Kamis, 14 April 2011

The[real]Engaged (Chapter 8/?)

Title: The[real]Engaged (Chapter 8/?)
Starring: ScReW, the GazettE, Sugizo (soloist), Yoshiki (X-Japan)
Author: xellonich a.k.a Suzuki Sachino
Pairing: Byou x Ruki, Reita x Ruki, Manabu x Kai / Kai x Manabu (?), Reita x OFC, (?) x OFC
Rating: PG – 15
Genre: drama, romance, angst?
Warning: MxM, cursing
Disclaimer: I’m only owned the story; they belong to whatever Gods up! (_   _ )a
Music: 12012 – Mayakashi
            the GazettE – Damashi (some people call it Mayakashi)


~†~†~†~

Ruki menarik buku untuk pelajaran selanjutnya di dalam kelasnya yang berdengung rendah seperti lebah. Duduk di bangkunya mencoba mengabaikan suasana kelasnya yang agak riuh. Memandang ke luar jendela, mengamati murid-murid yang masuk ke kelas sehabis olahraga.

Ia menghela nafas. Dirinya sudah terbiasa tak mengikuti obrolan teman-temannya, bahkan tak mau terlalu peduli dengan lingkungannya. Yang terpenting adalah bisa mengikuti pelajaran meski nilainya tergolong biasa saja, hanya sedikit di atas rata-rata. Ia sebenarnya malas-malasan, hanya mendengarkan sekilas dan membaca sebentar materi yang diberikan untuk kemudian dilupakan dan dipelajari mendekati ulangan.

Sebenarnya Ruki a.k.a Matsumoto Takanori bukanlah anak yang bodoh. Hanya saja kemalasan menuntunnya untuk bersikap seenaknya. Ia hanya menuruti kehendaknya yang ingin bebas hingga menyentuh buku pelajaran merupakan hal yang seringkali dihindarinya dan menjawab ujian secara asal meski ia tahu jawabannya adalah kebiasaannya.

“Semuanya, seperti yang telah kita ketahui jika dalam hal menghitung gerakan putaran dalam momentum...” dan suara sang guru layaknya kicauan burung murai di telinganya sayup-sayup sudah tak terdengar.

Mendapat marga berawalan huruf ‘M’ membuatnya berada di barisan kedua dari belakang dan yang paling ia syukuri adalah jendela di mana ia bisa mengalihkan pikirannya keluar. Ruki merasakan ponselnya bergetar.

Sembunyi-sembunyi dibukanya ponsel flip berwarna merah tersebut dan dibacanya e-mail masuk secara sekilas.
From: Reita
To: Ruki
Text Body: ‘Anak manja, maaf hari ini aku tidak bisa menjemputmu, kau pulang sendiri bisa kan?’
Ruki mengernyit, sebelum melihat namanya pun dia sudah tahu siapa pengirimnya.

From: Ruki
To: Reita
Text Body: ‘Tentu saja, tidak perlu aku bergantung padamu, pengawal sial.’

Ditekannya tombol send dengan tangan kanan sekuat-kuatnya sembari menyangga dagunya dengan tangan kiri. Sudah menjadi kebiasaan pula jika Ruki tak mengetik sambil melihat bahkan mengetik di notebook pun juga sama. Ia sudah hapal letak huruf dan tombol numerik serta fungsi yang ada.

Beberapa puluh detik kemudian ponselnya bergetar lagi. Ruki menghela nafas dan memandangi layar ponselnya.

From: Reita
To: Ruki
Text Body: ‘Seperti biasa kau tidak sopan. Mau aku telepon pacarmu untuk menjemputmu dengan mobil Lamborghini keluaran terbarunya?’

Ruki memandanginya kesal. Mengetik hanya beberapa detik dan langsung mengirimnya setelah sekali lagi menekan tombol send keras-keras.

From: Ruki
To: Reita
Text Body: ‘. . . Mati saja kau!’

Di tempat lain Reita yang sedang berdiri tersenyum sekilas melihat balasan darinya dan segera menjatuhkan ponselnya ke dalam kantong saat mendengar pintu mengayun terbuka. Ia memasang wajah kalem melihat gadis itu keluar dari ruangan dengan wajah muram.

“Bagaimana?” ia bertanya setengah hati.

Gadis itu menunduk dan menarik tangan Reita menjauh dari tempat itu. “Ternyata dugaanku benar.” Ujarnya dengan air mata yang siap jatuh.

Pemuda itu menatapnya tanpa ekspresi, “Kau sudah memastikan berapa kali sih?”

Gadis tersebut menghela nafas, “Dengan pembuktian yang lebih dari cukup ini, total aku sudah memastikannya tujuh kali.”

“Sebanyak itu?” Nada suara Reita menjadi naik setengah oktaf dan gadis itu menyadarinya. “Kau yakin... kau yakin jika aku yang...” ia tidak meneruskan. Gadis itu menggeleng. Bagaimana mungkin ia tidak sadar?

“Ka-kau yakin bukan dia?” Reita mencari celah namun gadis itu menggeleng lagi dan lebih keras untuk terus menarik Reita hingga ke sebuah restoran.

~†~†~†~

Lagi-lagi konsentrasi Manabu terpecah. Seharian ini dia tidak merespon panggilan dari para siswi yang biasanya ia tanggapi dengan ramah bahkan jarang pula menjawab ketika teman-teman lainnya bertanya. Pokoknya ia seharian lebih banyak diam, namun wajahnya tidak terlihat murung. Biasa saja tapi lebih mengacu kepada senyum tipis yang sesekali terulas di wajahnya dan rona merah yang terkadang muncul.

“Aku Manabu.” Ia membungkuk sedikit dan pemuda yang tersenyum sangat manis tersebut membalasnya. “Kau mau kita ke mana?” tanyanya lagi pada pemuda yang tingginya juga tak terlalu jauh dengannya, tapi dengan mengenakan sepatu roda seperti ini, ia menjadi enam centimeter lebih tinggi darinya.

“Ung...” ia berpikir lagi. Manabu suka caranya saat diam untuk berpikir sejenak, terlihat polos dan memang wajah pemuda itu polos namun manis. Rasanya ia akan betah berlama-lama memandanginya, meskipun jika nanti pemuda tersebut membalas tatapannya dengan curiga.

“Kau manis ya,” Manabu tersenyum dan Kai membalasnya dengan senyum yang tak lembut yang ajaibnya membuat detak jantungnya berpacu lebih cepat.

“Kau juga,” pujinya jujur. Hal itu sudah cukup membuat pemuda itu salah tingkah dan pipinya merona.

Sial. Kenapa aku jadi begini?

Memutar kembali peristiwa dua hari tak henti membuatnya ingin tersenyum sepanjang hari dan melamunkannya tak henti membuatnya bosan. Yang ada ia malah semakin mesra mencumbui memori yang masih hangat didapatnya selagi menunggu hari selanjutnya untuk bertemu.

Tiba-tiba Manabu tersadar.

‘Astaga! Aku lupa meminta nomor teleponnya! Argh...’ Ia mengacak-ngacak rambutnya sendiri dan berkutat menusuk-nusuk mejanya dengan jangka. Niat sekali ia ingin merusakkan meja milik sekolah tersebut. Maka sebuah penghapus papan tulis mendaratlah di kepalanya; berkah dari Aoi yang tengah mengerjakan tugas piket bersama seorang siswa lainnya.

~†~†~†~

Kembali ke jalan.

Mungkin itulah ungkapan yang pantas untuk pemuda yang sekarang menghisap rokoknya dalam-dalam lalu menginjaknya. Matanya dilapisi eyeliner tipis mempertajam bentuk matanya dan kacamata bertengger di batang hidungnya yang mancung. Ia meneguk sisa kopinya dan membuangnya ke tempat sampah di sebelahnya.

Pemuda tersebut menyulut kembali sebatang rokok dan menghembuskan asapnya. Rileks... lebih rileks... mengisi paru-parunya dengan nikotin untuk kemudian meracuni sistem tubuhnya dan membuang sisanya, berbagi dengan orang-orang yang tak pernah mengalami detoksifikasi di sekitarnya. Adakah yang lebih kotor dari ini? Hatinya? Atau mungkin pemikirannya?

Byou duduk di bangku sebelah papan harga sebuah café. Ia memperhatikan pintu keluar masuknya selagi menunggu rokoknya habis karena tak diperbolehkan untuk merokok di dalam café tersebut. Matanya mengamati orang-orang yang lalu lalang di jalanan, tapi saat matanya menangkap sosok yang dikenalnya, ia segera berdiri, menginjak rokoknya yang belum ada setengah dan melemparnya ke tempat sampah.

Ia berjalan mengikuti sosok itu dan berusaha tidak membuat suara saat mengikutinya. Menjaga jarak ia segera melompat ke belakang sebuah pilar bangunan ketika orang itu menoleh dan memasang tatapan curiga. Byou menahan nafas saat orang itu mendekat.

Orang itu diam, meneruskan kembali langkahnya hingga ke pelataran parkir sebuah gedung yang lowong, mengeluarkan kunci mobil otomatis dan menekan tombolnya. Dari balik pilar ia berpindah ke balik dinding yang memisahkan ia dengan orang itu sekitar sepuluh meter.

Tiga meter kemudian orang tersebut berhenti. Tangannya membuka pintu mobil bagian belakang. Mata Byou menyipit dan semakin menarik lehernya untuk bisa melihat apa yang diperbuat orang itu.

Orang tersebut menunduk sedikit ke dalam mobil dan sepertinya ada seorang lagi di dalam sana. Byou mencoba memusatkan penglihatannya ke sana, menggeser tubuhnya lagi.

Ia seperti mengambil sesuatu dengan kedua tangannya, dan sepertinya sesuatu itu cukup besar. Pemuda itu menahan nafas, hampir mengeluarkan seruan kaget saat melihatnya. Tetapi tangannya lebih dulu membekap mulutnya sendiri.

Sesuatu itu; Ruki...?

Pemuda bertubuh kecil tersebut tengah tertidur pulas. Atau sengaja ditidurkan dengan chloroform? Ia memperhatikan ketika tunangannya dibawa oleh orang itu. Tentu saja, harusnya ia sudah curiga, dan ternyata kecurigaan yang dulu pernah pupus sejenak terbukti juga. Ia mengikuti orang berpostur tegap tersebut masuk ke dalam sebuah gedung seperti penginapan yang cukup mewah meski letaknya agak tersembunyi; Sugizo.
.
 ~†~†~†~

Mungki Kai orang yang sabar. Terlalu sabar malah. Namun adakalanya ia harus bertindak tegas terutama pada muridnya yang sekarang ini belum kunjung pulang. Padahal sudah dari satu jam yang lalu ia duduk di perpustakaan dalam rumah mewah tersebut, berkutat dengan notebook-nya untuk memeriksa materi – begitulah yang sebenarnya ia harus lakukan. Namun namanya juga manusia, tentu ada kelengahan terhadap dirinya sendiri.

Ia meletakkan notebook itu kemudian menyandarkan tubuhnya yang terasa sangat kaku ke sofa yang empuk. Setelah kemarin menyelesaikan tugas kuliah tambahan dari dosennya yang terkenal pelit memberi nilai, bahkan kepada asdosnya sekalipun, ia sudah mulai merasakan tubuhnya mati rasa. Pegal di pinggang juga bahu dan lehernya terasa kaku.

Pemuda tersebut menghembuskan nafas lagi. Mengingat-ingat kejadian menyenangkan untuk dapat mengatasi rasa capek dan bosannya.akhir-akhir ini. Kejadian itu masih segar di ingatannya dan sanggup membuatnya tidak berhenti tersenyum, walaupun ia termasuk orang yang sering tersenyum, hal ini bisa diartikan sebagai penambahan frekuensi senyuman yang ia lakukan saat sedang sendirian. Mungkin jika ada orang yang melihatnya, mereka akan bingung dan sedikit menjaga jarak dengannya.

Kai menutup matanya. Dalam ingatannya ia melihat kembali wajah pemuda yang menabraknya saat tengah berjalan lunglai layaknya mayat hidup akibat beban tugas yang merong-rongnya begitu rupa. Saat ia memejamkan matanya beerapa detik selagi berjalan, seseorang menghantamnya dan mereka jatuh bersamaan.

Bukan menjadi sifatnya untuk bertindak tidak sopan, hanya saja waktu itu ingin ia berteriak dan memaki orang tersebut. Tapi ketika ia melihat orang tersebut merasa bersalah dan membantunya, ia surutkan niat itu dan tersenyum memaklumi.

Karena sebenarnya manusia membawa apa yang namanya sampah, dan Kai suka menyebutnya menjadi permasalah kehidupan yang satu ini sebagai ‘hukum tempat sampah’. Sederhana saja, tidak ada orang yang di dunia ini yang tidak punya masalah, orang yang paling tenang dan terlihat santai sekali pun pasti memiliki masalah. Dari sanalah Kai belajar, jika manusia sebenarnya membawa sampah-sampah dalam dirinya, dalam pikirannya dan dalam perbuatannya.

Sampah di sini diartikan sebagai sesuatu yang ingin dikeluarkan akibat hasil dari permasalahan yang ditampung. Tetapi mereka tidak bisa menyalurkan sampah-sampah tersebut untuk dikeluarkan, maka dari itu mereka menjadikan orang lain atau sesuatu sebagai pelampiasan. Contohnya memaki dan memarahi orang lain, entah orang asing maupun orang di dekatnya. Mencerca, maupun tindakan buruk lainnya. Ada juga orang yang bisa mengatur emosinya hingga ‘hukum tong sampah’ tidak berbalik kepadanya, sehingga ia memilih mengerjakan sesuatu untuk melampiaskan kekesalannya.

Begitu pula dengan Kai. Belajar bersabar, ia jarang menunjukkan emosi yang berlebihan kepada siapapun, kecuali dengan melampiaskannya kepada drumset dalam kamarnya. Sudah tiga kali dalam setengah tahun ini ia mengganti bass drum-nya, ia merasa lebih baik begitu daripada harus menyakiti perasaan orang lain yang tidak tahu apa pun.

Pemuda itu tersenyum meraih uluran tangan penabraknya. Jika dilihat-lihat, pemuda yang telah menabraknya itu manis juga, meski terlihat sembrono dan pakaiannya agak berantakan namun tetap terlihat sangat cocok dengannya. Tipikal anak remaja yang lebih banyak memikirkan penampilan.

Kai tersenyum meski matanya terpejam. Badannya memang ada di sini namun pikirannya melayang-layang untuk menemukan wajah cantik itu sekali lagi. Tak bosan, tapi ia baru ingat jika ia tak tahu siapa pemuda itu selain ia adalah seorang anak SMA, tidak lebih. Berkat daya ingatnya yang minim, ia bahkan lupa untuk meminta nomor telepon atau e-mail milik pemuda tersebut. Sungguh pintar.

Pintu perpustakaan mengayun terbuka. Memang tidak terlalu keras, malah tergolong sangat pelan dan hati-hati namun cukup membuat Kai terjaga.

Dilihatnya pemuda yang baru masuk tersebut mundur beberapa langkah baru berbalik badan. Di dalam pelukannya, seseorang diselimuti dengan mantel panjang berwarna hitam milik pemuda itu sendiri sampai ke bawah matanya. Tampaknya orang yang tengah dibawa tersebut tertidur lelap.

“Kojima-san?” ia berdiri, terkejut melihat pemuda itu terengah-engah seperi habis berlari. Matanya mengamati orang yang dibawanya. “A...anda dari mana?”

Byou menuju sofa terdekat dan membaringkan orang yang dibawanya perlahan-lahan. Mengatur posisi tidurnya senyaman mungkin hingga akhirnya menarik mantelnya sampai bisa menutupi sebagian kaki yang terekspos. “Maaf saya terlambat,” pemuda tersebut segera mendekati Kai kemudian meraih kursinya untuk duduk tegap.

Diliriknya orang yang tidur di sofa sebelahnya. Jika saja ia tidak melihat orang tersebut lebih seksama, ia mungkin akan mengira orang itu adalah wanita atau seorang gadis. Karena sejak tadi Byou membawanya seperti orang yang benar-benar ingin ia lindungi, terlebih badannya tergolong kecil dan sejak tadi wajahnya tertutup oleh jaket.

“Maaf, tapi... apa Anda telah menculik anak itu?” Kai bertanya hati-hati, merasa cemas jika nantinya Byou ditangkap oleh aparat hukum karena telah membawa seseorang tanpa ada pemberitahuan kepada keluarganya.

Byou menggeleng. “Tidak, saya tidak menculiknya, saya hanya membawanya dari tangan yang tak bertanggung jawab.”

Kai diam, memperhatikan Byou menyalakan iPad-nya. “Tapi, siapa dia, Kojima-san?”

Pemuda itu menarik nafas. “Dia? Dia adalah tunangan saya yang pernah saya ceritakan kepada Uke-sensei.”

Mengernyitkan dahi, Kai memandangi anak itu lagi. “Ng... dia lelaki bukan?”

Byou hanya tersenyum sekilas, ia menghampiri tunangannya. Dinaikkannya dagu Ruki dan dikecupnya bibir pemuda itu lembut. Setelah beberapa detik ia melepasnya, “Ya, tapi menurutku ia sangat cantik dan aku menyukainya, juga tubuhnya.”

~†~†~†~

Erina menangis.

Lagi-lagi menangis hingga Reita sampai capek melihatnya. Seharian ini ia harus bolos dan melihat gadis itu menangis terus. Sedikit berbicara dan banyak menangis. Reita jengkel waktunya jadi terbuang percuma seperti ini. Mendengarkan tangisnya yang sepertinya tak akan berhenti.

“Sudah.” Ia menyodorkan kotak tisu yang ada di meja restoran itu untuk air mata Erina yang membanjir.

Gadis itu menggeleng. Menunduk untuk menyembunyikan wajahnya yang memerah di balik tirai hitam dari rambutnya sendiri yang tertata indah berkat treatment yang sering ia jalani. Ia mengambil beberapa helai tisu untuk menyeka air matanya yang tak kunjung habis. “Maaf Rei,” ujarnya parau.

Reita hanya mendengus, mengaduk-aduk minumannya yang sudah dingin tanpa minat. Bagaimana bisa memiliki minat untuk makan ataupun minum jika ada orang yang sedang menangis tak karuan di hadapanmu?

“Bagaimana bisa aku mengerti siapa pacarmu itu jika kau terus-terusan menangis?” ia berdecak.

Gadis itu diam, mengelap wajahnya yang basah. “Maaf... aku juga bingung bagaimana menceritakannya, yang pasti ia adalah seorang siswa di Mirai Gakuen.” Ia menarik nafas.
Pemuda itu menatapnya, ‘Itu ‘kan sekolahku...?’

“Mirai Gakuen? Kau yakin ia di sana? Setahuku di sana adalah sekolah untuk orang baik-baik, mana mungkin pacarmu menjadi murid di sana jika memiliki pacar sepertimu,” cemoohnya tajam.

Erina tersenyum samar. “Aku tahu Rei kau membenciku karena kau berpikir aku jalang,” air mata mengalir lagi dan Reita semakin bosan, jijik melihat kepura-puraan dan kelemahan yang berlebihan itu.

“Bukannya kau memang begitu?” gumamnya pelan.

Gadis tersebut menghela nafasnya berat, mendengar omongan Reita sudah cukup membuat hatinya bertambah hancur dan semakin lebur. “Sekali lagi maaf, tapi menurutku pacarku cukup baik, mungkin jika ia berteman denganmu, ia bisa mengajarkanmu cara menjadi lembut kepada orang yang kau sayangi.” Sindirnya sinis dengan senyum tersungging di bibir tipisnya.

“Rupanya kau juga sudah pandai menyindir ya? Pasti pacarmu yang baik itu sudah mengajarkannya caranya padamu di sela ‘aktivitas’ yang menyibukkan kalian.” Cibirnya kalem.

“Maaf.” Jawab Erina singkat dan sedikit congkak.

“Hah... bukan berarti jika keluarga busukku itu berniat menjadikan kita suami-istri; aku mau saja mempertanggungjawabkan apa yang tidak kuperbuat. Aku sudah putus hubungan dengan mereka.” Ia melambaikan tangannya seakan jijik.

Gadis itu tersinggung. “Akira,” ia memanggil nama asli Reita dengan nada mengancam. “Kau sendiri juga melakukannya denganku saat kau masih sering berkeliaran di Shibuya, brengsek.” Ia mencaci Reita, mata mereka bertemu dalam api kemarahan untuk lawan bicaranya.

“Dasar jalang.”

“Oh lihat siapa yang bicara, kau sendiri anak haram.” Baik Reita maupun Erina mengeluarkan aura yang sama.

“Begitu cara bicaramu kepada orang yang kau mintai tolong?” gadis itu memutar bola matanya, sudah muak akan pemuda itu.

“Koleris.” Erina memancarkan aura permusuhan, begitu juga pemuda itu.

“Melankolis.” Balas Reita.

Akhirnya mereka berdua menyudahi pertengkaran dingin mereka sebelum mereka berdua mengambil pisau dapur dan pemecah es di meja sebelah untuk saling menusuk satu sama lain.


To be continued...


A/N: [kipas-kipas] panas yo?

1 komentar: