Title: Affection
Chapter: one-shot
Starring: the GazettE, Alice Nine
Pairing: Aoi / Uruha / Reita x Saga, Aoi x Saga, Reita x Saga, Uruha x Saga, Aoi x
Uru
Rating: NC (No Child)
Genre: slash
| porn without plot
Warning: ganbang,
bondage, no underage reader please!
Disclaimer: I’m only owned the story; they belong to whoever GOD up! (_
_ )a
Comment: Yang saya janjikan untuk Ran, ini
nih, cerita stress, untuk Ulan juga yang udah membahasnya lagi. Enjoy! >D
Summary: “Se-senpai...” engahnya dengan
suara bergetar di tengah lumatan kasar Aoi pada bibirnya. Tangan Uruha dengan
cekatan menanggalkan jeans-nya, meremas pahanya yang putih dan terlalu mulus
bagi seorang lelaki. Tangan-tangan Aoi dan Uruha menjelajah ke seluruh tubuh
Saga yang ramping, meraba, meremas, memijat, melakukan apa saja untuk membuat
Saga mengerang lebih keras.
Tiap
orang pasti memiliki rahasia. Baik itu rahasia yang membawa serta rasa bersalah
atau rahasia yang membawa serta rasa malu. Apapun itu, tidak dapat dipungkiri
bahwa setiap orang pasti memiliki rahasia yang tidak ingin diketahui oleh orang
lain. Semuanya mennyimpan rapat isi rahasia mereka sendiri. Sebagian percaya
bahwa hanya dirinya sendirilah dan sang Pencipta di atas sana yang boleh
mengetahui semua rahasianya. Tertutup rapat-rapat dan disegel oleh dirinya
sendiri yang tidak akan pernah mengungkit dan membeberkan rahasianya sendiri
yang bisa menjadi pedang bermata dua bagi dirinya. Terkadang, bila mereka dari
sebagian yang tersisa merasa tidak kuat memendam sendiri rahasia tersebut,
mereka akan membaginya barang sedikit kepada orang yang sangat mereka percayai
dan biasanya mereka sumpah untuk tidak membongkarnya.
Sumpah?
Sumpah mati? Apa kau mau disumpah mati hanya karena mendengar rahasia seseorang
yang harus kau bawa ke dalam liang kubur? Memangnya kau sanggup? Maukah kau
disumpah sekarang? Ah, salah, maukah aku
disumpah, sekarang?
“Bersumpahlah!”
kedua tangannya memegangi kerah bajuku dan mengguncangnya dengan kuat,
membuatku sedikit sesak dan jengkel melihat tingkahnya.
“Ya
ya,” jawabku sekenanya.
Matanya
yang merah setengah menutup menatapku dengan dingin, “Kau harus serius, ini
menyangkut hubunganku dengannya, apapun yang sudah kau dengar hari ini, saat
ini, detik ini merupakan rahasia terbesarku yang tidak boleh diketahui orang
lain!” ceracaunya sembari meneguk sisa birnya. Wajar saja ia mabuk, sudah dua
botol wine dia habiskan dan sekarang
ia meminum segelas bir dalam sekali tenggak, luar biasa.
“Ck,”
decakku meminum tequila yang baru
saja diletakkan oleh bartender yang
melihat ke arah kami dengan tatapan aneh. Aku berusaha tersenyum yang rasanya
seperti ringisan menyeramkan karena bartender itu hanya mengangguk kecil dengan
segan dan kembali membuat minuman. Aku mengalihkan pandanganku pada temanku
sedari kecil yang sedang menatap iphone
screen-nya seraya tersenyum-senyum aneh, membuatku sedikit bergidik.
Aku
baru tahu ternyata temanku yang satu ini memang sedikit gila, err, tidak
sedikit sih, mungkin sudah lebih dari itu. Dia memang terlihat bodoh, tapi
tidak kusangka ternyata dia lebih dari bodoh, ini namanya bunuh diri. Mataku
menyipit melihatnya tertawa kecil selagi memandangi iphone-nya. Dasar, seperti menonton JAV saja, padahal hanya melihat
salah satu kouhai kami sedang
melakukan fanservice yang biasanya
juga ia lakukan dengan anggota band kami.
“Heheh,
Akira, lihat deh, dia seksi sekali ya?” ia menyodorkan iphone-nya padaku yang terpaksa ikut menonton apapun itu yang ia
tonton.
Detik
di mana mataku melihat video yang ia tunjukan, detik itu pulalah aku hampir
menyemburkan minumanku. Tersedak, dan cairan itu mengalir dengan cepat ke dalam
kerongkongan, membuatku terbatuk tak terkontrol akan rasa panasnya, aku menepuk
dadaku sendiri dan menatap temanku yang buru-buru melindungi iphone tercintanya. “Astaga Shima!”
tudingku padanya yang masih senyum-senyum mesum. “Apa-apaan kau menyimpan video
dengan angle seperti itu?”
“Ah,
kau berlebihan, ini ‘kan hasil usahaku sendiri, aku mendapatnya setelah
mendaftar jadi fans club member
mereka—meski harus mengenakan nama samaran—mengoleksi CD dan DVD mereka juga,
dan aku menemukan banyak gambar-gambar dan video menarik tentangnya, dia
benar-benar cantik, senyumnya itu lho! Imut sekali~” jelasnya panjang lebar
membuatku menganga. Sebegitu tergila-gilanyakah dia dengan kouhai kami yang satu itu?
“Tapi,
kenapa harus yang menyorot ke arah paha dan dadanya dengan jelas??!” ujarku
sewot.
“Shht!”
Dia menempelkan jari telunjuknya di bibirnya sendiri. “Jangan keras-keras!”
dengan serius ia memperingati dan kemudian tersenyum lebar sekali. “Tapi aku
suka semuanya itu karena dia sangat mulus~” dan ia terkekeh dengan wajah khas
orang mabuk yang membuatku memijat keningku sendiri.
“Ada
lagi saat dia fanservice dengan Shou,
ah beruntung sekali si mata leak itu.” Gerutunya membuatku menatapnya aneh,
memang dia sangat aneh. “Berkali-kali kulihat ia menariknya, memeluknya, menyerangnya,
menciumi pipinya, turun ke dahinya, turun lagi ke lehernya, turun lagi hingga
ke dadanya, terus turun...”
“Akhh!”
aku menepuk bahunya dengan keras. “Sadar Shima! Sadar!” dan ia menatapku dengan
wajah tanpa ekspresi. “Kau itu punya Aoi ‘kan? Kan?” aku menekankan hubungannya
dengan guitarist kami, sebagai teman
baik, sudah pasti aku harus melakukannya. Memberi peringatan jika temanku
sedang mengalami dan membuat suatu kesalahan. Tetapi saat ini temanku ini sudah
jatuh begitu dalam.
Uruha
terdiam menatapku, “Kau tahu?” ia memulai. “Aku menyukainya, aku
mengidolakannya. Dia sangat cantik, dan meskipun dia selalu menyangkal, dia
tetap terlihat begitu manis dan polos di mataku.”
“Hah?”
tidak salah dengar ‘kan? Polos?!
“Apa
kau bilang? Polos??!” tanyaku tidak percaya.
“Iya,
polos. Dia itu sebenarnya manis, meski terlihat sok jantan dan seringkali
mengatakan hal yang tidak penting dan berbau seks, dia sebenarnya pemalu.”
Jelasnya, lagi-lagi membuatku terperangah.
“Buktinya,
saat aku melihat Tora memeluknya dari belakang di koridor, ia langsung
menggigit bibirnya dan wajahnya merona dengan cantik, pipinya juga memerah saat
aku melihat Shou mencium pipinya.” Uruha terlihat menerawang, menatap dinding
bar yang dipenuhi deretan botol dan gelas yang berkilauan. “Dia itu manis
sekali, sewaktu aku menyapanya dan memberinya semangat saat ia terlihat lemas
ketika sedang di studio, dia langsung tersenyum dan berterima kasih dengan nada
manisnya. Senyumnya itu lho... imut!” ia menatapku dengan mata yang berkilauan
meski dalam keadaan mabuk.
Yah,
aku akui juga, kouhai kami yang satu
itu memang kadang kala terlihat diam, selalu serius saat membuat lagu dan tidak
terlalu mempedulikan sekitarnya. Pernah aku melihatnya masih di dalam studio di
saat aku sudah membereskan pekerjaan, dan itu sudah lewat tengah malam, apa dia
tidak capek ya? Dia merupakan orang yang aku kagumi akan kerja keras dan
perjuangannya, walau tak jarang aku melihat Tora atau Shou menyelimutinya saat
ia jatuh tertidur di sofa, atau melihat Tora yang notabene adalah kekasihnya,
menggendongnya pulang.
“Sagacchi~~~”
ucap Uruha di tengah racauannya selagi mengusap iphone screen dengan wallpaper
Saga yang sedang tersenyum manis. Kutebak itu adalah foto yang diambil oleh
dirinya sendiri sesudah kami rapat bersama seluruh artist dan staff minggu
lalu.
Ah
iya, aku lupa, bukannya Tora dan dia sudah menjalin hubungan sejak lama yang
sekarang sedang berusaha ditutupi oleh perusahaan label kami? Aku sempat tidak
sengaja mendengar Ozaki Tomomi, presiden perusahaan kami, memanggil Tora dan
Saga ke ruangannya. Hanya selintas saja sih karena aku juga sedang mencari CD
lama yang Kai minta di ruang arsip sampai sekitar dua puluh menit dan aku
kembali lagi melewati ruangan yang sama dan melihat Tora keluar dari ruangan
itu sembari memeluk Saga yang terlihat sedang menangis. Perlahan aku berjalan
supaya tidak mengganggu mereka yang berhenti di ruangan paling pojok di tikungan
koridor yang sedang sepi-sepinya. Rasa penasaranku memuncak dan, err, tanpa sadar
tubuhku bergerak—aku mencuri dengar apa yang mereka perdebatkan.
“Tora-shi
aku tidak tahan,” suara Saga terdengar dari celah pintu yang tidak tertutup
rapat.
Kulihat
Tora mengusap rambut cokelat kemerahannya, “Sshhht, Sagacchi jangan menangis
ya, aku minta maaf, tapi ini demi hubungan kita, kalau fans benar-benar tahu
kenyataannya ini bisa gawat bagi kita semua.”
Aku
melihat Saga menutup wajahnya dengan kedua tangan dan bahunya makin bergetar,
“Kenapa kamu harus begitu? Jadi kita harus menyembunyikan sampai kapan? Kenapa
hubungan kita dianggap salah?”
Pada
kalimat itu aku menyandarkan kepalaku supaya mendengarkan suaranya yang teredam
lebih jelas. Tapi sial! Pintunya terbuka dan aku buru-buru berlari, bersembunyi
di balik vending machine dan merutuki
diri karena mencampuri urusan orang lain. Tak berapa lama aku menahan nafas,
kurasakan hawa seseorang mendekat, berikut terdengar langkah sepatunya yang
berat, aku yakin ini pasti Tora. Kurapatkan badanku ke dinding dan berharap ia
cepat pergi karena kakiku sudah terasa ngilu dipaksa menekuk serapat mungkin.
“Tora-shi?”
kudengar suara Saga yang masih bergetar memanggilnya, “aku mau pulang.”
Kudengar kalimat selanjutnya ditekankan dengan nada yang kupastikan membuat
Tora gamang.
“Tapi
Sagacchi,” kudengar nada suara Tora yang berusaha membujuk.
“Pulang.
Kalau kau tidak mau mengantar, aku bisa pulang sendiri.” Tukasnya terdengar
ketus dan lebih mantap.
“Sagacchi!
Jangan begitu, di luar sedang hujan deras, biar aku antar ya, nanti ibumu
khawatir.” Bujuk Tora lebih lembut membuatku kembali menahan nafas karena
kulihat kilasan sepatu boots-nya dari
ujung mataku. Sial. Sial! Cepat sana pergi!
“Aki?”
suara parau Uruha menyadarkanku.
“Eh,
ya?” mengerjapkan mata beberapa kali, aku bisa melihat Uruha menyipit
berbahaya. Ah, pasti aku melewatkan entah kalimat pujian apa lagi yang
diucapkannya untuk Saga.
Uruha
terdiam, menengguk segelas Smirnoff-nya
lalu tersenyum lebar, sangat lebar sampai bisa mencapai telinganya. Oke, itu
mengerikan. Yang pasti senyumnya terlalu lebar... “Aku suka~~~~~~” kemudian dia
terkekeh tidak jelas. Bagus sekali.
Ruki-chan
maafkan aku ya, mungkin aku akan telat karena harus mengantar sahabatku yang
aneh dan bodoh ini... padahal aku sudah merindukanmu, dan apa yang akan kita
lakukan di atas ranjang empukmu.
~†~†~†~
Beberapa
hari kemudian, tepatnya setelah siaran Alice
Nine Channel di Nico Nico, si idiot Shima makin menjadi. Ia merasa tidak
terima karena pada Super Alice Nine
Channel Premium Segment—ya, aku sampai hapal karena dia terus-menerus protes
tanpa henti—kala itu ada pertanyaan yang menurutku memang agak aneh. Yaitu di
mana para member Alice Nine yang hadir pada saat itu adalah Tora—tentu saja,
dia host-nya—Hiroto, dan yang
terutama Saga—dia hanya mau menonton hanya jika ada Saga—harus menjawab pertanyaan-pertanyaan
tentang apa yang dikatakan Gakki, manager mereka.
Dimulai
dari nasihat apa yang diberikan Gakki pada mereka, dan mereka harus menjawabnya
dengan menulisnya di atas whiteboard
dengan marker. Hukuman jika mereka
salah menjawab? Sederhana saja, ada sebuah jepit jemuran—staff mereka sungguh terlalu kreatif—yang dihubungkan dengan alat
pancing dan selama mendengar sampai menjawab pertanyaan, jepit jemuran itu akan
menjepit tempat-tempat yang sudah ditentukan oleh staff. Sebagai seorang idiot dan mesum seperti Uruha, ia sampai
mimisan ketika melihat Saga memasukkan jepit jemuran ke balik bajunya, dan
sebagai seorang masochist seperti
Saga, ia sampai mengerang ketika jepit jemuran itu ditarik paksa menggunakan
alat pancing. Masih sempat juga mengatakan, “Rasanya enak.”
Tak
ayal lagi Uruha langsung fanboying,
dan akulah korbannya, sampai Ruki marah karena harus mendengar suara sumbang si
idiot itu terus melalui line telepon.
Dasar Uruha sialan, Ruki bahkan sempat beberapa kali mengusirku untuk tidur di
sofa karena ia katanya ingin menikmati tidur cantiknya. Ruki-chan... dia selalu
berkelakuan bak diva.
Sampai
mana tadi? Ah, iya, menjawab pertanyaan tentang apa yang sudah dikatakan Gakki,
manager baru mereka yang berusia dua
puluh dua tahun. Ketika sampai pada pertanyaan siapa yang akan dinikahi oleh
Gakki dari antara semua member Alice
Nine, Uruha sampai mencak-mencak. Mau tahu kenapa? Yah, karena Gakki memilih
nama Saga. Alasannya membuat Uruha semakin membara, Gakki memilih Saga karena
menurut dia Saga itu kawaii—aku juga
mengakuinya sih—sering melakukan hal manis yang tidak terduga, dan ia merasa
bahwa Saga adalah orang yang tepat untuk merawat dirinya. Intinya, Gakki merasa
Saga sebagai pilihan yang paling tepat untuk menjadi seorang istri yang baik,
pantas saja aku sering melihat Gakki berbicara berdua saja dengan Saga,
ternyata itu dasarnya. Inti dari intinya, Uruha menjadi benci Gakki, setelah
Tora, tentu saja.
Idiot.
Kau mau menyukai Saga atau tidak, kau tetap menjadi pacarnya Aoi, dan Saga
tetap menjadi pacarnya Tora. Atau malah pasangan hidupnya? Kudengar ketika
mereka konser di Jerman, Tora sempat memberikan Saga hadiah yang entah kenapa
sangat dirahasiakan, apa mereka mungkin menikah di sana ya? Apa aku mulai
berspekulai berlebihan?
Tapi
pikiran apapun yang sedang berkecamuk dalam pikiranku seakan terhenti saat aku
tahu bahwa Aoi mengetahui kegilaan Uruha, saat aku tahu Aoi malah terkesan
membiarkan, saat aku tahu bahwa Uruha menyeret Aoi bersamanya, saat aku dan Aoi
dan Uruha satu lift dengan Saga,
hanya kami berempat. Saga, hanya mengenakan jeans
hitam ketat yang membentuk lekuk kakinya yang ramping dengan begitu jelas dan kaus
lengan panjang berwarna cream yang
aku yakini dua ukuran lebih besar dari badannya, dan yang terpenting, sangat
tipis, tipis sekali sampai samar-samar aku bisa melihat pinky nipple-nya. Wajahnya terlihat sangat pucat, memang kulitnya
teramat putih, seputih susu—lebih putih dari kulit Ruki—tetapi ini terlalu
pucat, mungkin ia kurang sehat? Mata cokelat tuanya terlihat sendu dan bibir
mungilnya—yang tidak sepenuh bibir Ruki—yang merah terlihat bergetar, ia
sesekali menggigitnya. Tangannya kirinya yang kurus dengan jemari lentik tampak
meremas lengan atas bagian kanannya.
Bicaraku
seperti orang mesum saja!
Bisa
kulihat dari ujung mataku, Uruha mati-matian menahan diri untuk tidak menyentuh
pundak atau bahkan lengan Saga yang hanya beberapa centimenter jaraknya dari tangannya. Aoi yang juga ada di
sebelahnya terlihat ingin mengatakan sesuatu, tangannya mengepal beberapa kali,
sama seperti tangan Uruha yang sekarang ini sangat dekat dengan pinggang Saga.
Sedangkan aku yang ada di sebelah kirinya hanya bisa diam, menghirup wangi madu
dari rambutnya lamat-lamat. Diam, sembari mengamati tiap kebatan bulu matanya,
gerakan pelannya saat menarik nafas, lidahnya yang terlihat membasahi bibir keringnya...
“Sagachan?”
Uruha membuka suara, berusaha tersenyum, di mataku itu terlihat seperti
ringisan menyeramkan. Payah.
Saga
menoleh padanya, cukup menoleh karena tinggi mereka hanya terpaut satu centimenter, “Hu?” kudengar suaranya
begitu lembut. Bisa kubayangkan di dalam diri Uruha bergemuruh perang batin
untuk tidak menyerang pemuda itu sekarang juga.
Uruha
terdiam sembari tak melepaskan pandangannya dari mata sendu Saga yang balik
memandangnya dengan tatapan kosong yang terlihat polos. “Ada apa Uruha-senpai?”
tanyanya. Bisa kulihat mata Uruha sekarang memperhatikan gerak bibir mungil
Saga, dan si idiot itu menelan ludah.
Tak
sengaja aku melihat Aoi memasang wajah yang err, bisa kukatakan itu nafsu
mungkin? Manik matanya memindai Saga dengan tajam dan seksama, kemudian ia
menatapku lurus-lurus sebelum akhirnya mengukir sebuah senyum. Sial, aku
diseretnya juga.
Lantai
tiga, selanjutnya di lantai tiga ini, di tempat staff biasanya menyimpan arsip,
kami semua turun, setengah menyeret Saga keluar. Bukan, bukan aku yang menarik
lengan kurusnya, bukan, bukan aku yang menyeretnya, bukan juga yang melemparnya
masuk ke dalam ruangan kosong—ruangan di mana aku melihatnya menangis entah
untuk yang keberapa kalinya di depan Tora—bukan pula yang meraba tubuhnya, yang
hampir menyobek kausnya yang begitu tipis. Tapi akulah yang menekan tombol
untuk membuka pintu lift, akulah yang
berjalan paling dengan dan membuka pintu ruangan ini, akulah yang mendorong
lemari penyimpanan arsip untuk menghalangi pintu, dan akulah yang
menyaksikannya menangis memohon.
“Se-senpai...
To-Torashi...” engahnya dengan suara bergetar di tengah lumatan kasar Aoi pada
bibirnya. Tangan Uruha dengan cekatan menanggalkan jeans-nya, meremas pahanya yang putih dan terlalu mulus bagi
seorang lelaki. Tangan-tangan Aoi dan Uruha menjelajah ke seluruh tubuh Saga
yang ramping, meraba, meremas, memijat, melakukan apa saja untuk membuat Saga
mengerang lebih keras.
“Ya-yamenasai...”
pintanya ketika Uruha memilin nipple-nya,
menggesek-gesekkan miliknya ke wajahnya yang takut. Dengan kasar kulihat Aoi
menandai tubuh putih yang menggiurkan itu dengan warna merah, menjilat,
melumat, menghisap, melakukan apapun untuk meninggalkan tanda merah membara di
leher, pundak, dan dada.
Uruha
menyeringai, “Cantik,” pujinya sembari menjalankan jari telunjuknya di atas
bibir Saga yang tidak berhenti bergetar, yang mengerang ketika tangan Aoi
memijat pinggang bagian bawahnya dengan lembut dan menggoda. “Lihat Akira, dia
cantik ya?” ia menengok ke arahku yang mengatur nafas, tidak tahan melihat
perlakuan mereka terhadap tubuh Saga yang terkesan pasrah saja dengan peluh
yang mulai menetes.
Manik
mata cokelat tua itu memandangku, memohon, “Re-Reita-senpai, to-tolong...” air
mata bergulir ke pipinya yang sempurna dengan semburat kemerahan. Tidak. Aku
mendekatinya yang dibaringkan secara paksa ke atas sofabed di tengah ruangan. Secercah harapan yang berkilat di
matanya sirna begitu aku mulai membuka ikat pinggangku.
Wajahnya
ngeri begitu aku berlutut di dekat kepalanya. Ia meronta, ah, aku baru tahu dia
bisa meronta yang dengan mudah aku—tidak—kami tahan. Sebenarnya aku bisa saja
menahan tubuhnya, tapi tangan Uruha dan tangan Aoi ikut menahan bagian tubuhnya
yang lain. Uruha menarik lepas underwear-nya,
sementara Aoi meletakkan tiga jarinya di depan bibir Saga yang setengah
terbuka, “Suck it,” titahnya.
Saga
semakin takut, bisa kulihat itu karena ia semakin meronta sampai Uruha mengulum
nipple-nya, membuat Saga mengerang,
pada saat itulah Aoi memasukkan jemarinya, memaksa pemuda itu untuk menjilat,
mengulumnya. “Kudengar ini, adalah swicth-mu,”
pemuda berambut pirang madu itu melepaskan nipple
Saga dari mulutnya, menghembuskan nafas hangat yang membuatnya melenguh di
tengah kesibukannya untuk menjilati jemari Aoi yang masih berkecimpung di dalam
mulutnya.
“Nghh...”
kulihat dahinya berkerut, matanya setengah terpejam menikmati saat di mana
Uruha memilin nipple-nya dengan
kasar, sudah kubilang, dia masochist.
Aoi
menarik paksa jemarinya, tali tipis transparan dari saliva Saga masih
menghubungkan ujung jarinya dengan bibir merahnya itu. “Ahn, se-senpai... To-Torashi...”
ia mencoba merangkai kata-kata saat pria berambut hitam itu melingkari lubang
masuknya dengan jemari berlumur saliva, “senpai!” Ia menjerit saat secara
tiba-tiba Aoi memasukkan dua jarinya langsung ke dalam lubangnya.
“Ugh,
sempit sekali,” komentar Aoi yang menunduk, tangan kirinya memegangi paha Saga
yang gemetaran.
“Aoi-senpai!
Yamenasai! Torashi!!!” tangisnya pecah, pada saat itu aku segera menurunkan
celanaku dan memasukkan penisku ke dalam mulutnya. Sempit, hangat, membuatku
mencengkram rambutnya yang begitu halus itu, memaksanya menghisap milikku yang
semakin tegang saat mendengar erangan dan keluhannya. Dimulai dari kepalanya
secara perlahan, kemudian batangnya. Mata sendu itu melihatku dengan tatapan
polosnya lagi, yang memohon, yang membuatku tak segan-segan memaju-mundurkan
pinggangku demi bisa memasukkan penisku lebih dalam lagi. Ke dalam mulutnya
dengan lidah yang tak kalah mungilnya namun begitu terampil ketika menjilati bass-nya di atas panggung. Itu terbukti,
ia berusaha menjalankan lidahnya meki seluruh tubuhnya gemetar, ia berusaha
menghisapku yang sudah tidak tahan, ia menghisapku perlahan, memijatku dengan
lidahnya.
Saat
yang bersamaan Aoi mempercepat tusukan jarinya ke dalam lubang, sekarang dengan
tiga jari, dan Uruha dengan kalapnya menggesekkan penisnya sendiri yang sudah
menegang ke nipple Saga,
mengakibatkan sedikit spermanya membasahi nipple
merah itu. Uruha menunduk, menandai tubuh Saga dan menjilati tiap mili kulit
indah itu penuh nafsu.
“Cantiknya
Sagachan, seperti peri~” kekeh Uruha sembari berlutut di sisi sofa di mana Aoi
sudah menurunkan celana pula, tanpa underwear,
tanpa aba-aba Aoi memasukkan penisnya ke dalam lubang Saga yang memerah.
“Anghh!!!”
Saga berusaha menjerit, tetapi milikku yang berada di dalam mulutnya membuatnya
tidak bisa menjerit sama sekali. Tangan Saga menggapai, tetapi Uruha
menangkapnya dan mengikatnya dengan ikat pinggangnya sendiri, dengan kekehan
anehnya. Sementara Aoi terlihat menikmati kegiatannya, menusuk lubang Saga
dengan sepenuh hati.
“Ugh,
ketatnya...” Aoi memaju-mundurkan miliknya sendiri sementara Uruha memasukkan
salah satu jarinya ke dalam lubang yang sama, membuat Saga menjerit kaget.
Mereka sudah menemukan spot-nya, kekehan Uruha semakin menjadi.
Saga
menggelepar, berusaha melepaskan diri, tetapi aku semakin mempercepat tusukanku
dan mengeluarkan penisku sesaat sebelum mencapai klimaks, aku menyemburkannya
tepat di wajah cantiknya. “Rei-Reita-senpai...” ia mendesah, kulihat air
matanya semakin bercucuran bercampur dengan spermaku.
Aku
hanya mengusap rambutnya pelan sebelum akhirnya membantu Aoi mendudukannya.
“Siap?” Aoi duduk mengangkang, memegangi pinggang Saga, mengangkatnya hingga
jarak antara miliknya dan liang Saga hanya satu inchi.
“A-Aoi-senpai!”
Saga terlihat ingin menendang Aoi sebelum akhirnya Uruha menangkap kakinya.
Uruha
tersenyum, melebarkan kedua paha Saga, pemiliknya menatapnya dengan horror.
“Shhtt... jangan berisik ya, tidak sakit kok,” Uruha memposisikan dirinya
berdempetan dengan Aoi, membuat penis mereka saling menggesek dengan kedaan
tegang sepenuhnya. “Aku siap!” serunya dengan nada ceria.
Dengan
cepat Aoi menurunkan pinggang Saga, membuat penisnya dan penis Uruha yang
berhimpitan memasuki liang Saga yang sempit secara bersamaan. Mereka berdua
mengerang, aku tidak tahu mereka bisa segila dan setega ini.
“AKHH!!!
YAMENASAI!!!!!” Saga berteriak sekuat tenaga saat merasakan dua penis yang
hampir sama besarnya dan tebalnya memasuki liangnya. Sungguh, aku sampai
menegang lagi saat menyaksikan wajah cantiknya terlihat kesakitan, mendengar
tangisan dan rintihannya yang menjadi-jadi.
Saga
menangis di saat Aoi dan Uruha mendesah, menikmati betapa semakin sempitnya
liang hangat milik Saga yang mengunci milik mereka begitu ketat. Perlahan
mereka mulai menggerakkan pinggang mereka, mencengkram pinggang ramping Saga
sampai membiru, menaik dan menurunkan badannya di atas kedua penis mereka. Aku
tersenyum, berdiri, menaikkan dagu Saga dan memaksanya mengulum milikku
kembali, ah, nikmatnya... kurasakan getaran tubuhnya, hampir kutergigit karena
ia bergetar hebat, tetapi aku ingin merasakan lidah cantik nan trampil itu
menari sekali lagi, menari di sekeliling milikku yang semakin tegang
mendengarkannya mengeluarkan simfoni indah.
Suaranya
begitu merdu, terlebih ketika kami sedikit mengubah posisi dan Uruha menaikkan
kedua kaki ramping Saga ke bahunya, menusuknya dengan ritme yang lebih cepat,
keras, brutal bersama dengan tawa Aoi yang terdengar berat. “Nice!” seru Aoi mempercepat tusukan dan
ritme tubuh Saga yang sudah meloncat-loncat dengan tidak stabil, beberapa kali
aku tidak sengaja menusuk kerongkongannya terlalu dalam akibat ritme brutal
kami.
“Senpai...
URUHA-SENPAI!!!” teriakkannya terdengar melengking saat Uruha dan Aoi menusuk
terlalu dalam, mengakibatkan warna merah darah keluar mewarnai kulit pucatnya
yang berbalut peluh. Meski sebenarnya masih teredam oleh milikku yang masih
setiap mengisi setiap mili kekosongan di mulut mungilnya.
“Suaramu
sangat merdu~” puji Uruha. Ia menunduk, menggigiti leher dan nipple-nya keras-keras. Tangannya
memijat pelan penis Saga yang sejak tadi tidak digubris. “Kau juga tegang ya~?”
ia memijat kepalanya, disusul dengan bagian batang dan memainkan testikelnya.
“Sayang, tunggu sebentar ya...” beberapa tusukan kemudian kami semua mencapai
klimaks, tidak terkecuali Saga yang terengah-engah dengan wajah sangat merah
dan gemetaran.
“Cu-cukup!
Tora-shi!!” tangisnya. Dengan lemas ia bersandar pada Aoi, melupakan penis Aoi
yang masih setia bercokol di dalam liangnya. “Akh!” ia menjerit sekuat tenaga sementara
Aoi menciumi bibir mungilnya dengan kasar. Kalau boleh jujur ya, suaranya yang
begitu kecil tidak akan terdengar keluar sana meskipun ia menjerit, apalagi
ruangan ini kedap suara, jadi percuma saja.
Aku
memandang Uruha yang balik memandangku. “Mau lagi?” tawar Uruha. Aku mengangkat
bahu dan bertukar posisi dengannya. Tak berapa lama, kami melakukan hal yang
sama, mengulanginya lagi, lagi, dan lagi sampai Saga tidak bisa berhenti
menangis dan tidak ada bagian lain dari tubuhnya yang bisa kami tandai, sampai
ia lemas dan benar-benar tidak bergerak berlumur peluh dan sperma dariku, dari
Aoi, dan dari Uruha. Terakhir, aku mencoba mengambil penggaris plastik dan
memasukkannya ke dalam liangnya. Aku tidak tahu mengapa, iseng saja. Kemudian
Uruha mengikuti dengan stick drum
sampai ia berdarah lagi, sementara Aoi hanya memperhatikan sembari menghisap
sebatang Marlboro Menthol.
Uruha
mengusap kepala Saga yang sedang tersedu, ia melepas ikat pinggangnya yang
memborgol tangan Saga kemudian menghempaskannya begitu saja. Bekasnya membiru,
sangat kontras dengan kulit putih pucatnya. Kulihat Uruha tersenyum, mencoba
mengusap tubuh lemah Saga yang lengket dengan handuk bersih yang ditemukan di
dalam lemari. “Sagachan cantik, Sagachan sangat manis...” pujinya menjilat air
mata di pipi Saga.
“Karena
terlalu cantik, dan manis, aku sampai ingin melihatnya menangis.” Ia meremas
bokong Saga, menggesekkan miliknya ke paha bagian dalam Saga. “Kalau Sagachan
menangis,” bulir air mata yang tadi sempat berhenti kembali mengalir dengan
deras menuruni pipinya, “Sagachan semakin cantik,” dan ia terkekeh, melempar
handuknya kemudian melumat bibir Saga lagi kemudian melepasnya.
“Gochisousama
deshita, hidangannya enak sekali.” Uruha menangkupkan kedua tangannya di depan
dada. “Terima kasih Sagachan,” ia mengusap wajah cantik Saga dengan lembut,
“lain kali kita main lagi ya~” Uruha tersenyum sementara Saga berjengit,
bibirnya gemetar.
Aku
hanya memperhatikan Uruha berdiri, kami semua sudah lengkap berpakaian, begitu
juga Saga yang akhirnya dipakaikan oleh Uruha. Persis seperti seorang anak
memakaikan bonekanya sebuah baju, perlahan, lembut, tetapi terlihat mengenaskan.
Kami berdiri, aku mendorong lemari, membuka jalan untuk kami bertiga ke luar
ruangan. Aku pula yang terakhir menutup pintu, melihat sekilas ke arah Saga
yang menatapku dengan manik mata cokelat tuanya yang menghanyutkan tanpa
ekspresi apapun. Cantik, persis seperti sebuah boneka.
La Fin
TORA MANA TORA ! ! !
BalasHapusTOR ! ! UKE LU NOH DI GANGBANG ! !
Sagachii kasian,, udah di DP di fvck pake penggaris n stick drum pula (T,T)
SACHIN KEJAM ! ! PERTAHANKAN ! ! hloh
gak kebayang itu gimana sakit nya jadi Saga,,, dan apa yg dirasain Tora ngliat uke nya dalam keadaan abis 'dipake' gitu (T,T) mewek
TORAAAAAAAAA!!!!!!! TORAAAAAA HELPPPPPPP!!!! ya ampun sachi jahatnya kau pada diriku XD tepar sachi q bca ini.. NICE FOURSOME
BalasHapusSachin ga bikin epep super gini lagi ya?XD
BalasHapustoraaaaaa toraaa toraangg !!!
BalasHapuskau kemanaaaaaa ?uke muh uke muhh itu abis di gangbang ><