Minggu, 27 Februari 2011

The[real]Engaged (Chapter 4/?)

Title: The[real]Engaged (Chapter 4/?) 
Starring: ScReW, the GazettE, Sugizo (soloist)
Author: xellonich a.k.a Yuuji Sano
Pairing: Byou x Ruki, Reita x Ruki (mentioned)
Rating: PG – 16
Genre: drama, abused
Warning: mentioned of rape (?)
Disclaimer: I’m only owned the story; they belong to whatever Gods up! (_   _ )a
Summary: "Ya, dialah anak tunggalku yang penurut dan pintar, ia suka sekali belajar hal-hal baru dan mudah meresapnya, anakku yang sangat pintar…" wanita itu menepuk puncak kepala Ruki sembari tersenyum bangga dan anaknya ikut tersenyum senang. Anak itu membungkuk menghormat pada Sugizo dalam gestur polos.
Music: Avenged Sevenfold – Chapter Four
 the GazettE – A Moth Under the Skin



~†~†~†~


“Halo?” samar-samar terdengar suara orang tersedak dari kamar mandinya. Terbatuk-batuk dan ia berusaha mengacuhkannya.

“Halo, orang asing,” Sugizo tersenyum sendiri kepada ponsel itu.

“Ya ini saya, apakah Anda ayah anak itu?” Reita bertanya sedikit heran, berkomunikasi melalui ponsel milik Ruki.

“Ya, dan yang kau sebut dengan sebutan anak itu namanya adalah Takanori, jadi bersikaplah sopan,” ia menegaskan.

“Maaf tuan, tapi sepertinya anak Anda yang bernama Takanori itu enggan bertemu dengan Anda.”

“Apakah kau sudah diajari bagaimana menutup mulutmu dan berhenti bersikap sok tahu?” balasnya bernada dingin.

“Bagaimana jika Anda berhenti memaksanya?”

“Bagaimana jika kau berhenti ikut campur?”

Reita mengernyitkan dahi, “Maaf, saya tidak ada maksud untuk ikut campur sa–”

“Berapa yang kau minta?”

“A-apa?” pemuda itu semakin bingung.

“Anak baik, kau tidak ingin ditemukan dalam keadaan terbujur kaku bukan?” pria itu tersenyum menampakkan gigi-gigi putihnya yang terawat.

~†~†~†~

Byou duduk tenang di perpustakaan pribadi milik keluarganya, di dalam rumahnya sendiri yang terlalu lowong. Penuh akan barang-barang mewah yang jarang dipergunakan kecuali jika ada jamuan khusus. Dibiarkan teronggok jadi pajangan bernilai tinggi yang memancing perampok untuk sekedar mampir dan mempreteli sedikit onggokan itu. Tapi pagar tinggi menghalangi, dengan arus yang otomatis mengalir jika mendeteksi serangan berbahaya.

Ia memandang layar iPad-nya, seakan-akan iPad itulah yang bersalah, yang membuatnya terjebak untuk menjalani pelajaran membosankan dari guru khusus yang mengajarnya di rumah tiap hari Senin sama Kamis, selama lima jam penuh.

Pintu perpustakaan dibuka dan seorang dengan wajah yang cukup manis masuk ke dalam, membawa tas hitam yang tebal. “Selamat siang, Masahito-san,” sapa pemuda berambut hitam itu sembari meletakkan tasnya di atas meja.

Byou menegakkan kepalanya, “Selamat datang, Uke-sensei.” Jawabnya tidak minat.

Pemuda itu tersenyum menampilkan lesung pipinya, “Sepertinya Anda kurang bersemangat, ada masalah apa?” ia sekedar berbasa-basi selagi menyiapkan materi pelajaran untuk Byou.

Ia menatap langit-langit, “Saya rasa ada.”

Guru muda itu tersenyum lagi, merupakan bagian yang menjadi kebiasaan dan hobi tercintanya. “Sepertinya kurang menyenangkan. Tapi itu untuk nanti, sekarang mari kita memulai pelajaran ini,” ia mengeluarkan notebook-nya dan kembali pada rutinitasnya. Rutinitas mengajar anak dari seorang direktur utama tak pernah membuatnya gentar, melainkan menerima hal itu dengan mudah. Semudah Byou menerima pengajaran darinya.


“Jadi begitu… saya mengerti,” Kai, biasa guru muda itu dipanggil mengangguk pelan.

Byou bersandar pada bangku besi di halaman rumahnya yang terpelihara. “Saya harap ini tak merepotkan bagi sensei,” ia menarik nafas. “Saya hanya merasa bimbang, maaf sensei, karena hal itu saya kurang konsentrasi dalam pelajaran.”

Kai tertawa, “Tidak apa. Saya mengerti Anda merasa kesulitan. Memang ini adalah sebuah problema kehidupan, setiap orang pasti akan menghadapi hal ini, fase ini. Tapi Anda harus tetap kuat, Anda harus bertahan. Mungkin ini terdengar klise, tapi... itu karena Anda adalah anak satu-satunya yang bisa diharapkan. Anda adalah anak yang patut dibanggakan, jangan pernah menyerah karena ini.”

“Anda anak baik,” Ia menepuk pundak Byou yang berwajah hampa.

Di atas mereka langit siang bergumul dengan malam ciptakan corak warna yang indah. Antara jingga, kuning, lembayung dan biru tua berlapis-lapis.

Kata-kata yang selalu Byou tunggu. Yang bahkan tak bisa diucapkan oleh kedua orangtuanya kini dengan ikhlas didengarnya dari salah seorang berhati jujur juga bijak.

“Terimakasih.” Ujar Byou dengan senyum tulus.

~†~†~†~

Pemuda itu kepayahan. Bersandar di dinding kusam, cat mengelotok di sana-sini dan lumut merambangi sisinya. Ia tersenyum dan melorot hingga duduk di atas tanah basah. Minuman yang baru ditenggaknya terasa begitu ringan di kerongkongan, begitu menyenangkan untuk menikmati sensasinya.

“Terimakasih…” ia meremas-remas tangannya.

Mungkin guru itu benar, mungkin guru itu memang berusaha menyadarkannya. Tapi bebal yang bukan menjadi bagian dari namanya dan ketidak inginan untuk menegakkan kepalanya adalah suatu hambatan. Guru itu mungkin benar, dan ia akan bertahan seperti apa yang guru itu katakan.

Byou tersedak dan dari mulutnya keluar asap putih. Mabuk memang menyenangkan, tapi sesudahnya adalah hal yang menyebalkan. Sekarang, Byou cukup tahu dan mengatur dirinya agar tidak terlalu berbuat masalah dalam keadaan mabuk. Terutama setelah ia berhasil menumpahkan isi tong sampah di ujung gang antara bar yang baru didatanginya dengan sebuah love hotel, untunglah hanya sampah potongan kertas.


BLAM.

Ruki membanting pintu kamarnya keras-keras, berlari menuruni tangga. Begitu ia melayangkan tangannya untuk meraih gagang kuningan pintu utama tersebut, sebuah tangan menahannya.

“Mau ke mana?” suara berat itu menegurnya.

“Aku ingin keluar,” pemuda itu menarik tangannya, tak mau menoleh pada pemilik suara tersebut.

Sugizo menarik nafas, “Ke mana?”

“Ke mana pun sesuka hatiku,” balasnya ketus.

Pria itu menatapnya tanpa ekspresi. “Baik,” ia meraih bahu Ruki dan menengadahkan dagu anaknya, menahannya agar terjadi kontak mata. “Jangan pulang terlambat, jangan membeli sesuatu yang tak penting, jangan mampir ke tempat yang tak seharusnya kau datangi, jangan seenaknya kabur, jangan pergi dengan orang tak dikenal–”

“Jangan pergi dengan orang berotak mesum maksudmu,” tandas Ruki menyipitkan mata berbahaya.

“…dan… jangan membantah kata-kataku!” Sugizo menunduk dan menempelkan bibirnya dengan bibir Ruki. Kasar lidahnya mendorong hingga bibir Ruki terbuka dan memberikan ruang untuk mengeksplor di dalamnya.

Ruki menutup mata dan menggigit lidah pria itu.

“Ouch!” Sugizo mundur dan melotot kepadanya.

“Sampai nanti malam.” Ruki keluar dan membanting pintu dengan sembrono, kemudian melesat menuju pagar tinggi seperti penjara di sekeliling rumahnya. Ingin cepat-cepat menjadi dirinya yang bernama Ruki, bukannya Matsumoto Takanori.


Byou berusaha bangun. Tanpa sengaja jalannya yang sempoyongan membuatnya menyenggol pundak seseorang. Seseorang yang ternyata tak terlalu ramah terlebih di cuaca yang dingin begini. “Hei! Berani sekali kau menabrakku!” orang itu melotot kepada Byou yang terlihat santai dan berwajah kemerahan.

“Ma…af~” ia tertawa-tawa. Campuran antara sedikit Vodka, Jack Danniels, dan Sprite sepertinya tidak bisa disebut ringan.

“Sialan!” orang itu memegangi bahu Byou dan ingin memukulnya namun Byou terlanjur lemas dan jatuh ke aspal. Ia memandangnya, menendang tubuhnya sedikit lalu pergi dengan dongkol. Maaf saja, tak ada untungnya mengurus orang mabuk dan pingsan di jalan seperti ini. Tak ada waktu.


Udara yang masih dingin membuat Ruki merapatkan syal dua lapisnya, menutupi telinganya yang beku dan pipinya yang dingin. Jalannya perlahan agar tidak terjatuh ke aspal yang licin. Ia menyipitkan mata. Mengamati sosok yang tergeletak begitu saja beralas aspal dingin.

Ia ingin berbalik badan tapi tak tega. Kakinya menuntunnya menuju pemuda tak dikenal dengan rambut coklat yang awut-awutan dan jaket dua lapis bermerek yang terbuka lebar memperlihatkan kaos tipis bergambar pistol. Ruki khawatir orang itu bisa mati kedinginan, bukan, bukan karena ia peduli. Tapi ia tak mau menjadi saksi atas kematian pemuda ini.

Ia bertelut dan langsung menampar kepala pemuda tersebut. “Bangun!” tangan kebas Ruki seketika hangat bersentuhan dengan kulit Byou. “Hei kau bisa mati!” ia menarik kerah jaket mahal Byou dan mengguncangnya keras-keras hingga tak sengaja kepala pemuda yang tengah pingsan tersebut membentur aspal.

“Ittai!” pemuda itu menggeram. Ia terbangun masih dengan mata setengah terbuka dan nafas berbau alcohol yang pekat.

“Oh… kau belum mati, syukurlah.” Ruki tersenyum merasa tak berdosa padahal dari pelipis kiri Byou cairan hangat berwarna merah turun perlahan. “Nah, karena sekarang kau sudah sadar, aku pergi dulu ya.” Ia bangun dan menemukan dirinya terjerembap di lantai.

“Hei!!! Kau apa-apaan sih?” Ruki berusaha bangun namun hoodie longgarnya telah ditarik pemuda itu lebih dahulu.

Byou mengajak, atau lebih tepatnya menyeret Ruki ke love hotel yang tidak sengaja dipilih sebagai tempatnya untuk pingsan. Ia bersin-bersin hebat tapi tetap menyeret Ruki yang meronta dan menendanginya dengan gaya penuh kesantaian dan tak ragu.

Ia melihat resepsionis di hotel tersebut dan wanita itu mengucapkan sesuatu yang terdengar seperti ‘kamar kosong nomor 103’. Byou mengangguk. Setengah bagian dari dirinya tak terlalu sadar akan apa yang terjadi, dan setengahnya lagi sedang tidur pulas dengan syaraf motorik yang terus aktif.

“Hei!” tubuhnya dibanting ke atas ranjang.

Pemuda itu memandangnya dengan sebuah senyum janggal. Senyum khas orang mabuk. Senyum yang disertai kikik aneh dan wajah merah dan bau alkohol.

Ruki mendorong Byou, namun pemuda itu membantingnya lebih keras ke atas ranjang. Pemuda yang dibanting itu berteriak tertahan. Punggungnya membentur sesuatu yang keras seperti balok di bawahnya.

“Diam!” titah Byou. Ia menunduk dan mencopot syal tebal Ruki. “Mengganggu saja,” dan melemparkannya ke belakang, entah tersangkut di mana. Ia beralih pada jaket coklat tua Ruki, membuka kancingnya yang besar satu-persatu.

Ruki menepaknya, “Apa yang kau lakukan?” ia duduk tapi didorong lagi. Kali ini ditahan dengan tangan dingin Byou. Ia tak bisa bergerak leluasa apalagi setelah tangan Byou berpindah menahan kedua pergelangan tangannya.

“Menurutmu?” ia menghirup nafas dan meneruskan pekerjaannya.

“Yang kutahu kau itu orang asing!” Ruki melotot pada pemuda yang sekarang menarik jaketnya ke atas. Mengeluarkannya lewat pergelangan tangan sambil tetap ditahan agar tak bisa memberontak.

Byou mendengus, nafasnya menyapu leher Ruki. Lebam-lebam masih menyisakan warna di lehernya. “Kau tidak usah menolak. Aku tahu kau sudah sering melakukannya,” pemuda itu menggigit tempat lain di leher Ruki pelan. “Jadi kau pasti tak akan menangis.” Ia menjilat bekas gigitannya dan menarik kaus abu-abu Ruki ke atas, membuatnya menjadi ikatan di pergelangan tangan Ruki. Ditambatkan pada pegangan panjang di atas kepala tempat tidur.

Ruki menendang kaki Byou, pemuda itu bahkan tak bergeming, memasang seringainya. "Kau salah! Aku tidak pernah dengan senang hati melakukannya."  Ia menyikut wajah pemuda tampan itu, mengenai tepat di mana aliran merah masih mewarnai dan telah lengket di sana.

"Kau terluka, dasar bodoh!" pemuda itu malah tertawa, mencium bibir Ruki sembari memegang rahangnya.

"Ssht... kau diam saja, mungkin kau tidak suka dengan pengalaman yang sudah-sudah, tapi bersamaku kau pasti akan merasa lain, sensai yang berbeda.” Ia tertawa sebentar dan Ruki mencium bau alcohol dari mulutnya. “Kau diam saja maka aku akan membuatmu merasakan pengalaman yang tak akan pernah bisa dilupakan," bisik Byou di telinga Ruki.

Pemuda tersebut melebarkan kakinya, merendahkan badannya ke atas Ruki. "Aku heran, kenapa kau membawaku ke sini?" Ruki menggoyangkan tangan terikatnya, merutuk kepada dirinya dan kepada pemuda asing yang menyeretnya ke tempat maksiat ini. Merutuk dirinya karena hatinya telah tergerak untuk menolong pemuda tengil ini.

"Kau mabuk," Ruki menggumam.

"Kau pasti akan menyesal karena berani menyentuhku." Desisnya, pemuda yang ada di atasnya tak peduli akan apa pun yang ia ucapkan.

Byou menjelajahi tubuh pemuda itu dengan lidahnya, dan bagian tubuh dari Ruki mulai mengkhianati tuannya. Bibirnya membuka, mengeluarkan engahan mengikuti gerakan tangan dan lidah handal Byou pada tubuhnya. Byou menatapnya mengukirkan senyum lembut selagi ia sibuk melucuti celana panjang Ruki.

"Berhenti kau, sialan..." ia mengerang, merasakan tangan Byou di pinggulnya, merasakan hangatnya nafas pemuda itu. Ia menggigit bibir bawahnya yang penuh, menahan desahan untuk keluar diperdengarkan yang bisa menimbulkan Byou merasa menang, padahal sudah sejak awal Ruki mendapatkan kekalahannya. Kalah dari awal garis start.

"Aku telah memulai, dan tak akan pernah berhenti," sergahnya. Tangan Byou membuka kaki Ruki secara paksa sementara pemiliknya sibuk menyentakkan tubuhnya.

"Hentikan kau, brengsek!" umpat Ruki masih tetap menyentak sekuat ia bisa. Tapi sekuat itu pulalah Byou menahannya.

"Diam!" bekas tangan Byou menempel di pipi Ruki, membara dan begitu menyakitkan. Akhirnya Ruki diam dan menjilat darah di sudut bibirnya. Cih, semuanya sama saja, ia menerima perlakukan ini di mana pun. Berada di waktu dan kesempatan yang salah cukup berhasil membuatnya kewalahan, dan berulang kali ia menolak, berulang kali pulaorang-orang di sekelilingnya mendesaknya. Menggali jurang nista dan ia didorong ke dalamnya. Tanpa ada kemungkinan bisa naik kembali dan hidup seperti sebelumnya.

Ruki memejamkan mata. Rasa sakit yang sudah terlalu sering ia terima, yang tak lagi asing bersinggungan dengan tubuhnya. Byou mencengkram pinggang Ruki dan memasukkan lebih dalam lagi. Sakit. Nyeri. Tapi Byou tak berhenti dan mempercepat pergerakannya, menyiksa, memaksa Ruki berteriak. Ia membuka mata yang merah, air mata merebak mengalir jatuh melewati pipinya yang terasa pedas akan tamparan. Byou menggigit pinggulnya dan ia menjawab dengan erangan.

Sakit... sakit. Hentikan, hentikan!

Ruki tak berhenti berteriak. "Hentikan!" serunya kepayahan dan putus asa. Ia terbatuk karena menelan tangisnya, peluh melapisi tubuh mereka berdua. Ruki bukan takut, hanya saja ada yang lebih buruk dari rasa sakit, yakni rasa terhina.

Dihinakan oleh siapa saja. Dipakai sesukanya lalu dibuang, dicampakkan ke tempat sampah. Tangisnya hanya dianggap angin lalu, dan permohonannya tak didengar.

~†~†~†~

"Sugizo, ini anakku, namanya adalah Takanori," Haruna menarik tubuh anaknya yang tergolong kecil bagi anak seusianya ke depan pria berwajah tampan tersebut.

Sugizo membungkuk sedikit menatap Ruki dan Ruki menengadah untuk balas menatapnya. "Jadi dia... anakmu?" pria itu melirik Haruna kembali bertatapan dengan anak berambut pirang tersebut.

"Ya, dialah anak tunggalku yang penurut dan pintar, ia suka sekali belajar hal-hal baru dan mudah meresapnya, anakku yang sangat pintar…" wanita itu menepuk puncak kepala Ruki sembari tersenyum bangga dan anaknya ikut tersenyum senang. Anak itu membungkuk menghormat pada Sugizo dalam gestur polos.

"Oh," mata hijau pria itu mengamatinya dengan seksama, "jadi Taka-chan senang mempelajari hal baru?" tanyanya. Ruki menatap Sugizo dan mengangguk kuat-kuat, poni pirangnya yang berantakan jatuh menutupi mata. Sosok anak yang murni dan penuh keingintahuan. Tapi akhirnya menjadi jalan yang terbuka bagi orang yang ingin memanfaatkannya demi kepentingan dan kepuasan tersendiri.

"Taka," pria itu menepuk bahu anak kecil tersebut. Senyum terulas di wajahnya. Untunglah Haruna sedang pergi berbelanja di Ginza, meninggalkan Ruki untuk dijaga oleh ayah tirinya.

"Ya ayah?"

Sugizo menunduk, mendekatkan bibirnya ke telinga sang anak, "Taka-chan..."

Anak itu tersenyum, "Iya, ayah?"

Sugizo menyibak berkas rambut Ruki dan memegang pipinya, "Taka-chan mau belajar hal baru, tidak?" Anak itu terdiam sebentar, memandang ke bawah dan menatap ayahnya lagi.

"Aku mau, ayah..."

Sugizo tersenyum akan kemenangannya, "Anak pintar. Kau memang anak baik, Taka-chan~" Ia mengusap pipi Ruki lembut tangan lainnya memegang lengan kecil tersebut dan mengangkatnya ke bahunya sendiri. Ruki bingung, tak mengerti ada apa dengan ayahnya yang semula bersikap agak menjaga jarak tapi kini malah menghapus jarak itu.

"Ayah mau apa?" tanya Ruki sopan saat tangan hangat ayahnya yang ada di pipi telah turun ke punggungnya, membuatnya risih.

Pria itu tersenyum, mengecup kening anaknya sebelum mengecup bibirnya yang lebih kecil dan kemerahan. Ruki terkejut, tubuhnya beringsut ke belakang namun tangan besar itu menahannya untuk tetap di tempat. Matanya melebar dengan takut,

"Ayah?" tanyanya bernada segan.

"Sshht..." pria tampan itu menaruh tangannya di depan bibir Ruki, wajahnya yang tanpa garis usia memperlihatkan ekspresi yang berbeda. "Anak pintar tidak boleh banyak protes, Taka anak penurut dan manis 'kan?" Ia maju dan mencium pipi kemerahan Ruki dengan gemas.

Padahal Ruki ketakutan, panik melihat ekspresi aneh yang ada di wajah ayahnya. "A-ayah..." ia menahan nafas saat ayahnya mengecup bibirnya juga memegang kakinya, mengangkat tubuhnya dari atas sofa. "Ayah akan mengajarimu hal baru Taka-chan..." bersama itu Ruki meronta dan ingin berteriak tapi ke mana suaranya?

Sugizo menggumamkan nada aneh selagi Ruki menggoyangkan kaki dan tangannya untuk lepas, selagi Ruki akhirnya bisa berteriak dan memegang kusen pintu kamar tamu di rumah mereka. Di ujung meja terpajang snow drops yang tadinya cantik dalam vas kaca transparan yang langsing. Tapi kelopak bunga itu kini bertebaran, hanya sekuntum kecil nan rapuh bertahan di tempatnya.

Ruki berteriak bercampur tangis saat tangan kasar Sugizo merobek kausnya. Bunga terakhir pun turut jatuh bergabung bersama yang lain.


To be continue…

A/N: ngetik lewat posel tuh ribet yak??? Jadi telat update……
Tapi ngga apa, yang penting fic ini ngga numpuk di otak... hohoh...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar