Minggu, 12 Mei 2013

Fanfic: NUMB – Replay at the time (Sequel of NOSY – One(long)-shot / part c)

NUMB – Replay at the time
(Sequel of NOSY – One(long)-shot / part c)

Starring: ScReW, the GazettE, 12012
Author:Suzuki Sachino
Genre: drama, fantasy, crack, slash.
Rating: PG – 13
Pairing: Wataru x Ruki x Byou.
Warning: silly Uruha. None.
Disclaimer: They have their own life without any relation between three of them but musicians bussines partnership. I’m only owned the story line so please do not copy my style!
Summary: Dia memang seharusnya tak boleh hidup kan? Lalu kenapa harus dipaksakan?




Lagi-lagi bunyi aneh itu terdengar. Dentang aneh dari jam tua dengan ukuran sangat besar bersahut-sahutan dengan detak dari ribuan jam lain dalam rumah itu. Bunyi  derit aneh menggema dan mewarnai malam pekat bersamaan dengan tangisnya. Menjerit, melengking sungguh sangat menyiksa.

Bunyi detak jam semakin cepat dan menggila, membayangi tiap langkah dan kilasan-kilasan ganjil dari berbagai wajah tangis seorang wanita. Tiap pintu maupun lorong yang ia masuki, yang ia lalui selalu saja berujung sama. Buntu.

Ke mana pun ia menoleh yang ada hanyalah bayangan wajah wanita tersebut. Bayangan yang menangis meneriakkan kebencian dan melantunkan nada sakit hati. Ia mempercepat langkahnya dan menghapus keringat yang mulai menetes. Ia semakin cepat berjalan dan mulai berlari, mencari lorong lain yang bisa membawanya keluar dari tempat aneh itu.

Detak jam membuntutinya ke mana pun ia pergi. Ke mana pun ia berusaha menghindar, dentang itu seakan menghantuinya. Bersamaan dengan larutnya lengkingan wanita itu. Bersamaan dengan wajah itu.

Ia takut. Ia sangat tak tahan untuk ada di sini. Ia panik dan sangat bingung. Rasanya lorong-lorong itulah yang menyesatkannya berulang kali. Tak ada jalan untuknya. Tak ada sampai ia berhasil menemukan sebuah jendela terbuka lebar dengan tirai transparan berkibar, dan ia melompat keluar, entah apa yang menyambutnya.

Wajah wanita itu terbayang, menunggunya di bawah jendela, tepat di antara batu-batu nisan yang patah. Matanya yang menusuk, mantelnya yang merah panjang sewarna darah berkibar menjadi satu-satunya warna di tengah pemakaman kusam dan terlupakan.

Ia ingin menghentikan laju lompatannya. Tapi tak bisa, dan ia terus jatuh.

Matanya menyoroti ke mana ia akan jatuh dan yang ia lihat, di sebelah kaki wanita itu sudah ada kuburan yang menganga dengan peti tanpa tutup di dalamnya, menunggunya untuk memasukinya. Matanya membelalak, gelombang takut semakin besar melandanya. Ia melihat ada tutup peti mati di kaki wanita itu.

Tanah menyambutnya. Senyum wanita itu menyambutnya. Dentang jam menghantui. Gumpalan tanah jatuh menimpa tubuhnya. Wanita itu tersenyum lebar. Rambut pirang panjangnya terurai lembut. Mantel merahnya menyapu tanah kuburan.

“Selamat tidur, sayang…” desisnya tetap memasang senyum memesona sekaligus mengerikan lalu menutup peti itu dengan debam keras.

Byou terbangun.

Jantungnya berdegup sangat cepat dan nafasnya memburu.

Entah mimpi apa tadi yang menghampirinya. Seakan mimpi itu menyuruhnya untuk tetap menutup mata dan menikmati setiap sensasinya. Sensasi kematian yang menyambutnya.

Keringat dingin menetes di tengkuknya begitu pula kaus dan bantalnya yang basah. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, mendapati tak ada apa pun selain dirinya. Duduk dengan galau.

“Cuma mimpi ya?” ia tersenyum sendiri, menepuk dahinya yang basah.

~†~†~†~

Pagi itu wajah Byou kuyu dan pucat. Ia duduk di meja makan dengan wajah menelungkup di atasnya. Pening melandanya sejak tadi malam.

Mimpi itu sama dengan mimpi-mimpinya sejak bertahun-tahun lalu. Tapi terakhir kali ia mendapat mimpi itu, ia belum sempat melompat keluar jendela melainkan membuka sebuah pintu hitam dan wanita itu datang dengan tangan terulur untuk mencekiknya sambil mengucapkan kata yang sama sejak dulu.

“Selamat tidur, sayang…” diiringi seulas senyuman.

Di saat itulah, ia terbangun.

Berarti dengan mimpi tadi malam, sudah ketiga belas kali ia mendapat mimpi itu. Mimpi yang ia mulai dapati sejak entah kapan. Yang pasti tiap tahun ia pasti akan mendapati mimpi itu dan biasanya mimpi itu datang mendekati pergantian tahun.

Aneh. Sangat aneh.

“Selamat pagi, Byou,” suara Ruki menyapanya, adiknya itu hanya berdeham menjawabnya.

Ruki hanya diam dan berlalu, menyiapkan sarapan untuk mereka semua di dapur. Pikirannya melayang ke seminggu yang lalu. Ia termangu mengingat tiap perkataan Uruha. Hal yang sulit ia terima, bahwa ia sebenarnya anak di luar jalinan pernikahan resmi. Ia hanya sanggup diam mendengar semuanya dan Wataru duduk di sebelahnya dengan cemas. Berulangkali ia bisa melihat kakak lain ibunya itu mencuri pandang.

Gerakan Byou di atas meja mengalihkan perhatiannya. Air mengalir dari gelas yang ditepak Byou secara tak sengaja. Membasahi wajah anak itu.

“Uah!” ia terkaget dan bangun. Ruki memandang Byou bingung dan Byou balas menatapnya. Di mata Byou samar-samar ia melihat wajah wanita bermantel merah dalam mimpinya berwujud Ruki.

“Jangan mendekat!” hardiknya pada Ruki seraya melompat dari kursi.

Wajah Ruki bertambah bingung dan Byou mundur semakin jauh sampai menabrak dinding. Pigura di belakangnya bergetar.

Ruki maju dan bertanya lagi, “Byou, kau kenapa?”

Byou mengerjap dan memfokuskan indra penglihatannya pada wajah Ruki. Ia menghembuskan nafas lega, rupanya ia telah salah melihat. “Tidak… tidak apa-apa Ru.” Ia memijat-mijat dahinya dan Ruki hanya diam kemudian berbalik badan perlahan.

Pemuda tanggung itu diam menempel di dinding, mengerling kepada tubuh kakaknya. Ia bersumpah bahwa gambaran wajah wanita itu sangat jelas dan setelah ia renungkan lagi, ia memang mendapati kemiripan itu. Ia duduk kembali dan terhenyak. Kenapa ia baru sadar? Kenapa tidak dari dulu?

Byou mengacak rambutnya. Mata itu memang sama. Coklat hazel yang menghujam. Rambut pirangnya memang tidak terlalu mirip karena rambut Ruki tidak sampai sepucat itu. Tapi wajahnya memang terlalu familiar.

Ia menoleh kepada punggung Ruki yang bergerak pelan. Mungkinkah itu? Pikirnya penuh sangsi. Ia mengulang selintas wajah itu.

~†~†~†~

Wataru berlari melintasi waktu dan menembusnya menuju akhir Januari enam belas tahun lebih yang telah berlalu. Ia berjalan dan menemukan wanita itu pingsan di tengah jalan, persis di mana terakhir kali Ruki melihatnya sebelum ikut pingsan. Wataru berdecak dan bertelut di samping tubuh wanita itu. Mantel merahnya begitu berat terkena basahnya salju cair dan juga lembap.

“Selamat malam Noriko,” bisiknya. Lengannya menyangga tubuh wanita itu, usianya mungkin berkisar dua puluh tahunan, dan perutnya sedang hamil besar. Ia menyesuaikan letak lengannya dan mengangkat tubuh yang mendingin tersebut, ia berusaha berdiri dengan tegak meski sepatunya terbenam ke dalam salju yang licin. Tubuhnya limbung dan ia membuka kakinya lebih lebar untuk menyeimbangkan beban tubuhnya. Wataru mulai melangkah pelan menembus angin dingin, tapi badannya dihalangi oleh dinding tak terlihat.

“Uruha!!!” ia berteriak sekuat-kuatnya. Angin dengan berbagai kabut gradasi ungu menderu kencang dan berpusar di hadapannya.

“Kau memanggilku?” pria itu datang dengan tenang, cangkir berisikan teh sewarna rambut madunya masih ia pegang dan hirup pelan-pelan seakan badai di sekelilingnya tak mengusik gerakannya. “Hmm?” angin mengakibatkan syal hitamnya berkibar hampir menyentuh wajah Wataru.

Melihat itu ekspresi Wataru berubah jadi sangat datar, tangannya sendiri membeku dan kebas menopang tubuh Noriko. “Kau pikir…” ia menunduk saking kesalnya.

“Ya?” teko teh yang muncul dari udara kosong menuangkan isinya ke cangkir Uruha.

Wataru menggeram, “Kau pikir ini acara minum teh apa??!” ia mencecar Uruha yang masih asyik meneguk teh chamomile bercampur tetesan madu kesukaannya.

Pria itu terkekeh pelan, menyunggingkan senyum mengejek untuk wajah jengkel Wataru. “Sebenarnya urusanmu? Atau urusanku sih?” cibirnya sambil melempar cangkir dan teko yang segera menghilang entah ke mana.

Kernyitan di dahi Wataru bertambah. “Lepaskan kekkai waktumu, Uruha,” gemeletuk giginya karena menahan dingin yang semakin ganas. “Kau sengaja menahanku, lepaskan!” teriaknya semakin jengkel melihat pongahnya Uruha.

Uruha tertawa kecil lalu menjentikkan jari ke udara. Sebuah sofa besar berdesing keras di samping Wataru dari arah belakang Uruha. Wajah Wataru memucat dan mulutnya menganga melihat benda besar berwarna coklat itu membentur pohon di ujung saja. Mematahkannya segera menjadi dua. Padahal baru saja sofa itu berdesing mengenai ujung rambutnya. Bagaimana jika sedikit saja sofa itu bergeser dan mengenai dirinya?

“Heheh, salah mantra,” Uruha tertawa bodoh seraya menggaruk-garuk rambut pirang madunya. Wataru meneguk ludahnya, dan Uruha menjentikkan jarinya lagi ke udara.

Tak lama muncul baju zirah besar dan meluncur tepat ke wajah Wataru. Detik berikutnya baju zirah itu menghantam rambu jalan di persimpangan jalan dengan bunyi kelontang. Wataru yang telah bergeser jauh dari tempatnya, yang sudah kepayahan membopong Noriko sekarang melotot kepada Uruha. Pria itu memasang wajah tanpa dosa.

“Sekarang alasan apalagi, hah?” Ia mendelik kesal pada pria itu.

Tapi tak butuh waktu lama untuk Wataru marah karena ketika ia mengerling, ia sudah ada di depan pintu Kanagawa Medical Centre. Uruha di sebelahnya mengedikkan kepala sedikit, “Masuklah, dan jadilah pahlawan, Wataru.” Ia meninju ke udara dan rasanya Wataru ingin tergelak melihatnya namun ia sadar ada dua nyawa yang ia pertaruhkan, sepenuhnya berada di tangannya.

Ia hanya mengangguk dan menerabas masuk. “Tolong! Ada wanita yang ingin melahirkan!” ia berseru. Serentak para medis berlari ke arahnya dengan mendorong ranjang besar. Wataru melepas mantel basah wanita itu dan meletakkan tubuh dalam balutan gaun merah di atas ranjang. Bersama-sama kelompok kecil itu berlari menuju ruang UGD. Uruha hanya tersenyum melihatnya.

“Maaf Raja, saya telah berkhianat.” Uruha berbisik sangat lirih dan jatuh bersujud di depan pintu rumah sakit. Dari atas langit sebuah cahaya terang menyilaukan matanya dan ia menghilang bersamaan dengan hilangnya cahaya itu.

~†~†~†~

Kepala Byou terasa sakit, berdenyut-denyut selagi ia bersandar ke lemari pendingin di café. Meski menjelang tahun baru bukan berarti ia mendapat libur, justru pengunjung semakin berlipat dan kini ada juga yang membawa pasangannya masing-masing. Ia melirik kepada Reita yang sibuk mendengarkan celotehan tiga orang gadis dengan sangat sabar. Ia mengerling kepada Kazuki di sisi lain yang baru saja meletakkan pesanan sepasang kekasih yang kembali mengobrol dengan hangat. Ia melihat sepintas pada Hiroaki yang membawa nampan kosong ke dapur dan Yuuto yang sedang mencuci piring.

Ia menegakkan punggungnya ketika Aoi menepuk kepalanya dengan tangan yang besar. “Berpikir apa kau, bocah?” pria itu bertanya seraya memandang ke depan.

Kali ini pemuda itu tak menyingkirkan tangan Aoi dan hanya mendesah. “Tidak ada kok, om.” Jawabnya setengah hati tanpa bergerak sedikit pun.

Aoi hanya menepuk-nepuk kepala Byou. “Antarkan pesanan itu ke meja tiga belas ya.” Katanya tak memperdulikan pernyataan Byou.

Byou mengangguk patuh dan mengambil nampan itu lalu berjalan pelan menuju meja tiga belas yang agak tersembunyi di sudut. “Ini pesana–” dan Byou merasa mendapat serangan jantung saat bertatapan dengan wajah si pengunjung.

“Selamat malam… sayang?” nadanya tetap sama dengan di mimpinya dari dulu hanya kata-katany yang sedikit berubah. Byou mematung dan tak bisa bergerak saat mata itu menatapnya dengan pandangan tajam.

“Wajahku sekarang mirip siapa ya?” tanya orang itu dengan seringai di wajah cantiknya. Mantel merahnya bahkan mirip sekali.

Wajah Byou linglung, “Anda bukan dia ‘kan?” ia menghembuskan nafas lega saat melihat wanita di depannya menggeleng pelan.

Wanita itu menyingkirkan rambut pirang panjangnya dari bahu, “Terkejut tidak?” pertanyaannya terdengar bodoh, menyebabkan pemuda itu berekspresi sangat datar. Tangan wanita itu menjentik ke udara dan kabut ungu berpendar pelan menyelimuti sosok wanita itu. Byou bingung dan menyipitkan mata. Detik berikutnya pria dengan rambut sewarna madu duduk di hadapannya dan menghirup teh yang disediakan oleh Byou.

Tak ada perubahan yang berarti di wajah datar Byou dan Uruha gemas sendiri karenanya. “Kau terkejut tidak?” ia mengulangi pertanyaannya. Byou terlihat cuek.

“Biasa saja ah.” Ujarnya tak tertarik.

Uruha menatapnya dengan kesal, “Nah ‘kan, kau semakin mirip kakakmu,” imbuhnya sambil mengaduk-aduk toping cranberry di atas cheesecake-nya. “Kau datar dan tidak gampang tertarik. Aku jadi bingung kenapa kau mudah sekali tertarik oleh Ruki,” imbuhnya lagi sambil menuang krim tambahan di atas cheesecake.

Wajah Byou mengeras mendengar nama Ruki disebut-sebut. “Apa yang Anda maksud?”

Uruha hanya mengangkat bahu, “Tidak ada kok.” Mata coklat Byou tak percaya dan menatap Uruha lekat-lekat. “Oh ya, bagaimana jika Ruki tak ada? Siapa yang akan kau sukai, Byou?” pertanyaannya dilontarkan ringan sekali.

Byou mempertajam tatapannya, “Apa maksud Anda?”

Uruha mengangkat bahu untuk kedua kalinya. “Hanya ingin tahu saja.” Ia bisa melihat Byou menganalisa.

“Siapa Anda?”

~†~†~†~

Tak butuh waktu lama saat mereka berempat berkumpul di ruang keluarga rumah keluarga Miyawaki. Uruha duduk santai di tengah mereka bertiga sembari menghirup hangatnya teh. Teko teh yang ia bawa sendiri melayang pelan mengitarinya seperti satelit sebuah planet dalam sistem tata surya. Di seberangnya ada Wataru dengan wajah lelah menatap Uruha, di depannya cangkir teh sudah tersedia. Di kanan dan kiri Uruha ada Ruki dan Byou duduk berhadapan, di depannya juga sudah tersedia cangkir teh masing-masing.

Dengan kekanakan Uruha menyeruput tehnya dengan wafer, melipat kedua kakinya di atas sofa kuning lembut yang empuk. Sementara itu Ruki duduk tak tenang dan Byou melirik kepadanya penuh tanya. Ruki hanya menatap Byou dan menggerakkan bibirnya pelan sekali, Byou tak bisa membaca gerak bibirnya.

“Jadi…” Uruha mulai angkat bicara setelah lima menit membiarkan mereka bertiga berpandang-pandangan dengan gelisah. “…apa kalian semua tahu, bahwa harusnya Ruki tak ada di dunia ini?” tudingnya langsung. Wataru dan Byou serentak memandang Ruki, pemuda mungil itu semakin tak tenang di tempatnya. Ia menunduk dan menggigit-gigit bibirnya.

Wataru membuka mulut namun Byou lebih gesit, “Bisakah Anda langsung ke pokok masalahnya?”

Uruha menoleh, tersenyum dengan ramah. “Wah, kau berani sekali. Langsung ‘kan?”

Prang!

Sebuah pigura di belakang Byou pecah seketika akibat sebuah jarum jam dari besi berukuran besar melesat ke arah wajahnya. Byou tertegun, seberkas rambut coklatnya jatuh ke pangkuannya. Ia tak gemetar namun wajahnya setingkat lebih tinggi gradasi warnanya.

“Itulah akibatnya kalau kau lancang.” Jelas Uruha. Matanya mengeluarkan tatapan membunuh terbaiknya. Byou segera mengatupkan mulut dan memandang lurus-lurus kepada Ruki. Uruha menjetikkan jarinya ke udara lagi, jarum jam besar itu menghilang dari tempatnya tertancap dan juga tempat di mana ia singgah kembali seperti semula. Teko teh yang sedari tadi mengitarinya juga ikut menghilang.

“Jadi menurut Uruha-san, aku tidak boleh lahir ke dunia?” tanya Ruki takut-takut ia memandang Uruha meski hatinya terasa mencelos begitu si pria berambut madu membalas dengan senyuman penuh pengertian dan menggeleng.

“Kau tidak bisa Ruki.” Ia berdiri dan berputar ke belakang pundak Wataru. “Tapi berkat orang ini yang telah menyelamatkan ibumu, kau bisa hidup.” Ia menepuk pundak Wataru pelan, mata hazel Ruki terus membayanginya dan mata coklat Byou menyipit lagi, sepertinya ia sedang memikirkan sesuatu.

“Mengapa harus aku?” tanya Ruki setengah memelas setengah mengharap.

Pria berambut madu itu berpindah ke belakang Ruki, ia bisa melihat bulir air mengambang di pelupuk pemuda itu. “Jangan menangis,” rayunya. Ia mengusap pipi Ruki pelan dan menadahi air mata Ruki dengan sebuah botol kristal kecil. Byou hampir berdiri melihat itu dan Wataru tak bergerak dari tempatnya. “Atau menangislah terus jadi itu bisa membuatmu cepat pergi dari dunia ini.” Imbuhnya santai lalu menutup botol itu dengan sumbatnya.

“Kenapa Anda bicara sembarangan seperti itu?“ nada suara Byou meninggi satu oktaf dan wajahnya jelas-jelas benci kepada Uruha. “Kau juga Wataru-niisan, mengapa kau tidak membela Ruki? Dia adikmu ‘kan?” tudingnya tanpa tedeng aling-aling.

Wataru tetap diam dan nanar.

“Karena yang mulia Raja tidak suka,” sahut Uruha, ia tidak melihat kepada Byou dan malah mengocok botol kristal berisi air mata Ruki pelan. “Beliau tidak suka melihat Wataru seenaknya mengubah takdir. Walau tak disangsikan bahwa aku yang telah membantunya.”

Ruki mendongak dan air mata jatuh kembali di pipinya. “Siapakah yang mulia Raja yang Uruha-san maksud?”

“Ya, Raja.” Ia mendengus pelan lalu kembali ke tempat duduknya.

Byou mengernyit heran, “Raja dari apa?”

Uruha memutar bola matanya, mulai jengkel, “Ya dia adalah Raja yang menguasai aliran waktu.”

“Jadi Anda siapanya Raja?” Byou bersikeras bertanya.

Uruha mendelik kesal, “Kau ini cerewet sekali sih. Tidak bisakah kau menutup mulutmu barang sebentar saja?” mendengar itu Byou diam, masih tak melepaskan kontak matanya. “Aku pemegang kunci gerbang waktu, puas kau?” jelas Uruha setengah hati

Wataru mulai menatap Byou begitu juga Ruki.

“Jadi Anda penting tidak untuk sang Raja?” dengan berani pemuda tanggung itu betanya lagi. “Maksudku, seberapa besar nilai Anda untuk sang Raja?” ia bangkit berdiri menantang Uruha dan pria itu juga ikut berdiri.

“Bocah, tahu apa kau soal waktu?” gertaknya kesal, ia menggamit kerah baju Byou dan menariknya lebih dekat.

Sontak Ruki bangun dan memegangi tangan Uruha. “Uruha-san, saya mohon jangan memukul adik saya!” ia berseru dan Wataru ikut berdiri, menariknya dari belakang ke dalam pelukannya.

“Diamlah Byou!” Wataru setengah berteriak sementara menenangkan Ruki dalam dekapannya.

“Nah, Anda dan yang mulia Raja telah melakukan negosiasi apa? Kalian berdua kenapa harus repot-repot mengurusi kehidupan kakakku? Masih banyak hal lain yang lebih penting dibanding ini.” ia tetap bertanya dengan tengil.

Pria itu melepasnya lalu tertawa terbahak-bahak. Baik Byou, Wataru dan Ruki yang berada dalam pelukan Wataru merasa heran.

“Kau pintar, bocah. Aku akui kau sangat cerdas.” Ia tertawa lalu jatuh terduduk, menghapus air mata yang ada di sudut matanya. “Sejak dua ribu tahun yang lalu, baru kali ini aku menunjukkan emosiku seperti itu. Kau memang hebat, hei bocah.” Ia mengacungkan salah satu ibu jarinya pada Byou.

Byou hanya mendengus dan Wataru hanya diam.

“Aku tahu, kau pasti merasa kesusahan ‘kan karena setiap tahun harus dibayangi mimpi-mimpi yang sama?” Uruha memulai dan menghisap cerutu yang entah datang dari mana. Sedangkan Byou ingin protes tapi Uruha sudah mengoreksi perkataannya sendiri, “Yah memang tak sepenuhnya persis, tapi notabene memiliki kemiripan.”

Byou mengangguk mengiyakan.

“Tiap kali kau bermimpi kau pasti selalu mendengar suara detak dan dentang jam. Kau juga selalu berlari ke sana ke mari untuk mencari jalan keluar ‘kan?” ia menghembuskan asap cerutunya ke arah wajah Byou.

Byou menahan nafas dan mengangguk mengiyakan lagi. Ia berusaha untuk tidak mencium bau cerutu tapi indra penciuman Ruki dan Wataru menangkap aroma lain. Bukan wangi cerutu tapi wangi lemon segar bercampur madu. Aneh, cerutu tak akan pernah berbau harum seperti itu jika disulut.

“Kau mau tahu tidak mengapa wanita itu terus menghantuimu lewat mimpi?” ia mengepulkan asap cerutu tepat ke wajah Byou. Pemuda tanggung tersebut mengangkat bahu. “Wanita dengan mantel merah sewarna darah, berambut pirang panjang dan bermata coklat hazel seperti dia?” ibu jarinya menunjuk kepada Ruki.

“Bagaimana kau bisa tahu?” Byou bertanya dengan sinis.

Uruha menghisap cerutunya lagi, “Bagaimana ya~?” ia menghembuskan asap dengan perlahan.

“Apakah itu ibu?” tanya Ruki ragu-ragu. “Ya… secara teknis, bukankah itu ibu biologisku?” ulangnya lagi. Uruha hanya mengangguk menjawab.

“Itu adalah ibumu yang meninggal saat kau berumur tiga tahun, Ruki.” Jelas orang yang sejak tadi diam, Wataru. “Tepat setelah kau diserahkan kepada keluarga kami.” Ia memperhatikan perubahan wajah Ruki. “Ibumu dan ibu kami membuat perjanjian. Kau akan diserahkan kepada keluarga kami untuk diasuh ibu kami.” Wajahnya sedih menatap Ruki begitu juga Byou sementara Uruha menonton drama di depannya sambil menghisap cerutu dalam-dalam.

“Karena ibu kami tahu bahwa ibumu tak akan mampu membiayaimu, Ruki. Ibumu adalah orang yang sangat kuat.” Wataru mengusap punggung tangan Ruki pelan. “Tapi ibu kami tidak suka karena ibumu telah melahirkan anak sepertimu. Karena ayah kita lebih mencintai ibumu.” Tetes air mata Ruki jatuh lagi.

“Lalu bagaimana wanita itu, maksudku, ibu biologis Ruki meninggal? Apakah karena sakit atau apa?” desak Byou.

“Karena Miyawaki Byou yang menghabisi nyawa Matsumoto Noriko.” Suara Uruha laksana petir yang menggelegar. Ia tersenyum mengejek sementara Wataru melemparkan pandangan membunuh dan Byou terlihat tidak mengerti.

“Apa? Aku hanya bicara tentang kenyataan kok. Bahwa memang Byou yang membuat Noriko meninggal. Meski tak sengaja sih.”

“Waktu itu Noriko pergi ke restoran tempatnya bekerja, dan di toko sebelah ada Miyawaki Megu dan anaknya, Byou ingin membeli sesuatu. Tapi Byou kecil yang memang tidak bisa diam, pergi seenaknya ke dalam restoran tersebut. Di sana ia melihat koleksi jam kuno di dinding dan tanpa sengaja ia menarik-narik dan bergelantungan pada salah satu bandul jam yang sangat besar hingga jam itu berubah posisi. Tanpa dosa ia lalu pergi kembali ke tempat Megu berada.” Ia berhenti sejenak dan mengerling pada Byou.

“Bisa diprediksikan, ketika Noriko lewat di depan jam itu beberapa detik setelah Byou pergi, jam itu benar-benar berubah posisi dan jatuh menimpanya. DUAGH!” Ia berseru menirukan suara jam itu jatuh menimpa Noriko dan tangannya membuat gerakan dari atas ke bawah dengan sangat cepat.

Ia menjentikkan jari biasa saja dan menunjuk kepada tiga bersaudara itu. “…dan Ia tewas seketika.” Uruha menjelaskan dengan enteng sekali.

Ketiga kakak beradik itu terdiam menunduk dalam dan aura kurang bersahabat menyelimuti mereka.

“Itulah alasannya kenapa Noriko selalu menghantuimu.”

Ruki menggigit bibirnya keras-keras hingga amis darah bisa ia cecap dan Wataru mecengkram pinggiran sofa kuat-kuat, wajahnya masih tidak berekspresi. Di seberang mereka Byou diam dan menatap lantai di bawahnya.

“Ironis bukan? Sang kakak berusaha menolong wanita itu namun adiknya yang membunuhnya, padanan yang sangat hebat.” Tawa Uruha mengolok-olok mereka.

“Yang lebih ironis lagi, kakak beradik itu sekarang memperebutkan anak dari wanita itu. Ya ampun… lucu sekali! Hahahah!” ia tertawa terbahak-bahak selagi cerutu berbau anehnya dilempar entah ke mana dan menghilang begitu saja. “Keluarga kalian cukup digambarkan dengan satu kata saja, yakni menggelikan!” Ia meneruskan tawanya.

Wajah Byou berubah menjadi sangat merah dan ia melayangkan tinjunya ke wajah Uruha, tapi pria itu menghindar. Tangan Byou memukul jam weker antik di belakang Uruha. Langsung saja kacanya pecah berserakan dan darah menetes-netes dari kepalan Byou.

“Lalu opsi apa yang Anda berikan supaya yang mulia Raja waktu tak marah kepada kami, hah?” ucap Byou yang naik pitam.

Wataru berdeham sebentar. “Ia menyarankan kita mengorbankan Ruki.” Matanya nyalang menatap ke langit-langit kamar dan Byou menatapnya tak percaya.

“…dan kau menerima opsi itu?” cecar Byou berbalik menghadapi Wataru, di belakangnya Uruha mengusap pecahan weker di lantai lalu mengembalikannya seperti semula. Jawaban untuk pertanyaan Byou hanya gelengan.

Lagi-lagi mereka diam dan Uruha menggumam sendiri sambil mengelus-elus jam wekar yang baru ia betulkan. Entahlah, mungkin ia senang melihat jam-jam yang menjadi jiwanya dalam keadaan utuh.

“Aku memiliki opsi,” Ruki berbisik.

Semua kepala menoleh padanya dan berseru berbarengan, “APA?” kecuali Uruha tentunya.

“Aku tak ingin mati, tentu saja, aku masih ingin bersama kalian semua. Tapi aku tak ingin membuat Raja bertambah marah.” Tuturnya polos.

Uruha tersenyum tipis, “Apa opsimu, anak dari keluarga Matsumoto?” ia mengangkat dagunya angkuh.

Ruki meremas-remas jarinya sendiri, terlihat tak yakin dengan perkataannya sendiri. “Bagaimana… bagaimana jika kita mengulang kehidupan?” ia bertanya. “Kita memutar balik waktu ke beberapa tahun sebelum ayahku bertemu dengan ibuku?” usulnya sangat berharap.

Uruha memasang wajah berpikir keras. “Hemm… coba aku pikir… rasanya aku bisa mengulang waktu jika tidak lebih dari dua puluh lima tahun.”

“Tapi bagaimana jika hal yang sama terulang lagi? Bagaimana jika semuanya berujung sama?” protes Byou terengah saking marahnya.

Ruki berdiri dan memandang Byou dengan tatapan yang sama persis dengan tatapan ibunya dalam mimpi Byou. Penuh harap, sedih dan juga kecewa. “Kita bisa meminta Uruha mengulanginya lagi, kita bisa melakukannya.” Ia berseru pada Byou dan Wataru memandang Uruha penuh tanya.

“Bisakah begitu, Uruha?” Wataru bertanya.

“Bisa saja kok. Toh waktuku hidup di dimensi sana sangatlah panjang… jadi aku berbaik hati mau mengurusi permintaan itu. Lagipula air mata Ruki mungkin bisa mengubah takdir kalian.” Uruha tersenyum menenangkan, mengangkat botol itu.

Ketiga bersaudara itu menghembuskan nafas lega.

“Bahkan kita bisa mulai detik ini.” Tawar Uruha senang. Mereka bertiga berpandangan bingung. “Hei, mau tidak?” dan mereka menatap Uruha, bersama-sama mengangguk.


Replay…


Replay…


Replay…


Replay…


Wataru was born.


Seven years later, Ruki was born.


A year later, Byou was born.


Replay…


Replay…


Replay…


Replay…


“Hei, selamat datang…” senyum Wataru menyambutnya lebar.

Anak itu mengernyit sedikit. Mata coklat hazelnya memandang Wataru dengan kikuk, di tangannya ada sebuah tas kecil, di kakinya ada dua koper besar dan ia terlihat tak tahu harus berbicara apa. Sedangkan Wataru tersenyum baik melihat anak itu.

Dari belakang Wataru, muncul adik semata wayangnya, Byou dan menatap anak itu, “Selamat tahun baru~~” ia mendorong kakaknya sedikit dan memeluk anak itu erat-erat. Mendapat pelukan seperti itu, ia terkejut dan hampir berteriak.

“Kau tidak sopan, Byou,” Wataru menarik bagian belakang baju Byou dan tersenyum pada anak itu. “Maafkan kami, sepupu, anak ini memang tidak bisa diam.” Ia tersenyum lagi dan mempersilakan anak itu masuk.

“Maaf ya agak berantakan, ini ulah anak bandel ini,” ia menunjuk Byou dan anak yang ditunjuk hanya mencibir.

“Kau juga ‘kan yang membuatnya berantakan, Wata-niisan,” sindirnya sinis.

Tapi Wataru tak mendengarkan dan membimbing tamu mereka masuk. “Biarkan saja anak itu, ah… aku lupa kopermu di luar!” ia menepuk dahinya. “Akan kuambilkan jadi bersantailah, anggap saja rumah sendiri!” serunya lalu mengangkat koper milik tamu mereka.

Byou melihat Wataru mengangkat koper, membawanya ke lantai dua dan tak sedikit pun bergerak untuk membantunya, melainkan ia mengerling sedikit pada tamu mereka dan menariknya duduk di sofa. Ia tersenyum sangat lebar. Rupanya ia tertarik dengan sepupu mereka. “Aku Byou, namamu siapa?” ia bertanya, tangannya mencolek pipi chubby anak itu.

Anak itu hanya menatapnya kemudian menunduk merasa jengah, “Namaku… namaku Ruki.” Pipinya merona manis ditatap intens seperti itu.

Wataru yang baru turun dari lantai dua langsung menghardik Byou, “Kau ini! Bahkan kepada sepupu sendiri kau masih sibuk menggodanya.” Ia menepak belakang kepala adiknya asal saja dan adiknya itu tertawa.

“Bilang saja kau tidak suka melihatku bersama Ruki~” ia menyampirkan lengannya ke pundak Ruki dan menariknya mendekat. “Sepupu ‘kan masih boleh jatuh cinta, apalagi sepupu jauh seperti kita.” Ruki mundur namun Byou menekan bahunya merapat kepada dia.

“Ya ‘kan Ru-chan?” ia menjalankan jemarinya di bibir Ruki.

Wataru hanya memijat-mijat keningnya. “Dasar… aku bingung kenapa punya adik sepertimu.” Ruki menjawab pertanyaan Byou dengan senyum salah tingkah dan Byou mungkin memasang senyum yang ehm… mesum?


Replay…
If we couldn’t get the time back.
Just repeat it once again, and again.
Until we meet in the other way.

Replay…
Whenever it could be happen.
The time was waiting for us.
Just replay it to find me in the frontier.




~End of story~




Author’s note: Nah, ini apa ya? Apa ya? Apa ya? XDD
Hah saya mentok sampai di sini… berakhir di sini… (TTxTT)

Yak, silakan dikomentari sajalah, yang tidak suka silakan di-remove dan maaf kalau merepotkan jadi harus membaca fic gaje ini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar