Rabu, 09 Februari 2011

Nightmare (One-shot – Byou’s Birthday Fic)

Title: Nightmare (One-shot – Byou’s Birthday Fic)
Starring: ScReW, the GazettE (Ruki)
Author: xellonich a.k.a Yuuji Sano
Pairing: Byou x all of them. (implied pairing)
Rating: PG – 16
Genre: fantasy, mystery, horror
Warning: harem (?), psychopath, a bit of horror, mature-rated scene (?), pedophile (?)
Disclaimer: Sadly, I’m only owned the story; they belong to whatever Gods up! (_   _ )a
Summary: “Apakah ini mimpi?”
                   “Tergantung dari segi mana kau melihatnya,” jawab Manabu berteka-teki.
Music: Avenged Sevenfold – Nightmare
            Linkin Park – Session
            ScReW – Wailing Wall



~†~†~†~


Inilah yang ia tunggu…

Saat-saat paling menyenangkan bagi Byou adalah ketika tubuhnya dapat bersentuhan dengan empuk dan lembutnya ranjang berisikan tumpukan bantal dan selimutnya. Tak apalah biar waktu hanya sebentar, yang pasti ia bisa sekedar mengistirahatkan tbuhnya dan pikirannya, berikut dengan pusing yang ikut serta melanda.

Namun suara-suara itu mengusiknya, memancingnya untuk kembali membuka kelopak mata yang berat dan mengeluh jengkel, “Biarkan aku tidur.” Ia beranjak dari ranjangnya masih dengan pusing yang ikut menghampiri.

Jika orang itu berani menganggunya, maka Byou dengan senang hati akan melayangkan tinjunya. Tak peduli siapa pun itu. Bahkan jika itu adalah temannya sekalipun.

“Siapa pun kalian, jangan pernah mengangg-” dan Byou memicingkan matanya, melihat tak ada siapa pun di depan pintu kamarnya melainkan suara tawa tertahan dari luar pintu apartment-nya padahal rasanya tadi sangat dekat. Terlampau dekat di telinganya.

Matanya masih memandang ke penjuru apartment-nya yang lengang, tak menunjukkan tanda-tanda adanya kehidupan. Ia menarik nafas, berjalan dalam langkah gontai dan membuka pintu, tak ada siapapun di sepanjang koridor depan apartment-nya, ini sudah terlalu larut bagi orang untuk bangun, kecuali jika ia pencuri tentu saja.

Byou mengangkat bahu, ia hampir melangkah masuk kembali saat sejurus kemudian ujung matanya menangkap sekilas bayangan di sudut koridor. Mungkin baju berwarna hitam yang berkelebat terlalu cepat, atau mungkin memang pencuri? Yang pasti apapun itu sukses membuatnya mengerutkan dahi dan memulai pertanyaan retoris di otaknya sendiri.

Siapa yang datang ke apartment-nya malam-malam begini? Lagipula untuk apa orang itu datang dan mengusiknya? Punya nyali juga rupanya.

Pemuda itu menegakkan badannya dan berlari mengikuti kelebatan bayangan tersebut, berbelok di ujung koridor yang sama. Tapi ia berhenti mendadak, tangannya menyangga berat tubuhnya di dinding berlapis wallpaper abu-abu. Otaknya masih belum bekerja sempurna setelah melewati masa nonaktif transmisi dari neuorit-nya barang sekjap.

Byou menyandarkan kepalanya ke dinding dan berdecak kesal, memasang telinganya baik-baik hanya untuk mendengar suara itu lagi. Suara tawa yang begitu familiar di telinganya dan begitu lekat dalam tiap potongan memorinya. Tapi siapa?

Kakinya melangkah sesuai kehendaknya sendiri dan Byou bagai terprogram untuk menemukan pemiliki suara yang tak asing baginya–bagi telinganya. Ia tak peduli lagi jika udara malam kelewat dingin, ataupun lembap karena salju turun perlahan membekukan udara. Hanya saja rasa penasaran ini terlanjur menyusupinya.

Ia mendapati sebuah pintu berwarna hitam dengan ukiran merah darah, terpampang jelas sekali tulisan itu membunyikan huruf ‘F’. Pikiran linglungnya tak mampu mencerna apa arti huruf yang menurutnya tidak penting itu. Tapi tangannya yang nyatanya sama seperti kakinya, kembali bergerak tanpa ijin darinya, memutar kenop pintu dan mendorongnya pelan.

“Jangan!” suara yang tertawa tadi tiba-tiba berseru padanya. Lebih seperti suara tangisan, mengisak pelan selagi tangan Byou mengusap sisi wajahnya. Mengucek matanya perlahan seraya melangkah memasuki sebuah ruangan. Aneh, yang ia perkirakan tadi adalah ke luar apartment, tempat balkon utama bagi seluruh penghuni apartment untuk bersantai. Tapi sekarang yang terlihat bukanlah tempat terbuka yang luas sejenis balkon, melainkan sebuah ruangan pengap nan suram.

Lantai ruangannya berkarpet hitam, wallpaper-nya berwarna pucat, campuran antara abu-abu dan putih yang terlalu banyak. Ia melihat barang-barang di rungan yang pengap udaranya, seakan sirkulasinya tak bisa diatur oleh arsitektur bangunan yang ceroboh tak terencana. Banyak kursi empuk berlengan sejajar dengan dinding, merapat kepada satu sama lain mengitari ruangan. Tirai-tirai menjuntai merayapi kusen jendela-jendela tinggi namun sempit baik di sisi kiri maupun kanannya, berkibar dalam warna transparan menuruti angin berkehendak meniupnya.

“Jangan!” suara itu berseru lagi kepadanya dan kini lebih menyiratkan rasa ketakutan.

Menghentikan kakinya bagai tertambat di lantai berkarpet hitam. Tepat di depan kini telah ada seseorang dengan tudung hitam menutupi sebagian besar wajahnya, berdiri merapat ke dinding dengan kandelar barisan di kanan kirinya, memberikan cahaya selain purnama suram di luaran.

Kedua tangan orang itu terikat di dinding dengan semacam borgol yang dapat ditemukan di tempat penyiksaan bagi para penjahat dan buronan di jaman Edo. Serenceng kunci emas tergantung jauh di atas kepala orang bertudung tersebut, bersangkutan dengan rantai yang mencengkram erat kedua pergelangan tangannya. Orang bertudung itu menghempaskan dirinya ke dinding, bersama kelebat cahaya lilin yang tinggal seujung kecil.

Byou tak tahu apa maksudnya, ia bahkan tidak mengerti keberadaan orang bertudung itu di sini, meneriakinya dengan kata seru sementara ia tidak berbuat apa pun. Lidahnya bagai terkunci berikut pertanyaan yang ingin ia lontarkan, sedangkan tangannya terus terulur  berusaha menyibak tudung penutup wajah si korban, atau siapa pun dia.

“Sudah kukatakan, jangan!” dan orang itu menendang Byou tepat di perutnya.

Tubuhnya limbung seketika, menahan kakinya tetap menjejak. Pemuda itu tetap tak mengatakan apapun, ia mendongak sedikit dan melihat serenceng kunci yang ada di atas sana raib, tangannya sendiri merasakan benda dingin bergulir tak sampai membasahi telapaknya. Rasanya aneh, aneh sekali.

Byou menatap ke depan, kepada orang yang tubuhnya tersentak-sentak seperti mengupayakan untuk memberontak, tudungnya terbuka dan Byou melihat berkas rambut coklat sewarna eboni menyeruak. Berantakan jatuh menutupi wajah pucatnya, mata Byou membelalak. “Aku tidak mau Byou! Hentikan! Hentikan!” orang itu mengerang dan menjerit padanya, pada Byou yang tengah kebingungnya memegangi kunci yang ajaibnya kini telah berada di tangannya.

Ia bisa melihat ukiran huruf kapital di leher pucat orang itu, lebih tepatnya pemuda yang terus saja meronta dan menendang ke segala arah. Huruf K besar bergaya Victorian bagai di-tatto, dicetakkan secara paksa di lehernya dengan benda pejal yang membara. Mengikutkan kulit itu terbakar dan kini menghitam di bawah rahangnya, menggoreskan tinta permanen yang akan sangat sulit untuk dihilangkan. Kecuali dengan merobek kulit tempat di mana tulisan itu bersemayam.

Byou mengernyitkan dahi kebingungan. Kenapa dengan pemuda ini?

Apa ia pernah melihatnya? Rasanya wajah ini tidak asingnya. Rasanya ia mengenalnya dengan sangat baik.

Ia maju selangkah dan pemuda itu melengking meneriakinya. “Pergi! Jangan!”

Pemuda ber-tatto K tersebut menggelinjang meski tangannya tak bisa bergerak leluasa akibat terbelenggu oleh rantai panjang. Jeritannya bercampur dengan isak tangis, tapi Byou tak bisa melihat setitik air mata pun yang jatuh membasahi wajah pemuda cantik itu. Seperti tak pernah ada air yang bisa menetes dari mata bening sewarna butir batu azuli tersebut. Yang ia lihat hanya wajah merengut karena kesakitan dan kekalutan.

Kazuki?

Apa ini? Kenapa rasanya nama Kazuki terus berputar-putar?

“Pergi kau, brengsek!!!” ia menggaruk karpet dengan kakinya dan menendang-nendang karpet itu hingga terbentang menghempas ke wajah Byou. Tingginya yang sepantar dengan Byou memudahkannya memberontak.

BRUK.

Byou jatuh begitu saja dan pemuda cantik itu tertawa, memaki-maki Byou sembari tangannya naik turun dalam keadaan tetap terikat di dinding. Tetap mengisak dan menampilkan paras ketakutan, kengerian dan juga jijik. Mata sejernih batu azuli itu memandangnya marah, sinis dan didominasi dengan segenap kebencian.

Itu hal yang janggal.

Ia tak melakukan apa pun. Ia bahkan tak sempat bertanya kepada pemuda itu tentang apa pun. Ia hanya menemukan suara itu terus meraung padanya. Seperti tangannya yang terus menggenggam erat rencengan kunci emas yang anehnya tak berdenting-denting ketika itu tersaput angin.

Yang Byou tahu, ia jatuh dengan bunyi debam yang keras.

Kakinya menapak kembali ke lantai dingin, badannya bercengkrama dengan basahnya cairan transparan di sekitarnya. Ia terbangun, mendapati dirinya ada di lantai berkondisi becek. Tertegun dan duduk di lantai dalam keadaan setengah kuyup, dirinya berusaha mencerna peristiwa yang baru saja ia alami.

“Itu...mimpi ya?” ia bertanya pada dirinya sendiri dan memandang air mengalir di lantai kamarnya, membasahi spreinya berikut selimutnya.

Byou kembali mengernyit, bertanya kepada dirinya sendiri, “Siapa yang menyalakan keran air?”

Bunyi kecipak air terdengar dari arah kamar mandi miliknya, seperti menjawab pertanyaannya sendiri. Kamar mandi dengan double bath up yang selalu membuatnya senang untuk menyegarkan diri di sana. Tentu terkadang bersama seorang yang lain yang akhirnya membuat suatu kegiatan sangat tidak lugu yang lebih dari sekedar mandi, dan saling membasuh tubuh.

Pikiran optimisnya membuat ia kembali bangkit berdiri dan berjalan tanpa ada pikiran lain kepada pintu kamar mandi berwarna putih. Pintu dibuka perlahan bersama luapan air membasahi setengah betis bagian celana panjangnya. Byou menjengukkan kepala ke dalam, tak menemukan siapapun atau apapun di sana.

Ia menarik nafas, mengarungi banjir kecil yang dibuat oleh terbukanya keran air di wastafelnya. Jemarinya menyentuh kenop keran air tersebut, tapi tiba-tiba keran itu mati dengan sendirinya. Memberhentikan lajunya air mengalir dari sana. Ia terdiam, jarinya kaku di tempat.

Yang ia rasakan selanjutnya adalah merinding. Angin yang berdesir perlahan membelai tengkuk dan tangannya yang telanjang ditambah dinginnya air yang mengambang di melingkupi kakinya. Bulu kuduknya meremang terlebih saat mendengar rintih tertahan.

Ia mengangkat kepala perlahan, memandang kepada cermin di hadapannya. Di cermin itu jelas-jelas tertera huruf U besar, terbuat dari tetesan darah segar.

Suara rintihan dan desahan kembali terdengar bersama dengan bunyi kecipak air.

Melalui pantulan di cermin itu menampilkan tirai agak transparan tempat bath up-nya agak tersembunyi. Menampilkan siluet tubuh seseorang yang pucat tengah bersandar di sisi bath up, mengayunkan tangannya menepuk-nepuk gelimangan air.

Byou meneguk ludahnya.

Dari cermin ia bisa melihat orang itu menggeser tirainya dengan tangan pucatnya. Dari cermin ia bisa melihat tangan itu memiliki jemari yang membiru dan Byou tak bisa bergerak dari tempatnya berdiri, bahkan lehernya pun tidak. Seakan ia dipakukan dan menjadi patung agar tetap diam.

Tirai itu perlahan terbuka, menampakkan lutut seseorang yang pucat dan kemudian lengannya. Byou menahan nafas, merinding di sekujur tubuhnya tak membuat suasana lebih baik.

Wajah itu tak memandang balik kepadanya. Tapi Byou bisa melihat wajah orang itu. Dengan bibir tipis yang merah dan mata nyalang berkilau bagai kristal namun berwarna abu-abu, bagian wajah yang terlihat dari sebelah kirinya. Rambutnya berwarna pirang keemasan, dan terlihat sedikit berantakan. Kulit pemuda itu pucat dan Byou memandang kepada luka jahitan di bahu orang tersebut lewat bantuan cermin.

Byou menelan ludahnya lagi. Hingga akhirnya kakinya dapat bergerak sedikit membunyikan air di bawahnya dan keran air di bath up tersebut mengucur. Menambah luberan air di dalamnya hingga membanjir memenuhi seluruh ruangan. Kucuran air yang melindungi sebagian besar tubuh pemuda itu hingga tak terlihat sepenuhnya.

“Jadi kau datang…” bibir merah itu bergerak mengeluarkan pernyataan.

Byou menolehkan kepalanya, memandang lurus kepada pemuda berparas menwan tersebut. “Datang?” ia bertanya heran. Tangannya menyentuh dinginnya air di wastafel.

Pemuda itu mengulaskan senyumnya, masih dengan wajah yang menyamping, tak menatap kepada Byou. “Kau janji kau akan datang…” ia menepuk-nepuk air melimpah di hadapannya. Tertawa senang selagi air membasahi tubuhnya yang pucat dan juga indah, sangat indah dan menggoda di mata Byou. Bersamaan dengan itu tangan yang satu lagi mengeluarkan lorelei bergagang hitam.

Byou terhenti. Matanya menatap kepada genggaman pemuda yang sempat membuatnya terpesona itu, menatap kepada kilauan metal yang cemerlang memantulkan bayangannya kembali. Pemuda itu membelai-belai lorelei-nya yang berbentuk anggun dan kokoh, raut wajahnya senang dan gembira.

Ia tercekat.

Pemuda itu tertawa lagi, matanya yang nyalang berubah menjadi liar. Ia akhirnya menoleh pada Byou dengan perlahan, menyunggingkan senyumnya. Menggoyang-goyangkan tangannya dengan lorelei dalam genggaman.

“Byou sudah datang…” bibir itu bergerak lagi dan Byou terkesiap melihat wajah pemuda itu. “Kau sudah datang…” ia berlutut di dalam bak yang kini berisikan darah segar melimpah membahasi ke setiap sudut ruangan. Membanjiri kaki Byou dan percikannya terikut serta menempel di wajah pucat Byou.

Wajah pemuda itu… setengahnya telah hancur dan berdarah-darah. Bola mata kanannya telah hilang entah ke mana menyisakan lowong di bagian rongganya dengan syaraf berwarna keunguan menyembul dari sana. Luka menganga di pipinya mengeluarkan belatung putih merayap-rayap di separuh bibirnya yang menggelantung tersisa bersama kulit yang mengelupas. Keningnya terobek parah dan bekas luka bakar yang sepertinya baru ditorehkan di sana.

Rasanya Byou ingin muntah.

…dan pemuda itu mengetahuinya.

“Kenapa?” bau amis darah menguar menusuk-nusuk penciuman Byou. “Byou-sama selalu mengatakan aku cantik…” katanya selagi memutar-mutar lorelei di telapak tangannya yang membiru. Byou susah payah menahan nafas suapaya tak perlu menghirup bau menjijikan itu, supaya nanah yang menggolak di sisi telinga sebelah kanan pemuda itu tak sampai membuatnya muntah.

Byou mematung lagi, rasanya ia ingin lari tapi tak bisa.

“Apa Byou-sama sudah tak mencintaiku lagi?” ia menekankan lorelei itu di tangannya hingga membuat darah menetes dari telapak tangannya. Byou ingin berteriak ketika pemuda itu bangun dari bath up besarnya, mencoba mendekati sosoknya.

“Atau Byou-sama bohong padaku soal ini?” diarahkannya lorelei tersebut ke pinggangnya.

Byou memandang kepada tubuh telanjang itu, polos tanpa pakaian, tingginya hanya sedikit lebih pendek darinya. Mungkin jika ia tidak melihat separuh wajah pemuda itu dan tidak melihat lorelei tersebut, ia akan sangat tergoda untuk menyentuh dan merasakannya. Mungkin pada saat itu juga ia bisa terangsang dan mempraktekkan semua hal yang pernah ia jelajahi sendiri perihal di atas ranjang.

Tapi tidak. Tubuh itu berguncang pelan.

Mata Byou memandang kepada cetakan huruf di perut sebelah kanan, di dekat pinggang pemuda yang separuh berwajah menawan itu. Dengan samar huruf R bergaya Victorian yang sama dengan pemuda sebelumnya tercetak dengan tinta yang agak pudar. Semacam tattoo yang terciprat dengan merahnya darah di sekeliling mereka.

Pemuda itu maju. Wajahnya yang separuh hancur dan mengeluarkan bau tidak sedap mendekat kepada Byou. “Byou-sama, cium aku seperti dulu… katakan bahwa wajahku tetap secantik yang dulu.” Titahnya dengan pandangan mata mengancam, sekaligus memohon.

Byou mundur.

“Kenapa?” pemuda itu setengah berteriak kepada Byou. Aliran darah dari keran-keran di penjuru kamar mandi tak kunjung berhenti, berusaha menelan tubuh Byou dan menghambat lagkah dengan arusnya.

“Aku Rui! Tatap aku!” jeritnya.

Byou mundur lagi dan kakinya terpeleset oleh licinnya lantai akibat banjir darah.

DUAGH.

Kepala Byou menghantam meja di depannya. Meja kaca besar yang ada di apartment-nya sebagai pusat dari ruangan. Ia mengangkat kepalanya dan mengusap-usap keningnya sembari menggerutu. Wajahnya lelah sekali sementara badannya terasa remuk.

Baru saja ia menguap dan mengumpulkan jiwanya, bunyi deham dari seberang meja mengagetkannya.

Tunggu dulu… seberang meja? Bukankah tadi tak ada siapa pun di seberang sana?

Byou menegakkan sendi di lehernya dan menatap ke seberang di mana seseorang duduk di sebuah kursi putar di pantry miliknya. Byou linglung kembali, ada apa ini? Kenapa kepalanya terasa berat? Kenapa orang itu tiba-tiba ada di sana?

“Kau baik-baik saja?” suara itu memecah keheningan, debam kecil tanda orang itu meloncat ke lantai mengikuti. Kali ini Byou bersyukur, paling tidak ini bukan hantu.

Byou mengerjap-ngerjap saat tiba-tiba cahaya terang menusuk matanya. Ia menyesuaikan matanya hingga terlihatlah sosok berbaju coklat tanpa lengan dengan rompi aksen bertumpuk berwarna coklat muda. Tingginya menjulang, terlihat jelas di tengah ruangan yang terlalu terang.

“Kau baik-baik saja?” Orang itu mengulangi pertanyaannya dan menunduk memandang wajah Byou. Byou hanya mampu mengangguk sebagai jawaban. Sampai orang itu menarik kursi di seberang Byou dan duduk menghadapinya.

“Manabu,” Byou heran, bagaimana bisa ia mengetahui nama orang tersebut? Nama yang sepertinya telah ia hapal luar kepala. Lebih anehnya lagi orang itu menyahut tenang.

“Apakah ini mimpi?”

“Tergantung dari segi mana kau melihatnya,” jawab Manabu berteka-teki.

“Apakah kau manusia?” ia bertanya lagi.

Manabu menatap Byou sebentar kemudian tergelak. Tawanya mengejek dan menyiratkan kepuasan tersendiri seakan itu adalah lelucon paling lucu di dunia. Byou mengerutkan kening mendengar tawa tersebut. Pikirannya sibuk sendiri memandang ke arah enternit di apartment-nya.

Tawa Manabu mereda dan ia menyibak rambut coklat mahoninya. Menatap Byou ramah. “Kau sudah minum?” pertanyaan janggal itu menyetir Byou untuk menggeleng, padahal lehernya beberapa menit yang lalu masih terpaku dan terdiam.

Manabu mengangkat bahu dan mengusap lengan atasnya. “Baiklah, mari kita minum.”

Byou memandang Manabu kembali dan melihat tatto huruf M menempel di lengan atasnya. Dengan tinta hitam yang tak lagi asing di matanya. “Apa itu?” tanya Byou kepada Manabu yang sibuk menuang sebotol bir yang entah dia dapat darimana.

Pemuda itu tak menghiraukannya dan malah mengangsurkan gelas berisi bir itu ke hadapannya. “Mari kita minum,” ulangnya lagi dan Byou membalasnya dengan tatapan jengkel.

“Kau belum menjawab!”

Seruan itu menghentikan gerakan tangan Manabu yang menuang cairan ke dalam gelasnya sendiri. Membalas Byou bertatapan insinuatif. “Pentingkah?”

Pemuda keras kepala itu berdeham, “Sangat,” jawabnya singkat.

Manabu menaruh botol birnya ke atas meja, tatapannya sarat akan amarah. Tangannya mengambil gelas bir miliknya dan ia melesat mendorong Byou hingga terjengkang. Pemuda itu menarik kerah baju Byou yang tengah kaget dengan segenap kekuataannya, mendudukkan pemuda berambut coklat gelap itu.

“Sangat penting kau bilang? Kau orang munafik!” cecarnya lalu menampar kepala Byou.

Pemuda itu menahan nafas, menghadapi kemarahan Manabu tanpa sebab. Ia melihat cairan dalam gelas bir Manabu gemerlap tertimpa cahaya. Sebelum ia sempat bertanya lagi, pemuda itu menyergap bibirnya penuh nafsu. Memasukkan lidahnya secara paksa bermain-main di dalam covum oris miliknya.

Basah...

Lidah itu menari-nari di dalamnya dan mendesak lidahnya untuk mengikuti gerakannya. Byou bisa merasakan dirinya menegang begitu cepat bersamaan dengan telapak tangan pemuda itu meraihnya dan menggesekkannya ke bagian tengah celana panjangnya.

Tak ada penyangkalan bahwa Byou sangat menyukai ini. Bahwa Byou jadi  sangat terangsang hanya dengan sentuhan sederhana dari pemuda luar biasa ini.

Tangan Byou sendiri meraba punggung Manabu dan masuk ke balik bajunya, membuat pemuda itu mendesah dan menggigit lidah Byou. Kakinya ia buka lebar-lebar dan lebih dekat ke arah lantai sementara Byou menggeser pinggulnya, melakukan kontak dengan tubuh bagian bawah pemuda itu yang sama-sama menegang seperti miliknya.

Mata Byou tak terpejam seperti mata Manabu, namun nafasnya memburu. Menaikkan pinggulnya hanya untuk mendengar pemuda itu mengerang dan mendapatkan gerakan balik berupa dorongan-dorongan.

Ia melihat lagi ke arah gelas bir yang ada di tangan lentik pemuda tersebut, di dasar gelasnya mengambang huruf C besar. Ia mendengar Manabu mengeluh, merapatkan dirinya ke dada bidang Byou dan Byou melanjutkan aksinya mengeskplor tubuh indah itu sambil memejamkan mata.

PLASH.

Cahaya lampu menyilaukan matanya. Wajah pias Byou tersiram oleh cahaya terang lampu di koridor apartment-nya. Kakinya gemetar dan ia tahu sebagian dari dirinya menegang dan juga bingung.

Ke mana tadi pemuda yang bernama Manabu?

Ia menarik nafas dan berjalan menabrak sebuah lemari. Lemari dari mana? Ia bertanya-tanya pada dirinya sendiri dan mendengar seseorang menangis dari balik pintu lemari kayu tersebut.

Menangis pilu dan menyayat hati

Ia mundur sedikit, merasa waspada saat pintu itu terlihat menyamping terbuka. Sosok pemuda yang agak pendek keluar dari dalamnya, bersama dengan sebuah selimut panjang yang ia seret. Noda-noda darah kehitaman mewarnai selimut tersebut.

Pemuda itu menatap langsung kepada Byou. Matanya terbakar api cemburu, rambut pirang perunggu miliknya terhempas ke bahu dan matanya sembap dengan gemetar bibir menghiasi. Baju lengan pendeknya kotor oleh darah yang menghitam, lengannya tersayat-sayat oleh benda tipis dan tajam. Celana pendeknya menampakkan paha yang putih ber-tatto huruf J seperti pemuda-pemuda yang lain dan kaki jenjangnya tak lagi mulus oleh torehan-torehan panjang mendekorasi.

Byou balas memandang pemuda tersebut, ke wajah cantik yang sedih dan membuatnya iba, hingga ke arah sebuah buku yang dicengkram erat olehnya. Buku bersampul hitam dengan lembaran keemasan di luarnya. Byou yang bahkan tak tahu milik siapakah buku hitam itu.

Ia menatap ke sekeliling ruangan. Ia sadar ia tak lagi berada di koridor aparment-nya melainkan di sebuah ruangan tertutup yang berantakan dengan ledakan kertas di samping kanan kirinya. Ledakan kertas dengan rol film yang mencuat dari setiap sisi ruangan, menjuntai melintasi dinding, tertata pula dengan uluran panjang tak beraturan menggantungkan potret-potret orang yang sama.

Salah satu potretnya terlalu dekat di samping bahu Byou, dan matanya menangkap wajah dalam potret tersebut. Wajahnya sendiri.

“Kau penghianat Byou!” geramnya, mengacungkan buku itu tepat ke wajahnya. Sekilas huruf K besar berwarna perak berkilau di sampulnya.

“Kau pembohong!” pemuda itu melempar selimut berat yang dipegangnya. Mata memerah dan luka sayatan berbakai ukuran semakin terlihat jelas. “Kau pecundang!” makinya lebih keras dan menunjuk hidung Byou. Begitu jelas bekas sayatan di pergelangan tangannya menghitam di dekat wajah Byou.

“Aku tak melakukan apapun!” balas Byou, menentang pandangan pemuda bertubuh langsing tersebut tak urung keringat dingin menetes di pelipisnya.

Pemuda tu mendelik padanya, “Kau berjanji…” ia menuding dagu Byou dengan buku hitamnya. “Kau berjanji untuk menolongku…” ia menggigit bibir bawahnya sampai mengeluarkan darah segar dan menyesap bibirnya sendiri. Tangannya menyentuh tengkuk Byou.

Dingin. Byou merinding untuk yang ke sekian kali kala nafas pemuda dengan rambut pirang perunggu menggelitik lehernya. Jemari ramping nan dingin merayap di lehernya, membuatnya menahan nafas. Jemari yang sama kini mencekiknya, mendorong Byou dengan kekuatan tak terkira hingga mereka berdua jatuh ke lantai.

Nafas pemuda itu teratur dan menekankan leher Byou lebih kuat, berusaha membuat Byou tak lagi meronta, membenamkan kukunya lebih dalam ke leher Byou. “Teruslah bernafas…” ia menjilat darah di bibirnya dan tetap mencekik Byou, duduk di atas tubuhnya.

Byou tersedak, menendang-nendang ke segala arah selagi pemuda itu mengecup pipinya.  pelan, mengeratkan cengkramannya dan bertumpu pada lututnya di sebelah bahu Byou. “Kau pembohong!” ia membenturkan kepala Byou ke lantai marmer.

“Jin…” ia mendesi susah payah di sela sengal nafasnya.

“Kau penghianat!” berulang kali ia membuat Byou pusing dengan benturan-benturan keras. Tertawa liar dan puas melihat ketidak berdayaan Byou. Lututnya menekan rusuk kanan Byou, hingga bunyi derak mengerikan membuat Byou menutup mata, merasakan sakit di dadanya.

Berat, sesak.

Ia membuka matanya pelan-pelan, memandang langit-langit kamar biru pucat, lampu-lampu bercahaya lembut menerangi. Byou menarik nafas yang sempat terputus, menggerakkan badannya sedikit dan merasa kembali sesak.

Kenapa? Bukankah mimpi buruk itu telah berakhir? Kenapa ia tetap merasakan sesak?

Ia melihat berkas rambut pirang pucat di atas dadanya yang telanjang. Rambut yang ternyata milik seorang anak yang tengah tertidur pulas Tunggu? Sejak kapan ia tidak memakai baju? Sejak kapan pula ia tidur di kamar bernuansa kekanak-kanakan ini? Rasanya ia tadi hanya ingin tidur. Tidur sebentar saja...

“Ng…Byou-niichan?” anak itu bergerak. Duduk di atas badan Byou sembari mengusap matanya. Byou meneguk ludah, mengetahui bahwa baik anak itu maupun dirinya tak mengenakan sehelai pakaian pun dan tidur bersama.

Ia memandang Byou masih dengan mata setengah tertutup, tubuh bagian atasnya terlihat basah dan tersenyum polos. Anak itu bergeser dari singgasananya dan duduk di atas ranjang, Byou bisa melihat pangkal paha anak itu basah. Mungkinkah karena spermanya?

Byou duduk dengan cepat dan bersandar di bantal sebelah anak tersebut. “Apa yang telah kulakukan padamu?” ia menemukan kata-katanya, berusaha menghapus pikiran kotor yang kembali datang setelah lama memandangi figur berwajah manis itu.

Anak itu mengernyitkan dahi mendengar kata-kata Byou. Ia menundukkan kepalanya dan meremas sprei di bawahnya. “Jadi kau tak ingat...” ucapnya lirih lebih kepada diri sendiri.

Rasa bersalah datang bersama isakan anak tersebut. “Jadi Byou-niichan tidak ingat…” ulangnya bersama tangis semakin keras.

Bingung, Byou memegang bahu gemetar anak itu, “Jangan menangis, apa yang harus aku ingat? Aku tak tahu.” Berkat itu tangisan sang anak semakin keras. “Hei…” anak itu membasahi pipi kemerahannya denga air mata, menggigir bibirnya keras-keras. Ujung mata Byou melihat kea rah punggung anak tersebut, tercetak huruf R yang ukurannya agak lebih kecil dengan tinta hitam yang sama.

“Apakah aku berbuat salah? Aku minta maaf,” ujarnya semakin bingung.

Anak itu berhenti mengisak meski dengan air mata membanjir, “Minta maaf? Setelah kau melakukan semuanya padaku, berkata kau tidak mengingatnya dan sekarang kau minta maaf??!” teriaknya histeris. Byou baru sadar bahwa tubuh anak itu dipenuhi noda-noda merah, di leher, di dada, di mana-mana.

“Mana mungkin! Aku tak akan menyentuh anak-anak!” balas Byou kaget terhadap dirinya sendiri.

Mata itu membelalak, bola mata hazel yang bersaput air mata. “Apa kau bilang?”

“Apa?”

“Yang kau bilang sebelumnya!” pekik anak itu.

“Aku tak akan menyentuh anak-anak,” ulangnya tanpa berpikir dua kali. Padahal ia sempat memikirkan sesuatu yang bisa ia lakukan terhadap anak itu sekarang ini. Dengan pengandaian bahwa ia bukan anak-anak.

Tangis anak itu berhenti, memandang Byou kecewa. “Tapi… tapi kau bilang akan mencintaiku…” ia tergeragap dan mundur perlahan dari jangkauan tangan Byou. “Kau bilang meskipun aku anak-anak… kau akan mencintaiku.” Katanya kembali meneteskan air mata.

Pemuda itu diam memandangi sang anak yang terus menangis, “Maafkan aku,” ia meminta maaf sekaligus menyangkal untuk mengakui kecantikan anak itu. Berusaha tak menghiraukan tubuh sang anak yang begitu terbuka dan dekat sekali.

“Maafkan aku, lupakan saja apa pun yang terjadi, Ruki.” Anak itu memandang Byou tak percaya.

“Maafkan aku, aku tak bisa menerimamu.” Ia berusaha memeluk anak tersebut, namun yang dipanggilnya sebagai Ruki malah meloncat dari atas ranjang.

Tingginya mungkin tak sampai sebahu Byou namun nyalinya sangat besar. Terlebih saat Byou melihat apa yang diambilnya secara tergesa-gesa dari dalam laci kecil. Benda berpelatuk dan bergagang perak.

Pistol.

Anak itu menatapnya, masih dengan linangan air mata, tapi kini picuk pistol ia genggam. Ia mengokang dan menempelkannya ke pelipis kanannya. “Kalau kau, Byou-niichan, tak mencintaiku…” Byou mematung menatap jemari kecil Ruki bersiap menekan pelatuk.

Menelan isaknya, anak itu mengusap air mata dengan tangan kirinya. “Maka selamat tinggal…” ia menutup mata, air mata menetes lagi. Jari telunjuknya menekan pelatuk pistol dengan lambat.

“Jangan!”

DORR!

Mata itu terbuka. Memandang ke sekeliling dan tak menemukan apa pun.

Tak ada pemuda bertudung hitam yang mengusirnya. Tak ada pemuda berwajah separuh hancur yang berusaha menciumnya. Tak ada pemuda dengan minuman aneh yang sempat membangkitkan nafsunya. Tak ada pemuda masochist dan psikopat yang ingin membunuhnya. Tak ada pula anak lelaki yang meminta cintanya dan menembak dirinya sendiri.

Yang ada hanya ia, dan ranjang empuknya.

Byou menghela nafas lega dan berusaha memejamkan mata kembali. Tapi suara bantingan pintu dari arah ruang tamu membuatnya kembali terjaga, bangun dari tempat tidur dan memeriksanya.

“Siapa itu?” ia bertanya kepada sosok yang tengah berbaring telentang di atas sofa.

“Aku tanya siapa itu?!” hardiknya sembari meraih saklar dan menyalakan lampu ruangan.

Ia berbalik badan dan pucat seketika.

Tubuhnya menabrak dinding yan tak terasa lagi, membelalak tak percaya.

Di atas sofa telah tergolek tubuh seseorang. Bersimbah darah dengan leher yang hampir putus. Rusuknya yang patah mencuat, merobek kulit dan muncul di dadanya yang telanjang. Rambut ikal berwarna coklat seperti kulit pohon yang basah jatuh menutupi sebagian besar wajahnya yang hancur dengan bekas luka tembakan di sepertiga bagian wajag yang masih tersisa. Jatuh ke pundaknya, sayatan-sayatan menghiasi hingga ke pergelangan lengan yang pucat tak lagi berdarah. Karena darahnya mengalir membanjiri lantai, mewarnai sofa dan mengental menempel di rantai yang membelenggu tangan dan kakinya.

Byou menarik nafas, yang tercium hanya bau busuk. Kakinya tak bisa lagi merasakan lantai di bawahnya.

Di sebelah jasad tersebut terdapat surat bertuliskan huruf besar-besar dengan tinta merah. ‘FUCK OFF THE SONOFABITCH.’

Di sana, di tengah dada yang telanjang, terukir jelas sebuah tatto berwarna hitam.

Huruf victorian yang membunyikan B.

Inisial namanya.




~End of Story~






A/N: Happy birthday Byou!!! Akhirnya birthday fic ini jadi juga, telat tiga hari sih...
Meski agak gaje dan penuh hal-hal abstrak… yang penting selamat ulang tahun om ganteng! (tebar-tebar bunga)

Comment and like please…
You’re allowed to removed tag if you won’t this fic, sorry for bothering you.

(_    _ )/ \( _    _)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar