Jumat, 06 Mei 2011

Beauty in the Shoddiness

Title: Beauty in the Shoddiness
Starring: -OZ- and Exist†Trace
Author: xellonich a.k.a Suzuki Sachino
Pairing: Natsuki x Jyou. Natsuki x Miko (side pairing)
Rating: PG
Genre: drama. slash. angst
Warning: err… angst for everyone?
Disclaimer: They belong to whatever Gods up. Just owned the story line.



~†~†~†~


Wajah itu adalah wajah orang yang selalu aku dambakan.

Memiliki goresan keras, tegas dan tajam sudut matanya tanpa melupakan kelembutan yang terasa saat ia tersenyum. Rambutnya lurus hitam seperti malam yang selalu aku pandangi mencari kerlip cahaya bintang di atas sana. Membentuk gugusan rasi Orion, cluster Virgo dan Andromeda ketika kanvas langit membentang nun jauh di sana.

Berganti-ganti layaknya kau yang berganti-ganti dengan banyaknya ‘penghias’ alias teman tak menentu di sisimu. Yang terkadang hanya ingin mendompleng popularitas oleh karenamu.

Aku seringkali mencuri lihat kepadamu ketika kau lewat di depan kelasku, ketika kau sebenarnya tak pernah benar-benar sadar bahwa aku diam di ujung kelas. Memandangi kau berjalan, orang-orang di sekelilingmu melihat dan mengerling padamu. Sampai tak bisa ku hitung lagi banyaknya.

Aku tahu, pikiran penuh omong kosong kurangkai untuk sekedar menyapa tak lebih dari ejekan terhadap diriku sendiri. Implikasi akan tindakan bodoh beserta igauan dalam mimpi yang terselip keluar. Sama dengan mempermalukan diri sendiri di hadapan orang sepertimu.

Mungkin kau jadi bintang di ujung sana, dalam kurva engolastik di lintang utara. Aku tak tahu penyebutan namanya dengan benar. Berada di atas horizon berjajar membentuk bintang sirkumpolar. Sampai matahari kembali pada titik paling bawah dari eliptika, pada saat itulah kehadiranmu menghilang dari pandangan.

Angan-angan. Hal paling mudah untuk dibangun dan diwujudkan dalam tidur tak lelap, dijalani tiap malam untuk menjumpa karangan. Mengarsir pertanyaan bodoh, mereka-reka jawaban yang tak kunjung dilontarkan. Melukis dengan jemari-jemari dibalut bumbu-bumbu akan penuhnya mimpi tak sampai.

Pertemuan di mana cahaya bertemu kegelapan syahdu. Menyembunyikan kilau kasat mata dari pesona melalui tangan sang Pencipta.

Itulah kau.

Aku tahu namanya adalah Natsuki.

Aku tahu saat mendapat info dari papan bungkam di pojok belakang sekolah. Kala sepinya koridor tak merintangi langkahku untuk mencari tahu. Terlalu penasaran akan keberadaan bintang bercahaya silau yang mengerlip melesat begitu saja di hadapanku.

Tahulah aku bahwa ia anak kelas 3-2. Kakak kelas yang rupa-rupanya dikenal hampir semua orang di sekolah. Tak terkecuali aku. Dikenal karena tabiatnya buruk namun hebat dalam prestasi di bidang olahraga. Karena bidang akademik agaknya sulit ia kontrol dalam menjelajahi kehidupan damai di sekolah.

Serta-merta ia menarik perhatianku.

Menghela nafas menahan sabar. Siapa pula aku terperancah dalam pusatnya? Senandika palsu dicipta. Aku bebas. Karena kau tak tahu aku yang mengarang senandika dalam senandung-senandung lagu lama. Ah, terlalu berpuitis agaknya bukan asal diriku untuk menampak diri.

Ditilik senarai setengah hati yang kusalin dari nyatanya wujudmu. Tempat di mana lakuku dan lakumu aku arahkan sendiri. Pepesan kosong aku sertakan hanya untuk memuaskan hasrat sendiri.

Itulah diary-ku.

Isinya yang tak pernah aku bagi dengan sesiapa pun. Distikon yang kusanjung-sanjung semua tentangmu. Tertulis jelas di dalam diary-ku.

“Jyou!”

Aku tergeragap sebab sensei menatapku tajam. Apa yang ingin ia tanyakan padaku?

“Saya harap sepulang sekolah nanti kau berkenan menghadap saya di ruang guru.”

Mengangguk patuh. Percuma jika aku membantah. Karena jelas-jelas aku tidak fokus pada pelajaran di depan. Aku juga agak lupa dengan siapa kini yang mengajar di muka kelas. Guru Matematika kah? Atau guru Kimia?

Tak terlalu peduli. Lagipula dia sekarang telah beranjak pergi saat bel istirahat berkumandang. Mengundang para murid memekik kegirangan dan bubar dari kelas dengan cepat.

Mengedarkan pandangan ke luar dan aku melihatnya.

Ia bersama dengan siswi yang bertubuh semampai dengan wajah cantik dan sempurna, Miko.

Ia adalah siswa kelas satu yang masuk dalam lingkaran dalam distansi tak nyaman.

Bersanding indah dengan empunya ketampanan di area sekolah.

Aku cemburu.

Cemburu ketika tiap kali aku harus menemukan diriku terpencil. Mengamati dari jauh sang bintang layaknya astronom dengan teropongnya. Mengamati peristiwa pada tingkatan atomic dan partikel-partikel elementer sampai pada skalanya yang paling besar.

Yang kusebut sebagai peristiwa pada tingkat atomik contohnya saat aku pergi ke kantin ingin membeli jus jeruk dan sandwich. Mataku tak sengaja menangkap sosok Natsuki di sudut bersama kelompok kecilnya. Tentu saja kelompok kecilnya itu terdiri dari orang-orang susah. Bukan susah seperti apa yang kau kira, tapi susah dalam menghabiskan uang. Dari sana aku bisa mengamati ke mana tatapan Natsuki menjurus. Aku tahu kepada siapa ia menatap.

Ya, mudah sekali untuk ditebak. Natsuki memandang kepada barisan anak kelas satu yang masih menyebar. Tepatnya kepada anak kelas satu yang cukup mencolok, Miko. Pada saat itulah aku harus menelan sendiri rasa cemburuku, membungkam mulutku sendiri untuk tidak berteriak padanya.

Lalu yang kusebut skala paling besar adalah peristiwa paling menggemparkan seantero sekolah. Natsuki mengumumkan bahwa ia resmi menjadi kekasih Miko. Sontak semua orang terkejut namun mereda. Mereka tahu bahwa percuma saja iri, merong-rong Miko sebagai anak baru itu. Karena di mata mereka, Natsuki dan Miko adalah pasangan serasi.

Tapi tidak menurutku. Hanya akulah yang pantas menjadi kekasih Natsuki, dan bukan Miko atau siapa pun. Hanya aku.

….dan jika aku tidak bisa mendapatkan Natsuki, maka aku hanya perlu menyingkirkan Miko. Membuat anak yang baru saja tahu dunia sekolah menengah atas adalah kejam, mengajarnya untuk tidak bersikap sok baik padaku saat aku tertangkap basah mencuri lihat pada kekasihnya. Oke, aku ralat. Pada orang yang harusnya menjadi kekasihku tapi telah ia rebut seenaknya.

Dasar tidak tahu diri!

Jika aku umpamakan dengan benda-benda langit, obyek-obyek dalam paradigma para ilmuwan dan astronom yang tak kunjung bosan bersua dengan langit di atas sana, mungkin bisa dikatakan antara asteroid, komet dan bintang.

Miko adalah asteroid berkumpar dalam distansi bintang, yaitu Natsuki dan aku adalah komet. Kadang datang dan pergi tertatih melintasi angkasa untuk menggapai sang bintang. Aku mengembara, inkonfeso.

~†~†~†~

Aneh.

Aku melihat distingsi akan hawa di sekelilingku saat bertatap dengannya. Ketika aku bersama Miko. Ketika aku mengerling padanya. Yang Miko tak tahu, aku selalu merasa bingung dengan gadis itu.

Rambutnya sewarna kayu keemasan namun berkilap indah, wajahnya seperti polesan di atas kesuraman. Aku sering melihat ia menatap kosong kepadaku dan Miko. Siapa dia?

Aku akhirnya menemukan jika nama gadis penyendiri itu adalah Jyou.

Aku sering melihatnya membeli jus jeruk di konter sebelum akhirnya duduk di ujung kantin dekat jendela dan termangu sendirian. Kadang aku melihat pula jika Miko balas menatapnya sementara aku menutupi wajahku dengan tangan. Dari celah jemari aku balas memandangnya. Entahlah.

Aku sendiri merasa takut.

Bukannya aku takut dengan keberadaan dia yang nyatanya inheren dengan keberadaanku. Aku baru sadar ketika Miko menyemangatiku dalam pertandingan bola basket yang memacu semangatku, aku melihat ia di balik pepohonan di sudut lapangan. Tak bisa kupungkiri jika aku juga terpacu karena kedatangannya. Hal itulah yang bisa membuatku menang telak, bukan, maksudku adalah timku. Baik Miko maupun dia bagai penyemangatku.

Aku jadi semakin tertarik dengannya.

Lalu aku ingat, aku masih punya Miko. Miko yang manis. Miko yang cantik dan kadang manja kepadaku. Aku yang bahkan seperti tak bisa menolak permintaan-permintaan kecilnya hanya untuk sekedar membalas pelukannya atau mencium keningnya dengan sayang.

Tapi aku tahu. Hatiku telah mengkhianati Miko begitu jauh.

Aku menemukan kenyataan pahit atas bohongnya diriku.

Atasnya penyangkalan tak berguna itu.

Aku tersadar, bahwa kau mencoba menyembunyikan dirimu di balik nafas putihmu terpantul di udara. Rasa-rasanya aku melihat kau seakan mencoba memanggilku dengan suara yang tak pernah bisa aku dengar. Rasa-rasanya aku mengerti bahwa kau menyukaiku. Terlalu menyukaiku hingga tak pernah bisa diungkapkan sejak lama. Kau menyimpan semuanya sendiri.

Aku tak sengaja melihat hal itu.

Kakiku melangkah seperti bukan aku yang pegang kendali. Menjauh dari sisi Miko dan menengok ke halaman belakang sekolah. Di sana entah mengapa aku memasuki tempat lonceng tua yang terkenal suram dan angker di belakang sekolah. Dulu katanya lonceng itu adalah lonceng sekolah lama yang berbunyi menandakan bel pulang, bel masuk atau bel pergantian pelajaran dan bel istirahat.

Tapi tragedi sembilan tahun lalu membuat lonceng itu tidak pernah dipakai lagi. Konon katanya pernah ada peristiwa gantung diri dengan mengikatkan leher pada tali lonceng hingga lonceng berdentang tidak sesuai dengan waktunya. Seorang siswa bunuh diri.

Sekarang tangga-tangganya dari besi karatan yang dibawahnya dilas dengan cermat. Semakin menambah kesuraman dan kengerian dengan banyaknya kelelawar yang menggelantung di sela-sela bagian jendela yang tertutup.

Dari atas tempat lonceng bergantung, aku mendengar suara tangis tercekat. Membuatku merinding hingga sekujur tubuhku ikut bereaksi terhadap suara itu. Tangisan sakit dan minta tolong.

Aku menemukan kepingan aneh dari rasa yang belum bisa kutemukan pada Miko. Perasaan membuncah yang nyatanya sakit dan pedih.

Aku melihat Jyou duduk di sudut seraya menelungkup di lututnya. Tubuhnya bergetar begitu hebat selagi rambut penjangnya menutupi wajahnya yang memerah. Aku juga melihat sebuah buku tebal terbuka di kakinya. Aku sekedar menebak itu adalah buku diary.

Aku tak tahu pastinya, tapi perasaanku terlalu kuat saat melihatnya menangis. Terenyuh melihat sosoknya yang tertawa dalam tangis kecemburuan. Gadis itu...

Cemburu? Aku yakin begitu.

Karena aku selalu melihat dia memandang Miko dengan tatapan tak suka. Tatapan seakan ingin menyingkirkan Miko, kekasihku yang aku sayangi dan aku banggakan. Aku tak tahu, yang pasti ia seperti magnet yang membuatku tertarik padanya dengan cara yang tak lazim.

Aku melihat ia meremas-remas sebuah kantung hitam.

Aku tak tahu apa itu, tapi sepertinya itu sebuah benda metal dan agak berat. Karena ketika ia memutar-mutarnya ia mendentingkannya ke lonceng besi sehingga berdentang nyaring. Terlalu menyakitkan untuk aku dengar.

Aku menaikkan tubuhku sedikit lagi tapi tetap tak bisa terlihat. Dari sudut sini aku tak tahu benda apa yang ia bawa, tertutup oleh kakinya yang diselubungi kaus kaki hitam sampai setengah paha.

“Aku tak akan membiarkanmu!” ia berseru mengagetkanku dan beranjak turun dari sini dengan menggunakan tangga tempatku berpijak.

Buru-buru aku menarik tubuhku dan berjongkok di celah jendela dengan korden berwarna abu-abu di sebelahku. Menahan nafas saat ia pergi melewatiku. Langkahnya menggema sendiri dengan tegas di ruangan tinggi ini.

Aku tahu ia sudah pergi. Kini saatnya aku keluar dari tempatku bersembunyi.

Aku berjalan ke arah tempat gadis penyendiri tadi duduk dan menangis sesenggukan.

Buku yang ternyata memang buku diary. Sampulnya berwarna merah tua dengan ukir-ukiran berwarna hitam yang unik. Aku menjadi sangat penasaran akan buku yang merupakan bagian dari dirinya.

Di sana aku menemukan kenyataan yang membuatku terperangah, membuatku merasa sangat bersalah.


28 Februari

Aku tak sengaja melihatnya.
Inkompabilitas atas pesona hebatnya.
Menyanjung sungguh aku ingin memuja.
Tapi apa daya ia tak terkira.

Agaknya ia arogan.
Membuatku tersedu-sedan.
Menanti sebuah kesempatan.
Padahal asa dan nyata tak serupa dalam buritan.

Berjibaku dalam rasa terpendam.
Menghisap-hisap hingga adanya asam.
Berakhir sempurna saat ia berdentam.
Menampakkan mata indah laksana pualam.


Aku mengernyit sebentar. Membolak-balik halaman secara acak hingga menemukan halaman lain.

19 Juni

Wajah itu kembali terbayang.
Susah rasanya untuk aku biarkan hilang.
Ketika ia bersinar laksana bintang.
Temaram malam kini benderang.

Lagi langit lagi pun mendung.
Inikah yang tak bisa kubendung?
Menyeretku kembali pundung.
Tafsirkan getar yang tiada ujung.

Apakah yang kucari?
Dari sosok mempesona di kemudian hari.
Berpijar dalam hati.
Ia yang membuatku tak bisa menepi.


Puisi tiga bait ini adalah gambaran perasaannya yang begitu dalam.

Tapi pada siapa? Apa benar ini untukku? Apa benar ini ditujukan padaku?

Tanganku semakin liar membuka dan membaca.


3 Oktober


Aku tercekat melihat tanggal itu. Itu adalah tanggal di mana aku dan Miko resmi berpacaran, apa yang ia tulis? Mataku membaca secara cepat isi dari halaman itu.


Sang bintang tak pernah mau berpaling darinya.
Padahal aku mencoba mengusir sindresna.
Saat aku melihatnya adalah astreoid dalam siksa.
Asteroid kecil bagai penggoda.

Berdiam dalam pendar.
Bias cahaya melebihi yang terbakar.
Kapan ia mau sadar?
Aku benci ketika kabarnya tersiar.


Apa?

Sekarang aku membuka halaman terakhir yang paling baru.

Belum sempat membacanya tapi suara jeritan ramai dari gedung sekolah membuatku bingung. Ada apa?

Ku bawa langkahku berlari menuruni tangga sambil menenteng buku diary Jyou erat-erat. Hampir saja aku terpeleset di kebun habis terkena air segar dari penyiram tanaman otomatis. Menyeimbangkan tubuh dan meluncur ke dalam meski celana panjangku terciprat lumpur di dekat pintu belakang.

Aku tak menghentikan langkahku dan menabrak seorang siswi.

“Maaf, maaf,” aku mengumpulkan buku-buku miliknya secara sembarang dan menuju kelas Saga di lantai satu. Karena kulihat banyak siswa berlari mendatangi arah kelas anak satu, tapi ternyata tidak, mereka berbelok ke arah kantin yang ada di sebelah barisan kelas satu.

Aku menambah kecepatan dan terperangah.

Di tengah-tengah kantin tak ada siapa pun lagi selain Miko yang menjadi pusat perhatian dan kekhawatiran, juga Jyou.

Akhirnya aku tahu apa yang ada di dalam kantung hitamnya. Sebilah pisau panjang.

~†~†~†~

Semua pikiran tumpul tertawa keras
Dengan suara yang sama seperti sebelumnya

“JYOU!” pemuda jangkung itu berteriak menggelegar.

Semua mata memandangnya.

Mata penuh prihatin, ketakutkan, keterkejutan dan apalagi yang bisa disebutkan menatapnya.

Jyou berhenti menodongkan pisaunya kepada Miko. Matanya berkilat marah sekali. Natsuki tahu apa arti kilat menakutkan di mata Jyou, arti dari wajah penuh amarah dan dendam. “Jyou, hentikan semuanya.” Titah pemuda tersebut sembari maju perlahan kepada Jyou.

Jyou tertawa kejam. Wajahnya tidak seperti yang sebelumnya Natsuki pernah lihat. “Apa? Kau bilang berhenti? Tahu apa kau??!” lengkingnya emosi. Miko mematung di hadapan Jyou ketika ujung pisau itu menggores sedikit leher jenjangnya yang mulus.

Gadis itu mengerang pelan, darah menetes mewarnai kerah kemejanya selagi Jyou memutar ke belakang tubuhnya, menempatkan pisau di lehernya. Natsuki maju dan orang di sekitar mereka memekik ketakutan. “Diam!” ia berteriak kepada pemuda itu dan seluruh orang di ruangan besar itu.

Hening seketika dan Jyou menatap Natsuki kembali dengan tatapan sedih.

Cahaya kembali menyinari kota.
Kau meraih suaramu,
dan meneriakkan eksistensimu
Ke langit luas.

“Aku tahu,” seru Natsuki kepada Jyou, di tangannya Miko berusaha bernafas dengan baik dan memandang kekasihnya. Matanya berair. “Aku tahu kenapa kau seperti ini,” imbuhnya lagi, langkahnya tetap berusaha mencapai tempat Jyou berdiri.

Pemuda itu melihat langkah Natsuki dan ia mundur menendang kursi ke sampingnya. Kerumunan orang di sekeliling mereka menahan nafas melihat drama di depan mata mereka. “Memangnya tahu apa kau tentang aku?” jeritnya kasar, kentara sekali ia berusaha menahan tangis.

Natsuki menarik nafas, menentramkan hatinya. “Kau menyukaiku ‘kan?” tanya pemuda tersebur seraya menunjukkan buku diary yang ia bawa.

Wajah Jyou yang tadinya dingin berubah menjadi pucat sesaat.

Aku masih tidak bisa berpikir
mereka dapat mengetahui senyummu,
karena mereka takut akan cahaya indah
milikmu seorang

Miko tersengal dengan cekikan Jyou dan tudingan pisau yang siap dikalungkan di lehernya. Begitu dekat dan mengancam.

“Lancang sekali kau membaca buku diary-ku!” serunya semakin marah dan kembali menggores leher gadis malang yang ada di cengkramannya hingga sesak dan sulit mengambil nafas.

Buku diary berwarna merah tua itu Natsuki angkat setinggi dadanya dan ia buka. Baik Jyou, Miko dan semua orang di ruangan besar itu diam lagi. Hanya sengal nafas Miko sesekali muncul.

Tetaplah bernafas…
Tetaplah bernafas…
Tetaplah bernafas…

Natsuki menggeleng lemah, “Maaf, aku minta maaf Jyou…”

Katakan… suara yang hadir di sisimu.

Jyou membalas tatapan prihatin Natsuki dengan nyalang. “Apa maksudmu, Natsuki?” ia bertanya, lehernya terasa sakit karena menahan air mata yang siap jatuh untuk kesejuta kalinya. Ia hampir tersedak oleh karena banyaknya perasaan yang ia tampung, yang ia sembunyi dalam waktu lama.

“Maafkan aku karena tak pernah membalas perasaanmu lebih awal.” Natsuki menunduk sedih kepada tulisan-tulisan dari tinta kebencian juga perih di atas kertas putih. Semua perasaan sakit hati, cinta, benci, cemburu, iri, segala macam larut dalam tulisan tangannya yang ramping dan tergesa.

Natsuki bisa melihat tetes-tetes air mata yang terkadang membuyarkan suatu kata di lembar demi lembar dari buku diary itu. Hatinya ngilu membayangkan apa yang selalu Jyou rasakan saat melihat ia dan Miko bersama sejak enam bulan silam.

Pasti telah banyak rasa sakit hati dan putus asa yang tidak sengaja ia torehkan pada Jyou. Pasti telah banyak air mata yang jatuh dan jeritan yang ia keluarkan dari hati yang terluka begitu dalam.

Aku tahu betapa sakitnya hidup bisa terjadi.
Bagaimana mudahnya tubuh ini untuk terluka.

Miko menangis tanpa suara. Mereguk udara banyak-banyak sebelum pisau itu melayang-layang lagi bertengger di dekat pita suaranya. Matanya sakit. Hatinya lebih sakit lagi setelah Natsuki membuka mulut dan memberikan pengakuan tak terduga kepada semua orang yang hadir sebagai saksi.

Pemuda itu menunduk memandangi tulisan tangan Jyou yang ditekankan begitu nyata hingga hampir tembus ke halaman selanjutnya. Juga kala di halaman paling belakang ia memandang nanar pada tulisan namanya.

Natsuki.

Ditulis dengan darah yang telah menghitam, berwarna coklat tua.

“Aku…” Natsuki menatap wajah Miko yang pucat dan wajah Jyou yang kini terlihat penuh luapan emosi. “…aku juga mencintaimu,” ucapnya lirih namun terdengar cukup jelas di tengah senyapnya kerumunan orang yang penasaran.

Miko, pemuda merasakan tubuhnya melemas. Menahan tangis yang membanjir bersama aliran darah segar dari lehernya. Jadi selama ini apa artinya ia di hati Natsuki? Apa artinya semua perhatian dan kata-kata manis dari bibir pemuda jangkung itu? Apa gunanya ia telah tersipu dan tertawa dan merasa berdebar tiap kali pemuda jangkung itu ada di dekatnya?

Nyatanya itu semua omong kosong belaka.

Sekarang Miko merasa seperti seorang Rosaline. Rosaline merupakan gadis yang pernah ada di hati Romeo dalam karya Shakespeare yang terkenal ke seluruh dunia. Ya, jika orang tak mengetahui lebih dalam tentang pribadi dan kehidupan awal Romeo sebelum bertemu dengan Juliette, mereka tak akan pernah tahu siapa itu Rosaline.

Semua orang kenal Romeo. Semua orang pasti juga kenal Juliette. Tapi semua orang belum tentu kenal Rosaline. Karena Rosaline adalah masa lalu dari Romeo. Masa lalu yang bahkan tak dijelaskan secara terperinci oleh Shakespeare akan kehidupannya di Verona. Gadis yang pertama kali membuat sang Romeo jatuh cinta.

Tapi kita tahu. Tentu saja, bahwa Rosaline tidak disebutkan dalam cerita Romeo and Juliette. Jika hubungannya diperjelas dan Romeo memilih Rosaline menjadi pasangan sehidup sematinya, tak akan ada yang namanya Romeo and Juliette.

Rosaline tetaplah Rosaline. Gadis yang ditinggalkan Romeo karena pemuda tersebut tertarik dengan pesona seorang Juliette. Melupakan Rosaline terpuruk sendirian sementara  Romeo merajut kisah cinta indah dengan sang Juliette.

‘Tidak adil!’ jerit gadis berambut hitam itu dalam hati. Ia mengisak keras-keras, tak peduli lagi dengan pisau yang menekannya di leher. Membuat darahnya terus menetes.

“Kenapa?” tanya Jyou itu getir. “Kenapa kau terlambat?!”

Kau menangis sendirian
Meski kau mencoba untuk melawannya
Cahaya kembali menyinari kota

Natsuki melangkah maju dan Jyou membanting tubuh lemas Miko ke atas lantai. “Maafkan aku Jyou…” tangannya mengusap rambut Jyou yang sewarna kayu keemasan, indah dan lembut sekali. Mereka berdua berpelukan di tengah ruang kantin yang luas.

Tangisan bahagia Jyou mengalir deras dalam pelukan hangat Natsui, pemuda yang selama ini ia sukai secara diam-diam. Massa di sekeliling mereka menahan nafas, terkesiap melihat adegan tak terduga itu. “Aku juga mencintaimu, Jyou… jangan menangis lagi.” Rayunya lembut menghirup wangi segar dari tubuh Jyou, mendekapnya seakan tak ingin melepaskannya. Tak akan pernah…

Kini giliran tubuh Miko yang gemetar dan dingin merayapinya.

Nafas putih yang kau hirup
Menutupi limpahan cahaya yang mengisi mataku

Pisau yang Jyou lempar bersebelahan dengan kakinya. Pisau panjang berkilau memantulkan bayangan dirinya. Miko yang cantik. Miko yang manis. Tapi kini semua berbeda.

Miko yang marah. Miko yang merasa dihina. Miko yang penuh emosi dan Miko yang siap mengembalikan martabatnya.

Suara yang aku tunggu sejak lama
Tempat yang aku ingini sejak dulu
Nafas ini sekarang ada di sini

“Jika kalian ingin begitu…” ucap gadis yang tersakiti itu dalam getar amarah. Ia naik pitam dan sangat sangat marah pada kedua orang itu. Berani-beraninya mereka mempermalukan ia di depan umum. Membuangnya begitu saja.

Miko menggertakkan gigi dengan kejam, “Akan kubuat kalian berdua bahagia.”

Kata-kata yang disitir dalam belenggu arogansi larut dalam amarah dan sakit hati. Kadua orang yang tengah berpelukan tersebut berbalik badan, menoleh pada Miko yang siap dengan pisaunya. Darah menetes-netes dari lehernya.

Aku meraih suaraku yang pernah hilang

“NATSUKI!!!” pekik Jyou dan semua orang yang ada di ruangan itu.

Pisau panjang milik Jyou yang berada dalam genggaman Miko telah menusuk tepat di ulu hati Natsuki. Mata hijau Miko memandang Jyou penuh ancaman, menghentikan langkah gadis itu untuk melihat kepada wajahnya yang tak bisa dibaca.

Jemari ramping Miko menarik gagang pisau itu dari tubuh Natsuki. Membalas Jyou dengan senyum malaikatnya yang selalu menawan. Ia memutar gagang pisaunya sebentar.

JLEB.

Miko menghujamkan pisau itu kepada jasad Natsuki yang sekarat. Menikam jantung, menikam rusuknya, menikam bagaian manapun yang dulu selalu melindunginya.

Ruangan penuh suara pekik dan jeritan histeris.

Gadis tersebut tak berhenti sampai di situ. Sekarang giliran dia yang menodongkan pisaunya kepada Jyou, memandangnya penuh kebencian. Memandangnya begitu rupa dengan aura membunuh pekat. Gelap sekali aura ‘sang malaikat’ bernama Miko saat ini. Miko tersenyum, tersenyum murka pada Jyou yang menangis. Padahal air mata Miko juga merebak dan membanjir jatuh kepada Natsuki yang merenggang nyawa di bawah lututnya.

Membasahi dadaku dengan air matamu
Dan membiarkan semuanya itu di sini
Di dalam diriku

Tikaman selanjutnya ia timpakan pada Jyou. Pada leher Jyou yang segera memotong jalannya nafas tercekat miliknya. Membuat suaranya hilang dalam sekejap.

Miko menangis. Ia menangis dalam senyumnya sementara ia menghujani Jyou dengan tikaman-tikaman. Tertawa-tawa kesetanan sementara tangannya sibuk mencacah daging segar di bawahnya. Membelah rusuk Jyou dan mencampakkan tubuh yang tergolek lemas itu di sebelah Natsuki.

“Inilah…” desis Miko.

“Teman-teman… inilah Romeo dan Juliette yang sebenarnya! Mati karena mereka saling mencintai! Namun dilarang… dilarang oleh identitas mereka sebagai ‘apa’ di sekolah ini!”

Miko tertawa-tawa melengking melihat ambruknya tubuh gadis yang ia benci secara diam-diam.

DORR!

Timah panas bersarang di paha Miko.

DORR!

Kini timah panas menusuk jantungnya. Membakarnya dalam sekejap. Membuatnya terengah dan menyambangi pintu kematian.

Orang-orang berseragam khusus memasuki ruangan. Senjata terkokang dan masker terpasang menutupi wajahnya. Seakan menghadapi pembuat ulah yang tak lain adalah gadis SMU tersebut sebagai bahaya yang tak bisa dilumpuhkan begitu saja.

Gadis ramping itu jatuh berlutut memegangi dada di mata jantungnya hampir berhenti berdetak. Ia menangis sesenggukan di samping Natsuki. Menatap kepada Jyou yang matanya telah nyalang menatap langit-langit.

DORR!

Miko terjerembap. Jatuh di samping tubuh Natsuki. Bersanding dengan ketampanan dari kekasihnya dan keanggunan Jyou yang menjadi tokoh utama dalam cerita.

Karena ia adalah Rosaline.

Yang dilupakan Romeo, begitu ia membuka mata. Menemukan pesona lain dalam wujud Juliette. Mencintai Juliette dan meninggalkan Rosaline.

Untuk selama-lamanya…

Karena aku sadar,
aku telah sepantasnya menjadi alasan…
Untukmu agar tetap hidup.

Natsuki menghembuskan nafas terakhirnya. Sementara itu Jyou telah berada di alam lain lebih dulu, menggenggam erat tangan pemuda tampan tersebut seakan ingin mengajaknya pergi bersama.

Miko tersisih, kepalanya terletak jauh dari kepala Natsuki, tidak seperti Jyou dan pemuda berlabel kekasihnya itu yang posisinya seperti orang ingin berciuman. Miko mengepalkan salah satu tangannya. Tangan lain yang berlumuran darah merayap pelan, menyentuh jari Natsuki sebagai sang Romeo.

…dan Rosaline tak akan pernah bertemu Romeo.

Karena yang ada hanyalah Romeo and Juliette…

…bukan Romeo and Rosaline…

Maka aku menyanyikan nada-nada dengan seluruh hatiku
Aku akan menyanyikan ini satu kali saja
Sepenuh hatiku… hanya untukmu…




~FIN~


1 komentar:

  1. hweee....
    ceritanya dalem banget. kudu mikir dua kali nih,^^
    sedih banget TAT

    BalasHapus