Minggu, 13 Februari 2011

The[real]Engaged (Chapter 3/?)

Title: The[real]Engaged (Chapter 3/?)
Starring: ScReW, the GazettE, Sugizo (soloist)
Author: xellonich a.k.a Yuuji Sano
Pairing: Byou x Ruki, Reita x Ruki (mentioned)
Rating: PG – 16
Genre: drama, abused
Warning: none. (at this time)
Disclaimer: I’m only owned the story; they belong to whatever Gods up! (_   _ )a
Summary: Mereka yang tak pernah tahu apa-apa. Mereka yang selalu menyusahkannya dengan permintaan-permintaan mengatasnamakan ‘kebaikan’. Orang-orang menyebalkan seperti mereka. Kenapa harus mengendalikannya?
Music: Nightmare - Dirty


~†~†~†~


Reita menghela nafas. Duduk di atas ranjang di kamarnya yang sempit. Memandang pemuda berwajah pucat yang tertidur lelap dengan iba. Setelah berusaha membawa pemuda itu ke dokter–yang ditolaknya mentah-mentah–membawa Ruki ke apartment-nya, dan hingga akhirnya pemuda itu pingsan di tempatnya.

“Merepotkan.” Reita beranjak dari ranjangnya dan menyesali kenapa juga ia harus menolong pemuda itu. Sekarang ia jadi harus merawatnya, paling tidak sampai pemuda itu bangun.

Ia memandang kepada wajah pemuda itu dan sekali lagi menemukan warna kebiruan yang menganggu di sekitar lehernya yang tidak dibalut syal lagi. Bertanya-tanya pada dirinya sendiri mengapa luka khas seperti itu bisa ada di sana. Lagipula pemuda yang sebaya dengannya ini telah mengakuinya sendiri.

Mangakui bahwa dirinya telah berbuat seks.

Tapi kenapa ia terlihat gugup dan takut? Mengapa ia terlihat sangat tidak menerima pertanyaan Reita? Apakah anak ini dipaksa melakukannya?

Ia tertawa pada dirinya sendiri. Untuk apa mempertanyakan hal yang tidak penting? Sekarang ia terlibat dan harus kerepotan menolong pemuda yang tak dikenalnya. Untuk apa ia peduli? Pokoknya jika nanti pemuda ini bangun, ia akan mengantarnya pulang lalu terlepas daripada itu, ia tidak ingin ikut campur.

Pemuda itu bergerak sedikit dan merintih, menyebabkan Reita menoleh. Berharap bahwa pemuda itu telah bangun, tetapi tidak. Pemuda itu tetap tidur. Raut wajah kesakitan dan igauan keluar dari bibir pucatnya. Tubuhnya yang ringkih begitu jelas terlihat setelah Reita menanggalkan jaket pemuda yang kebesaran itu dan menggantinya dengan selimut tebalnya. Untung saja ia masih memiliki belas kasihan hingga tak jadi mempersilakan Ruki untuk tidur di sofa sempitnya di ruang yang lain.

“Aku tidak mau…” air matanya menetes.

Reita melihatnya tanpa ekspresi. Bertingkah apalagi anak ini? Menyusahkan saja. Tidak tahu apa jika ia mempunyai pekerjaan lain yang lebih penting? Apartment ini perlu dibayar sewanya! Ia menggerutu.

Air mata terus menetes membasahi bantal Reita. ‘Hah… kini aku harus mengganti spreiku, siapa tahu dia mengidap penyakit berbahaya.’ Ia memperingatkan dirinya sendiri, mengingat-ingat apakah ia sudah mengambil sisa spreinya dari laundry di blok sebelah.

“Ayah…” Ruki tetap menangis dan mengigau. Berdesis tak keruan di sela isaknya.

Reita mengernyitkan dahi. ‘Sebegitu dekatnya anak ini dengan ayahnya? Sampai ia menyebut ayahnya waktu tidur, eh, sakit?’ ia sibuk dengan pikirannya sendiri, menyaksikan Ruki yang sibuk menangis dan gemetaran.

Bunyi ceguk dari kerongkongan Ruki digantikan oleh pekik tertahan selagi tubuhnya berguncang hebat. “Sakit ayah… sakit…” ia meremas sprei Reita, mengusutkannya dan menggigit bibirnya keras-keras.

Reita terdiam mendengarnya.

Sakit? Maksudnya ia merasa kesakitan karena ayahnya? Atau sakit yang lain?

“Ayah! Sakit… ayah hentikan! Sakit! Aku tidak mau!” serunya.

Seketika Reita berdiri seperti tersengat listrik. Hipotesanya telah mendapat pencerahan dan mereka-reka kejadian dari tingkah laku anak ini, ia menemukan hasilnya. Ia hanya tak bisa membenarkan hal itu.

Mungkinkah? Ayahnya yang...

~†~†~†~

“Selamat sore, Masahito-sama,” Seorang pegawai menunduk sedikit saat berpapasan dengannya. Ia ikut membalasnya. Orang itu berlalu dan keluar dari kantor.

Memang, sudah pukul setengah enam sore dan matahari sudah terbenam sepenuhnya, wajar jika pegawai itu pulang. Sewajarnya kantor itu kosong selain penjaga dan beberapa yang melakukan lembur hingga jam delapan menyelesaikan tugas mereka masing-masing.

Byou melewati meja resepsionis yang kosong dan masuk ke dalam lift. Menuju ruangan di lantai tiga b di mana ruang arsip terletak di sana. Ia keluar dari lift dan berjalan di koridor yang gelap. Lantai tiga b, dibuat untuk meniadakan lantai  empat yang menurut kepercayaan di Jepang sebagai angka kematian. Hal ini disebabkan oleh pembacaannya yang bisa berarti pula sebagai ‘mati’.

Ia membuka kuncinya dan masuk ke dalam. Berjalan di antara barisan rak berisikan file yang dipisahkan menurut tahun, dan menurut jalinan kerja sama antar perusahaan. Ia berhenti di sebuah rak dan mengambil salah satu arsip dari sana. Meneliti apa saja hasil kerja sama yang pernah perusahaannya dan perusahaan milik wanita itu lakukan secara detail.

Penghapusan sebuah pemukiman untuk kelestarian hutan. Pembongkaran gedung tua di kawasan Sapporo untuk membangun sebuah mall. Pembangunan sebuah rumah sakit di Kyushu hingga proyek pembebasan tanah di daerah Nagatacho untuk kedutaan besar dari Prancis yang ingin pindah gedung.

Tak ada yang aneh.

Semuanya biasa saja…

Lalu mengapa mereka semua memaksa dia? Memangnya perusahaan itu begitu penting ya? Atau mereka hanya ingin mengeruk profit dari perusahannya? Atau mereka tidak ingin kekayaan mereka tak jatuh ke mana pun dan bertambah kaya dengan menjodohkan mereka berdua?

Perasaan curiga begitu mengena di pikiran Byou. Rasanya terlalu absurd jika mereka memaksanya tanpa tujuan pasti dan mengatakan ‘demi kebaikanmu’. Kebaikan apa? Hanya omong kosong dan sampah jika mereka memulai hal klise itu.

Mereka yang tak pernah tahu apa-apa. Mereka yang selalu menyusahkannya dengan permintaan-permintaan mengatasnamakan ‘kebaikan’. Orang-orang menyebalkan seperti mereka. Kenapa harus mengendalikannya?

~†~†~†~

Sugizo berdecak kesal. Sejak tadi ia merasa bosan dengan kekosongan di ruang kerjanya. Ia sendiri merasa tidak terlalu berguna ada di sini dari tadi, menunggu telepon dari Kanada, dari istrinya yang tak kunjung berdering. Yang ia temukan malah tumpukan file yang harus ia bereskan sendiri.

Setelah semuanya selesai ia merasa bosan. Menyandarkan kepalanya ke kursi besar. Berputar-putar pada porosnya sembari mematik api. Menyalakan Pianissimo One, bukan kesukaannya, tapi ia sudah terlalu terbiasa dengan rasa tembakau yang ringan di lidahnya. Terkadang ia juga menyukainya, saat mencium bau tubuh anak tirinya yang sama dengan bau tembakau itu, sama seperti bau yang akrab di tubuhnya, setelah ia menyudahi ‘kegiatannya’.

Tersenyum, ia mengeluarkan ponselnya dan menekan speed dial favoritnya.

Nomor anak tirinya.


Ruki yang masih berguncang kini sudah meredakan suaranya. Air mata yang berlinang juga telah kering meninggalkan lembap di seputar wajah dan lehernya, tak lupa bantal Reita. Ia kembali tertidur dengan tenang.

Saat sedang tenang itulah, bunyi dering monoton terdengar pelan. Reita yang menangkap bunyi itu segera mencari-cari sumbernya. Ia membongkar kantong jaket Ruki dan meraih ponsel berwarna merah tua dari dalamnya.

Ia memandang layarnya yang bertuliskan Fuckin’ Dad calling…

Menaikkan salah satu alisnya seraya tertawa kecil. Ia menekan tombol hijau dan orang di sebelah sama langsung menyapanya dengan suara yang terdengar sangat senang.

“Halo sayang, kau ada di mana sekarang?” Reita cukup kaget mendengar cara orang itu memanggilnya–memanggil Ruki. Bukankah tadi namanya ada kata-kata Dad meski dengan embel-embel Fuckin’ di depannya…?

“Kau cepat pulang ya… jangan pergi ke mana-mana lagi, aku merindukanmu. Bosan sekali di sini, tak ada sesuatu yang bisa mengusirnya selain tubuhmu~” cerocos pria itu, dan Reita hampir menjawab dengan ketus tapi ia menahannya. “Oh ya, dan satu lagi,” Reita mendengarkan dengan tidak sabar.

“Jangan coba-coba kabur.” Ancamnya kemudian mengakhiri pembicaraan.

Pemuda berambut pirang itu melirik tajam pada ponsel tak bersalah milik Ruki. Mengembalikannya ke tempatnya dan berbalik ke kamarnya. Ia memberikan tatapan iba kepada Ruki.

Mungkin anak ini memang merepotkan. Mungkin anak ini memang sedang sakit, baik fisik maupun mentalnya mengalami sakit. Mungkin anak ini juga memiliki masalah yang sama dengan dirinya. Atau mungkin lebih parah lagi.

~†~†~†~

Byou menekan bel rumah yang besar, sama seperti rumah miliknya. Besar, luas, namun dingin, dengan sedikit orang yang tinggal di dalmnya. Yang singgah sebentar untuk tidur dan kemudian pergi menyibukkan diri dengan urusannya, meninggalkan rumah itu kembali kosong, hanya pelayan yang menunggui.

Tipe rumah dingin yang fungsinya kurang dimaksimalkan. Untuk apa mempunyai rumah begitu besar dan luas jika nantinya ditinggalkan? Sekedar dibanggakan sementara untuk tidak dianggap sebagai tepat keluarga berkumpul, melainkan simbol bahwa mereka masih memiliki nama keluaga. Yang terhormat, yang terpandang.

Intercom di dinding pagar menyala. Menandakan sang pemilik atau mungkin kepala pelayannya telah siap menanyakan atau lebih tepatnya menginterogasinya.

“Siapa?”

Byou mendekatkan dirinya ke intercom, mengetahui bahwa di sini telah dipasang kamera untuk menampakkan wajah orang yang bertamu kepada orang di seberang sana. “Saya Masahito Kojima,” ujarnya.

Bunyi gemerisik dari seberang membuatnya mengerutkan dahi, “Tunggu sebentar.”

Pintu pagar berdesing pelan dan Byou masuk kembali ke mobilnya, menyetirnya masuk ke dalam pekarangan keluarga Matsumoto. Memarkirkannya di sudut pekarangan yang dilapisi bata blok khusus untuk parkiran. Ia berjalan menyusuri bunga snow drops yang sedang cantik-cantiknya mekar dengan tidak peduli. Melirik pun tidak, padahal Ruki begitu sayang akan bunga itu.

Setiap musim dingin ia selalu menantikan bunga putih seperti lonceng itu merekah. Menampilkan keindahan yang membuatkan selalu ingin tersenyum meski di musim dingin yang menyiksa. Tapi itu dulu, sebelum neraka mulai berkobar di rumahnya. Ketika kesucian bunga itu masih bisa disandingkan dengan ‘kesuciannya’.

“Selamat datang, Masahito-san,” pelayan yang membukakan pintu membungkuk dalam padanya. Ia balas menunduk dan berjalan ke arah ruangan yang ditunjukkan oleh seorang pelayan dengan vest abu-abu.

Byou berhenti, belum bergerak sampai pria yang memandang ke luar jendela besar itu berbalik. Wajahnya dingin dan garis usia tak terlihat baik di dahi maupun di sudut wajahnya yang lain. Terlalu muda.

“Selamat malam, Masahito-san,” ia tersenyum ramah pada Byou. Pemuda itu segera menepis pikiran curiga terhadap pria itu.

“Selamat malam, Matsu–”

“Stop.” Sugizo menghentikan Byou dan tersenyum lagi. “Kau cukup memanggilku dengan nama Sugizo.” Byou mengangguk mengerti, dirinya memulai kembali rasa curiganya kepada pria ini.

Pria itu melangkah maju dan mempersilakan Byou duduk di sofa di hadapannya. “Ada keperluan apa kau kemari?” ia melipat salah satu kakinya dan bertingkah sedikit angkuh hanya karena Byou lebih muda daripadanya.

“Saya hanya ingin bertemu dengan Matsumoto Takanori, apakah ia–”

“Ia sedang tak ada di rumah,” lagi-lagi Sugizo memotong perkataan Byou, membuat pemuda itu sedikit merasa sebal. “Jika kau ingin menemuinya, datang saja jika sudah membuat janji,” ia meraih ponselnya dan menghela nafas.

“Akan kuberikan nomorku, kau bisa menghubungiku untuk menemui dia.” Ucapan Sugizo seperti perintah, Byou merogoh kantongnya dan mengeluarkan ponselnya sendiri.

“Tolong, berapa nomor ponsel Anda, Sugizo-san?”

~†~†~†~

Ruki terbangun. Ia terbatuk keras-keras, nafasnya tersengal-sengal. Ia berusaha menjejakkan kaki di lantai apartment Reita namun limbung. Rasa pusing dan sakit di perut melandanya begitu hebat.

Saat itu sebuah lengan menangkapnya.

Ruki berjengit ketakutan. Ia mengingat peristiwa-peristiwa di kamar, di ruang kerja, di kamar ayahnya…

“Jangan sentuh!” ia meronta dan lengan itu memeganginya semakin erat.

“Aku bukan ayahmu,” ucap Reita pelan. Tangan sebelahnya ternyata memegangi nampan berisi teh dan bubur hangat.

Sadar ia salah sangka, Ruki mencoba berdiri. “Maaf,” desisnya, “boleh aku pinjam kamar mandimu?” suaranya lemah tapi telinga Reita masih mampu mendengarnya dengan baik.

“Di luar, lurus saja ada di dekat dapur.”

Ruki mengangguk, melepaskan lengan Reita dari pinggangnya dan melesat keluar. Sesampainya di depan kamar mandi, ia membuka pintunya dan membuka tutup closet. Membungkuk, ia memasukkan jarinya ke kerongkongan, membuat gerakan anti peristaltik di dalam saluran cerna dan membuat lambungnya bergolak, mengeluarkan kembali isi perutnya berikut asam lambungnya. Asam bercampur pahit.

Air mata menitik dan ia terhempas ke belakang. Membasuh wajahnya di wastafel dengan tangan gemetar. Merutuk dirinya sendiri karena tidak memakai baju yang lebih tebal saat keluar rumah.

Rasanya sakit. Rasanya berat. Tapi ia tidak mau hal itu ada di dalam tubuhnya. Ia tidak mau bagian dari orang itu masuk ke tubuhnya. Perutnya terasa sangat sakit dan menyiksa. Ia meringis dan beranjak pergi dari kamar mandi. Kembali ke kamar Reita dengan senyum aneh yang dipaksakan.

Reita menatapnya khawatir, “Kau tidak apa-apa?”

Ruki mengangkat bahu, “Kurasa tidak, aku merasa baik-baik saja.”

“Err… kau yakin?” kali ini Ruki mengangguk.

Hening. Ruki dan Reita masih berdiri di tempatnya masing-masing.

“Kau lapar?”

“Sedikit,” sebenarnya ia sangat lapar. Tapi nafsu makannya telah lama terlupakan.

“Makanlah, aku tadi membelikanmu bubur, mumpung masih hangat.” Ia tersenyum menawarkan.

Ruki duduk di atas ranjang dan meneria mangkuk bubur dari Reita. Rasanya sudah lama sekali ada orang yang mau peduli dengannya. Biasanya orang-orang yang peduli dengannya itu hanya melihat pada kekayaan yang ia miliki. Tipikal orang baik untuk memanfaatkan, untuk dipandang lebih baik daripada yang lain hingga mereka dengan mudah dapat memancing Ruki untuk membalas kebaikan mereka.

Ruki bersyukur agaknya Reita tak tahu siapa dia. Ia tersenyum getir, jika pemuda ini tahu. Pasti hal itulah yang membuatnya begitu baik. Menginginkan balas budi dan mengembalikan ia pada ayah tirinya dengan senang gembira bersama segepok uang. Sama seperti yang sudah-sudah. Seperti para ‘teman-temannya’ yang mudah sekali berubah pikiran, menyerahkan Ruki kepada Sugizo yang menyeretnya pulang.

“Sebenarnya kau sakit apa sih?” Reita bertanya pada Ruki yang tengah menyendok kembali buburnya.

“Aku juga tidak tahu,” ia menjawab dan kembali menyuap buburnya.

Reita berdecak pelan, “Di mana rumahmu? Nanti aku antar.” Yeah, pergilah secepatnya dari apartment ini. Reita masih punya banyak kegiatan selain mengurusimu.

Wajah Ruki mengeras sejenak. “Kau tidak perlu mengantarku, aku bisa pulang sendiri,” ia membalasnya ketus dan menghabiskan buburnya. Meminum teh hangat yang Reita beikan, “terima kasih atas makanannya,” kedua tangannya mengatup di depan bibirnya sebentar.

“Sekarang kau mau ke mana?” Reita ikut berdiri melihat Ruki meletakkan mangkuknya yang sudah kosong dan memakai mengancingkan jaketnya, melilitkan syalnya ke lehar, menutupi bekas-bekas luka yang membiru.

“Pulang.” Ia membenarkan bajunya dan tersenyum pada Reita. “Terimakasih atas bantuannya, maaf merepotkan.” Ia membungkuk.

Reita ikut membungkuk dan berjalan di depan Ruki, “Akan kuantar kau sampai rumah.” Ia bersikeras dan Ruki memandangnya penuh selidik.

“Kalau kau pingsan lagi, akan menyusahkan orang lain.” Ia berkata setengah bercanda. “Cukup aku sajalah yang kau repotkan.” ia membuka pintu dan mempersilakan Ruki keluar. Mereka berjalan ke parkiran apartment yang tidak terlalu besar, terletak di samping apartment tersebut dengan pagar beton mengitari.

Di sana sebuah sepeda motor mengkilap menanti mereka, berlapis sedikit salju yang membuatnya basah.

“Pakai ini,” Reita melempar sebuah helm pada Ruki yang menangkapnya dengan sigap.

Belum sempat Ruki menaiki sepeda motor Reita, ponselnya berdering.

Ia langsung mengangkatnya, sudah terlalu hapal nada monoton itu. “Halo?”

“Sayang~” suara itu memanggilnya dengan nada yang menyebalkan.

“Ya, aku pulang,” sahutnya kesal. Sudah terlalu mudah baginya untuk menebak maksud makhluk yang satu ini jika menelponnya. Ia muak, tentu. Tapi ia harus kembali, berpura-pura jadi anak baik di depan mereka.

“Wah, rasanya kau tidak perlu repot-repot,” suara itu tertawa mengesalkan.

Reita yang mendengar Ruki berbicara di telpon kini mengernyitkan dahi. Mungkin itu dari ayahnya?

“Maksudmu?”

Ia tertawa lagi, “Anak Manis, kau sedang ada di apartment DIM Scene ‘kan?”

Kata-kata Sugizo membuat Ruki celingukan mencari papan nama apartment. Reita menaikkan salah satu alisnya melihat tingkah Ruki.

“Sudahlah, pokoknya dengan siapapun kau di sana, sebaiknya kau keluar sebelum aku jadi marah.” Titahnya segera mematikan sambungan.

Wajah Ruki yang pucat membuat Reita heran. “Kau kenapa lagi?”

“Ayahku…” ia segera menaruh kembali helm Reita dan bergegas meloncati pagar rendah untuk keluar dari parkiran apartment. Ia terengah sedikit dan berhenti.

Di belakangnya Reita sudah terlanjut mengikuti.

“Hei kau kena–” Ruki diam tak menjawab Reita. Pemuda pirang itu memandnag ke arah yang dituju Ruki.

“Selamat malam, Taka-chan,” sapa pria dengan mantel hitam itu.

Ruki menghela nafas, tak berani bergerak saat ayah tirinya mendekat. “Kau tampak pucat…” kata orang itu seraya mengecup kening Ruki. Ruki sendiri mengunci mulutnya dan mundur sedikit, merasa risih dengan perbuatan orang ini.

“Maaf,” Reita memulai dan Sugizo berpaling lepada Reita. “Apakah Anda ayah darinya?”

Sugizo memandang Reita dari atas ke bawah dengan wajah yang tak terbaca. “Ya, dan terimakasih telah menolongnya.” Ia mengeluarkan sesuatu dari kantongnya.

“Ini, terimakasih ya atas bantuanmu.” Ia tersenyum dan segera menarik Ruki yang memandnag Reita seakan minta tolong ke dalam mobil. Membimbing anak itu supaya masuk dan berputar ke kursi pengemudi. “Dan selamat malam anak muda, hati-hati…” ia menekankan kata terakhirnya dan masuk ke dalam mobil. Melajukannya begitu saja di depan wajah Reita.

“Yeah…” ia meremas amplop coklat itu. Sepertinya ia tidak perlu bekerja malam ini untuk mencari uang sewa apartment. Uang itu telah datang sendiri kepadanya.


Toffee butter caramel~~


A/N: Gomen ne lama update, ada satu dan dua masalah terhadap pacar saya (baca: PC) yang mati begitu aja dengan data fic ini. Setelah saya mengetik ulang, rasanya kurang pas, jadi maaf jika merasa kurang sreg dan kurang mengerti dengan chapter ini...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar