Minggu, 10 April 2011

The[real]Engaged (Chapter 7/?)

Title: The[real]Engaged (Chapter 7/?)
Starring: ScReW, the GazettE, Sugizo (soloist), Yoshiki (X-Japan)
Author: xellonich a.k.a Suzuki Sachino
Pairing: Byou x Ruki, Manabu x Kai (?), R x E (?)
Rating: PG – 16
Genre: drama, romance, abused
Warning: mxm
Disclaimer: I’m only owned the story; they belong to whatever Gods up! (_   _ )a
Music: the GazettE – Ray
            12012 - As
 

~†~†~†~

“Ta...Taka, tunggu!” Byou mengejar Ruki yang berjalan tergesa-gesa menjauhinya. Pemuda tersebut mempercepat langkahnya namun pemuda yang dikejarnya malah berbelok dan menghilang di koridor.

Ia menoleh ke kanan dan ke kiri namun hanya menemukan dua orang pelayan yang sedang membersihkan furnitur dan pajangan. Menghampiri salah seorang pelayan ia bertanya, “Maaf, apakah kau melihat Taka lewat sini?”

Pelayan itu menatapnya, sedikit tak fokus saat menjawab. “Saya tidak melihat tuan muda, tuan...” ia menunduk sedikit.
Byou hanya menghela nafas, “Ya sudah, terimakasih ya...” ia membungkuk.

“Sama-sama tuan,” pelayan itu balas membungkuk dan melihat Byou melanjutkan jalannya entah ke mana. Gadis itu menarik nafas sementara gorden merah marun di belakangnya disingkap oleh sebuah tangan pucat.

“Fuh, dia sudah pergi ya?” Ruki menjengukkan kepalanya, mendapat anggukan dari gadis tersebut.

“Terimakasih Tomo,” pemuda itu keluar dari balik tirai dan pergi ke arah yang berlawanan dengan Byou. Sedangkan pelayan yang dipanggil Tomo itu hanya tertawa kecil melihat tuannya kabur-kaburan dari tunangannya sendiri. Sesuatu yang sebenarnya tidak dibutuhkan dan kekanakan.

Sebenarnya sudah sejak pagi tadi Byou bertandang ke rumah Ruki atas suruhan Haruna yang dikenal memiliki banyak sifat ajaib untuk membuat mereka berdua lebih dekat, dan mengenal satu sama lain. Padahal mereka berdua sudah berkenalan; dengan kontak lebih dati kulit menyentuh kulit dan sesuatu yang lebih lagi.

Sejujurnya, gampang saja jika Ruki ingin membatalkan pertunangannya sehingga ia tidak perlu bertemu Byou sekarang ini. Yang perlu ia lakukan hanyalah memaksa tunangannya itu untuk menolaknya juga.

Tapi rasanya pemuda jangkung itu tidak ada niatan untuk mengatakan tidak terhadap pertunangan aneh ini. Ruki cukup tahu dan semakin cukup mengerti keanehan ibunya, tapi ternyata ia menemukan lagi yang sama anehnya dengan sang ibu. Pemuda itu.

Ruki berjalan ke lantai tiga di mana perpustakaan di rumahnya itu berada. Ia membuka pintu dan masuk, tak sengaja menemukan pengawalnya sedang membaca di salah satu sofa. “Oi,” ia memukul pemuda berambut pirang itu dengan kamus dari meja di depannya.

Yang dipukulnya langsung menatapnya sinis. “Apa?”

“Ajarkan aku kalkulus dan teori fisika kuantum,” ia menghempaskan tubuhnya di sebelah Reita, menekuk kakinya ke atas.

Reita hanya meliriknya malas, “Kau ini, kau memperhatikan gurumu tidak sih? Lagipula turunkan kakimu! Tidak sopan tahu!” tegurnya sembari menepak paha Ruki.

Pemuda itu berdecak, “Yah, di sini tidak ada siapa pun kok. Kenapa harus bersikap sopan?” ia memulai tingkahnya.
Mendengar itu Reita mendengus tidak meneruskan. Ia tak menghiraukan Ruki, kembali membaca buku yang dipegangnya.

“Hahh... kau selalu begini, kenapa kau tidak menolongku saja? Selalu cuek begitu, kau pengawalku bukan?” celoteh Ruki. Ia menoleh karena tak mendapat jawaban dan melihat pemuda yang diajaknya bicara malah mengabaikannya.

“Hoi!” ia menyenggol lengan Reita dengan sikunya, pemuda itu tak merespon. “Hahh... ternyata kau sama saja dengan yang lain ya. Tidak memperdulikanku ketika aku sedang berbicara.” Merasa omongannya tak akan digubris, ia beranjak dari duduknya, meninggalkan Reita yang masih diam saja.

Baru saja Ruki membuka pintu perpustakaan ia langsung menutupnya lagi

“Eh? Taka? Kenapa ditutup?” suara dari luar yang terdengar lewat pintu yang sedikit terbuka membuat konsentrasi Reita buyar. Ia melihat Ruki yang susah payah menahan pintu perpustakaan.

Mau tak mau ia bertanya, “Ada apa? Kenapa kau menahan pintunya seperti itu?”

Pemuda itu menggeleng. “Ada orang gila di luar.” Jawabnya seenaknya, menahan pintu dengan badannya. “Tolong aku, Rei!” tapi pemuda tersebut tak beranjak, tetap tenang-tenang saja menatap Ruki susah payah menahan pintu yang didorong dengan keras.

Pintu menjeblak terbuka. Ruki jatuh ke lantai, bersungut-sungut karena Reita tak kunjung menolongnya dan karena orang yang dari tadi main kucing-kucingan dengannya sekarang berada di hadapannya.

“Taka? Kau tidak apa?” Byou mengulurkan tangannya.

Ruki memandangnya tidak suka. “Aku bisa berdiri sendiri, baka!” jawabnya ketus. Buru-buru ia berdiri dan menuju pintu, tapi Byou menghalanginya. “Minggir kau!” ia mendorong Byou yang tak bergeming.

Pemuda itu bersikukuh menghalanginya. “Kenapa kau selalu menghindariku?” ia menatap Ruki yang kini menggeser tubuhnya tapi sekali lagi ia menghalanginya. “Jawab, Taka!” sergahnya menyambar tangan Ruki dan membawanya masuk, menendang pintu di belakangnya sampai tertutup.

Ruki mendesis karena cengkraman tangan Byou di pergelangan tangannya. “Bukan urusanmu!” ia menyentak tapi pemuda itu tetap memeganginya sambil memaksanya mundur.

“Kau tahu, aku tidak akan pernah menjadi orang yang terlalu sabar.” Ia mendorong Ruki sampai pemuda itu menghantam tangga portabel untuk mengambil buku di rak bersusun tinggi di belakangnya hingga tangganya bergeser beberapa puluh centi dari tempatnya. Ruki mendesis lagi tapi Byou meneruskan, “Bisa tidak kau berhenti bersikap kekanakan?” ia mendekatkan wajahnya ke wajah Ruki. Ekspresinya membuat pemuda yang bertubuh lebih kecil itu waspada.

“Aku bukannya kekanakan, tapi aku berpikir normal. Normal. Kau sendiri tahu tidak?!” sergahnya menatap galak kepada pemuda itu. “Dan jangan memanggilku Taka!” imbuhnya tegas, Byou menggertakkan gigi.

Sebelum Reita bisa mendengar pertengkaran yang tidak penting baginya itu berlanjut, ia menyelinap keluar dari sana, membawa buku-buku yang memang ingin dibacanya. Rencananya ia ingin ke taman untuk menghindar dari keberisikan yang dibuat oleh pasangan itu.

Ruki yang melihat kepergian Reita berusaha mencegahnya, “Hei! Jangan kabur kau!” ia berusaha meraih pemuda di seberang ruangan tersebut. Tapi tangan Byou lebih dulu meraih bajunya dan mendorong Ruki kembali sampai tangga di belakangnya meluncur hingga menabrak sebuah rak besar yang tak bergeming sedikitpun. Sementara punggung Ruki membentur pualam di bawahnya.

“Kau tetap di sini,” ini melotot pada Ruki, “dan kau!” ia menunjuk Reita yang santai saja membuka pintu.

“Iya, lihat aku mau keluar... sampai ketemu lagi, usahakan jangan membuat ruangan ini menjadi kotor, Byou,” ia menekankan nama buatan dari pemuda itu dan menutup pintu, berjalan santai mengabaikan Ruki yang melontarkan kata-kata kasar kepadanya.

Sesampainya di bangku taman, Reita meluruskan kakinya dan meletakkan buku-bukunya di sebelahnya. Baru saja ia membuka sebuah bukunya, suara-suara dari sudut taman sudah mengusiknya. Suara aneh dari sebuah paviliun yang terpaut dua meter jaraknya dari tempat ia duduk.

Reita berdiri dan menghampiri sumber suara tersebut. Berusaha tak membuat suara saat mengintip dari balik tirai jendela yang transparan. Ia berdiri merapat ke dinding sementara memasang telinganya baik-baik.

“Kau yakin ini tindakan yang tepat?” sebuah suara pria membuat pemuda itu berusaha menerkanya.

“Tentu saja,” suara Haruna menyahut dan Reita melihat sosok Sugizo mengambil sesuatu dari meja. Kemudian Haruna yang duduk di salah satu sofa menerimanya. Secangkir teh yang mengepul.

Pria itu tetap berdiri dan menggulung kemejanya, Reita baru melihat jika pria itu memakai vest yang dikenakan oleh pelayan. “Tapi, aku kira hal itu keterlauan. Tuan muda pasti sangat tidak menyukainya.” Reita mengernyit, ‘tuan muda’?

“Tidak ada alasan Taka tidak menyukainya, pemuda itu sangat baik dan sopan.” Ia menyeruput tehnya sementara Reita menaikkan salah satu alisnya. ‘Sopan ya?’ ia ingat ia telah meninggalkan anak kesayangan Haruna bersama ‘pemuda sopan’ tersebut berduaan dalam perpustakaan yang sangat sepi dan kedap suara.

Sugizo menghela nafas, “Tapi, aku bisa melihat jika tuan muda tidak menyukainya, tidak bisakah pertunangan ini dibatalkan saja?” jelasnya halus kepada Haruna yang meneguk tehnya lagi.

Wanita itu menatapnya tajam, menyerahkan cangkir kepada Sugizo. “Aku berpikir sejak kemarin, dan aku tak akan mengubah keputusanku.” Ucapnya tetap tak terpengaruh kata-kata Sugizo.

Reita semakin mempertajam pendengarannya dan memepetkan diri ke tembok yang lembap. Tak peduli akan bajunya yang kotor. Ia ingin sebanyak-banyaknya mencari informasi tentang keluarga aneh ini.

“Lagipula, aku ingin menanyakan sesuatu selama sepekan ini,” Haruna menatap pria tersebut. “Kenapa aku bisa mendapat laporan dari Takashima jika anak kesayanganku itu mendapat memar dan luka yang tak wajar di beberapa bagian tubuhnya? Apa kau tidak menjaganya seperti yang aku perintahkan?” nada suara Haruna semakin tajam.

Reita tak bisa mendengar jawaban dari Sugizo. Tapi yang ia lihat, Haruna berdiri dan berjalan meninggalkan pria tersebut

~†~†~†~

Manabu meluncur mulus mengenakan sepatu roda yang berdesir di atas trotoar. Pemuda itu membungkukkan badannya sedikit dan berbelok di tikungan yang penuh dengan gadis-gadis sedang mengantri untuk membeli ice cream.

“Hei cantik,” ia mengecup pipi seorang gadis berambut sewarna karamel dan tersenyum memesona, membuat gerakan mengitari gadis tersebut. Gadis itu menatap Manabu dengan wajah memerah sementara yang lain menatap Manabu dengan sedikit memekik.

Pemuda itu tersenyum dan meraih wafer yang menjadi hiasan ice cream sang gadis lalu meluncur pergi. “Jaa...” ia melambaikan tangannya meninggalkan gadis-gadis yang masih terpana, menggigit wafer coklat itu sambil melaju.
Tepat saat ia menikung dan menatap ke depan, ia bertabrakan dengan seseorang.

Duagh.

Orang yang ditabraknya jatuh bersama Manabu yang jatuh terduduk di trotoar. Pemuda itu berusaha bangun, merasa bersalah, ia mengulurkan tangannya. “Maaf saya teledor, Anda tidak apa-apa?”

Orang yang ditabraknya hanya tersenyum, menampilkan lesung pipinya yang dalam. “Iya tidak apa,” ia menyambut tangan Manabu dan berdiri. “Anda sendiri baik-baik saja?”

Manabu menggaruk belakang kepalanya, “Eh, iya saya baik-baik saja kok.” Ia mengamati pemuda tersebut. Mungkin usianya hanya sekitar satu atau dua tahun lebih tua darinya. “Ng... maaf, boleh saya tahu nama Anda?”

Pemuda itu tersenyum lagi, senyum yang paling manis yang ia pernah lihat. Bagaimana bisa seorang lelaki punya senyum semanis itu? “Biasanya saya dipanggil Kai,” jawabnya.

“Kai?”

“Ya, ditulis dalam kanji ‘perintah’.”

Manabu mengangguk, “Baiklah Kai, rasanya kita sebaya, bagaimana memakai bahasa yang biasa saja?” tawarnya.
Kai tampak berpikir sebentar, “Ung... baiklah.” Ia mengangguk lagi.

Senyum di wajahnya yang membuat Manabu tertarik. Ia mengencangkan tali sepatu rodanya lalu tersenyum pada Kai. “Ng, apa kau mau berjalan bersama? Sebentar saja?”

Kai berpikir lagi. “Mmm... baiklah, aku juga sedang tidak sibuk.”

~†~†~†~

Reita menyusuri Shibuya lagi, berjalan-jalan sejenak setelah akhirnya bisa keluar dari rumah itu. Lagipula tuan yang harusnya dikawal juga sedang sibuk jadi ia bebas dari anak manja itu.

Tak sengaja matanya menangkap sosok gadis yang pernah ‘memakai jasanya’ dulu. Gadis berambut hitam panjang berkilau yang memantulkan kembali sinar matahari yang tenggelam di ujung barat. Ia melihat gadis itu memakai softlens abu-abu dan matanya sembap, duduk di dekat etalase sebuah toko.

Reita menoleh kembali kepada jalanan di depannya, berjalan dalam langkah teratur. Untuk apa memperdulikannya?

“Tunggu!” suara yang tak lain berasal dari gadis itu memanggilnya.

Reita berhanti, menunggu langkah gadis itu mendekatinya. Setelah sampai, pemuda itu  barulah bertanya, “Ada apa?” jujur, bahwa ia malas melihatnya.

“Rei... ta? Betul ‘kan namamu Reita?” gadis itu memegang lengan Reita. Meskipun pemuda itu tak menjawab ia tetap meneruskan. “Maaf, tapi... bisa, bisa kita membicarakan sesuatu?”

Pemuda tersebut menarik lengannya kasar. “Apa yang mau kau bicarakan? Rasanya kita tidak memiliki hubungan apa pun.” Balasnya sinis.

Tapi gadis itu menangis, sepertinya tak akan khawatir jika make up-nya luntur. Atau mungkin tahan air? “Maaf... tapi, tapi aku benar-benar ingin membicarakan sesuatu denganmu, tolonglah.” Suara seraknya menyerupai bisikan.

Menghela nafas panjang, Reita bertanya ketus. “Apa yang kau inginkan, Erina?”

~†~†~†~

Rambut hitam panjangnya basah diguyur air hujan yang turun tiba-tiba tak dihiraukan. Wajahnya semakin pucat dan suram di bawah temaram lampu taman di sebelahnya. Bangku panjang melengkung, jalan setapak dari batu-batu, rumput yang mulai menghijau dan semuanya itu basah.

Mengawali musim semi yang dinamakan musim cinta tersebut dengan menitikkan air mata. Ia menghirup udara dingin, mengusap wajahnya yang kuyup dengan telapak tangan berusaha menahan emosi yang bisa meledak kapan saja. Ia mengepalkan tangannya sampai merasa sakit sendiri.

Di tangannya terdapat sebuah cincin perak yang menusuk. Cincin yang dulu pernah mengikatnya bersama seorang kekasihnya. Mencintainya, berbagi suka dan saling menguatkan dalam duka.

Tapi kenapa dunia tak adil padanya?

Tangan yang terasa tak hangat lagi mengeratkan cincin yang sekarang dirutukinya berulangkali. Rasanya sampai seribu kali pun ia meminta waktu kembali dalam pelukannya dan kekasihnya mencintainya lagi itu sangat mustahil.

Berdiri secara tiba-tiba, ia menatap ke langit yang suram. Di mana bulan tak terlihat dan awan menutupi bentanga langit luas untuk menaungi, menyempurnakan rasa sakitnya.

“Kenapa?” ia berteriak ke langit.

Masih sama.

Masih gelap dan masih setia mengguyurnya dengan air mata para malaikat.

“AAAKH!!!” ia menjerit putus asa dan penuh kesal di tengah hujan dalam taman yang sepi.

Menjeritlah. Menjeritlah meski tak sesiapa pun mendengar jeritanmu yang sia-sia. Menjeritlah selagi suaramu belum habis dan pita suaramu belum terkoyak. Menjerit atas kebodohanmu, dan kesalahanmu sendiri.



To be continued...


A/N: Yak, saya akhirnya update setelah hiatus selama beberapa minggu ini sibuk akan sekolah.
Silakan dikomentari, dan diberikan gambar ibu jari jika suka dan silakan dikeluarkan dari tags jika tidak mau repot. (^   ^)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar