Title: Secrète? (Des Secrets et Réalité)
Chapter: one-shot?
Starring: Alice Nine, GACKT
Pairing: Gackt
x Saga, Tora x Saga
Rating: PG
Genre: drama
| fluff | angst?
Warning: kiss
Disclaimer: I’m only own the story; they belong to whoever GOD up! (_ _
)a
Comment: I love you, kanji kanji kanji~
(bermandikan kanji card)
Bukannya
aku mau mau menuduh. Aku hanya ingin berpikir kritis, bukankah hal itu yang
biasanya orang lakukan jika melihat sesuatu yang janggal terjadi tepat di depan
mata kita? Membuat spekulasi dan menerka apa yang ganjil dari kedaan yang
disajikan dengan fakta-fakta yang sebenarnya tidak bisa disebut minim. Hanya
saja, rancu, dan terlihat kurang bisa dipahami tanpa adanya penjelasan.
Itulah
yang sekarang sedang aku lakukan. Yang sedang aku pikirkan hanyalah hal
sederhana yang memang seharusnya menjadi sederhana. Kalau saja hal itu tidak
dilakukan tepat di depan mataku dan berhubungan erat dengan kehidupanku juga.
“Torakun?”
Kulihat wajahnya yang penuh dengan garis lembut, kulitnya yang seputih susu, tulang
pipi yang tinggi, dagu yang membulat, bibir yang tipis sewarna sakura yang
sedang bersemi, dan yang paling membuatku kagum padanya adalah mata hijau
terangnya yang selalu membuatku bertanya sebenarnya dari mana asalnya. Wajah
yang begitu feminim dan harusnya hanya dimiliki oleh seorang wanita. “Tolong
jangan beri tahu siapa pun, ya?” nada suaranya memohon, dan aku tidak akan
pernah menyangka seorang anak lelaki seumuranku bisa mengeluarkan suara semanis
dan selembut itu. Yah, pantas sih dengan parasnya yang cantik.
Aku
mengangguk pelan, membuatnya menggores senyum manis di wajah cantiknya yang
sudah membuatku kehilangan orientasi. Payah? Menyedihkan? Memang, itulah yang
sering aku katakan pada diriku sendiri karenanya. Tapi siapapun yang bergender
sama dengannya ketika melihat dirinya, aku yakin paling tidak mereka pernah
merasa bahwa ada yang salah pada diri mereka. Salah karena merasa malu dan merasakan
degupan jantung mereka menjadi lebih cepat. Salah karena saat ini aku juga
merasakannya, hal yang tidak seharusnya aku rasakan, bukan?
Aku
rasa, aku memang tidak akan pernah normal jika bersamanya. Mungkin memang ada
yang salah denganku sejak awal aku bertemu dengannya dan menyetujui untuk
merahasiakan sesuatu yang begitu besar.
~†~†~†~
“Kamui.”
Aku
melihatnya menyelipkan rambut coklat kemerahannya ke balik telinganya dengan
jemarinya yang ramping. Aku lihat kukunya berkilauan, mungkin dia habis
manikur? Wajahnya juga terlihat segar, dan aku selalu mempertanyakan, wajarkah
seorang lelaki memiliki kulit seputih, sehalus, dan selembut itu? Bahkan aku
sering mendengar siswi di kelasku memujinya, dan juga ingin memiliki kulit yang
sesempurna itu.
“Kamui?”
Blazernya
terlihat kebesaran karena tubuhnya memang terlalu kecil. Yang aku tahu, saat
aku sedang membeli seragam sekolah baru di saat-saat terakhir musim pendaftaran,
aku juga melihatnya. Kami terpaksa membeli blazer
dengan ukuran paling besar karena hanya tinggal itu stok yang tersisa. Ketika
aku tidak merasakan perbedaan ukuran yang berarti, tubuhnya terlihat tenggelam
di balik blaze-rnya yang meski sudah
dikecilkan, tetap saja terlihat sangat longgar di badannya. Tapi aku suka itu,
karena seringkali ujung lengannya menutupi tangannya, menampakan sedikit
ujung-ujung jarinya yang membuatnya terlihat manis dan ingin kupeluk karena ia
terlihat seperti anak kucing yang selalu kedinginan. Ah, aku sudah tidak
normal, bahkan melihatnya menggigiti bibir bawahnya sendiri yang terlihat
merekah sembari melirik ke arahku sudah membuatku ingin menciumnya dan memeluknya
dengan erat. Aku benar-benar tidak normal.
“KAMUI!”
Aku
tersentak, tersadar, dan melihat ke arah Hayashi-sensei yang menatapku dengan
tatapan tajam. Memangnya aku salah apa?
“Hadir.”
Jawabku tanpa pikir panjang membuat semua orang yang melihatku menahan tawa,
kecuali dirinya yang menatapku dengan khawatir.
Hayashi-sensei
semakin galak menatapku, dan aku rasa wajahku tidak menunjukan ekspresi apapun
karena aku terlalu malas untuk memperkerjakan ototku untuk setidaknya melakukan
reaksi terhadap situasi genting yang sedang aku hadapi. “Jawabannya?”
Aku
menatapnya bingung. Jawaban apa?
“Maaf
sensei, jawaban apa?”
Hayashi-sensei
tersenyum, err, mungkin itu senyum dingin karena aku merasa bulu kudukku
meremang. “Nah, Kamui, menurutmu pada jaman apa pangeran Shotoku berkuasa dan
hendak digulingkan oleh oposisinya?”
Aku
menatapnya lurus-lurus. Serius ya, pangeran Shotoku itu siapa? Memangnya aku
tahu dia? Kenal saja tidak, kan?
“Hmm...
yang pasti bukan jaman Hessei...” Seisi kelas langsung meledak dalam tawa
mengejek, kecuali dia, dia tetap memasang wajah khawatirnya yang semakin
membuatku ingin mengusap kealanya dan memeluknya.
“DIAM!”
raung Hayashi-sensei yang seketika membuat kelas hening kembali, lebih terasa
mencekam. “Jadi, Kamui, kau pikir kita hidup di jaman apa? Kalau Pangeran
Shotoku hidup di jaman Hessei, pasti kita masih
bisa bertemu dengannya, kan?”
err, sepertinya aku mendengar penekanan di beberapa kata dalam kalimatnya.
“Tidak?
Apa mungkin di jaman Heian?” dan yang sadari, selanjutnya aku sudah berada di
luar setelah dikeluarkan dari kelas secara tidak hormat, berdiri di koridor
dengan wajah bodoh memandangi langit di luar jendela. Begitu biru, begitu luas
dengan awan yang berarak pelan. Begitu cerah ya?
Lagi-lagi
aku kehilangan konsentrasi saat terlalu berkonsentrasi memperhatikannya. Yah,
kalau ada yang lebih menarik, dan membuatku selalu tertarik padanya, untuk apa
aku memperhatikan hal lain? Aku bingung dengan pikiranku, sejak lama aku
memakai logika dan sekarang sepertinya logikaku berbalik menusukku. Logika
untuk menganalisis kenyataan yang tidak terbantah. Logika yang seringkali
menuntutku untuk berbuat tidak sesuai dengan moral yang tidak sengaja ditanamkan dan lambat laun mendominasi diriku untuk
selalu mengatakan itu hal yang wajar.
“Sakamotokun!”
kudengar namanya dipanggil dan ia yang sedang kesulitan membawa buku langsung
berhenti dan menoleh ke belakang.
Bisa
kulihat matanya yang cantik itu berbinar senang. “Kamuisensei!” serunya
membuatku menyesal memilih berdiri di balkon sekolah sebelah barat ini.
“Nah...”
kulihat pria jangkung itu tersenyum padanya, “Sagachan, mau ke tempatku?”
kudengar suara merendah.
Argh
sial! Aku yang sedang duduk di balkon dan tidak terlihat oleh mereka merasa
sangat sial, merasa sangat panas mendengar obrolan mesra mereka tepat di
depanku. Terlebih lagi dari sudut ini aku bisa melihat ekspresi pemuda cantik
yang selalu aku kagumi itu sedang malu. Wajah cantiknya memerah dan matanya
menatap pria itu dengan penuh harap. Sial! Sial! Sial!!! Dia manis sekali!
“Gakusan...
tapi bagaimana dengan Torakun? Aku tidak enak jika kehadiranku menjadi
pengganggu bagi dirinya.” Dari sini bisa Saga menatap pria itu dengan tatapan
khawatir yang sama yang seringkali ia tujukan padaku. Ah, jadi dia mengasihaniku
juga rupanya?
Senyum
lebar tersungging di wajahnya, terpeta jelas di otakku karena sudah tujuh belas
tahun kehidupanku menyaksikan senyum yang sama. “Anakku itu akan baik-baik
saja, Sagachan.” Tangannya mengusap rambut kemerahan Saga yang selalu harum
lavender itu dengan perlahan—aku berulang kali tidak sengaja menciumnya, oke,
aku sengaja. Yah, padahal aku sangat menginginkan bahwa akulah yang harusnya
berada di sana, akulah yang harusnya memperlakukan Saga dengan lembut seperti
itu.
“Ta-tapi
Torakun terlihat tidak senang jika aku ada di dekatnya,” tutur Saga begitu
polos membuatku gemas. Hei, bukannya aku tidak senang, aku ini malah sangat
senang, hanya saja aku tidak bisa menunjukkan perasaanku yang sesungguhnya ini
kepadamu.
“Shhtt!”
Tangannya makin turun ke pinggang ramping itu, memeluknya sambil mengambil
sebagian buku di tangan Saga dengan tangan lainnya. “Tidak apa-apa, nanti Tora
kusuruh main ke luar, kita bisa menghabiskan waktu berdua bersama... ‘kan?”
begitu kulihat tangannya mulai meremas tubuh bagian belakang Saga dan mulutnya
menciumi leher jenjangnya dengan nafsu, aku langsung memalingkan muka.
Kudengar
suara lembut itu mendesah, meminta ayahku untuk berhenti dan mencoba melepaskan
diri dengan alasan mau mengembalikan buku ke perpustakaan. Kudengar lagi suara
ayahku yang merayunya dan berjanji untuk mengantarnya, tetapi yang selanjutnya
terdengar adalah suara desahan dan erangan tertahan disambung rintihan yang
membuat bulu kudukku meremang. Entah apa yang mereka lakukan di koridor yang
sudah sepi sejak usainya jam pelajaran sejam yang lalu. Astaga, mereka tidak
takut ketahuan ya? Satu hal yang aku yakini, desahan dan erangan itu sepertinya
akan terekam dengan jelas dalam otakku dan tidak akan pernah bisa dihapus lagi.
Suara
itu terlalu indah.
~†~†~†~
“Tadaima,”
dengan langkah gontai aku melepas sepatu dan melihat ada sepatu dengan ukuran
dua nomor lebih kecil di rak. Sepatu anak sekolah yang kurang lebih mirip dengan
milikku. Sepatu Saga.
“Okaeri~”
suara bernada manis itu menyapaku.
Andai,
aku mendengarkannya hanya untukku sendiri. Berdiri dan menuju ruang makan, Saga
dengan hanya mengenakan kaus lengan pendek coklat kebesaran dan celana khaki super pendek lengkap dengan apron
ungu polkadot berdiri di koridor dengan wajah gembira. Argh! Astaga!! Aku butuh
tissue! Tissue!!!
“To-Torakun!!!”
nada paniknya menyadarkanku. “Kamu sakit? Torakun mimisan!” katanya setengah
terpekik membuatku refleks menyentuh atas bibirku, basah. Ah, sudah kubilang
kan kalau aku butuh tissue...
Yang
kutahu selanjutnya aku sudah berbaring di sofa selagi ia membersihkan darah
yang mengalir dari hidungku. Dasar payah, rutukku pada diri sendiri. Sudah
keberapa kalinya aku membuatnya khawatir begini? Aku memang egois, dan dia
selalu sabar meladeniku yang seringkali seperti anak hilang haus akan
perhatian. Perhatiannya tentu saja.
Mataku
memindai tiap lekuk wajahnya yang begitu sempurna, layaknya manekin yang tidak
pernah bisa berhenti kukagumi. Tidak apa-apa kan kalau aku mengagumi hal-hal
yang indah? Apalagi jika hal indah itu berada tepat di depan mataku, tentunya
akan sulit mengalihkan pandanganku darinya. Err, alasan yang lemah lagi ya?
“Sagachan,
supnya sudah mendidih,” ceteluk ayah dari dapur.
“Ya,
Gakusan, matikan saja,” dan kilasan warna merah kecoklatan rambutnya terpeta
jelas di ingatanku sebelum akhirnya ia beranjak pergi ke dapur, tidak lupa
melemparkan pandangan meminta maaf padaku. Tolong jangan berikan aku pandangan
itu, seandainya saja aku bisa mengucapkannya pada Saga yang sekarang sibuk
menuang sup ke tiga buah mangkuk berikut menata meja makan kami—ayah dan aku
maksudnya.
Ya,
semenjak hubungan antara ayah dan Saga—teman sekelasku—sudah berjalan dua tahun
ini, menyambangi rumah, memasak, sampai bersih-bersih agaknya sudah menjadi
jadwal rutin di agendanya. Aku merasa dia menjadi pengganti ibuku karena ayah
selalu menyanjungnya, dengan caranya sendiri, dan Saga selalu membantunya dalam
urusan rumah tangga. Sisanya aku, aku berperan sebagai seorang anak, penyimpan
dan pelindung rahasia yang terasa akan sangat sulit untuk dibeberkan dan
dipercaya oleh orang lain.
Bayangkan
saja jika aku dengan ringannya mengatakan pada bibi tetangga, “Bi, sebenarnya
Saga itu pacaran dengan ayah, bukan denganku.” Pasti keluarga kami langsung
hancur berantakan diterpa berbagai makian dan cemoohan serta kecaman dari
sana-sini. Hal terakhir yang sebenarnya paling tidak ingin kulakukan, tetapi
nyatanya harus, yaitu menutup mulutku dan mencoba mengentaskan segala macam
perasaanku padanya.
Demi
Saga, demi ayah, demi diriku, dan demi Hiroto.
Hiroto,
adik kecilku yang tidak akan pernah kulupakan meski sekarang ia sudah tidak
akan pernah hadir di antara kami lagi. Ia adalah seorang anak yang sangat
periang, rambutnya berwarna pirang menyala, keturunan dari ibu tiriku. Eh, aku
juga belum bilang ya kalau aku ini masih memiliki darah Prancis dan adikku
memiliki keturunan darah Jerman?
Jadi,
Hiroto itu anak dari istri kedua ayahku yang sudah lama berpisah sejak Hiroto
masih batita—aku sendiri masih berusia empat tahun. Nah, ayahku yang memang
berasal berdarah Prancis-Jepang menikah dengan wanita Jepang yang bermukim di
Prancis, dan lahirlah aku. Tak lama berselang, ibuku sakit karena kanker rahim
yang sangat ganas, menggerogoti tubuhnya dengan perlahan tapi pasti hingga ibu
kembali ke pangkuan yang Maha Kuasa tepat setahun setelah aku mampu mencerna
makanan padatku. Tahun-tahun itu begitu berat bagi ayah, dan aku yang masih
terlalu kecil tidak mengerti kerumitannya dari sekelumit ingatanku saja.
Hiroto
itu merupakan anak yang penuh semangat, meski ia baru resmi tinggal di Prancis
saat berusia tiga tahun, ia mampu beradaptasi dengan cepat, dan memberikan
warna baru yang lebih cerah pada kehidupanku dan ayah. Aku ingat ketika ia
berceloteh ingin menjadi polisi dengan seragam birunya yang keren, memakai topi
dan lencana yang berkilauan yang bisa ia banggakan serta menangkap orang jahat
dan menolong banyak orang. Celotehan sederhana dan penuh harapan dari seorang
anak kecil yang memiliki hidup yang begitu singkat.
Adik
kecilku itu tidak bertahan hingga musim dingin kedua belas pada kehidupannya.
Sekitar tiga tahun yang lalu, di mana aku masih di sekolah menengah dan
menempuh ujian kelulusan sekola menengah atas yang bagaikan neraka. Hiroto
sendiri sudah merasakan ujian yang beratus-ratus kali lipat beratnya, ujian
kehidupan.
Ia
meregang nyawa oleh karena leukimia dan kelainan jantung bawaan yang
dideritanya tidak kunjung membaik meski sudah dilakukan kemoterapi dan
pengobatan selama lima tahun terakhir yang menyebabkan sebagian besar rambut
pirang indahnya rontok. Bersamaan dengan rontoknya segala harapanku untuk
mengajak adikku bermain bersama, berbagi pengalaman bersama, bertumbuh bersama.
Tubuh Hiroto yang dulunya sangat sehat di Prancis hingga akhirnya ketika kami
pindah ke Jepang, ia mengalami perubahan sedikit demi sedikit yang begitu nyata
dan mengerikan. Ingatanku akan tubuhnya yang semakin pucat, ringkih dan sulit
bergerak membayangiku, menghantui sampai saat ini. Permohonannya untuk bertemu
dengan ibu kandungnya di saat-saat terakhirpun tidak bisa ayah wujudkan. Ia
meninggal dengan perjuangan bertahan hidupnya yang tidak bisa dibilang sebentar.
Anak
sekecil itu harus mengalami berbagai macam hal yang membuat mentalnya
seharusnya perlahan-lahan ikut terkikis tetapi tidak pernah terjadi. Hiroto
selalu dengan kuatnya tersenyum bangga di kala aku menunjukkan medali atau
piala atau piagam atau sekedar selembar kertas ujian dengan nilai bagus yang
selalu kuusahakan untuk kuraih sebanyak-banyaknya. Demi bisa melihatnya tertawa
bahagia bersamaku. Tiap kata-kata penyemangat yang ia berikan terdengar miris
di telingaku karena seharusnya ialah yang kusemangati untuk tetap bertahan.
Adik
kecilku, aku hanya ingin kau bertahan lebih lama lagi, aku ingin kau melihatku
meraih semua yang tidak mampu kau raih akan segala keterbatasanmu yang membuat
dadaku selalu sesak jika mengingatnya. Aku ingin melihat senyummu, tertawa
bersamamu dan bersama ayah sebentar lagi saja, tidakkah kau melihat tangisku di
balik ukiran senyumku?
“Tora?”
suara ayah menyadarkanku dari lamunanku sendiri. Kulihat wajahnya yang kental
akan perpaduan garis halus dan tegas yang merupakan versi lebih tua dari
wajahku, dengan mata hazel keemasan yang agaknya tidak terlihat begitu berbeda
dengan mataku sendiri.
“Torakun,
ayo dimakan nanti keburu dingin,” sambung suara lain yang bernada lebih lembut.
Aku
mengangguk secara otomatis, menyuap nasi dan mengunyahnya perlahan sembari
memperhatikan tangan putih Saga yang lentik menyuapi tumisan daging pada ayahku
yang dengan lahap memakannya seakan aku tidak akan menggubrisnya. Memang aku
tidak akan menggubrisnya, melainkan melihat mereka berdua yang seperti
pengantin baru bermesraan di depan mataku dengan senyum yang menggantung lemah.
Pada saat itu, aku jadi makin sadar kenapa aku berhenti membuat orang lain
berharap yang terbaik dariku dan lebih membutuhkan orang-orang ini di
sampingku.
Karena
aku sudah cukup kehilangan lagi, baiknya sekarang aku menyimpan apa yang tidak
perlu kukeluarkan dan menikmati momenku dengan orang-orang yang selalu
menyayangiku. Meski terkadang rasanya sakit.
LA FIN...?
chotto matte..... ini Gaku jadi bapaknya Tora? O_O
BalasHapusbanyak yang typo Sa wkwk. eh tapi entah kenapa aku ngerasa gaya penulisan fanfic Saa beda sama yang dulu ._. apa karena uda lama ga baca ya, tapi emang beda sih(?)
dulu kadang sampe baca beberapa kali biar ngerti, tapi itu malah asiknya dan bikin fic sachun beda ><
gomen banyak protes(?) *plak* tapi overall bagus sih teteeeppp... dan ga ketebak lol kirain awal tadi yang di kelasnya itu si gaku O_O
thanks btw Saa uda bolehkn baca hohoho
sankyuu ya Caprii udah baca!!
HapusWakakak sekarang gaya penulisan jadi lebih aneh, jelas atau gimana? Bedanya gimana? Aneh ya??? XDa
ga apa protes kan jadi saya bisa memperbaiki
asik asik susah ketebak? Maaf pendek nanti oneshot selanjutnya saya lanjut penjelasannya ya
sekali lagi terimakasih!!