Senin, 14 Maret 2011

The[real]Engaged (Chapter 6/?)

Title: The[real]Engaged (Chapter 6/?)
Starring: ScReW, the GazettE, X-Japan
Author: xellonich a.k.a Suzuki Sachino
Pairing: Byou x Ruki, Reita x Ruki
Rating: PG – 16
Genre: drama, romance, abused
Warning: none. (tsk tsk…)
Disclaimer: I’m only owned the story; they belong to whatever Gods up! (_   _ )a
Summary:
Music: Linkin Park – Crawling
 the GazettE – Cockroach
 the GazettE – No. 666



~†~†~†~


Ruki terpaku mendengarkan penuturan ibunya. Ia menatap Haruna seakan-akan ibunya itu adalah orang asing atau alien dari planet lain.

“Ibu tahu kau akan bereaksi seperti ini…” mata sendu ibunya menampilkan simpati. Meski begitu sang anak tak kunjung mau merespon. “Tapi mau bagaimana lagi? Ibu yakin bahwa ini keputusan yang tepat,” jelasnya seperti berbisik.

Anak itu tergugu dan matanya melebar lagi mendengar pendapat ibunya terhadap berita yang ia sampaikan sendiri. Seolah-olah anaknya akan mau saja mengikuti tiap perkataannya seperti robot. Ya, robot dan ibunya yang memegang kendali terhadapnya.

“Sebenarnya ibu tidak menyayanginya sebagaimana yang kau pikirkan.” Haruna tersenyum selembut yang ia bisa.

“Maksud ibu?”

“Yah… kau menganggap dia sebagai orang yang ibu cintai, bukan?” ia balik bertanya dan Ruki mengangguk pelan.

“Berarti kau salah… anakku.” Haruna tertawa pelan. “Ibu mengizinkan ia tinggal di sini bukan karena ibu mencintainya. Ibu tidak pernah mencintainya.”

Ruki mengangkat kepalanya, menatap Haruna bimbang.

“Ya Taka, ibu tidak mencintainya. Ibu memperbolehkan ia tinggal di sini hanya karena ibu ingin kalian berdua memiliki hubungan yang dekat.”

Ruki megerutkan dahinya. “Jadi, maksud ibu?”

“Taka…” pria berambut hitam itu masuk ke dalam ruangan dengan seringai, menatap Ruki seakan ingin membunuhnya. “Perkenalkan… Sugizo adalah tunanganmu.”

“APA?!”

Ruki terbangun dari tidurnya. Ia bisa merasakan napasnya yang masih memburu dan degup jantungnya bertambah cepat.

Mimpinya terasa sangat nyata dan janggal. Kenapa juga ia bermimpi bahwa Sugizo adalah tunangannya? Ia bergidik memikirkan hal itu, sampai mimpinya menjadi sangat menyeramkan. Mungkin inilah akibat dari orang yang mengalami akumulasi stress sejak bertahun-tahun lalu.

Jam dinding di sebrang sana menunjukkan pukul empat pagi. Masih sangat pagi sebelum waktunya masuk ke sekolah dan bertemu orang-orang dalam konteks ’teman satu kelas’ atau ’teman sekolah’. Menjadi anak tersingkir lagi dari lingkungan pertemanan yang satu pun tak bsa ia masuki dengan cara yang benar.

Pemuda itu berdiri mengayunkan kakinya ke kamar mandi. Ingin sekali ia menenangkan pikiran, mungkin air hangat bisa memnbantu. Merilekskan syaraf-syaraf yang tegang hingga mungkin ia bisa sedikit melupakan hal-hal aneh yang seringkal muncul tanpa diundang dalam hidupnya.

Mana mungkin tunangannya laki-laki... ada-ada saja pikirannya itu. Semakin kacau dan gugup sendiri. Pasti perempuan yang lembut dan pastilah orang yang baik.

Ruki tertawa akan pikirannya sendiri.

Ya, pasti anak itu anak yang baik dan bisa mengerti dirinya apa adanya. Jadi ia tidak perlu ketakutan tanpa alasan bodoh yang ia pikirkan sendiri.

~†~†~†~

Reita berguling saat mendengar alarmnya berbunyi. Bantal dan guling yang ia pakai sudah lengser ke tanah sejak setengah jam lewat ia tertidur pulas. Tapi ia masih tahan saja tidur bahkan tanpa selimut yang sekarang terhampar di atas lantai kamarnya padahal ia tidur hanya menggunakan celana panjang saja dan salju masih turun di luar.

Pada saat yang sama ponselnya berdering. Tangan yang sudah memegang alarm itu menekan tombolnya dan membawanya ke telinga.

“Halo?” sadar ponselnya masih ribut tak sabar minta diangkat ia melihat kepada benda yang ia tempelkan sendiri ke telinga. Sebuah alarm, ia melemparkannya ke belakang hingga mendarat ke atas ranjang. Susah memang jika nyawa yang terkumpul masih setengah-setengah.

Tangannya meraih ponsel yang ada di atas nakas. “Halo?” suara paraunya membuat orang di ujung sana mengernyit sedikit.

“Selamat pagi, Suzuki-san. Apakah aku menganggu tidurmu?” suara berat pria itu menyiratkan nada mengejek dan Reita menyadari itu.

“Saya rasa tidak…” ia menggaruk belakang kepalanya.

“Bagus karena aku ingin kau segera datang ke sini pukul enam nanti untuk mengantar Matsumoto Takanori ke sekolah.” Titah Sugizo membuat Reita mengangkat salah satu alisnya.

“Ng… itu tugas?”

“Yah… semacam tugas kedua. Sebentar, kau bersekolah di Mirai Gakuen, bukan?”

“Yeah. Sekarang ini sih begitu. Ada apa?”

“Tidak, hanya mengecek saja. Pokoknya kau datang ke sini pukul enam dan siap berangkat ke sekolah.” Dengan kata lain Sugizo ingin menyampaikan pesan sekaligus menegurnya untuk selalu siap, cepat menanggapi perintahnya, berpakaian rapi dan bersiap untuk kemungkinan tidak disambut untuk sarapan. Telepon dimatikan.

Reita menjejakkan kakinya dan segera mengambil posisi untuk push up selama lima menit. Begitu matanya terbuka sepenuhnya, handuk ia sambar dan ia masuk ke dalam kamar mandi. Memulai rutinitasnya yang baru.


Haruna tersenyum senang.

Di hadapannya telah ada anaknya dan seorang teman anaknya – begitulah yang ia kira – yang berambut pirang pucat bergaya mohawk dan memakai benda aneh dari kain di wajahnya. Tapi Haruna tetap tersenyum. Senang melihat anaknya dijemput oleh ’temannya’ seperti apa yang Reita katakan tiga menit yang lalu.

Ruki mengaduk-aduk potongan roti panggang di piringnya dengan tidak minat. Melirik ke sebrang kepada pemuda yang secara ajaib bisa muncul di rumahnya sepagi ini. Kemudian kepada Haruna yang juga ajaibnya mau sarapan bersama sepagi ini. Mungkin, mungkin seperti apa yang ia perkirakan, ibunya senang menyambut kedatangan ‘temannya’ ini.

“Maaf tapi apakah Akira sekelas dengan Taka?” Haruna bertanya sembari menyodorkan semangkuk natto kepada Reita. Roti panggang dan natto? Perpaduan yang aneh. Sama seperti saat Haruna memadukan spaghetti dengan denbu dan mayonnaise, Ruki langsung tersenyum dan memilih memakan tomat mini.

“Saya setingkat di atas Taka, Matsumoto-san…” Reita memasang senyum sopannya sementara ia mencoba menelan natto yang licin dengan cungkilan roti panggangnya.

“Wah…” Haruna menatap Reita dan Ruki bergantian. “Baik sekali kau mau menjemput Taka.” Baik Reita maupun Ruki berpandnagan sekilas lalu tersenyum. Reita masih dengan senyum sopan dna Ruki dengan senyum terpaksa.


“Nih!” Ruki menerima lemparan helm dari Reita.

“Kau yakin mau mengantarku?” Ruki memperhatikan Reita yang menyalakan mesin sepeda motornya. Ia agak sangsi melihat pemuda ini tiba-tiba datang tak diundang dan berbaik hati mengantarnya ke sekolah setelah kemarin menyeretnya pulang. Tapi tadi ayahnya meluruskan dan memberi penjelasan secara ringkas.

“Hah… kau itu cerewet. Bukannya kau juga sudah mendengar kata-kata ayahmu? Aku akan menemanimu ke mana pun karena itu sudah jadi tugasku sekarang.” Jelas Reita malas-malasan.

“Tapi–”

“Sudah! Kau berisik sekali, cepat naik!” dengan sedikit menggerutu akhirnya Ruki menuruti Reita. Mengenakan helmnya dan naik di jok belakang sepeda motor yang besar itu.

“Pegangan.” Titah Reita dan Ruki berpegangan pada ujung jok di belakangnya. Reita memutar bola matanya kesal. “Kau mau terpelanting jatuh ya? Aku bilang pegangan!” ia menarik kedua tangan Ruki ke pinggangnya sendiri selagi menahan berat motor supaya seimbang.

Seketika tubuh Ruki menabrak punggung pemuda itu. “Sudah ya, kau diam.” Wajah Ruki memerah karenanya dan sepanjang perjalanan yang tidak bisa dikatakan santai itu dia tetap diam.

Menutup matanya setiap kali ada sebuah kendaraan lain dari arah berlawanan datang dan dihindari dengan mulus oleh Reita. Ia tidak tahu seberapa cepat mereka melaju. Seperti menghadang aliran angin, Ruki ketakutan sendiri dan membenamkan wajahnya di punggung Reita. Berbeda dengan Reita yang tampak sangat tenang dan menikmati perjalanan itu.

Tak sampai dua puluh menit mereka sudah berhenti. Tapi Ruki tak melepas pegangannya dan masih menutup mata ketakutan. “Hei anak manja, kita sudah sampai.” Reita menegakkan badannya, menahan motor dengan kedua kakinya.

Ruki membuka mata. Melihat gerbang sekolahnya dan melihat tanah di bawahnya dengan gembira. Ia melepaskan pegangannya, bersyukur melihat tanah di bawah kakinya setelah sejak tadi gemetaran. “Akhirnya…” ia menghembuskan nafas lega.

Ia membuka helmnya dan berbalik pada Reita. “Kau ini… kau ingin membunuh kita berdua ya??!” ia memukul pinggan Reita dengan helm. “Kau ini sudah gila atau apa? Untung kita masih selamat…” ingin rasanya Ruki menagis dan mencium tanah di bawahnya. Oke, itu berlebihan. Yang pasti ia sangat kesal dibonceng oleh Reita yang sangat tidak takut mati.

“Kok marah sih? Harusnya kau bersyukur bisa sampai di sini lebih cepat, Taka-chan~” Reita tersenyum menyebalkan. “Atau Taka ketakutan? Lihat… Taka sampai menangis,” ia menyapu butir air mata di salah satu sudut mata Ruki.

“Siapa yang menangis?” pemuda itu memukul tangan Reita. “Itu refleks untuk membasahi mataku yang perih tahu!” elaknya pada Reita yang memasang senyum mengejek.

“Lagipula kau tidak usah memanggilku dengan nama itu!” protesnya.

Reita berdecak, “Ya sudah, aku pergi dulu. Nanti sore aku jemput ya, gembul!” dan pemuda itu melajukan motornya untuk menghindari pukulan dari Ruki sambil tertawa-tawa.

Mungkin menjadi pengawal tidak terlalu buruk. Rasanya menyenangkan punya seseorang yang bisa dekat dengan kita dan orang itu gampang diusili.

Reita tertawa, melajukan sepeda motornya sampai berhenti di depan sebuah apartment di mana ia biasa memarkirkan motornya secara gratis di sana. Ini karena tidak ada murid yang membawa kendaraan ke sekolahnya. Bukan karena sekolahnya terlalu sempit tapi karena sang kepala sekolah ingin anak muridnya membiasakan diri untuk menjaga kelestarian alam dengan naik sepeda atau bahkan sepatu roda seperti yang sering Manabu lakukan.

Tapi buktinya sebagian besar murid membawa kendaraan. Hanya saja dititipkan di supermarket atau parkiran umum yang jauhnya sekitar lima ratus meter dari sekolah. Peraturan yang kadang-kadang saja dipatuhi.

~†~†~†~

Musik klasik mengalun pelan. Lilin-lilin kecil yang berderet dinyalakan bersama harumnya bunga snow drops yang baru saja dipetik dari halaman belakang.

Haruna terlihat sangat tenang di kursinya sementara Sugizo terlihat masam. Ia merasa tidak senang medengar pertunangan anaknya saat ini dan merasa lebih tidak senang lagi saat Reita datang dengan patuh setengah menyeret Ruki ke ruang keluarga.

Ruki menyentakkan tangannya dari tangan Reita dan berdecak kesal. Pemuda itu membetulkan kaus lengan panjang hitamnya dan menatap Haruna dengan sangsi, “Kenapa ibu mengatakan aku tidak usah ganti baju?”

Wanita itu menatap Ruki tenang. “Bagaimana ya… habis anakku terlihat lebih manis berpakaian biasa saja~” ia tersenyum layaknya anak kecil.

Ruki dan Reita di belakangnya menatap Haruna aneh. “Ng… ibu aneh…” ia mengomentari dengan wajah datar sementara Reita terkekeh di sampingnya.

Haruna tetap tertawa manis, “Duduklah, Taka-chan dan kau juga Aki-san.” Mereka berdua duduk patuh di sebuah sofa yang sama. “Kau pasti lelah ya Akira-san, seharian kau menemani anakku... kau benar-benar figur kakak yang baik ya. Pasti Taka senang sekali berteman denganmu.” Reita tertawa kecil sekedar berbasa-basi, di sebelahnya Ruki menggerutu.

Haruna mengusap rambut anaknya. “Kau anak baik, Taka…” matanya menangkap corak aneh yang menguning di leher anaknya – memar yang menghilang perlahan – tapi ia tak terlalu menghiraukannya.

“Sudahlah, kapan ia akan datang?” Ruki menyingkirkan tangan ibunya dan menatap Sugizo yang berwajah menyeramkan sekilas. “Lagipula aku merasa tidak enak jika ia sudah berdandan cantik sedangkan aku hanya berpakaian begini.” Ia menunduk memandang sandal rumahnya yang putih, sejengkal di atas lututnya ia memakai celana pendek berwarna abu-abu.

Haruna berkedip beberapa kali. “Maaf… kau bilang berdandan cantik?”

Ruki mengangkat kepalanya dan Reita tiba-tiba tidak terlalu tertarik lagi untuk menelusuri corak marmer di bawah kakinya. “Maaf, maksud Anda?” giliran Reita yang bertanya bingung.

“Yah…” tangan wanita itu memuntir-muntir rambutnya sendiri.

Ingatan Ruki tentang mimpinya menjadi begitu kuat. “Ibu…” ia mengepalkan tangannya di atas pahanya sendiri. “Tunanganku itu perempuan ‘kan?” kilatan aneh di mata Ruki hanya membuat ibunya tersenyum lembut. Reita melirik ekspresi wajah Ruki. Campuran antara marah dan kesal juga takut. Kemudian Reita melirik kepada Sugizo yang ternyata telah membuang muka.

“Ibu?!” ia menaikkan nada suaranya. Sepi langsung menyambut karena musik klasik dari CD tiba-tiba dihentikan dan semua orang tak ada yang berbicara.

Haruna masih diam.

Sugizo tak kunjung membuka mulut.

Reita terlihat tak mau ikut campur.

“Maaf nyonya…” seorang pelayan masuk dan membungkuk di depan mereka semua. “Kojima-sama dan anaknya telah tiba.” Ucapnya sopan dan mundur ke belakang lagi.

Haruna dan Sugizo berdiri serempak. Mereka berdua kompak memasang senyum ramah menyambut kedatangan calon besan mereka. “Selamat datang Yoshiki-san,” Haruna dan Sugizo membungkuk begitu juga Yoshiki dan anaknya.

Anaknya?

Ruki terperangah melihat anak Yoshiki yang tersenyum canggung. Pemuda berambut coklat ikal yang tingginya kurang lebih sama dengan Reita, memakai kemeja dan vest berbordir rumit di kerahnya. Wajahnya sudah sangat tidak asing di benak Ruki.

Jika ditambah bau alcohol dan tingkah kurang ajarnya…

“Nah, Taka, ini anak dari Yoshiki, namanya Kojima…” Haruna tertawa senang dan Byou menganggukkan kepala sedikit. Dalam pikirannya sudah terulang kembali memorinya ketika di kamar sumpek itu.

Ruki yang menangis. Ruki yang akhirnya sangat ingin memukul wajahnya namun ia diam dan malah memaklumi sikapnya.

“Lihat ’kan? …dia adalah calon tunanganmu.” Byou didorong oleh Yoshiki hingga ke depan Ruki yang masih kaku di tempat duduknya. Tanpa diminta pemuda itu duduk pelan-pelan di samping Ruki yang tiba-tiba kosong. Reita telah ditarik oleh Sugizo dengan setengah hati untuk berdiri.

“Rupanya kalian sudah akur ya?” goda ibu Ruki melihat Byou duduk sangat dekat di samping Ruki. Mendengar itu Ruki menyingkir hingga tak bisa bergerak lagi di ujung sofa berlengan tersebut.

“Ah… sepertinya mereka malu-malu,” komentar Yoshiki membuat kuping Ruki panas dan wajah Sugizo mengeras.

Ruki tiba-tiba berdiri dan semua mata di ruangan itu memandangnya. “Maaf, tapi rasanya aku harus berbicara sesuatu dengan ibuku.” Ia tersenyum manis lalu menarik tangan ibunya sampai ke balkon. Meninggalkan Byou yang memasang ekspresi bersalah, Sugizo yang mengeluarkan aura pembunuh, Reita yang curiga kepada semua orang dan Yoshiki yang tersenyum saja.

“Ada apa Taka-chan?”

Ia melepaskan tangan Haruna dan menatapnya marah. “Ibu  bertanya ada apa?”

“Harusnya aku yang bertanya begitu. Ada apa dengan kewarasan ibu?” bentaknya.

Haruna tampak bingung, “Apa maksudmu, Taka-chan? Kau merasa gugup ya?” ia ingin memegang pundak anaknya namun anaknya mundur dengn sigap.

“Gugup? Ibu… aku mempertanyakan kewarasanku sejak dulu, tapi sekarang aku lebih ingin mempertanyakan kewarasan ibu!” ia menarik nafas dan meneruskan, “Ibu sudah tidak waras ya? Mempertunangkanku dengan ‘dia’?”

Ibunya menatapnya lalu tersenyum. “Oh soal itu… ibu kira soal apa.” Ia tertawa dan Ruki benci tawa itu.

“Bisa-bisanya ibu mempertunangkanku dengan lelaki! Bu, aku ini juga lelaki! Ibu yang melahirkanku pasti tahu aku adalah le-la-ki!” mungkin jika ia tidak tahan, ia sudah membenturkan kepalanya ke dinding berulang kali.

Haruna mengedipkan mata beberapa kali. “Lho? Tapi taka itu sangat manis...” ia berhasil memegang pundak anaknya yang terpaut beberapa senti lebih pendek.

“Manis?” ia mendengus jijik. “Ibu bagaimana pun aku tetap seorang lelaki!”

“Tapi kau terlihat manis. Dulu kau selalu mau mengenakan gaun atau rok yang ibu berikan. Ibu sangat suka karena mempunyai anak yang manis.” Ia tersenyum mengingat Ruki kecil yang selalu senang memakai pakaian apa saja yang disodorkan kepadanya. Tentu saja, dia masih kecil ketika itu.

Ibunya ingin sekali memiliki seorang anak perempuan yang bisa ia dandani sesuka hati. Tapi Tuhan berkehendak lain dengan memberikannya seorang anak lelaki yang ternyata memiliki wajah manis. Tak apalah, lagipula Ruki anak tunggalnya sehingga ia senang sekali memiliki Ruki. Sampai ia tak pernah sadar bahwa kesenangannya itu agak sedikit menyimpang.

“Ibu pasti bercanda…” gumamnya lirih.

Haruna tersenyum, ia sangat suka tersenyum apalagi jika menyangkut anaknya. Rasanya ia tak akan pernah capek tersenyum meskipun anaknya tak membalas senyumnya. “Tidak Taka-chan ibu tidak bercanda. Lagipula ibu senang melihatmu memakai gaun seperti waktu itu, kau tampak sangat manis~”

Ruki berjengit. Ibunya pasti sudah tidak waras!

...dan sekarang ia ikut tidak waras sama dengan ibunya saat ia menatap Byou duduk di samping tempatnya duduk tadi.

’Ya Tuhan... permainan apalagi yang Kau inginkan aku jalani?’ Ruki menarik nafas kembali ke dalam seperti orang siap dipancung. Beberapa kaki darinya Reita berdiri, mengamati dengan seksama adegan di hadapannya tanpa banyak bicara. Sepertinya ia akan terlibat begitu dalam dan jauh dalam kehidupan seorang Matsomoto Takanori.



To be continue...



A/N: I’m updated! Senangnya bisa update setelah lama dipikirkan akhirnya bisa juga diketik~
(itu juga kalau pada ngga bosen sih)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar