Jumat, 04 Maret 2011

The[real]Engaged (Chapter 5/?)

Title: The[real]Engaged (Chapter 5/?)
Starring: ScReW, the GazettE, Sugizo (soloist)
Author: xellonich a.k.a Yuuji Sano
Pairing: Byou x Ruki, Reita x Ruki (mentioned)
Rating: PG – 16
Genre: drama, romance, abused
Warning: none. (tsk tsk…)
Disclaimer: I’m only owned the story; they belong to whatever Gods up! (_   _ )a
Summary: 'Dan setelah aku mendapat mainan bagus, aku harus melepasnya? Cih...' senyum terukir di wajah tampan milik Sugizo.
Music: Bullet for My Valentine – Alone
            the GazettE – D.L.N



~†~†~†~


Reita baru saja keluar dari aparment-nya untuk membeli barang di supermarket tapi ia kedatangan seorang tamu tak diundang. Tamunya bersandar di mobil SUV hitam, menginjak bara rokoknya dalam arogansi.

“Selamat petang, Suzuki-san.” Sapa Sugizo memasang senyum kalem, menghampiri Reita yang memandangnya curiga dan kaget.

“Bagaimana kau mengetahui nama itu?” tudingnya. Dari awal ia tahu jika pria ini berbahaya, aura tidak baik terlihat jelas di sekelilingnya sejak awal ia melihatnya.

Sugizo tertawa rendah suaranya terdengar aneh bagi Reita. “Aku cukup tahu keluargamu, Suzuki-san.” Ia menatap Reita dari atas ke bawah lalu ke mata keabu-abuan itu lagi.

“Keluarga Suzuki adalah keluarga yang besar. Mereka berisikan orang-orang terpandang, bermartabat dan terkenal cukup arogan dengan keningratan mereka, cukup adil… Mereka pantas membanggakan kekayaan mereka yang asetnya tersebar luas di seluruh dunia. Belum lagi dengan generasi muda mereka yang cerdas dan teratur mengelola otak mereka dengan baik.” Sugizo berhenti dan tertawa pelan, “Tapi itu jika mereka masih turunan langsung dari para bangsawan terdahulu, dan yang aku bisa pastikan yaitu…”

Ia menunjuk Reita, “Kau adalah yang termasuk keluarga inti kebangsawanan Suzuki, namamu, Suzuki Akira anak dari Suzuki Arashi.” Seakan puas dengan penjelasannya Sugizo tersenyum licik.

Reita balik menatap Sugizo, “Sebenarnya apa mau Anda sampai memberikan penjelasan panjang lebar tentang semua itu? Saya juga telah mengetahuinya, percuma saja Anda memberikan omong kosong begitu kepada saya.”

Pria itu tersenyum. “Aku juga tahu perihal kau yang terusir dari keluarga itu.”

Pemuda itu terdiam.

“Aku tahu sekarang kau kesusahan mencari uang untuk kehidupanmu sendiri.” Imbuhnya santai.

“Lalu?” Reita tak mengerti mengapa ia harus meladeni orang ini yang pasti karena sudah terlanjur, terpaksa ia harus mendengarkan ocehannya sampai selesai.

“Maka dari itu aku menawarka pekerjaan tetap, tenang saja… bayaranmu bisa dikatakan melebihi cukuplah untuk kehidupanmu yang hanya sendiri.”

Pemuda itu menunduk, memikirkan perkataan Sugizo. Benar sekali jika ia sekarang sangat butuh uang, apalagi motor kesayangannya hampir disita karena ia seringkali telat membayarnya. Belum lagi biaya sekolah dan universitas yang tak memungkinkan jika ia mengandalkan uangnya sekarang. Mendapat beasiswa juga perbandingannya 1 banding seribu di universitas favorit.

“Jadi, bagaimana?”

Reita mengangguk, “Baiklah aku terima.”

Pria itu tersenyum puas, “Bagus. Kau bisa mulai kerja sekarang.” Reita memasang telinga baik-baik untuk mendengarkan perintah Sugizo.

“Tugas pertamamu adalah… mencari keberadaan anakku, Matsumoto Takanori.”

Reita menatapnya sangsi.

~†~†~†~

Pria itu tertidur dalam posisi duduk, tangan kanannya menggenggam ponsel dan lainnya memegang pegangan kursi. Sepertinya ia jatuh tertidur saat menunggui anak tirinya. Rambut hitam yang tebal menutupi sebelah matanya ketika menggerakkan kepala sedikit. Suara dengkur halus terdengar, menandakan ia sudah pulas, dan wajahnya terlihat pucat di bawah temaram cahaya lampu.

Semuanya terlalu sunyi dan terlihat damai. Malam yang tenang berbeda sekali dengan keadaan Byou dan Ruki di tempat lain.

"Anak pintar. Kau memang anak baik ya," Byou menyambut bibir milik pemuda itu dan sekali lagi menggigit-gigitnya. Ia menyurukkan kepala di bahu Ruki, mengatur nafasnya yang kacau kemudian ambruk di atas badannya. Ruki menarik nafas.

Tak siap dengan berat tubuh pemuda tersebut menghantamnya dan nafas itu menderu di telinganya. Ruki menarik nafas. Tak siap dengan berat tubuh pemuda tersebut menghantamnya dan nafas itu menderu di telinganya. Rambut coklat tua yang berantakan menggelitik lehernya, wajah pemuda itu berbaring di bahunya.

Terlalu lelap dan terlalu tenang sedangkan orang yang menjadi bantalnya mengalami kesemutan. Di tangan, di lengan, di bahu, di pinggang, di sekujur tubuhnya mengalami kesemutan dan pegal.

Sial.

Sungguh sial.

Tangannya masih terikat kuat di atas ranjang sementara badannya ditindih tanpa ampun sampai membuatnya sesaka. Belum lagi rasa nyeri di paha bagian dalam dan bagian bawah tubuhnya. Sulit sekali bergerak untuk menyingkirkan pemuda itu

Ruki berbaring pasrah, memandangi langit-langit putih yg terasa jauh. Akhirnya ia jatuh tidur bersama pemuda itu, meski rasa sakit memburunya sampai ke dalam mimpi mengajaknya berdansa bersama nyeri, bersama padatan pedih dan sesak yang tak mau hilang. Matanya terpejam dan tangannya menggantung lemah di atas kepalanya.

Biarkan aku tidur barang sejenak...


Matahari pagi menyinari dunia dengan sinar keemasan lembut, membelai siapa saja yang terlelap untuk membuka mata dan menyambutnya seperti hangat ini menyapa mereka perlahan. Pemuda yang tertidur itu menggeliat, rambutnya acak-acakan dan tubuhnya terkena cahaya matahari yang menembus celah tirai di sisi ranjang meski dalam udara yang masih lembap dan dingin.

Byou berguling di ranjang berlapis sprei kusut dan wajahnya membentur sesuatu. Refleksnya berfungsi untuk menyingkirkan sesuatu itu. Ia bangun dan ingin mendorongnya tapi terhenti.

Sebentar... sejak kapan ranjangnya sesempit ini? Sejak kapan sprei ranjangnya berwarna ungu? Siapa yang berani menggantinya?

Byou mengangkat wajahnya dan terkesiap.

Siapa?

Ia menyipit menyesuaikan matanya akan cahaya matahari. Siapa yang berbaring di sebelahnya? Rambut pirangnya menutupi sebagian besar wajah orang asing itu dan pandangan Byou jatuh kepada tangannya yang terangkat ke atas, diikatkan pada bagian atas ranjang. Belum lagi lebam di bahu dan bekas tangan membiru di pinggangnya. Ia segera duduk dengan wajah horror.

Tunggu dulu, apa maksudnya ini? Sadar baik dirinya maupun pemuda ak mengenakan pakaian. Ia menyingkirkan rambut dari wajahnya sendiri, menyentuh darah kering dari luka di pelipis kirinya. Sakit, kepalanya berdenyut akibat acara mabuknya semalam. Sisaan dari senang-senangnya berakhir pada hangover. "

Kau sudah bangun?" sebuah suara dari mulut pemuda terikat itu mengagetkannya. Byou menoleh dan memproses wajah itu di otaknya, rasanya begitu familiar.

"Bisa kau buka ikatanku? Aku sudah tak bisa merasakan tangan dan bahuku sejak kemarin malam," jelasnya sambil  menggoyangkan tangan terikatnya, memandang Byou dengan tatapan datar.

"A..." ia berdeham, tangannya perlahan membuka simpul ikatan Ruki, kaget karena yang menjadi  tali pengikat adalah sehelai kaus. Pemuda itu menghembuskan nafas lega, menggenggam tangan kanannya yang membiru. Byou masih heran dan Ruki tahu kenapa.

"Kau mabuk."  Ruki menarik selimut ungu tua dari bawah kaki Byou, menutupi tubuhnya sendiri.

"Apa?" ia masih tak mengerti. Pandangannya seolah tak mau lepas dari Ruki. Pemuda itu ingin menggaruk pelipisnya dan darah segera membasahi tangannya lagi.

Ruki mengernyitkan dahi, "Kau berdarah lagi," ujarnya. Bertelut di depan Byou dan menyeka darahnya dengan selimut itu.

Pemuda itu menghentikan tangan Ruki. “Maksudmu?”

Ia menghela nafas, menarik kausnya yang bentuknya tak keruan. “Kemarin kau menyeretku ke sini, ke kamar ini, melewati malam bersama-sama dan terbangun masih di tempat yang sama." Jelasnya santai sembari melincinkan kausnya yang telah penuh lipatan dan kerutan.

"Ki-kita di sini sejak semalam??" mata Byou menjelajahi seluruh ruangan kecil yang minim perabot itu. Minim, pastinya. Untuk banyak banyak perabotan jika hanya singgah sebentar dan melakukan hubungan semalam lalu pergi?

"Ya, begitulah..." pemuda itu menurunkan kausnya sampai terpasang sempurna, melekat dengan lecek di badannya.

"Fuh, rasanya aku harus membeli baju baru," ia menarik-narik bajunya untuk menghilangkan kekusutan.

Byou menatap wajahnya sekali lagi. Sebentar bukankah dia pernah melihatnya? Rambut layer pirang, matanya yang bulat coklat hazel, wajah itu...

"Matsumoto Takanori?" Ruki menoleh karena nama aslinya disebut oleh Byou.

"Bagaimana kau tahu namaku?" tanyanya detensif.

Byou berdecak, 'Bagus sekali, kau bertemu dengan tunanganmu dengan cara paling hebat!' cemooh Byou pada dirinya sendiri.

"Kenapa kau bisa tau namaku?" ulang Ruki. Tangannya telah mengambilnya jeans-nya sendiri dari lantai.

Pemuda itu diam, memandang ke arahnya, "Jadi apa yang telah kita lakukan tadi malam?"

Ruki mendengus selagi menarik jeans-nya ke pinggang, menyelipkan tangannya ke bawah selimut untuk menutupi tubuh bagian bawahnya. Byou yang jelas-jelas berada di sampingnya tak ia hiraukan, padahal mata Byou mengamatinya dari ujung kepala sampai kaki.

Ruki tahu itu tapi ia bersikap tak peduli padahal jantungnya berdetak keras dan ia merasa kedua pipinya panas ditatap begitu. "Harusnya kau sudah tahu," cetusnya, kini mengancingkan jaket yang menyangkut di kap lampu seberang ruangan.

Byou meneguk ludah sambil memakai boxernya cepat-cepat. Ruki berbalik badan, matanya merah dan terlihat berair. "Tak apa, lagipula kau mabuk. Aku maklum," ia mengusap air yang berkilat di sudut matanya.

Hati Byou mencelos, dia telah melakukan kesalahan dan itu sangat fatal. "Taka..."

"Jangan memanggilku dengan nama itu!" hardik Ruki matanya menatap Byou penuh ketidaksukaan. "Jangan memanggilku seolah kau mengenalku!" tukasnya lagi, tangannya meremas ujung jaketnya.

Byou menatapnya penuh pengertian tangannya menarik tubuh Ruki dan mendekapnya. Sementara Ruki berjengit ingin melepaskan diri dari pemuda ini. "Maafkan aku," bisiknya di puncak kepala Ruki. "Maafkan aku Taka... aku tidak sengaja." Bujuknya pelan tak melepaskan pemuda itu dari dekapannya.

"Sudah aku bilang aku maklum dan jangan memanggilku Taka. Aku tidak mengenalmu mengenalmu. Aku tidak tahu kau siapa!" ia mendorong dada bidang Byou yang telanjang dan mundur.

Pemuda itu tersenyum ganjil, "Aku-"

BRAK! Pintu menjeblak terbuka menyebabkan cahaya terang dari lorong hotel masuk ke dalam.

Ruki mengerjap sebentar, "Siapa?" tanyanya, di belakangnya Byou sedang memakai kausnya.

Pemuda yang datang tersebut memasang senyum mengejek, "Sudah habis waktu bersenang-senang kalian saatnya membayar sewa hotel dan mengosongkan kamar. Karena aku akan menempatinya." Ia melangkah masuk dan memandang kepada Byou lalu beralih kepada Ruki yang terlihat masih kaget.

"Ah, rupanya kau habis melakukannya lagi..." komentarnya sambil menarik turun lengan jaket Ruki, melihat bekas memar akibat ikatan di pergelangan tangannya.

"Kau?!" Ruki memandang pemuda itu tak percaya.

"Iya ini aku. Siapa lagi, Taka?"

"Kau siapa?" Byou turun dari atas ranjang, sudah berpakaian lengkap.

"Perkenalkan, aku Reita. Senang bertemu dengan kalian berdua." Jawabnya tersenyum sopan.

"Tapi aku aku tidak, Re-i-ta." Pemuda yang lebih pendek itu menekankan namanya.

"Hahah..." ia menepuk kepala Ruki, "dasar polos." Cibirnya sambil bertatapan benci dengannya.

~†~†~†~

Ruki membanting pintu rumahnya tanpa ampun. Ia telah berhasil diantar secara paksa oleh Reita ke rumahnya meski pemuda berambut pirang itu menunjukkan sikap permusuhan. Ia bergegas melangkah menaiki tangga menuju kamarnya. Belum sempat ia sampai di tikungan, sebuah tangan menariknya kasar melemparkan tubuhnya ke dinding.

"Dari mana saja kau?" suara Sugizo terlalu lantang di telinganya. Pria itu sudah terlalu lama menunggu sejak semalam dan pagi ini amarahnya mencapai puncak.

Ruki menunduk, "Aku hanya berjalan-jalan," kebohongan yang sangat tidak meyakinkan.

Sugizo tahu Ruki menyembunyikan sesuatu dan sekarang anak ini merasa ketakutan. "Kau berbohong." Ia mendongakkan wajah anaknya.

"Ada apa dengan bibirmu?" jemarinya menyentuh bibir Ruki yang tampak tersobek dan merah, mengakibatkan anaknya mengaduh pelan. Mata Sugizo semakin liar mencari tanda-tanda lainnya dan ia menemukan semuanya jelas terpampang.

"Bekas apa ini?" ia mempertanyakan memar ungu tua mendekati hitam di kedua pergelangan tangan Ruki. Sekali lagi Ruki mengaduh, membuat ayahnya tampak cemas.

"Taka, sayang... kau kenapa?" kedua telapak tangannya memegang pipi Ruki. "Kau kenapa?" anaknya membalas dengan gelengan pelan, enggan memberi jawaban sebenarnya.

"Siapa yang melakukan semua ini padamu?" Sugizo menyejajarkan mata hijaunya dengan mata hazel anaknya.

"Taka-chan, jangan pernah kau memberitahukan hal ini pada ibumu," pria itu memasang kembali celana panjangnya seraya menatap Ruki yang masih sesenggukan di ranjang dengan mengancam.

"Kau harus menutup mulutmu rapat-rapat atau... aku akan melakukannya lebih kejam, lebih menyiksa, dan aku tak akan peduli jika kau menangis, berteriak, meronta, merintih maupun memohon sampai air mata dan suaramu habis." Ia meraih rahang bawah Ruki. Air mata meleleh membasahi pipinya dan bibirnya yang terlihat memar sehabis dicium dan digigit ayahnya.

"Apakah kau mengerti?" Pria tersebut menekankan jarinya di bibir Ruki. Tangan lainnya mencengkram pergelangan tangan Ruki sampai berbekas.

Anak itu terceguk sedikit kemudian mengangguk perlahan. Ayahnya tersenyum, "Bagus, anak pintar." Pujinya lalu menyesap bibir yang sudah memar itu sekali lagi.

Ruki terdiam, memandang nyalang kepada Sugizo, mengulang kembali kenangan pahitnya. Tempat yang dahulu pernah disebut dan dibanggakannya sebagai rumah, sekarang berkobar menjadi neraka dunia.

"Kau kenapa, sayang?" Ah betul... sejak pria ini ada dalam hidupnya setelah diketahui lebih lanjut menjadikan dirinya sebagai alat hiburan semata. Pemuasnya untuk dipakai selagi 'butuh'.

"Ayah," Ruki memegang tangan ayahnya, berusaha menyingkirkan tangan itu, menyingkirkan semua hal yang membuatnya selalu jijik terhadap diri sendiri. "Tolong bisakah ayah melepaskan tangan ayah dariku?" suaranya bergetar seraya menarik tangan pria itu menjauh.

Ayahnya terlihat heran, tetap tak berminat menggeser dirinya dari Ruki dan kembali memegangi pipinya. "Taka, kau belum menjawab pertanyaan ayah. Kau kenapa Taka? Hmm?" ia menunduk, menempelkan kepalanya di dahi Ruki. Sugizo tak bisa mengerti mengapa anak tirinya ini bersikap aneh belakangan ini.

"Ayah lepas!!!" Ruki menghentak tangan ayahnya, "biarkan aku pergi ke sekolah hari ini, aku tidak ingin datang telat lagi!" ia menggelengkan kepalanya, tapi sebelum Ruki sempat melangkah, ia telah berada dalam pelukan Sugizo.

"Ayah!" Pria itu tak mau mendengarkan, tak melepas dekapannya. Ia membenamkan wajahnya di punggung Ruki, mengendus campuran bau khas dari Ruki, alkohol dan bau seseorang yang membuyarkan bau tubuh anaknya.

"Hari ini kau tidak usah masuk, sayang," sebuah kecupan mendarat di pipi Ruki.

 Wajah anak itu sesaat mengeras, "Aku harus sekolah." Jawabnya lurus saja.

"Aku bisa menelpon wali kelasmu dan mengatakan kau sakit, kau pucat sekali Taka-chan." Anak itu menunduk, memandangi kaus abu-abunya yang kusut akibat dijadikan pengikat tangannya sendiri sementara pemuda yang mengaku bernama Byou tersebut melakukan hal yang menyiksa tubuhnya semalaman.

"A...aku..." dan tubuhnya ambruk ke pelukan Sugizo, kepalanya pening dan badannya terasa ngilu dan sakit sekali belum lagi mual yang bergolak dalam perutnya.

"Taka!" Sugizo menangkap anaknya, kemudian membopongnya ke dalam kamar anaknya sendiri. Ringan sekali anak itu dan betapa pucat wajahnya juga kulitnya dengan lebam di bahu dan pinggang saat ia menggantikan bajunya menjadi piyama.

"Ya Tuhan, apa yang terjadi padamu?" Sugizo mengambil ponselnya dari dalam saku dan menelpon dokter pribadi keluarga mereka. "Takashima-san tolong datang ke kediaman keluarga Matsumoto."


Beberapa puluh menit kemudian pria berambut coklat madu itu datang dengan senyum simpul. Sikapnya profesional saat memeriksa Ruki, tanpa ekspresi sedikit pun selain ekspresi sedih dan iba.

Sugizo yang sedari tadi mengamatinya ikut duduk di samping tubuh anaknya, "Ada apa dengan dia, Uru? Kenapa badannya panas begini?" jemarinya menyingkirkan poni pirang Ruki.

Uruha, biasa dokter itu dipanggil menggariskan senyum miris. "Kasihan anak ini," ia memasukkan stetoskop ke dalam kotaknya kemudian merapikannya ke tas kerjanya.

"Luka luarnya memang tak terlalu bermasalah namun cukup membuatnya mengalami luka ringan di jaringan ikatnya." Ia menatap wajah tidur Ruki lagi, "Dia hanya stress dan sekarang menderita flu tulang. Penyakitnya ringan namun jika tak ditangani lebih lanjut ia dapat mengalami peningkatan penyakit yang lebih berbahaya dan menghambat laju pertumbuhannya."

Tambahnya lagi menatap Sugizo penuh selidik, "Tubuhnya rentan terhadap virus sekarang ini, tapi aku ingin menanyakan sesuatu kepadamu." Sugizo menarik nafas,

"Apa?"

"Tapi kau harus jujur dalam menjawab hal ini." Sugizo terdiam dan menganggukkan kepalanya setengah hati.

"Sebenarnya, apa saja yang tela kau lakukan terhadap anak Haruna?" Hening dan Sugizo balas menatap Uruha.

"Tidak ada."

"Kau bohong!" cetusnya. "Aku telah tujuh tahun menjadi dokter pribadi untuk keluarga ini. Aku tahu riwayat kesehatan anak ini sejak ia berumur delapan tahun, setiap detailnya aku telah ingat dengan baik."

"Lalu?" nada tak berminat terdengar jelas.

"Dan baru empat tahun yang lalu aku menemukan kesehatan anak ini menurun drastis, belum lagi dengan luka tak wajar yang silih berganti di tubuhnya." Ia menarik nafas dan melanjutkan, "Luka memar, bekas gigitan, kerongkongannya yang mengalami infeksi setahun yang lalu, bibirnya yang seringkali memar dan segala macamnya itu. Apakah menurutmu itu hal yang wajar?"

"Jadi... intinya kau menuduhku?" "Aku tak akan menuduh tanpa bukti." Jawabnya tegas.

"Tapi yang ada di depan kita sekarang sudah lebih dari sekedar bukti, Sugizo. Kau apakan anak ini? Kau siksa atau bagaimana?" desak Uruha, terbersit rasa kesal dan amarah dalam hatinya melihat anak yang telah ia anggap sebagai adiknya sendiri mengalami hal seperti ini.

"Aku tak melakukan apa pun."

"Apa kau yakin akan kata-katamu sendiri?" tanya Uruha lagi masih belum dapat percaya kepada pria ini. Sejak awal ia kurang suka melihat kehadiran Sugizo di tengah keluarga Matsumoto.

"Ya," jawabnya sekenanya. Uruha diam lagi, mengenggam tangan Ruki yang lebih kecil darinya dan membelai punggung tangannya. Sugizo yang menyaksikannya tak berkomentar.

"Sugizo, aku mohon, sebagai orang yang paling dekat dengan Taka sekarang ini, bisakah kau menjaganya?"

Pria itu tak memasang ekspresi apa pun, "Ya, aku janji."

"Bagus," pria berambut coklat madu itu tersenyum kepada Ruki yang belum juga bangun. "Karena memang itulah alasan kau ada di sini." Uruha menyentuh bibir Ruki yang robek sedikit secara lembut.

"Ya, pasti." Mata hijau pria itu berkilat mengikuti gerakan tangan Uruha di leher Ruki. Dalam hatinya ia menyangkal, 'Untuk apa? Haruna secara tidak langsung telah menghadiahkan anak tunggalnya padaku.' Matanya menyipit ketika Uruha menunduk, mengecup dahi Ruki dengan sayang. 'Dan setelah aku mendapat mainan bagus, aku harus melepasnya? Cih...' senyum terukir di wajah tampan milik Sugizo.

~†~†~†~

"Maaf," seorang gadis menyapa Reita dengan takut-takut, ia sedikit menundukkan kepala. Di tangannya ada secarik surat dalam amplop biru muda yang wangi.

Melihat itu Reita memasang senyum palsunya. Tentunya pemuda berambut pirang pucat tersebut telah banyak menciptakan senyum untuk digunakan pada saat tertentu. "Ya?" Senyum sopan, senyum bisnis, senyum ramah, senyum simpul, senyum mengejek, senyum lembut, senyum penuh makna, senyum sinis, senyum sedih dan senyum miris. Semuanya sangat berguna jika ia menerapkannya dengan baik pada saat yang tepat.

Gadis itu tampak gugup, terbata berbicara padanya, "Su-Suzuki-san, a-aku ingin mengatakan sesuatu." Pemuda itu sabar menunggu meski ia ingin menyanggupi ajakan bermain sepak bola oleh teman-temannya. 'Ck, menyusahkan saja anak ini.' Reita memperhatikan gerak-gerik gadis asing itu dan berdecak.

Baiklah memang gadis tersebut mengenakan seragam yang memiliki badge yang sama dengan miliknya, tapi pemuda itu tak pernah tahu atau lebih tepatnya tak peduli siapa siapa gadis itu.

"Aku... aku ingin menyerahkan ini!" gadis itu menyodorkan amplop biru mudanya kepada Reita, kepalanya masih tertunduk dalam. Sepertinya anak ini ingin mempraktekkan apa yang ia baca di shoujo manga. Tentang anak lelaki yang akan meleleh dan terpesona dengan anak perempuan yang bersikap malu-malu dan manja. Dengan pandangan agak menunduk dan tangan terulur, berikut suara yang bergetar dan terdengar malu-malu. Persis itulah yang gadis ini coba praktekkan kepada Reita sekarang.

Tapi Reita bukanlah tipe seperti itu, bukan tipe prince charming atau apalah itu yang dielu-elukan anak perempuan. Bukan juga tipe misterius yang sebenarnya perasa dan mudah tersentuh dengan hal remeh begini.

"Oh, begitu?" Reita singkat saja, langsung berbalik badan meninggalkan gadis itu di lorong yang tidak terlalu ramai.

Semua orang di lorong yang menjadi saksi atas kejadian itu hanya menarik napas, merasa iba melihat gadis itu menangis kemudian berlari menyelamatkan harga dirinya. Mereka bertatapan dan berdecak, maklum akan kejadian itu. Ini sudah yang kelima kalinya para gadis dibuat menangis oleh anak pindahan tersebut sejak semester lalu.

Mereka sudah cukup mengerti tentang sikap pemuda berambut pirang dan ber-noseband itu setelah dua bulan pertama. Tak peduli sekitar, pendiam, dan tak terlalu ambil pusing dengan perkataan teman-temannya. Dia tetap berdiam diri di deretan belakang dekat jendela menghadap ke luar sekolah sesuai urutan namanya.

Dia juga tetap bungkam saat banyak gosip aneh menimpanya. Dimulai dari dia yang dikatakan sebagai anak dari kepala gangster. Dia juga disebutkan sebagai pembunuh berdarah dingin dalam kabar angin yang sangat tak bisa dipercaya. Ada juga yang berpendapat bahwa alasannya selama ini kurang tertarik dalam hal perempuan dan menolak mereka tanpa memberi kesempatan yakni karena ia tidak menyukai mereka. Dalam kata lain dia penyuka sesama jenis.

Apa pun itu yang pasti malah membuat popularitasnya meroket dalam sekejap. Kepintaran dan kemisteriusannya membuat anak-anak perempuan berlomba menarik perhatiannya.

Hal yang sangat percuma.

"GOL!!!" mereka berdua berseru kegirangan. Tendangan dari Reita berhasil membobol pertahanan lawan.

"Yes!" pemuda itu meninju udara dan teman-teman satu timnya tertawa.

"Minum?" Reita menerima lemparan kaleng jus jeruk dari Manabu dan duduk di sebelahnya. Aoi meloncat dan duduk di samping Manabu, meneguk air mineral dari botolnya. Sementara anak perempuan yang meluangkan waktu untuk menonton meneriakkan nama mereka.

"Berisik," Aoi mencela mereka meski masih memasang senyum ramah kepada kelompok anak perempuan itu.

Di sebelahnya Manabu yang dikenal sangat ramah kepada semua orang menyikut Aoi pelan. "Jangan begitu, tidakkah kau berpikir mereka sangat manis?" dan kelompok itu berbisik-bisik tak jelas di seberang lapangan saat pemuda berambut coklat lurus itu melempar senyum kepada mereka.

"Manis? Cih, mereka menyebalkan. Bersikap murahan begitu." Aoi membuang muka dan melihat Reita telah berdiri. Beranjak pergi dengan menyandang tas selempangnya.

"Duluan," gumam Reita pelan. Ia memang kurang suka lama-lama di sekolah, biasanya seusai bel sekolah berdering ia akan langsung pulang kembali pada ’pekerjaannya’.
"Oh ya, sampai ketemu lagi," Manabu melambaikan tangannya, tetap tersenyum lebar sementara Aoi tak menghiraukannya.

"Dia selalu seperti itu," komentar pemuda berambut hitam itu seperti biasa.

Manabu tertawa kecil, "Biarkan saja, mungkin ia selalu sibuk," belanya.

"Sibuk apa sih? Dia itu aneh, sangat aneh." Tukasnya lagi tak mau kalah.

Manabu menepuk lengannya, "Sudahlah, biarkan saja. Lagipula dia tak pernah berbuat aneh-aneh seperti prasangkamu."

~†~†~†~

Ruki berusaha bangun, tubuhnya bergetar dan ia kesulitan membuka mata. Nafasnya memburu dan tenggorokannya panas. Rasanya seluruh tubuhnya panas dan nyeri sementara udara di sekitar menjadi sangat berat. Ia terbatuk pelan dan akhirnya memutuskan untuk tak usah bangun dan terpejam.

Sebuah tangan lembut membelai pipinya, "Taka-chan?" suara Haruna mengalun di telinga Ruki. Ia membuka mata perlahan, heran melihat ibunya yang berambut pirang swarna dengan miliknya telah ada di hadapannya, wajahnya tampak khawatir dan Ruki menemukan sebagian kecil dari dirinya bersyukur karenanya. Sudah lama ibunya tak pernah berada sedekat ini, mencemaskannya dan membelainya.

Ruki menitikkan air mata, tak menolak ketika Haruna memeluknya lagipula ia sudah capek dan tak ingin menghabiskan tenaga untuk bergerak. "Taka-chan... kau masih merasa sakit? Pusing? Atau mual?" ibunya menyingkirkan poni Ruki dan duduk di sebelahnya.

"Uruha bilang penyakitmu bukan hanya fisik, tapi juga mental." Ruki tak mau menjawab, memandangi jendela yang ada di belakang ibunya.

"Ibu tak tahu bahwa anak kesayangan ibu mengalami hal seperti ini," Haruna mengusap rambut anaknya yang melihat kepadanya pun tidak.

"Wajar, karena ibu terlalu sibuk sampai ibu tak tahu jika anaknya sedang sakit." Ucapnya ketus, menolak menatap ibunya dan tetap tak merespon sentuhannya.

"Maafkan ibu, Taka-chan. Tapi ibu sudah terbang jauh-jauh dari Kanada untuk menemuimu," ujar Haruna, senyum pedih terukir di wajahnya. Ruki tak membalas dan tetap tak mengacuhkan ibunya.

Haruna tak bergeser sedikit pun dan memeluknya lagi, "Ibu sangat menyayangimu."

Sayang?

Mudahnya kata itu ia ucapkan.

Semudah Ruki mengatakan benci pada dirinya sendiri.

‘Lalu kenapa kau harus menyinggung kesibukanmu, pengorbananmu untuk menemuiku? Ingin melihatku menangis terharu dan memelukmu? Mengatakan kau ibu yang sangat aku sayangi?’ hati kecil Ruki menyindir ibunya. Seakan membesuk anaknya yang sakit merupakan tugasnya. Pamrih.

"Iya, aku tahu." Anak itu menyandarkan diri ke bantal, menahan sakit di bahunya yang memar hebat.

Haruna tersenyum lagi, "Maka karena ibu sangat menyayangimu, ibu berencana mempertunangkanmu."

Seketika Ruki menatap ke arah ibunya, "APA?!"

Ibunya balas menatap Ruki sendu. "Ibu katakan bahwa kau akan ditunangkan," wajah Ruki kaku mendengarnya.

"Tiga hari lagi ia akan datang." Tambahnya senang.

"Si-siapa?" Ruki berusaha menegakkan badannya, namun ia mendesis kesakitan. Matanya menatap ibunya dengan bingung.

"Siapa? Tentu saja calon tunanganmu, Taka, siapa lagi?" Haruna tertawa, di telinga Ruki yang terdengar adalah tawa mengejek, bukannya tawa bahagia.

 Tunangan?

Masih belum cukupkah keberadaan 'ayahnya'? Ruki mulai menambahkan tanda tanya besar akan kewarasan ibunya. Memilih Sugizo untuk menjadi 'ayahnya' saja sudah merupakan  kesalahan yang sangat fatal. Lalu sekarang ibunya ingin mengikat dia dan orang lain dalam konteks 'tunangan'?? Rasanya Ruki akan menemui psikolog sore besok.

To be continued…

A/N: pegalnya ngetik di ponsel… ini ngetik di ponsel lho~~ (nggapentingjugakali)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar