Maaf!” serunya cepat, menarik syal abu-abunya yang tidak
sengaja tersangkut di kancing mantel hitam orang tersebut.
Pemuda
jangkung berambut hitam yang ditabraknya itu hanya menatapnya, “tidak apa-apa.”
Ia membantu Saga melepas ujung syalnya dan berjalan kembali.
“Ma-maaf!”
Saga membungkuk yang tentu saja sia-sia karena pemuda berambut hitam yang
terkesan dingin itu tidak melihatnya. Ia mendesah dan melanjutkan langkahnya
tetapi menoleh kembali dan melihat sekilas pemuda itu memasuki salah satu
pintu, yang paling ujung.
~†~†~†~
“Lihat!
Kai-kun, ada Gundam Café!” Nao menarik – setengah menyeret tangan Kai yang
terlihat penuh memegang tas belanja yang Nao hasilkan dari hasil perburuannya
di Akihabara sejak pagi ke arah café
tersebut. Sebagian besar adalah game
yang baru saja dirilis dan majalah musik yang mengulas tentang artist
favoritnya.
“Nao
mau pesan apa?” Kai menatap Nao yang menelusuri buku menu dengan penuh minat.
“Moccachino, cheesecake, dan double melon ice cream,” ucapnya.
“Saya
pesan moccachino, cheesecake, double
melon ice cream, wagyu steak set, chocolate chip ice cream dan esspreso,” ia tersenyum pada pelayan
berpenampilan seperti Lacus Clyne dari anime Gundam Seed yang segera mengangguk
kemudian beralih ke meja pemesanan dengan cepat.
Selagi
mereka menunggu pesanan, Nao mengetik
email pada Saga, mengajaknya untuk datang ke Gundam Café tempatnya berada.
“Kau sedang apa?” Kai bertanya.
“Mengajak
Sagacchi datang ke sini,” ucapnya ringan.
“Jangan
begitu, jangan langsung mengajaknya seperti itu, mungkin saja Sakamoto-kun ada
keperluan lain, lebih baik jangan mengganggunya.” Kai menasihati kekasihnya itu
dengan sabar.
“Tapi
dia pasti datang kok, dia sudah membalas email-ku,
lagipula aku sudah merencanakannya sejak dua hari yang lalu,” kilahnya.
“Ini
‘kan malam Natal, mungkin Sakamoto-kun sedang bersama kekasihnya dan sibuk
sendiri.”
Nao
tertawa renyah, “Sagacchi belum mempunyai kekasih, Kai-kun, ia pasti sedang
menonton TV atau bermalas-malasan, Sagacchi itu anak rumahan.” Ia melanjutkan
mengetik lagi.
“Hh...
meski begitu belum tentu ia tidak punya acara lain ‘kan,” Kai menata pesanan
mereka yang sudah datang.
“Sudahlah,
nanti dia pasti datang, lihat saja!” ucapnya yakin dan agak keras kepala kemudian
menyendok penuh double melon ice cream-nya
ke dalam mulutnya.
Setengah
jam kemudian, setelah Nao memesan cangkir moccachino-nya
yang kedua, Saga datang dengan terengah-engah, syal merah tuanya terlihat basah
diterpa hujan salju dan angin dingin. “Maaf aku terlambat,” engahnya sembari
duduk dan melepas mantel coklatnya yang basah.
“Tidak
juga kok, kau mau pesan apa?” Nao bertanya dengan ceria melihat pelayan yang
lewat menghampirinya.
“Yang
sama denganmu saja,” ia menebas salju yang mencair di ujung celananya.
Nao
mengucap ulang pesanannya dan menoleh pada Saga, “Kau pucat sekali,”
komentarnya.
“Wajahku
sudah seperti ini sejak lahir, Nao,” jawabnya sedikit malas.
“Tapi
ini beda, kau kenapa?”
“Hanya
pekerjaan yang berlebih, tugasku untuk syarat UAS membuat makalah dan artikel
ilmiah jadi mau tak mau aku harus mengirimkannya sebelum tahun baru,” mata Saga
melihat kantung belanja yang ada di sebelah Kai, “itu apa?”
“Game, majalah, dan sejenisnya,” Kai
menjawab.
“Uke-san
pasti repot ya?” ia bertanya kepada Kai penuh simpati.
“Ah
tidak,” pemuda berambut hitam itu tersenyum menampilkan lesung pipinya, “hobiku
juga musik dan game jadi ini tidak
memberatkanku sama sekali, lagipula aku ini kan pacar Nao,” ia meraih tangan
Nao dan menatap manik mata hazel Nao dengan tatapan sayang membuat Saga iri
melihatnya.
Sahabatnya
ini memang beruntung, mendapatkan kekasih yang sangat perhatian dan mengerti
dirinya. Sejak tiga tahun yang lalu, sejak awal SMA, dan Nao serta Kai sebagai
seniornya sekelas, ia merasa seperti pajangan saja jika bersama mereka. Ya, Nao
memang bersahabat dengannya tetapi ia dan Nao mempunyai selisih usia dua tahun
dan sekarang Nao sudah bekerja, sementara Saga baru saja mengenal dunia kampus
yang menurutnya terasa asing dan kurang bersahabat.
“Ne
Sagacchi, ayo kita lihat gunpla di sana,” Nao menunjuk ke etalase yang memajang
berbagai jenis gunpla di dalamnya. Lagi, Saga dengan patuh beranjak dari kesibukannya
memakan double melon ice cream yang
dipesannya dan menuju etalase bersama Nao, meninggalkan Kai yang hanya
tersenyum simpul. Dasar Nao.
Saga
berjalan, memisahkan diri dari Nao dan Kai yang mengantri tiket bioskop. ‘One Piece Z itu keren!!!’ Saga mengingat
kata-kata Nao yang bersemangat, ia sudah menontonnya dua kali dan katanya ia
ingin menontonnya untuk ketiga kali sebelum tahun baru bersama Kai – yang
tentunya sudah diajak Nao menonton di kesempatan sebelumnya. Ia tersenyum kecil
dan menghampiri konter penjual popcorn dan
latte, setelah memesan dan membayar
untuk tiga orang, tidak sengaja matanya menangkap sosok berambut hitam
acak-acakan yang rasanya pernah ia lihat sebelumnya, tidak terasa asing.
Siapa?
Saga mengernyitkan dahi melihat orang itu terlihat tergesa-gesa ke luar dari
bioskop dan menyebrang jalan. Ia berbalik perlahan dan berjalan, menyeimbangkan
latte yang ada di atas nampan dan
tiga kantung popcorn yang ia jinjing.
Di depan pintu masuk theatre Nao dan
Kai menunggunya.
“Jaa
ne Sagacchi~” Nao melambai padanya dari balik kaca mobil Porsche putih susu Kai yang berkilau.
“Jaa
mata, ki o tsukete,” Saga membalas lambaiannya dan berjalan ke arah gedung
mansion yang menjulang di antara gedung lainnya. Pemuda itu berjalan ke konbini
yang terletak tepat di sebelah masionnya. Ia berjalan ke arah rak pendingin
yang menyediakan makanan beku dan mengambil beberapa kotak bento siap saji dari
dalamnya. Saga berbalik dan mengambil makanan kecil juga jus serta beberapa
botol air mineral untuk persediaannya. Niatnya adalah untuk tidak ke luar
sepanjang Natal sampai sebelum tahun baru supaya ia bisa cepat mengirimkan email tugasnya dan belajar.
Jalanan
penuh dengan lampu berwarna jingga, hijau dan merah menyemarakan malam musim dingin
yang gelap itu. Bulan yang muncul tertutup kabut awan tipis yang membentuk halo
berwarna keperakan di langit, membuat Saga melangkahkan kakinya dengan cepat ke
mansionnya.
Angin
dingin menerpa, menelusup ke celah sarung tangan dan mantel Saga yang sudah ia
rapatkan. Mungkin landlord lupa
menyetel suhu koridor supaya lebih tinggi, Saga mendesah, menunggu elevator terbuka, tangannya terasa
kebas dan tidak nyaman. Begitu pintu elevator
terbuka, ia langsung masuk dan melihat Amano-san tersenyum padanya.
“Amano-san?
Konbanwa,” sapa Saga dan pria tua itu tersenyum, berjalan ke luar elevator dalam diam. Saga menatapnya
aneh. Apa ia ingin bersantai di ruang duduk yang ada di lobi ya? Pikir Saga
namun pintu elevator langsung menutup
dan mengantarnya ke lantai yang ia tuju, meskipun rasa dingin yang dari tadi ia
rasa masih merambati punggungnya.
~†~†~†~
Teh
genmai yang Saga minum pagi itu membuatnya lebih hangat dan mengerjakan sisa
tugasnya dengan semangat. Tiga malam sebelumnya setelah perayaan Natal yang
langsung Saga tolak mentah-mentah, ia melihat sekotak teh genmai bersama sebuah
surat di dalam kotak suratnya yang ada di lantai dasar, di luar lobi mansion.
Ia yang masih mengenakan piyama dan sweater hijau tua di atasnya mengambilnya
dengan ragu. Selain teh genmai dan surat itu, masih ada surat tebal dari
universitasnya. Mungkin kurang kerjaan atau apa, sehingga surat tebal itu
dikirim di hari Natal.
Saga
mengisi cangkirnya dengan teh genmai lagi dan mengetik di notebook-nya. Tugasnya itu sudah masuk ke dalam tahap akhir dan ia
memeriksanya berulang kali sebelum akhirnya mengirimnya ke email dosennya. “Owatta!” ia mengangkat tangannya dan melemaskan
otot-ototnya yang terasa kaku karena seminggu ini hanya bergerak sedikit dan ia
merasa sangat lelah.
Ia
membuka jendelanya, melihat salju masih turun dengan intensitas yang sama
dengan hari-hari sebelumnya, “Ohayou~” ia merentangkan tangannya, menghirup
udara dingin yang terasa segar dalam-dalam kemudin menghembuskannya kembali.
Pemuda
itu mengambil handuknya dan mandi, setelah tadi menyetel ofuro-nya dengan suhu
yang pas di cuaca sedingin ini. Setengah jam kemudian ia duduk di sofa,
menonton TV sembari memakan ramen instant
yang ia buat, sarapan sekaligus makan siangnya hari ini.
Sebenarnya
pemuda itu masih merasa terganggu dengan surat yang dikirim bersama teh genmai
itu. Surat dengan tulisan yang terlihat gemetar namun dengan kata-kata yang
tegas dan menyiratkan sesuatu yang kurang bisa Saga terjemahkan dengan baik.
Tangannya mengambil surat yang ditulis di atas kertas tebal berwarna krem
dengan wangi yang kuat, seperti harum kayu yang menyenangkan.
‘Sakamoto-kun,
di musim dingin yang tidak bisa kujalani sebaik dulu ini, aku harap kau bisa
hidup dengan lebih bak. Bilamana Sakamoto-kun merasa ada yang mengganjal,
silakan bertandang ke tempatku, aku akan mendengarkanmu dan aku akan mencoba
memberi petunjuk yang tepat. Sakamoto-kun, tolong ingat janjiku, bersama teh
genmai ini, maukah kau bertandang ke tempatku lebih sering?’
Desahannya
terdengar jelas, ia beranjak dari duduknya dan mencuri bekas mangkuk dan
cangkir yang ia gunakan sejak kemarin. Bukannya ia malas, hanya saja ia sedikit
repot dengan tugas-tugasnya dan hari ini ia bertekad merapikan tempatnya
sendiri. Mencuci piring disusul mencuci baju sembari menyedot debu dan memasang
kembali sprei yang ia gunakan. Tak lama jemurannya sudah tergantung lemas di atas
mesin cucinya yang sudah berhenti berbunyi, penyedot debunya sudah masuk ke
dalam lemari penyimpanan dan gelas, cangkir, dan mangkuknya telah berkilau di
dalam lemari.
Saga
tersenyum senang dan memutuskan untuk berjalan-jalan ke luar sebentar, ia
memakai sweater coklat muda, syal krem, mantel coklat yang menyentuh lututnya dan
jeans hitam kemudian memakai sepatu boots-nya.
Setelah mengunci pintu dan menyusuri koridor yang sepi, ia berhenti di depan
pintu elevator yang langsung terbuka.
Seorang
pria tua mengenakan sweater tebal
berwarna pucat berikut dengan syalnya yang berwarna serasi dan celana olahraga
berwarna gelap menyambutnya dengan senyum ramah. “Konnichiwa Amano-san!” sapa
Saga ramah kemudian masuk ke dalam elevator,
“Amano-san mau saya antar?” tawar Saga baik hati, dan lagi-lagi rasa dingin
yang janggal merambatinya, membuat bulu kuduknya meremang. Mungkin karena pagi
itu dingin?
“Terima
kasih Sakamoto-kun, bagaimana jika kau mampir ke tempatku?” pria itu tersenyum
pada Saga yang tanpa berpikir dua kali mengangguk pelan dan memandangi pintu elevator. Begitu pintu elevator terbuka, ia mau memapah
Amano-san tetapi hanya menangkap udara
kosong.
Wajah
manisnya terlihat bingung dan tanpa sadar menapak ke luar dari elevator. Ia masih merasa aneh terlebih
saat melihat seseorang berjalan di koridor lantai itu, menuju pintu tertutup di
ujung sana. Punggung dan rambut hitam acak-acakan yang terasa sangat familiar.
“Hei!” tanpa sadar Saga berteriak memanggil pemuda yang langsung menoleh
padanya.
Saga
berlari ke arah pemuda yang menatapnya dengan tatapan aneh tersebut – dan
apakah itu terlihat muram? “Hei, maaf,” setelah didekati dan diperhatikan,
pemuda berambut hitam itu lebih tinggi darinya dan matanya tidak sepenuhnya
hitam, ada seberkas warna kelabu dan hijau di manik matanya yang terlihat tajam
dan kurang bersahabat. “Apa kau kerabat penghuni di sini?” ia melirik pada
pintu biru yang tertutup itu.
“Ya,”
jawabnya singkat.
“Boleh
aku ikut masuk untuk mengunjungi tempatnya juga?” Saga menengadah sedikit untuk
menatap manik mata yang tidak asing itu.
Tangan
pemuda jangkung itu terlihat menggenggam kunci pintunya keras-keras, “ya,”
jawabnya tertahan dan Saga memperhatikannya.
“Ada
apa? Tadi aku mau mengantarnya ke sini, tapi Amano–”
“Tidak
ada.” Ia menatap mata emerald Saga
lekat-lekat, dan Saga terpaku. “Kakekku tidak ada.”
“Ma-maaf?”
tatapan bingung Saga semakin membuat pemuda itu terlihat kurang nyaman. Manik emerald mata Saga melihat pemuda itu
mendesah dan mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya bersuara dengan lirih.
“Kakekku
sudah tidak ada.” Ia melihat Saga menatapnya dengan nyalang, “dia meninggal
pada malam Natal yang lalu.”
“Ta-tapi
tadi beliau ada di dalam elevator,
bersamaku! Tadi Amano-san... Amano-san...” lidah Saga terasa kelu, dingin, rasa
dingin mulai itu merambati punggungnya, tengkuknya, buluk kuduknya meremang
kembali, seluruh badannya terasa begitu dingin dan ngilu. Lemas, Saga jatuh
terduduk ke lantai.
“Hei,
kau baik-baik saja?” Pemuda itu bertelut di depan Saga yang tampak pucat dan
gemetar. Ia tidak mau bergerak sama sekali dan tuburnya yang gemetar seakan
terpaku di titik di mana ia jatuh terduduk, air mata mengalir perlahan bagai
kristal bening tanpa terdengar isakan sedikit pun. Dengan nanar Saga menatap
pemuda berambut hitam itu dan menarik lengannya, membuat pemuda itu merasa
kelu.
“Aku
bersumpah, aku melihatnya... aku...” rangkaian kata yang sudah Saga susun
sedemikian rupa langsung buyar dan semuanya tergantung di ujung lidahnya yang
tidak mau bergerak, tenggorokannya tercekat.
Pemuda
itu menelan ludah, mencoba membasahi kerongkongannya yang terasa mengering dan
sempat kelihangan kata-kata, “mungkin kau mau masuk dulu?” ia mempersilakan dan
Saga mengangguk, mencoba berdiri di atas kakinya yang terasa lunglai sementara
pemuda itu membalikan badan, menyibukan diri untuk membuka kunci pintu itu
sementara matanya yang memanas menitikan air mata.
Seduhan
teh genmai yang pemuda itu angsurkan padanya membuatnya tersadar, “silakan
diminum, hanya ini yang kutemukan selain sake beras di lemari penyimpanan.”
Kata-kata pemuda itu terdengar berat dan pedih di telinga Saga.
“Terima
kasih,” pemuda berambut coklat kemerahan itu berujar lirih. Mereka berdua
terdiam lama sekali, hanya menatap cangkir teh masih-masing dengan isinya yang
masih mengepul, berada dalam kotatsu kecil yang dipasang di tengah ruangan,
mencoba menghangatkan tubuh mereka yang sama dinginnya dengan udara di luar,
tidak, mungkin lebih dingin lagi. “Beliau sangat menyukai teh genmai,” ucapnya
tiba-tiba membuat pemuda di hadapannya itu tersenyum simpul.
“Rasa
pedesaan,” jemari panjangnya menyentuh cangkir tehnya yang hangat. Saga mengangkat
wajahnya, memandangi pemuda itu yang ikut mengangkat wajahnya, selama seperkian
detik mata mereka bertemu dan seakan tidak ingin untuk saling melepaskan kontak
selama sepersekian detik. “Kakekku menyukai rasa pedesaan, rasa teh genmai yang
mengingatkannya pada ladang gandum di desa, ladang gandum yang ia olah dengan
tangannya sendiri.”
“Teh
ini juga yang ia kirimkan padaku pada Natal yang lalu.”
Pemuda
itu membelalakkan mata ,“Mustahil, sejak malam Natal, kakekku dirawat di rumah
sakit dan ia tidak tertolong lagi bahkan sebelum hari Natal datang.” Jelasnya
dan Saga terpaku.
“Tapi...
tapi waktu malam Natal aku bertemu dengannya di elevator, aku menyapanya dan tadi aku juga...” Saga menatap nyalang
ke arah pemuda yang menatapnya dengan tidak percaya. Rasa dingin yang kerap
merambati dirinya saat bertemu orang tua itu di kali terakhir, wajah yang
begitu tenang dan seakan tidak menyiratkan apa pun berikut udara kosong yang
ditangkapnya saat ia ingin menggandeng dan memapahnya. “Apakah... apakah... mungkin
i-itu rohnya?” tanya Saga tanpa sadar setengah gemetar.
“Mungkin
saja,” dan jawaban singkat itu membuat perutnya bergolak dan ia kembali merasa
dingin menjalari tubuhnya.
“A...
Amano-san tinggal di mana?” tanya Saga yang tidak tahu-menahu asal orang tua
itu langsung mengalihkan pembicaraam.
“Kanagawa,
kampung halaman kami di Kanagawa, kota yang nyaman dan menyenangkan,” pemuda
itu menatap dalam ke dalam mata Saga yang terlihat penuh dengan rasa ingin tahu
meski terbersit seberkas rasa takut terlihat hingga akhirnya mereka terlihat
canggung dan melirik ke arah lain.
“Amano-san
merasa kesepian di sini, katanya ia sangat ingin bersama anak dan cucunya
sekali lagi, selagi beliau bisa.”
Pemuda
berambut hitam itu berdeham, “Kakekku memang terlalu sering berkata begitu. Di
akhir hayatnya pun, ia malah memilih mendatangimu dibandingkan aku. Rasanya ia
bahkan tidak menganggapku.”
Hening
lagi membuat mereka tidak tahu harus berkata apa lagi.
“Kenapa...”
suara lirih Saga terdengar kurang yakin tetapi mampu membuat pemuda itu
mengalihkan perhatiannya padanya. “Kenapa... Amano-san harus tinggal di mansion seperti ini? Kenapa ia tidak
bisa tinggal bersama dengan anaknya?”
Pertanyaan
yang terdengar polos itu membuatnya terdiam lama sekali sampai akhirnya berkata,
“Orang tuaku, mereka dan egonya sendiri. Mereka merasa bahwa kakek akan
menyusahkan jika ditinggal di kampung halaman dan berniat untuk merawatnya,
awalnya aku kira itu hal yang bagus dan kakek akan tinggal di rumah kami.” Ia berhenti dan meneguk teh genmai-nya
diikuti Saga yang juga meminumnya dengan tata cara yang terlatih membuat
pandangan pemuda itu jatuh kepadanya. “Kau seperti cucu yang ia impikan, cucu
yang baik hati, sopan, yang ia idamkan dapat membuat hidupnya di masa tua lebih
bahagia dan terasa hangat dibanding aku yang lebih mementingkan diri sendiri,
dan bahkan... bahkan tidak bisa membelanya saat ia harus pergi mencari tempat
tinggal lain saat anaknya sendiri merasa ia sudah terlalu merepotkan,” senyum
miris di wajah tampan itu membuat Saga rasa bersalah muncul dalam hatinya.
“Mereka
dan pendapat tolol mereka yang mengatakan bahwa kakekku terlalu rewel, terlalu
sering meminta yang bukan-bukan.” Setitik air mata membahasi pipi tirus itu
membuat Saga menunduk dalam, merasa sangat segan. “Mereka merasa kakek dan
penyakitnya terlalu memberatkan, dan mereka bilang asuransi kakekku sendiri
sudah cukup untuk menghidupinya, dan itu, meskipun memang benar, tetap saja...
tetap saja... ‘kan?” ia bertanya pada Saga yang menggenggam cangkir tehnya di
atas kotatsu erat-erat.
“Aku
rasa Amano-san tidak akan memandang keluargamu sejahat itu,” Saga menanggapi
dengan perasaan tercekat yang menghinggapi kerongkongannya. “Amano-san berkata,
bahwa keluarganya sangat hebat, anaknya sangat menyayanginya, terutama cucunya.
Ia berkata bahwa mereka semua menyayanginya, mengunjunginya tiap minggu, bahkan
sering mengiriminya makanan kesukaannya,” perkataan yang terdengar polos itu
membut pemuda itu ikut tersenyum. “Hanya saja mereka terlalu sibuk, sehingga
sepertinya mereka terkadang mengesampingkan dirinya yang sudah tua dan ada di
ujung hidupnya.”
Pemuda
itu mengusap wajah tampannya dengan tangannya yang besar. “Kau, yang sering
datang ke mari, bukan?” anggukan Saga memastikan pertanyaannya. “Sebelumnya aku
sering mendengarmu dari kakekku yang bersemangat, yang mengatakan ia bertemu
anak muda yang sangat sopan dan selalu menolongnya ketika ia membutuhkan jadi
aku tidak perlu khawatir.” Pemuda itu tertawa kecil, “dan karena itu aku sempat
bertengkar padanya, merasa tidak dihargai karena tiap minggu aku merasa sudah
menyempatkan diri datang ke sini untuk sekedar menemaninya yang seperti
pendongeng itu. Aku merasa, untuk apa repot-repot jika aku datang hanya untuk
mendengar keluhannya dan merasa tidak berguna tiap kali aku menjenguknya yang
ter-terlihat masih sehat-sehat saja itu.”
Saga
menangkap tangan pemuda yang lebih besar darinya itu, mengenggamnya dan
menampakkan perbedaan warna tangan yang cukup terlihat. Tangan pemuda itu
berwarna pucat, tetapi tidak sepucat Saga dan tangan itu terasa lebih hangat,
lebih hangat daripada tangan Saga yang sering kali tidak menampakkan warna
kemerahan sedikitpun. “Jangan begitu, Amano-san sangat menyayangimu. Beliau
selalu membanggakan anak dan cucunya, Amanosan selalu mengatakan bahwa
keluarganya sangat sukses dan berharap suatu hari nanti cucunya bisa sekuat
harimau yang tegap berdiri dan menghadapi semuanya tanpa gentar meski
di-dirinya sudah tidak ada di sampingnya lagi.” Suara Saga gemetar, dan air
mata membasahi pipinya lagi, kali ini lebih deras dan dengan isakan yang
terdengar begitu jelas di telinga pemuda berambut hitam legam itu. “Bahkan
matamu adalah mata yang sama dengan yang dimiliki Amano-san... kau sangat
berharga baginya, kau dan keluargamu,” jelasnya di sela isaknya yang makin
tidak terkontrol.
Pemuda
itu berdiri dan segera duduk di sampingnya, memeluknya yang langsung
menenggelamkan diri dalam pelukannya, membenamkan wajahnya di mantel hitam yang
tak asing itu. “Kakekku memang terlalu pandai membuat lelucon, padahal namaku
sendiri artinya sudah menjadi ‘harimau’.” Ia memaksakan dirinya tertawa yang
terdengar sangat janggal. “Aku Amano Tora, dan kau?”
“Sakamoto,
Sakamoto Saga.” Jawabnya pelan tapi mampu membuat pemuda bernama Tora itu
terdiam.
“Sakamoto?”
pemuda dalam pelukannya mengangguk pelan sekali, “Sakamoto-kun?!” ulangnya
sekali lagi membuat Saga menatapnya bingung.
“A-ada
apa?” ia merasa aneh melihat senyum lembut terpatri di wajah tampan itu.
“Aku
rasa aku tahu kenapa kakekku mengajakmu ke sini.” Ia menepuk pundak Saga.
“Sakamoto Saga, bersediakah kau menikah denganku, sesuai dengan permintaan
kakekku di dalam surat wasiatnya?”
Saga
memandang manik mata hitam dengan berkas kelabu kehijauan itu dengan wajah
bingung. “Eh??!” ia hampir berteriak dan Tora hanya tertawa kecil.
“Aku
rasa itu artinya iya,” ia menunduk, rambut hitamnya yang seperti tirai lembut
menyentuh pipi Saga dengan kelembutannya yang tak tercela. Saga terpaku,
merasakan nafas pemuda itu menyapu wajahnya, membuatnya mematung dan tidak bisa
mengalihkan pandangannya dari mata yang terlihat tajam dan dalam itu, pipinya
memanas. Detik berikutnya Tora menutup jarak di antara mereka, menyatukan bibir
keringnya di atas bibir kemerahan Saga yang terasa hangat dan lembut itu.
~†~†~†~
Saga
duduk di balkon rumah besar bergaya barat yang baru pertama kali itu ia
datangi. Matanya terasa perih, pipinya terasa sangat dingin dan tenggorokannya
terasa sakit, menahan isak tangismu di depan orang lain tidak akan pernah
membuatmu merasa lebih baik. Ia mengusap air matanya yang bergulir seperti
kristal di pipinya yang sepucat salju.
“Kakekku
memang selalu menyukai musim dingin,” sebuah suara terdengar sayup dari pemuda
berambut hitam di sebelahnya. Jas hitam yang dikanji membentuk dadanya yang
bidang dan terlihat pas di tubuhnya, kini telah dibuka hingga dasi hitamnya
menjuntai ke luar, tertiup angin dingin. Wajah tampannya yang juga pucat
terlihat menahan perasaan perih dan berat hati.
Saga
meremas tangannya sendiri yang terasa kebas, di balik jas hitam yang ia
kenakan, ia mengenakan sweater hitam yang kerahnya menyembul dari balik kerah
jasnya. “Amano-san bilang jika salju turun ia sedih karena tidak bisa melihat
temannya.”
Pemuda
itu tersenyum tipis dan menatap ke taman yang terlihat putih bersih berselimut
salju tipis, “Dulu ia mengatakan padaku bahwa ia menyukai musim ini karena pada
saat ini keluarga akan berkumpul dengan menghangatkan diri dalam kotatsu,
menikmati nabe dan bersama mengharapkan yang lebih baik.”
“Khas
Amano-san,” komentar Saga.
Mereka
berdua terdiam lama hingga akhirnya pemuda berambut hitam itu merentangkan
tangannya, “Jaa! Kakekku memang sudah tua dan masih saja berbakat melucu,
‘kan?” ia menoleh pada Saga yang tersenyum malu.
“Aku
rasa hal itu tidak usah dibahas,” pinta Saga sembari menyibukkan diri menatap
awan yang berarak pelan di langit.
“Tapi
aku mau membahasnya,” kedua tangan yang lebih besar dan lebih hangat
menangkupkan tangan kanan Saga yang terasa kebas. “Kau mau ‘kan mengikuti
permintaan terakhirnya, Sagacchi?” ia menatap Saga dengan serius.
Saga
bersumpah, suhu di sekitarnya sudah tidak terasa beku lagi melainkan sangat
panas, membuatnya terasa meleleh. Ia yakin pipinya pasti memerah dan wajahnya
terlihat bodoh. “Ya...” ia melirik ke arah lain sebelum akhirnya tangan besar
itu menangkap dagunya dan bibir tipis yang menyunggingkan senyum lembut itu
kini mendarat di atas bibirnya yang terasa basah.
Baik
Kai maupun Nao, dan semua orang yang melihat itu hanya tersenyum. “Mungkin ini
memang takdir Tora-shi,” ucap seorang wanita setengah baya yang tersenyum
lembut melihat kedua pemuda itu menghangatkan diri dengan caranya sendiri.
Seorang
pria yang tak lain adalah suaminya, memeluk punggung wanita itu. “Ayahku
mungkin memang sudah merencanakannya, ia selalu bilang bahwa cucunya harus
bersama dengan orang yang ia restui.”
“Apakah
Amano-san pernah mengatakan hal itu pada kekasih Amano-kun yang sebelumnya?”
tanya Nao dengan tiba-tiba membuat Kai mengeraskan tangannya yang sednag
menggenggam tangan Nao.
“Tidak
ada. Tidak ada satu pun kekasih Tora yang pernah ayahku restui,” pria itu
tersenyum menatap foto ayahnya yang tersenyum di altar berikut guci kecil
berisi abunya.
“Ah
begitukah? Berarti Sagacchi orang yang sangat istimewa di matanya,” komentar
Nao membuat pasangan suami istri itu ikut tersenyum meski baru saja mereka
datang dari tempat kremasi untuk mengkremasi tubuh orang tua itu.
“Ayah
memang selalu mempunyai mata yang bagus,” ucap wanita tersebut dan tersenyum
melihat anaknya menggandeng tangan pemuda berambut coklat kemerahan dengan
senyum bahagia yang terpasang di wajah tampannya.
“Ayah,
ibu, Saga sudah setuju untuk ikut ke Kanagawa bersama kita untuk menguburkan
abu kakek.” Tora tersenyum sembari memeluk pinggang ramping pemuda yang lebih
pendek darinya itu.
“Maaf
jika nanti merepotkan,” ia menunduk dengan malu-malu memandang kedua orang tua
dan adik Tora serta kedua temannya yang memandangnya.
Sekarang
di tahun yang baru ini, sepertinya permohonan Saga sudah terwujud meski ia
tidak pergi ke kuil besar yang terkenal di pagi buta menurut saran Nao itu. Ia
sudah mendapatkan kebahagiaan yang ia harap untuk mengisi semua hari dan
hidupnya yang terasa seperti jalanan di musim dingin pada malam hari, suram
meski ada lampu berkelap-kelip yang menerangi tetap saja ia merasa selalu ada
yang kurang untuk menerangi. Terima kasih atas semuanya, wahai dewa yang
mengabulkan permintaan kecil Saga melalui sedikit permainan nasib yang
berdampak besar baginya saat ini.
~Fin~
Notes:
Teh genmai: teh hijau yang disajikan
dengan tumbukan gandum
Osechi ryouri: makanan khas tahun
baru yang hanya dibuat dan dimakan pada saat tiga hari pertama di tahun baru
atau san-ga-nichi yang biasanya dimasak tiga hari sebelumnya
Ki o tsukete: ‘jagalah jiwamu!’ atau
diterjemahkan sebagai ‘hati-hati di jalan!’
Owatta:
futsuukei dari ‘owarimashita’ yang berarti ‘akhirnya selesai!’ atau ‘sudah
selesai!’
Masnsion
di Jepang terutama yang di atas 70.000yen per bulan kebanyakan sudah memiliki
sistem pengamanan berupa kartu pass dan
password khusus, jika ada yang mau
bertamu, ia harus meminta landlord untuk
membuatkan kartu pass cadangan, tentunya dengan alasan yang jelas
seperti relasi dan lainnya. Kotak surat untuk para penghuni terletak di bawah,
di luar lobi yang lepas dari pemakaian password, disediakan seperti loker
khusus denan kunci untuk membuka pintunya dan lubang yang cukup untuk
memasukkan surat atau paket kecil dengan papan nama masing-masing penghuni
(biasanya sebuah keluarga memiliki satu kotak surat sendiri).
Happy New Year 2013!!! \ (^ 0 ^) /
AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA gw meweeeek!! kenapa taun baru malah pada bikin angst semuaaaaaaaa, gw jadi kangen ama mbah gw kan TTATT
BalasHapushahahah, padahal maksud saya supaya senang gitu saya update ada bacaan baru di tahun baru 8'D
BalasHapuscep cep cep, pasti beliau sudah tenang di alam sana kok, kita di sini cuma bisa mendoakan dan berusaha yang terbaik
assshhh!!
BalasHapuskakeknya meninggal... TwT
sachiiiii, ntuuu!!
yg bagian arwah"an aku jadi ikut merinding tau'.. #peluk sachi XDD
wew! kakeknya Tora-chan keyen! bisa milih mate yg cucok(?) buat sagacchi XDD
haiiihh.... pasangan KaNa romantis"an mulu' nih, plus Kai jadi seme manjain uke XDD
Q_Q hiiii.... sedih~~~ DX kakeeeeeekkkkk!!!! <<cucu yg tidak berbakti
BalasHapussaia baru sembuh dari galau dibuat nyesek lagi, tidaaaaaaaakkkkkk!!!!! *galau lagi*
ah Tora manisnya gyaaaaaaa!! XDD ToSanya manis~~ <3 daisuuukiiiiiii <3 <3 <3
Sudah baca ulang xDD
BalasHapuspantas tadi pas baca diperjalanan ke tempat kerja kok rasanya ada yg kurang, ternyata bagian pentingnya ketinggalan xD
yosh seperti biasanya Sakun kalo bikin ff selalu bagus ><)b
tata bahasanya rapi banget! Makin enak dibaca dan dapet feel kalo itu memang settingnya di Jepang, khas Jepang banget deh. Ga sia2kan kuliah sasjep *oke ini nyimpang*
suka Nao disini yang Nao BANGET! dari gundam cafe dan Akihabara LOL
Kai juga pasrah-pasrah aj punya pacar gitu xD
paling suka kalimat
-Karena kemungkinan besar Kai malah akan menginap di apartement Nao dan melakukan sesuatu yang tidak sepantasnya diperbincangkan dimuka umum-
ano 'sesuatu' itu apa yah? *senyum mesum* fufufu
truuus Saga nya baik hati sekali, aduh suka banget deh pokonya ><
kalo Tora .. Errrr emang 'macan' banget yah, main terkam aja gitu, baru juga kenal, eh Saga udah disosor aja bibirnya >:o
paling nyesek pas bagian si kakeknya bilang
"mayoritas masayarakat sudah tidak menghargai kami lagi, kaum yang lebih tua dan seringkali dipandang sebagai parasit."
setelah baca sampei akhir, kasian juga yah si kakek, ternyata dipandang sebagai parasit juga sama keluarganya sendiri Q_Q
overall ceritanya baguuus banget nget! ><)b
o iya ada typo, kata"amanosan" ga pake tanda (-) xD
Minna sankyuu~~~~~
BalasHapusIya soal typo dan jkata yang janggal pasti akan saya perbaiki late
Terima kasih mau membcanya 8'"D
Saya juga suka dgn sifat pair Kai x Nao, Kai sebagai seme tetap sabar menghadapi sang uke yg seringkli keras kepala dan soal 'sesuatu' di apartment itu silakan bayngkan sendiri XD
Memang pada kenyataannya di Jepang banana lansia yg kurang diperhatikan dan tinggal terpisah dr keluarganya karena memang sering dianggap krg berguna DDX
Ini cerita tahun baru, di mna ada kematian, selama masih ada harapan, akan muncul kehidupan baru (^ ^)
itu Tora maen sosor ama maen lamar aja yak *geleng2*,,, mauuuuuuu #eehh
BalasHapusSaga nya unyu2 pisan disinih,, anak baek2,, biasanya paling ero(r),, XD
wakakakak, tapi sifat sebenernya kan Saga juga pendiem, tipe yang malas ngomong dan sopan ke yang lebih tua, cuma gara" Alice Nine Channel aja jadinya gitu 8'DD
BalasHapushuweeee kakek amano kenapa harus meninggal.. ga bisa liat torasaga nikah deh hiks hiks
BalasHapustpi sumpah kakek amano punya penglihatan yang bagus pinter milih cucu menantu XDD
nya..
BalasHapusending ny manis..
walau sempet mengharukan waktu kakek amano meninggal...
saga d sini manis..banget...
*kbnyakan manis ny*
Iya sudah waktunya sih, memang mau
BalasHapusmemang Saga sifatnya manis ya