Rabu, 19 Juni 2013

Fanfic: Affection - oneshot


Title: Affection
Chapter: one-shot
Starring: the GazettE, Alice Nine
Author: xellonich a.k.a Suzuki Sachino
Pairing: Aoi / Uruha / Reita x Saga, Aoi x Saga, Reita x Saga, Uruha x Saga, Aoi x Uru
Rating: NC (No Child)
Genre: slash | porn without plot
Warning: ganbang, bondage, no underage reader please!
Disclaimer: I’m only owned the story; they belong to whoever GOD up! (_   _ )a
Comment: Yang saya janjikan untuk Ran, ini nih, cerita stress, untuk Ulan juga yang udah membahasnya lagi. Enjoy! >D

Summary: Se-senpai...” engahnya dengan suara bergetar di tengah lumatan kasar Aoi pada bibirnya. Tangan Uruha dengan cekatan menanggalkan jeans-nya, meremas pahanya yang putih dan terlalu mulus bagi seorang lelaki. Tangan-tangan Aoi dan Uruha menjelajah ke seluruh tubuh Saga yang ramping, meraba, meremas, memijat, melakukan apa saja untuk membuat Saga mengerang lebih keras.


Tiap orang pasti memiliki rahasia. Baik itu rahasia yang membawa serta rasa bersalah atau rahasia yang membawa serta rasa malu. Apapun itu, tidak dapat dipungkiri bahwa setiap orang pasti memiliki rahasia yang tidak ingin diketahui oleh orang lain. Semuanya mennyimpan rapat isi rahasia mereka sendiri. Sebagian percaya bahwa hanya dirinya sendirilah dan sang Pencipta di atas sana yang boleh mengetahui semua rahasianya. Tertutup rapat-rapat dan disegel oleh dirinya sendiri yang tidak akan pernah mengungkit dan membeberkan rahasianya sendiri yang bisa menjadi pedang bermata dua bagi dirinya. Terkadang, bila mereka dari sebagian yang tersisa merasa tidak kuat memendam sendiri rahasia tersebut, mereka akan membaginya barang sedikit kepada orang yang sangat mereka percayai dan biasanya mereka sumpah untuk tidak membongkarnya.

Sumpah? Sumpah mati? Apa kau mau disumpah mati hanya karena mendengar rahasia seseorang yang harus kau bawa ke dalam liang kubur? Memangnya kau sanggup? Maukah kau disumpah sekarang? Ah, salah, maukah aku disumpah, sekarang?

“Bersumpahlah!” kedua tangannya memegangi kerah bajuku dan mengguncangnya dengan kuat, membuatku sedikit sesak dan jengkel melihat tingkahnya.

“Ya ya,” jawabku sekenanya.

Matanya yang merah setengah menutup menatapku dengan dingin, “Kau harus serius, ini menyangkut hubunganku dengannya, apapun yang sudah kau dengar hari ini, saat ini, detik ini merupakan rahasia terbesarku yang tidak boleh diketahui orang lain!” ceracaunya sembari meneguk sisa birnya. Wajar saja ia mabuk, sudah dua botol wine dia habiskan dan sekarang ia meminum segelas bir dalam sekali tenggak, luar biasa.

“Ck,” decakku meminum tequila yang baru saja diletakkan oleh bartender yang melihat ke arah kami dengan tatapan aneh. Aku berusaha tersenyum yang rasanya seperti ringisan menyeramkan karena bartender itu hanya mengangguk kecil dengan segan dan kembali membuat minuman. Aku mengalihkan pandanganku pada temanku sedari kecil yang sedang menatap iphone screen-nya seraya tersenyum-senyum aneh, membuatku sedikit bergidik.

Aku baru tahu ternyata temanku yang satu ini memang sedikit gila, err, tidak sedikit sih, mungkin sudah lebih dari itu. Dia memang terlihat bodoh, tapi tidak kusangka ternyata dia lebih dari bodoh, ini namanya bunuh diri. Mataku menyipit melihatnya tertawa kecil selagi memandangi iphone-nya. Dasar, seperti menonton JAV saja, padahal hanya melihat salah satu kouhai kami sedang melakukan fanservice yang biasanya juga ia lakukan dengan anggota band kami.

“Heheh, Akira, lihat deh, dia seksi sekali ya?” ia menyodorkan iphone-nya padaku yang terpaksa ikut menonton apapun itu yang ia tonton.

Detik di mana mataku melihat video yang ia tunjukan, detik itu pulalah aku hampir menyemburkan minumanku. Tersedak, dan cairan itu mengalir dengan cepat ke dalam kerongkongan, membuatku terbatuk tak terkontrol akan rasa panasnya, aku menepuk dadaku sendiri dan menatap temanku yang buru-buru melindungi iphone tercintanya. “Astaga Shima!” tudingku padanya yang masih senyum-senyum mesum. “Apa-apaan kau menyimpan video dengan angle seperti itu?”

“Ah, kau berlebihan, ini ‘kan hasil usahaku sendiri, aku mendapatnya setelah mendaftar jadi fans club member mereka—meski harus mengenakan nama samaran—mengoleksi CD dan DVD mereka juga, dan aku menemukan banyak gambar-gambar dan video menarik tentangnya, dia benar-benar cantik, senyumnya itu lho! Imut sekali~” jelasnya panjang lebar membuatku menganga. Sebegitu tergila-gilanyakah dia dengan kouhai kami yang satu itu?

“Tapi, kenapa harus yang menyorot ke arah paha dan dadanya dengan jelas??!” ujarku sewot.

“Shht!” Dia menempelkan jari telunjuknya di bibirnya sendiri. “Jangan keras-keras!” dengan serius ia memperingati dan kemudian tersenyum lebar sekali. “Tapi aku suka semuanya itu karena dia sangat mulus~” dan ia terkekeh dengan wajah khas orang mabuk yang membuatku memijat keningku sendiri.

“Ada lagi saat dia fanservice dengan Shou, ah beruntung sekali si mata leak itu.” Gerutunya membuatku menatapnya aneh, memang dia sangat aneh. “Berkali-kali kulihat ia menariknya, memeluknya, menyerangnya, menciumi pipinya, turun ke dahinya, turun lagi ke lehernya, turun lagi hingga ke dadanya, terus turun...”

“Akhh!” aku menepuk bahunya dengan keras. “Sadar Shima! Sadar!” dan ia menatapku dengan wajah tanpa ekspresi. “Kau itu punya Aoi ‘kan? Kan?” aku menekankan hubungannya dengan guitarist kami, sebagai teman baik, sudah pasti aku harus melakukannya. Memberi peringatan jika temanku sedang mengalami dan membuat suatu kesalahan. Tetapi saat ini temanku ini sudah jatuh begitu dalam.

Uruha terdiam menatapku, “Kau tahu?” ia memulai. “Aku menyukainya, aku mengidolakannya. Dia sangat cantik, dan meskipun dia selalu menyangkal, dia tetap terlihat begitu manis dan polos di mataku.”

“Hah?” tidak salah dengar ‘kan? Polos?!

“Apa kau bilang? Polos??!” tanyaku tidak percaya.

“Iya, polos. Dia itu sebenarnya manis, meski terlihat sok jantan dan seringkali mengatakan hal yang tidak penting dan berbau seks, dia sebenarnya pemalu.” Jelasnya, lagi-lagi membuatku terperangah.

“Buktinya, saat aku melihat Tora memeluknya dari belakang di koridor, ia langsung menggigit bibirnya dan wajahnya merona dengan cantik, pipinya juga memerah saat aku melihat Shou mencium pipinya.” Uruha terlihat menerawang, menatap dinding bar yang dipenuhi deretan botol dan gelas yang berkilauan. “Dia itu manis sekali, sewaktu aku menyapanya dan memberinya semangat saat ia terlihat lemas ketika sedang di studio, dia langsung tersenyum dan berterima kasih dengan nada manisnya. Senyumnya itu lho... imut!” ia menatapku dengan mata yang berkilauan meski dalam keadaan mabuk.

Yah, aku akui juga, kouhai kami yang satu itu memang kadang kala terlihat diam, selalu serius saat membuat lagu dan tidak terlalu mempedulikan sekitarnya. Pernah aku melihatnya masih di dalam studio di saat aku sudah membereskan pekerjaan, dan itu sudah lewat tengah malam, apa dia tidak capek ya? Dia merupakan orang yang aku kagumi akan kerja keras dan perjuangannya, walau tak jarang aku melihat Tora atau Shou menyelimutinya saat ia jatuh tertidur di sofa, atau melihat Tora yang notabene adalah kekasihnya, menggendongnya pulang.

“Sagacchi~~~” ucap Uruha di tengah racauannya selagi mengusap iphone screen dengan wallpaper Saga yang sedang tersenyum manis. Kutebak itu adalah foto yang diambil oleh dirinya sendiri sesudah kami rapat bersama seluruh artist dan staff minggu lalu.

Ah iya, aku lupa, bukannya Tora dan dia sudah menjalin hubungan sejak lama yang sekarang sedang berusaha ditutupi oleh perusahaan label kami? Aku sempat tidak sengaja mendengar Ozaki Tomomi, presiden perusahaan kami, memanggil Tora dan Saga ke ruangannya. Hanya selintas saja sih karena aku juga sedang mencari CD lama yang Kai minta di ruang arsip sampai sekitar dua puluh menit dan aku kembali lagi melewati ruangan yang sama dan melihat Tora keluar dari ruangan itu sembari memeluk Saga yang terlihat sedang menangis. Perlahan aku berjalan supaya tidak mengganggu mereka yang berhenti di ruangan paling pojok di tikungan koridor yang sedang sepi-sepinya. Rasa penasaranku memuncak dan, err, tanpa sadar tubuhku bergerak—aku mencuri dengar apa yang mereka perdebatkan.

“Tora-shi aku tidak tahan,” suara Saga terdengar dari celah pintu yang tidak tertutup rapat.

Kulihat Tora mengusap rambut cokelat kemerahannya, “Sshhht, Sagacchi jangan menangis ya, aku minta maaf, tapi ini demi hubungan kita, kalau fans benar-benar tahu kenyataannya ini bisa gawat bagi kita semua.”

Aku melihat Saga menutup wajahnya dengan kedua tangan dan bahunya makin bergetar, “Kenapa kamu harus begitu? Jadi kita harus menyembunyikan sampai kapan? Kenapa hubungan kita dianggap salah?”

Pada kalimat itu aku menyandarkan kepalaku supaya mendengarkan suaranya yang teredam lebih jelas. Tapi sial! Pintunya terbuka dan aku buru-buru berlari, bersembunyi di balik vending machine dan merutuki diri karena mencampuri urusan orang lain. Tak berapa lama aku menahan nafas, kurasakan hawa seseorang mendekat, berikut terdengar langkah sepatunya yang berat, aku yakin ini pasti Tora. Kurapatkan badanku ke dinding dan berharap ia cepat pergi karena kakiku sudah terasa ngilu dipaksa menekuk serapat mungkin.

“Tora-shi?” kudengar suara Saga yang masih bergetar memanggilnya, “aku mau pulang.” Kudengar kalimat selanjutnya ditekankan dengan nada yang kupastikan membuat Tora gamang.

“Tapi Sagacchi,” kudengar nada suara Tora yang berusaha membujuk.

“Pulang. Kalau kau tidak mau mengantar, aku bisa pulang sendiri.” Tukasnya terdengar ketus dan lebih mantap.

“Sagacchi! Jangan begitu, di luar sedang hujan deras, biar aku antar ya, nanti ibumu khawatir.” Bujuk Tora lebih lembut membuatku kembali menahan nafas karena kulihat kilasan sepatu boots-nya dari ujung mataku. Sial. Sial! Cepat sana pergi!

“Aki?” suara parau Uruha menyadarkanku.

“Eh, ya?” mengerjapkan mata beberapa kali, aku bisa melihat Uruha menyipit berbahaya. Ah, pasti aku melewatkan entah kalimat pujian apa lagi yang diucapkannya untuk Saga.

Uruha terdiam, menengguk segelas Smirnoff-nya lalu tersenyum lebar, sangat lebar sampai bisa mencapai telinganya. Oke, itu mengerikan. Yang pasti senyumnya terlalu lebar... “Aku suka~~~~~~” kemudian dia terkekeh tidak jelas. Bagus sekali.

Ruki-chan maafkan aku ya, mungkin aku akan telat karena harus mengantar sahabatku yang aneh dan bodoh ini... padahal aku sudah merindukanmu, dan apa yang akan kita lakukan di atas ranjang empukmu.

~†~†~†~

Beberapa hari kemudian, tepatnya setelah siaran Alice Nine Channel di Nico Nico, si idiot Shima makin menjadi. Ia merasa tidak terima karena pada Super Alice Nine Channel Premium Segment—ya, aku sampai hapal karena dia terus-menerus protes tanpa henti—kala itu ada pertanyaan yang menurutku memang agak aneh. Yaitu di mana para member Alice Nine yang hadir pada saat itu adalah Tora—tentu saja, dia host-nya—Hiroto, dan yang terutama Saga—dia hanya mau menonton hanya jika ada Saga—harus menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang dikatakan Gakki, manager mereka.

Dimulai dari nasihat apa yang diberikan Gakki pada mereka, dan mereka harus menjawabnya dengan menulisnya di atas whiteboard dengan marker. Hukuman jika mereka salah menjawab? Sederhana saja, ada sebuah jepit jemuran—staff mereka sungguh terlalu kreatif—yang dihubungkan dengan alat pancing dan selama mendengar sampai menjawab pertanyaan, jepit jemuran itu akan menjepit tempat-tempat yang sudah ditentukan oleh staff. Sebagai seorang idiot dan mesum seperti Uruha, ia sampai mimisan ketika melihat Saga memasukkan jepit jemuran ke balik bajunya, dan sebagai seorang masochist seperti Saga, ia sampai mengerang ketika jepit jemuran itu ditarik paksa menggunakan alat pancing. Masih sempat juga mengatakan, “Rasanya enak.”

Tak ayal lagi Uruha langsung fanboying, dan akulah korbannya, sampai Ruki marah karena harus mendengar suara sumbang si idiot itu terus melalui line telepon. Dasar Uruha sialan, Ruki bahkan sempat beberapa kali mengusirku untuk tidur di sofa karena ia katanya ingin menikmati tidur cantiknya. Ruki-chan... dia selalu berkelakuan bak diva.

Sampai mana tadi? Ah, iya, menjawab pertanyaan tentang apa yang sudah dikatakan Gakki, manager baru mereka yang berusia dua puluh dua tahun. Ketika sampai pada pertanyaan siapa yang akan dinikahi oleh Gakki dari antara semua member Alice Nine, Uruha sampai mencak-mencak. Mau tahu kenapa? Yah, karena Gakki memilih nama Saga. Alasannya membuat Uruha semakin membara, Gakki memilih Saga karena menurut dia Saga itu kawaii—aku juga mengakuinya sih—sering melakukan hal manis yang tidak terduga, dan ia merasa bahwa Saga adalah orang yang tepat untuk merawat dirinya. Intinya, Gakki merasa Saga sebagai pilihan yang paling tepat untuk menjadi seorang istri yang baik, pantas saja aku sering melihat Gakki berbicara berdua saja dengan Saga, ternyata itu dasarnya. Inti dari intinya, Uruha menjadi benci Gakki, setelah Tora, tentu saja.

Idiot. Kau mau menyukai Saga atau tidak, kau tetap menjadi pacarnya Aoi, dan Saga tetap menjadi pacarnya Tora. Atau malah pasangan hidupnya? Kudengar ketika mereka konser di Jerman, Tora sempat memberikan Saga hadiah yang entah kenapa sangat dirahasiakan, apa mereka mungkin menikah di sana ya? Apa aku mulai berspekulai berlebihan?

Tapi pikiran apapun yang sedang berkecamuk dalam pikiranku seakan terhenti saat aku tahu bahwa Aoi mengetahui kegilaan Uruha, saat aku tahu Aoi malah terkesan membiarkan, saat aku tahu bahwa Uruha menyeret Aoi bersamanya, saat aku dan Aoi dan Uruha satu lift dengan Saga, hanya kami berempat. Saga, hanya mengenakan jeans hitam ketat yang membentuk lekuk kakinya yang ramping dengan begitu jelas dan kaus lengan panjang berwarna cream yang aku yakini dua ukuran lebih besar dari badannya, dan yang terpenting, sangat tipis, tipis sekali sampai samar-samar aku bisa melihat pinky nipple-nya. Wajahnya terlihat sangat pucat, memang kulitnya teramat putih, seputih susu—lebih putih dari kulit Ruki—tetapi ini terlalu pucat, mungkin ia kurang sehat? Mata cokelat tuanya terlihat sendu dan bibir mungilnya—yang tidak sepenuh bibir Ruki—yang merah terlihat bergetar, ia sesekali menggigitnya. Tangannya kirinya yang kurus dengan jemari lentik tampak meremas lengan atas bagian kanannya.

Bicaraku seperti orang mesum saja!

Bisa kulihat dari ujung mataku, Uruha mati-matian menahan diri untuk tidak menyentuh pundak atau bahkan lengan Saga yang hanya beberapa centimenter jaraknya dari tangannya. Aoi yang juga ada di sebelahnya terlihat ingin mengatakan sesuatu, tangannya mengepal beberapa kali, sama seperti tangan Uruha yang sekarang ini sangat dekat dengan pinggang Saga. Sedangkan aku yang ada di sebelah kirinya hanya bisa diam, menghirup wangi madu dari rambutnya lamat-lamat. Diam, sembari mengamati tiap kebatan bulu matanya, gerakan pelannya saat menarik nafas, lidahnya yang terlihat membasahi bibir keringnya...

“Sagachan?” Uruha membuka suara, berusaha tersenyum, di mataku itu terlihat seperti ringisan menyeramkan. Payah.

Saga menoleh padanya, cukup menoleh karena tinggi mereka hanya terpaut satu centimenter, “Hu?” kudengar suaranya begitu lembut. Bisa kubayangkan di dalam diri Uruha bergemuruh perang batin untuk tidak menyerang pemuda itu sekarang juga.

Uruha terdiam sembari tak melepaskan pandangannya dari mata sendu Saga yang balik memandangnya dengan tatapan kosong yang terlihat polos. “Ada apa Uruha-senpai?” tanyanya. Bisa kulihat mata Uruha sekarang memperhatikan gerak bibir mungil Saga, dan si idiot itu menelan ludah.

Tak sengaja aku melihat Aoi memasang wajah yang err, bisa kukatakan itu nafsu mungkin? Manik matanya memindai Saga dengan tajam dan seksama, kemudian ia menatapku lurus-lurus sebelum akhirnya mengukir sebuah senyum. Sial, aku diseretnya juga.

Lantai tiga, selanjutnya di lantai tiga ini, di tempat staff biasanya menyimpan arsip, kami semua turun, setengah menyeret Saga keluar. Bukan, bukan aku yang menarik lengan kurusnya, bukan, bukan aku yang menyeretnya, bukan juga yang melemparnya masuk ke dalam ruangan kosong—ruangan di mana aku melihatnya menangis entah untuk yang keberapa kalinya di depan Tora—bukan pula yang meraba tubuhnya, yang hampir menyobek kausnya yang begitu tipis. Tapi akulah yang menekan tombol untuk membuka pintu lift, akulah yang berjalan paling dengan dan membuka pintu ruangan ini, akulah yang mendorong lemari penyimpanan arsip untuk menghalangi pintu, dan akulah yang menyaksikannya menangis memohon.

“Se-senpai... To-Torashi...” engahnya dengan suara bergetar di tengah lumatan kasar Aoi pada bibirnya. Tangan Uruha dengan cekatan menanggalkan jeans-nya, meremas pahanya yang putih dan terlalu mulus bagi seorang lelaki. Tangan-tangan Aoi dan Uruha menjelajah ke seluruh tubuh Saga yang ramping, meraba, meremas, memijat, melakukan apa saja untuk membuat Saga mengerang lebih keras.

“Ya-yamenasai...” pintanya ketika Uruha memilin nipple-nya, menggesek-gesekkan miliknya ke wajahnya yang takut. Dengan kasar kulihat Aoi menandai tubuh putih yang menggiurkan itu dengan warna merah, menjilat, melumat, menghisap, melakukan apapun untuk meninggalkan tanda merah membara di leher, pundak, dan dada.

Uruha menyeringai, “Cantik,” pujinya sembari menjalankan jari telunjuknya di atas bibir Saga yang tidak berhenti bergetar, yang mengerang ketika tangan Aoi memijat pinggang bagian bawahnya dengan lembut dan menggoda. “Lihat Akira, dia cantik ya?” ia menengok ke arahku yang mengatur nafas, tidak tahan melihat perlakuan mereka terhadap tubuh Saga yang terkesan pasrah saja dengan peluh yang mulai menetes.

Manik mata cokelat tua itu memandangku, memohon, “Re-Reita-senpai, to-tolong...” air mata bergulir ke pipinya yang sempurna dengan semburat kemerahan. Tidak. Aku mendekatinya yang dibaringkan secara paksa ke atas sofabed di tengah ruangan. Secercah harapan yang berkilat di matanya sirna begitu aku mulai membuka ikat pinggangku.

Wajahnya ngeri begitu aku berlutut di dekat kepalanya. Ia meronta, ah, aku baru tahu dia bisa meronta yang dengan mudah aku—tidak—kami tahan. Sebenarnya aku bisa saja menahan tubuhnya, tapi tangan Uruha dan tangan Aoi ikut menahan bagian tubuhnya yang lain. Uruha menarik lepas underwear-nya, sementara Aoi meletakkan tiga jarinya di depan bibir Saga yang setengah terbuka, “Suck it,” titahnya.

Saga semakin takut, bisa kulihat itu karena ia semakin meronta sampai Uruha mengulum nipple-nya, membuat Saga mengerang, pada saat itulah Aoi memasukkan jemarinya, memaksa pemuda itu untuk menjilat, mengulumnya. “Kudengar ini, adalah swicth-mu,” pemuda berambut pirang madu itu melepaskan nipple Saga dari mulutnya, menghembuskan nafas hangat yang membuatnya melenguh di tengah kesibukannya untuk menjilati jemari Aoi yang masih berkecimpung di dalam mulutnya.

“Nghh...” kulihat dahinya berkerut, matanya setengah terpejam menikmati saat di mana Uruha memilin nipple-nya dengan kasar, sudah kubilang, dia masochist.

Aoi menarik paksa jemarinya, tali tipis transparan dari saliva Saga masih menghubungkan ujung jarinya dengan bibir merahnya itu. “Ahn, se-senpai... To-Torashi...” ia mencoba merangkai kata-kata saat pria berambut hitam itu melingkari lubang masuknya dengan jemari berlumur saliva, “senpai!” Ia menjerit saat secara tiba-tiba Aoi memasukkan dua jarinya langsung ke dalam lubangnya.

“Ugh, sempit sekali,” komentar Aoi yang menunduk, tangan kirinya memegangi paha Saga yang gemetaran.

“Aoi-senpai! Yamenasai! Torashi!!!” tangisnya pecah, pada saat itu aku segera menurunkan celanaku dan memasukkan penisku ke dalam mulutnya. Sempit, hangat, membuatku mencengkram rambutnya yang begitu halus itu, memaksanya menghisap milikku yang semakin tegang saat mendengar erangan dan keluhannya. Dimulai dari kepalanya secara perlahan, kemudian batangnya. Mata sendu itu melihatku dengan tatapan polosnya lagi, yang memohon, yang membuatku tak segan-segan memaju-mundurkan pinggangku demi bisa memasukkan penisku lebih dalam lagi. Ke dalam mulutnya dengan lidah yang tak kalah mungilnya namun begitu terampil ketika menjilati bass-nya di atas panggung. Itu terbukti, ia berusaha menjalankan lidahnya meki seluruh tubuhnya gemetar, ia berusaha menghisapku yang sudah tidak tahan, ia menghisapku perlahan, memijatku dengan lidahnya.

Saat yang bersamaan Aoi mempercepat tusukan jarinya ke dalam lubang, sekarang dengan tiga jari, dan Uruha dengan kalapnya menggesekkan penisnya sendiri yang sudah menegang ke nipple Saga, mengakibatkan sedikit spermanya membasahi nipple merah itu. Uruha menunduk, menandai tubuh Saga dan menjilati tiap mili kulit indah itu penuh nafsu.

“Cantiknya Sagachan, seperti peri~” kekeh Uruha sembari berlutut di sisi sofa di mana Aoi sudah menurunkan celana pula, tanpa underwear, tanpa aba-aba Aoi memasukkan penisnya ke dalam lubang Saga yang memerah.

“Anghh!!!” Saga berusaha menjerit, tetapi milikku yang berada di dalam mulutnya membuatnya tidak bisa menjerit sama sekali. Tangan Saga menggapai, tetapi Uruha menangkapnya dan mengikatnya dengan ikat pinggangnya sendiri, dengan kekehan anehnya. Sementara Aoi terlihat menikmati kegiatannya, menusuk lubang Saga dengan sepenuh hati.

“Ugh, ketatnya...” Aoi memaju-mundurkan miliknya sendiri sementara Uruha memasukkan salah satu jarinya ke dalam lubang yang sama, membuat Saga menjerit kaget. Mereka sudah menemukan spot-nya, kekehan Uruha semakin menjadi.

Saga menggelepar, berusaha melepaskan diri, tetapi aku semakin mempercepat tusukanku dan mengeluarkan penisku sesaat sebelum mencapai klimaks, aku menyemburkannya tepat di wajah cantiknya. “Rei-Reita-senpai...” ia mendesah, kulihat air matanya semakin bercucuran bercampur dengan spermaku.

Aku hanya mengusap rambutnya pelan sebelum akhirnya membantu Aoi mendudukannya. “Siap?” Aoi duduk mengangkang, memegangi pinggang Saga, mengangkatnya hingga jarak antara miliknya dan liang Saga hanya satu inchi.

“A-Aoi-senpai!” Saga terlihat ingin menendang Aoi sebelum akhirnya Uruha menangkap kakinya.

Uruha tersenyum, melebarkan kedua paha Saga, pemiliknya menatapnya dengan horror. “Shhtt... jangan berisik ya, tidak sakit kok,” Uruha memposisikan dirinya berdempetan dengan Aoi, membuat penis mereka saling menggesek dengan kedaan tegang sepenuhnya. “Aku siap!” serunya dengan nada ceria.

Dengan cepat Aoi menurunkan pinggang Saga, membuat penisnya dan penis Uruha yang berhimpitan memasuki liang Saga yang sempit secara bersamaan. Mereka berdua mengerang, aku tidak tahu mereka bisa segila dan setega ini.

“AKHH!!! YAMENASAI!!!!!” Saga berteriak sekuat tenaga saat merasakan dua penis yang hampir sama besarnya dan tebalnya memasuki liangnya. Sungguh, aku sampai menegang lagi saat menyaksikan wajah cantiknya terlihat kesakitan, mendengar tangisan dan rintihannya yang menjadi-jadi.

Saga menangis di saat Aoi dan Uruha mendesah, menikmati betapa semakin sempitnya liang hangat milik Saga yang mengunci milik mereka begitu ketat. Perlahan mereka mulai menggerakkan pinggang mereka, mencengkram pinggang ramping Saga sampai membiru, menaik dan menurunkan badannya di atas kedua penis mereka. Aku tersenyum, berdiri, menaikkan dagu Saga dan memaksanya mengulum milikku kembali, ah, nikmatnya... kurasakan getaran tubuhnya, hampir kutergigit karena ia bergetar hebat, tetapi aku ingin merasakan lidah cantik nan trampil itu menari sekali lagi, menari di sekeliling milikku yang semakin tegang mendengarkannya mengeluarkan simfoni indah.

Suaranya begitu merdu, terlebih ketika kami sedikit mengubah posisi dan Uruha menaikkan kedua kaki ramping Saga ke bahunya, menusuknya dengan ritme yang lebih cepat, keras, brutal bersama dengan tawa Aoi yang terdengar berat. “Nice!” seru Aoi mempercepat tusukan dan ritme tubuh Saga yang sudah meloncat-loncat dengan tidak stabil, beberapa kali aku tidak sengaja menusuk kerongkongannya terlalu dalam akibat ritme brutal kami.

“Senpai... URUHA-SENPAI!!!” teriakkannya terdengar melengking saat Uruha dan Aoi menusuk terlalu dalam, mengakibatkan warna merah darah keluar mewarnai kulit pucatnya yang berbalut peluh. Meski sebenarnya masih teredam oleh milikku yang masih setiap mengisi setiap mili kekosongan di mulut mungilnya.

“Suaramu sangat merdu~” puji Uruha. Ia menunduk, menggigiti leher dan nipple-nya keras-keras. Tangannya memijat pelan penis Saga yang sejak tadi tidak digubris. “Kau juga tegang ya~?” ia memijat kepalanya, disusul dengan bagian batang dan memainkan testikelnya. “Sayang, tunggu sebentar ya...” beberapa tusukan kemudian kami semua mencapai klimaks, tidak terkecuali Saga yang terengah-engah dengan wajah sangat merah dan gemetaran.

“Cu-cukup! Tora-shi!!” tangisnya. Dengan lemas ia bersandar pada Aoi, melupakan penis Aoi yang masih setia bercokol di dalam liangnya. “Akh!” ia menjerit sekuat tenaga sementara Aoi menciumi bibir mungilnya dengan kasar. Kalau boleh jujur ya, suaranya yang begitu kecil tidak akan terdengar keluar sana meskipun ia menjerit, apalagi ruangan ini kedap suara, jadi percuma saja.

Aku memandang Uruha yang balik memandangku. “Mau lagi?” tawar Uruha. Aku mengangkat bahu dan bertukar posisi dengannya. Tak berapa lama, kami melakukan hal yang sama, mengulanginya lagi, lagi, dan lagi sampai Saga tidak bisa berhenti menangis dan tidak ada bagian lain dari tubuhnya yang bisa kami tandai, sampai ia lemas dan benar-benar tidak bergerak berlumur peluh dan sperma dariku, dari Aoi, dan dari Uruha. Terakhir, aku mencoba mengambil penggaris plastik dan memasukkannya ke dalam liangnya. Aku tidak tahu mengapa, iseng saja. Kemudian Uruha mengikuti dengan stick drum sampai ia berdarah lagi, sementara Aoi hanya memperhatikan sembari menghisap sebatang Marlboro Menthol.

Uruha mengusap kepala Saga yang sedang tersedu, ia melepas ikat pinggangnya yang memborgol tangan Saga kemudian menghempaskannya begitu saja. Bekasnya membiru, sangat kontras dengan kulit putih pucatnya. Kulihat Uruha tersenyum, mencoba mengusap tubuh lemah Saga yang lengket dengan handuk bersih yang ditemukan di dalam lemari. “Sagachan cantik, Sagachan sangat manis...” pujinya menjilat air mata di pipi Saga.

“Karena terlalu cantik, dan manis, aku sampai ingin melihatnya menangis.” Ia meremas bokong Saga, menggesekkan miliknya ke paha bagian dalam Saga. “Kalau Sagachan menangis,” bulir air mata yang tadi sempat berhenti kembali mengalir dengan deras menuruni pipinya, “Sagachan semakin cantik,” dan ia terkekeh, melempar handuknya kemudian melumat bibir Saga lagi kemudian melepasnya.

“Gochisousama deshita, hidangannya enak sekali.” Uruha menangkupkan kedua tangannya di depan dada. “Terima kasih Sagachan,” ia mengusap wajah cantik Saga dengan lembut, “lain kali kita main lagi ya~” Uruha tersenyum sementara Saga berjengit, bibirnya gemetar.

Aku hanya memperhatikan Uruha berdiri, kami semua sudah lengkap berpakaian, begitu juga Saga yang akhirnya dipakaikan oleh Uruha. Persis seperti seorang anak memakaikan bonekanya sebuah baju, perlahan, lembut, tetapi terlihat mengenaskan. Kami berdiri, aku mendorong lemari, membuka jalan untuk kami bertiga ke luar ruangan. Aku pula yang terakhir menutup pintu, melihat sekilas ke arah Saga yang menatapku dengan manik mata cokelat tuanya yang menghanyutkan tanpa ekspresi apapun. Cantik, persis seperti sebuah boneka.


La Fin

4 komentar:

  1. TORA MANA TORA ! ! !
    TOR ! ! UKE LU NOH DI GANGBANG ! !

    Sagachii kasian,, udah di DP di fvck pake penggaris n stick drum pula (T,T)

    SACHIN KEJAM ! ! PERTAHANKAN ! ! hloh

    gak kebayang itu gimana sakit nya jadi Saga,,, dan apa yg dirasain Tora ngliat uke nya dalam keadaan abis 'dipake' gitu (T,T) mewek

    BalasHapus
  2. TORAAAAAAAAA!!!!!!! TORAAAAAA HELPPPPPPP!!!! ya ampun sachi jahatnya kau pada diriku XD tepar sachi q bca ini.. NICE FOURSOME

    BalasHapus
  3. Sachin ga bikin epep super gini lagi ya?XD

    BalasHapus
  4. toraaaaaa toraaa toraangg !!!
    kau kemanaaaaaa ?uke muh uke muhh itu abis di gangbang ><

    BalasHapus