Title: Secrète? (Sur L'espoir)
Chapter: one-shot? sequel of Secrète? (Des Secrets et Réalité)
Starring: Alice Nine, GACKT
Pairing: Gackt
x Saga, Tora x Saga
Rating: PG
Genre: drama
| fluff | angst?
Warning: kiss
Disclaimer: I’m only own the story; they belong to whoever GOD up! (_ _
)a
Comment: This is not a reason why I fell in
love with you in paradise.
Anak
lelaki itu dulu mempunyai rambut pirang pucat yang tak wajar dimiliki oleh
orang Jepang, yang kini menyembul sedikit dari balik topinya. Badannya kecil
dan ringkih sekali, kulitnya pucat dan matanya yang coklat kelam terlihat
berbinar saat melihatku berjalan ke arahnya. Bisa kulihat badannya yang
terbalut piyama putih rumah sakit itu tidak mengalami peningkatan berat badan
sama sekali walau aku selalu berusaha menyuapinya dengan berbagai macam makanan
sehat yang sengaja kubuat untuknya. Senyumnya yang lebar dan manis membuatku
mau tak mau ikut tersenyum sebalum akhirnya berhenti di depan kursi rodanya
yang mengkilat. Kulihat ibuku balas tersenyum.
“Saga,”
ibuku bergeser dari belakang kursi roda itu dan berjongkok di sebelah anak
kecil yang tak berhenti tersenyum memamerkan giginya yang mengingatkanku pada
tupai. “Ayo Hirotokun, sekarang anakku yang akan menemanimu, aku akan
mengambilkan obat untukmu sebentar ya.” Dengan sabar ibu memberi tahu anak itu
yang hanya mengangguk pelan.
“Saga,”
suara ibu memanggilku lembut, “ibu titip Hirotokun sebentar ya.” Aku mengangguk
dan beliau pun pergi menuju rumah sakit besar yang ada di depanku dengan lorong
panjang putih bersih dan terkesan dingin. Namun karena orang-orang seperti
ibukulah kesan itu seakan dientaskan.
“Oniiichan!”
suara kekanakannya menyadarkanku.
Aku
menoleh padanya yang sedang memandangiku dengan mata besarnya yang terlihat
polos. Anak sekecil ini, aku tersenyum berusaha menahan rasa miris dan ngilu
yang selalu muncul tiap kali aku melihatnya dan anak-anak lain yang tidak
memiliki keberuntungan sebesar diriku. “Ya?” aku bertanya padanya.
“Aku
mau mendengarkan permainan pianomu lagi,” senyum lebar tidak terhapus dari
wajah manisnya membuatku merasa hangat.
“Baik,
tapi minggu depan saja ya, aku akan membawa keyboard-ku
ke sini, aku akan memainkan lagu yang paling indah untukmu!” aku mengusap
tangannya yang terasa kurus sekali. Kukira kulitnya lebih pucat dariku, tapi
tidak, kulitku masih lebih pucat darinya dan dari semua anak yang dirawat di
bangsal anak. Membuatku malu dan selalu menutupinya dengan celana panjang dan
baju-baju yang ukurannya dua nomor di atasku. Aku selalu malu dengan tubuh
kurusku yang seperti kekurangan gizi dan penyakitan walau seringkali anggapan
itu memang benar.
Sebenarnya
aku pernah terkena pneumonia dan flu
tulang yang membuatku sulit bernapas dan hampir menjumpai ajalku setahun yang
lalu, ditambah aku alergi panas. Aku juga dirawat di sini dan sering kali
berteman dengan anak-anak yang juga dirawat di bangsal anak. Berulang kali aku
bertanya kapan aku mati ketika tubuhku terasa sakit sekali akan segala macam
rasa yang menjalariku dengan jarum suntik dan infus yang sudah tak bisa
kuhitung berapa kali menancap di tanganku. Aku ingin menangis tiap kali aku
melihat ibuku dengan wajah lelah berusaha merawatku dengan lembut dan merasa
cemburu tiap kali aku melihat ibuku sedang merawat anak lain. Tapi sering kali
tangisanku adalah untuk teman-teman satu kamarku yang satu persatu meninggal.
Aku
takut membayangkan jika nanti giliranku tiba. Tapi nyatanya giliranku belum
pernah tiba, sampai sekarang aku masih hidup dan dapat bertemu dengan anak ini
yang semangat hidupnya sangat tinggi. Ia selalu ceria setiap kali aku
menemaninya, sekedar menceritakan hariku di sekolah atau bermain gitar dan
terkadang piano atau bahkan memberikannya makanan buatanku. Dia sebenarnya
aktif sekali, impiannya begitu tinggi untuk dapat sembuh dan bersekolah lagi
seperti kakaknya yang seringkali datang ke rumah sakit dan bercerita pula
padanya.
“Aniki
sekarang berhasil jadi kapten tim basket di sekolahnya,” tuturnya bangga.
Kubenarkan
posisi tas selempangku kemudian mendorong kursi rodanya perlahan menuju sebuah
bangku taman. “Wah hebat sekali ya, pasti dia kuat sekali,” komentarku
sekenanya untuk membuat anak itu senang.
“Iya
‘kan? Kakakku itu jagoan! Lain kali aku akan mengenalkan Saganiichan padanya,”
tawar Hiroto selagi aku berhenti dan mengunci roda kursinya kemudian duduk di
bangku taman tepat di sebelahnya.
“Iya
Hiropon,” ujarku dengan panggilan sayang untuknya. “Sekarang kamu harus makan
dulu, ini aku sudah buatkan inorizushi
dan sosis gurita untukmu.” Aku membuka tas selempangku dan mengeluarkan bento
yang kubuatkan khusus untuknya, “Lihat, aku juga membuat cheesecake, aku mengganti gulanya dengan madu.” Jelasku sembari membuka
tutup kotak bento dan meletakkannya di pangkuanku.
Wajahnya terlihat berseri. “Wah ini terlihat enak!” ia menjulurkan tangannya untuk mengambil sekepal inorizushi.
“Hiropon!”
aku menegurnya. “Cuci tangan dulu,” aku memberikan selembar tissue basah untuknya. Ia menurut,
membersihkan tangannya dengan tissue
itu meski bibirnya mencebik lucu membuatku gemas.
“Itadakimasu!”
Hiroto melahap inorizushi-nya disusul
dengan sosis gurita dan tumisan sayur yang kusuapi dengan sumpit. Sebenarnya ia
benci sayuran, tapi aku memaksanya untuk mengkonsumsinya dengan membuatnya
menjadi lebih menarik.
“Enak?” tanyaku senang melihatnya lahap begitu. Aku ingin mengisi setiap rongga di tubuhnya dengan lemak yang sekarang terlihat berhasil membentuk pipi cekungnya menjadi lebih berisi daripada beberapa bulan yang lalu. Aku ingin membuatnya lebih ceria karena sering kali ia merasa kesepian, dan lewat tangan ibukulah ia bisa merasakan kehangatan seorang ibu yang belum pernah ia dapatkan.
“Enak
sekali!” jawabnya bersemangat. “Saganiichan juga harus makan,” ia menyuapiku
dengan inorizushi. Aku menutup mulutku dengan tangan dan berusaha
menelannya.
Senyum
kuukirkan di wajahku “Terima kasih ya. Ini, ada jus apel juga,” aku membukakan
tutup sebuah botol dan menyodorkannya pada Hiroto yang langsung meminumnya.
“Pelan-pelan,” kutepuk lengannya supaya ia mematuhiku.
Ia
meneguknya dan tertawa, “Maaf, habis masakan buatanmu enak sekali,” jawabnya
membuatku senang.
“Benarkah?”
sebuah suara berat terdengar dari belakangku. Aku langsung menoleh dan melihat
seorang pria yang sangat tinggi berambut hitam menyapaku.
“Ayah!”
seruan Hiroto membuatku mengerutkan dahi.
Ayah?
Orang semuda ini mempunyai anak sebesar ini? Tunggu, bukannya Hiroto juga
sering mengatakan dia punya kakak lelaki sebaya denganku? Tapi kenapa ayahnya
semuda ini?
Tanpa
sadar aku mengerutkan keningku saat melihat pria tersebut berlutut di depan
kursi roda anak itu. Hiroto tersenyum dan pria itu menjulurkan tangannya untuk
mengusap kepala anaknya yang ditutupi topi sederhana dengan lembut. “Apa kabar
jagoan?” sapanya senang.
“Baik,
ayah!” senyum Hiroto terlihat makin lebar—kalau itu masih mungkin.
Pria
itu menatapku, “dan siapa temanmu yang cantik ini, nak? Bisa kenalkan pada
ayah?” nada suaranya berhasil membuat pipiku memanas. Tergesa-gesa aku
menunduk, memegangi bento di
pangkuanku. Aduh, kenapa aku merasakan tatapannya begitu hangat, terlalu hangat
malah.
Anak
itu menoleh padaku, “Ayah, ini Saganiichan. Saganiichan, ini ayahku,” ucapnya
polos.
Aku
mengangkat wajahku sedikit untuk melihat mata hazelnya yang menyiratkan
kelembutan dan keramahan, “Kamui Gackt, ayah dari Kamui Hiroto, salam kenal.”
Ia menganggukkan kepalanya padaku.
“Sa-Sakamoto
Saga, salam kenal juga,” aku menunduk sampai pria itu menggenggam tangan
kananku dan mengecupnya membuat wajahku semakin memanas dan jantungku berdegup
lebih kencang.
“Nama
yang cantik, secantik pemiliknya,” ia menilikku dengan mata tajamnya. Aku yakin
ia pasti berusaha menilaiku apakah aku orang baik atau tidak yang pantas
bergaul dengan anaknya. Itu ‘kan yang biasanya yang dipikirkan para orang tua
pada orang asing?
Hiroto
memulai, “Iya, Saganiichan memang cantik seperti malaikat, pintar bermain musik,
pintar memasak pula! Ayah harus mencoba masakannya, enak lho!” repetnya dengan
ceriwis layaknya seorang anak dalam sebuah keluarga bahagia pada umumnya.
Gackt
tertawa dengan suara beratnya. “Benarkah? Berarti aku akan mencoba makanan
buatan sang malaikat ya?” ia berlutut menghadapku dan tersenyum. “Boleh aku
mencoba masakanmu, little angel?” aku
tahu bahwa sebentar lagi aku pasti akan meleleh...
~†~†~†~
“Sagachan...”
kurasakan hujan ciuman di leher dan bahuku disambung dengan sebuah tangan besar
mengusap pelan dadaku. Wajahku kembali memanas.
“Gakusan!
Dame!” aku berusaha menghentikan tangannya yang lain yang sedang memijat pahaku
perlahan. “Gakusan...” aku menggigit bibir bawahku untuk tidak mengeluarkan
erangan saat Gackt menandai leherku.
Gawat,
ini gawat! Situasi ini tidak memungkinkan, aku yakin bahwa Tora sedang berada
di ruang keluarga, menonton televisi sehabis mandi tadi. Tapi tangan besar dan
hangat milik Gackt tidak mau meninggalkanku sendirian. Ia menelusup ke balik
celemekku dan ke balik bajuku, meremas-remas bagian tubuhku seakan ingin
membuatku mati lemas saat itu juga.
“Ahn~”
aku memejamkan mata, mencengkram tangan pria yang membuatku gila dengan
tangannya di mana-mana. Aku berusaha menahan eranganku dan menolaknya untuk
saat ini. Astaga, kami masih ada di dapur dan aku masih memasak! Bahkan kompor
di bawah penggorengan berisi tumisan daging yang aku buat masih menyala.
Nafasnya
menyapu leherku, membuatku sedikit bergidik. “One of my fetish is to see you in an apron. Wanna have sex in the
kitchen?” bisiknya sembari menjilat cuping telingaku. Tulangku terasa
seperti dilolosi, aku lemas di dalam pelukan hangatnya sebelum akhirnya sebuah
suara mengagetkan kami.
“Ayah,
ada petugas keamanan,” suara Tora membuatku menyentak tangannya yang bermukim
di tubuhku kemudian merapikan pakaianku.
Aku
berbalik dan melihat punggung pria itu menjauh menuju koridor dan Tora
melihatku dengan wajah tanpa ekspresi yang seringkali membuatku gugup,
punggungnya juga ikut menjauh. Punggungnya dan punggung ayahnya yang senantiasa
aku lihat dengan penuh kekaguman. Punggungnya yang tidak mungkin aku peluk
seperti punggung ayahnya.
Aku
tersenyum getir, menumis kembali kemudian menyajikankan di tiga mangkuk yang
berukuran sama. Untuk Gackt, untukku, dan untuknya. Kutata semua masakan
menurut aturan tradisi yang diajarkan ibu kepadaku. Aku tidak ingin
mengecewakan mereka yang sudah memperbolehkanku menginap di rumahnya. Aku harus
berusaha membantu mereka dan membuat mereka senang. Apapun caranya, pasti aku
akan melakukan yang terbaik.
“Toraniichan
itu sangat hebat, dia adalah kakak yang terbaik di seluruh dunia!” suara ceria
Hiroto menggema di dalam pikiranku. Selama tiga tahun terakhir ini aku selalu
memikirkannya dan kepergiannya yang sering kali membuatku sulit untuk bernafas.
Hiroto,
maafkan aku ketika aku terlambat untuk memainkan lagu terindah yang kujanjikan
itu. Aku tidak menyangka, bahwa lagu terindah yang aku mainkan untukmu itu
harus menjadi lagu untuk pemakamanmu. Maafkan aku karena kau belum sempat mendengarkannya.
Kau belum sempat mengomentariku dengan gaya bicaramu yang ceriwis dan polos.
Aku
mengusap air mataku yang bergulir pipi secara tak sengaja.
“Saganiichan
sangat cantik, ibuku juga sangat cantik, aku merasa bersama ibu jika
Saganiichan ada bersamaku. Aku harap ibuku bisa menyayangiku seperti yang kau
lakukan padaku.” Hiroto memelukku erat, membenamkan kepalanya di leherku,
membuatku harus berpegangan pada bangku taman supaya tidak jatuh menimpa tubuh
ringkihnya.
Aku
tersenyum selembut mungkin sembari mengusap punggungnya dan mengecup dahinya. “Ibumu
pasti menyayangimu, Hiropon, semua ibu begitu.” Tuturku pelan.
Suaranya
yang teredam membuatku merasa tercekat. “Kalau ibuku sayang padaku, pasti ia
sudah datang sekarang. Tapi kenyataannya hanya ada Saganiichan, lebih baik
ibuku itu kamu.”
Lidahku
kelu dan tubuhku terasa dingin seketika. Aku tahu ini terdengar sangat klise,
tapi pada saat ini aku merasa kaku dan bingung untuk melekukan apa. Mengusap
punggungnya dan memeluknyalah yang kuperbuat sedari tadi sembari memikirkan apa
yang harus aku katakan untuk menanggapinya.
“Aku
berharap waktu bisa diputar ulang dan semuanya tidak seperti ini. Aku lebih
baik tidak ada di sini.” Ia berkata dengan suara paling lirih yang pernah aku
dengar. Meneguk ludah dan menunduk berusaha melihat wajahnya, aku berusaha
menahan air mata yang menggenang di pelupukku.
Aku
mendesah pelan, berkonsentrasi menata makanan sesuai dengan posisi meja dan
urutan makan kemudian melepaskan celemekku dan menggantungnya di samping lemari
pendingin. Kedua orang itu sudah kembali dengan sebuah surat edaran di tangan
Gackt yang duduk di sebelahku dengan senyum lebar.
“Wah
sudah matang ya?” tanyanya yang siap mengambil karage di piringnya.
Aku
menepak tangannya pelan, “Hush!” aku menegurnya main-main. “Cuci tangan dulu
sana.” Aku menyuruhnya dan menangkap sosok Tora sedang mencuci tangannya di
dapur. Punggungnya terlihat besar dan gagah.
Tora,
maafkan aku ya.
Aku
tahu pasti kau merasa sebal dan risih melihatku selalu ada di dalam rumahmu.
Aku tahu kau pasti tidak betah jika harus bersamaku karena berulang kali aku
memergokimu memandangku dengan tatapan aneh yang sering kali memperbesar rasa
bersalahku. Maaf, sampai kapanpun, aku memang bukan orang yang pantas
bersanding dengan ayahmu yang begitu sempurna dan begitu baiknya menerimaku apa
adanya. Padahal aku masih bisa dibilang kekanakan dan ceroboh, tapi kau paling
tidak mau menerimaku, meski aku yakin itu pasti terpaksa.
LA FIN...?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar