Jumat, 19 Juli 2013

Fanfic: Secrète? (Sur L'espoir)


Title: Secrète? (Sur L'espoir)
Chapter: one-shot? sequel of Secrète? (Des Secrets et Réalité)
Starring: Alice Nine, GACKT
Author: xellonich a.k.a Suzuki Sachino
Pairing: Gackt x Saga, Tora x Saga
Rating: PG
Genre: drama | fluff | angst?
Warning: kiss
Disclaimer: I’m only own the story; they belong to whoever GOD up! (_   _ )a
Comment: This is not a reason why I fell in love with you in paradise.



Anak lelaki itu dulu mempunyai rambut pirang pucat yang tak wajar dimiliki oleh orang Jepang, yang kini menyembul sedikit dari balik topinya. Badannya kecil dan ringkih sekali, kulitnya pucat dan matanya yang coklat kelam terlihat berbinar saat melihatku berjalan ke arahnya. Bisa kulihat badannya yang terbalut piyama putih rumah sakit itu tidak mengalami peningkatan berat badan sama sekali walau aku selalu berusaha menyuapinya dengan berbagai macam makanan sehat yang sengaja kubuat untuknya. Senyumnya yang lebar dan manis membuatku mau tak mau ikut tersenyum sebalum akhirnya berhenti di depan kursi rodanya yang mengkilat. Kulihat ibuku balas tersenyum.

“Saga,” ibuku bergeser dari belakang kursi roda itu dan berjongkok di sebelah anak kecil yang tak berhenti tersenyum memamerkan giginya yang mengingatkanku pada tupai. “Ayo Hirotokun, sekarang anakku yang akan menemanimu, aku akan mengambilkan obat untukmu sebentar ya.” Dengan sabar ibu memberi tahu anak itu yang hanya mengangguk pelan.

“Saga,” suara ibu memanggilku lembut, “ibu titip Hirotokun sebentar ya.” Aku mengangguk dan beliau pun pergi menuju rumah sakit besar yang ada di depanku dengan lorong panjang putih bersih dan terkesan dingin. Namun karena orang-orang seperti ibukulah kesan itu seakan dientaskan.

“Oniiichan!” suara kekanakannya menyadarkanku.

Aku menoleh padanya yang sedang memandangiku dengan mata besarnya yang terlihat polos. Anak sekecil ini, aku tersenyum berusaha menahan rasa miris dan ngilu yang selalu muncul tiap kali aku melihatnya dan anak-anak lain yang tidak memiliki keberuntungan sebesar diriku. “Ya?” aku bertanya padanya.

“Aku mau mendengarkan permainan pianomu lagi,” senyum lebar tidak terhapus dari wajah manisnya membuatku merasa hangat.

“Baik, tapi minggu depan saja ya, aku akan membawa keyboard-ku ke sini, aku akan memainkan lagu yang paling indah untukmu!” aku mengusap tangannya yang terasa kurus sekali. Kukira kulitnya lebih pucat dariku, tapi tidak, kulitku masih lebih pucat darinya dan dari semua anak yang dirawat di bangsal anak. Membuatku malu dan selalu menutupinya dengan celana panjang dan baju-baju yang ukurannya dua nomor di atasku. Aku selalu malu dengan tubuh kurusku yang seperti kekurangan gizi dan penyakitan walau seringkali anggapan itu memang benar.

Sebenarnya aku pernah terkena pneumonia dan flu tulang yang membuatku sulit bernapas dan hampir menjumpai ajalku setahun yang lalu, ditambah aku alergi panas. Aku juga dirawat di sini dan sering kali berteman dengan anak-anak yang juga dirawat di bangsal anak. Berulang kali aku bertanya kapan aku mati ketika tubuhku terasa sakit sekali akan segala macam rasa yang menjalariku dengan jarum suntik dan infus yang sudah tak bisa kuhitung berapa kali menancap di tanganku. Aku ingin menangis tiap kali aku melihat ibuku dengan wajah lelah berusaha merawatku dengan lembut dan merasa cemburu tiap kali aku melihat ibuku sedang merawat anak lain. Tapi sering kali tangisanku adalah untuk teman-teman satu kamarku yang satu persatu meninggal.

Aku takut membayangkan jika nanti giliranku tiba. Tapi nyatanya giliranku belum pernah tiba, sampai sekarang aku masih hidup dan dapat bertemu dengan anak ini yang semangat hidupnya sangat tinggi. Ia selalu ceria setiap kali aku menemaninya, sekedar menceritakan hariku di sekolah atau bermain gitar dan terkadang piano atau bahkan memberikannya makanan buatanku. Dia sebenarnya aktif sekali, impiannya begitu tinggi untuk dapat sembuh dan bersekolah lagi seperti kakaknya yang seringkali datang ke rumah sakit dan bercerita pula padanya.

“Aniki sekarang berhasil jadi kapten tim basket di sekolahnya,” tuturnya bangga.

Kubenarkan posisi tas selempangku kemudian mendorong kursi rodanya perlahan menuju sebuah bangku taman. “Wah hebat sekali ya, pasti dia kuat sekali,” komentarku sekenanya untuk membuat anak itu senang.

“Iya ‘kan? Kakakku itu jagoan! Lain kali aku akan mengenalkan Saganiichan padanya,” tawar Hiroto selagi aku berhenti dan mengunci roda kursinya kemudian duduk di bangku taman tepat di sebelahnya.

“Iya Hiropon,” ujarku dengan panggilan sayang untuknya. “Sekarang kamu harus makan dulu, ini aku sudah buatkan inorizushi dan sosis gurita untukmu.” Aku membuka tas selempangku dan mengeluarkan bento yang kubuatkan khusus untuknya, “Lihat, aku juga membuat cheesecake, aku mengganti gulanya dengan madu.” Jelasku sembari membuka tutup kotak bento dan meletakkannya di pangkuanku.

Wajahnya terlihat berseri. “Wah ini terlihat enak!” ia menjulurkan tangannya untuk mengambil sekepal inorizushi.

“Hiropon!” aku menegurnya. “Cuci tangan dulu,” aku memberikan selembar tissue basah untuknya. Ia menurut, membersihkan tangannya dengan tissue itu meski bibirnya mencebik lucu membuatku gemas.

“Itadakimasu!” Hiroto melahap inorizushi-nya disusul dengan sosis gurita dan tumisan sayur yang kusuapi dengan sumpit. Sebenarnya ia benci sayuran, tapi aku memaksanya untuk mengkonsumsinya dengan membuatnya menjadi lebih menarik.

“Enak?” tanyaku senang melihatnya lahap begitu. Aku ingin mengisi setiap rongga di tubuhnya dengan lemak yang sekarang terlihat berhasil membentuk pipi cekungnya menjadi lebih berisi daripada beberapa bulan yang lalu. Aku ingin membuatnya lebih ceria karena sering kali ia merasa kesepian, dan lewat tangan ibukulah ia bisa merasakan kehangatan seorang ibu yang belum pernah ia dapatkan.

“Enak sekali!” jawabnya bersemangat. “Saganiichan juga harus makan,” ia menyuapiku dengan inorizushi. Aku  menutup mulutku dengan tangan dan berusaha menelannya.

Senyum kuukirkan di wajahku “Terima kasih ya. Ini, ada jus apel juga,” aku membukakan tutup sebuah botol dan menyodorkannya pada Hiroto yang langsung meminumnya. “Pelan-pelan,” kutepuk lengannya supaya ia mematuhiku.

Ia meneguknya dan tertawa, “Maaf, habis masakan buatanmu enak sekali,” jawabnya membuatku senang.

“Benarkah?” sebuah suara berat terdengar dari belakangku. Aku langsung menoleh dan melihat seorang pria yang sangat tinggi berambut hitam menyapaku.

“Ayah!” seruan Hiroto membuatku mengerutkan dahi.

Ayah? Orang semuda ini mempunyai anak sebesar ini? Tunggu, bukannya Hiroto juga sering mengatakan dia punya kakak lelaki sebaya denganku? Tapi kenapa ayahnya semuda ini?

Tanpa sadar aku mengerutkan keningku saat melihat pria tersebut berlutut di depan kursi roda anak itu. Hiroto tersenyum dan pria itu menjulurkan tangannya untuk mengusap kepala anaknya yang ditutupi topi sederhana dengan lembut. “Apa kabar jagoan?” sapanya senang.

“Baik, ayah!” senyum Hiroto terlihat makin lebar—kalau itu masih mungkin.

Pria itu menatapku, “dan siapa temanmu yang cantik ini, nak? Bisa kenalkan pada ayah?” nada suaranya berhasil membuat pipiku memanas. Tergesa-gesa aku menunduk, memegangi bento di pangkuanku. Aduh, kenapa aku merasakan tatapannya begitu hangat, terlalu hangat malah.

Anak itu menoleh padaku, “Ayah, ini Saganiichan. Saganiichan, ini ayahku,” ucapnya polos.

Aku mengangkat wajahku sedikit untuk melihat mata hazelnya yang menyiratkan kelembutan dan keramahan, “Kamui Gackt, ayah dari Kamui Hiroto, salam kenal.” Ia menganggukkan kepalanya padaku.

“Sa-Sakamoto Saga, salam kenal juga,” aku menunduk sampai pria itu menggenggam tangan kananku dan mengecupnya membuat wajahku semakin memanas dan jantungku berdegup lebih kencang.

“Nama yang cantik, secantik pemiliknya,” ia menilikku dengan mata tajamnya. Aku yakin ia pasti berusaha menilaiku apakah aku orang baik atau tidak yang pantas bergaul dengan anaknya. Itu ‘kan yang biasanya yang dipikirkan para orang tua pada orang asing?

Hiroto memulai, “Iya, Saganiichan memang cantik seperti malaikat, pintar bermain musik, pintar memasak pula! Ayah harus mencoba masakannya, enak lho!” repetnya dengan ceriwis layaknya seorang anak dalam sebuah keluarga bahagia pada umumnya.

Gackt tertawa dengan suara beratnya. “Benarkah? Berarti aku akan mencoba makanan buatan sang malaikat ya?” ia berlutut menghadapku dan tersenyum. “Boleh aku mencoba masakanmu, little angel?” aku tahu bahwa sebentar lagi aku pasti akan meleleh...
~†~†~†~

“Sagachan...” kurasakan hujan ciuman di leher dan bahuku disambung dengan sebuah tangan besar mengusap pelan dadaku. Wajahku kembali memanas.

“Gakusan! Dame!” aku berusaha menghentikan tangannya yang lain yang sedang memijat pahaku perlahan. “Gakusan...” aku menggigit bibir bawahku untuk tidak mengeluarkan erangan saat Gackt menandai leherku.

Gawat, ini gawat! Situasi ini tidak memungkinkan, aku yakin bahwa Tora sedang berada di ruang keluarga, menonton televisi sehabis mandi tadi. Tapi tangan besar dan hangat milik Gackt tidak mau meninggalkanku sendirian. Ia menelusup ke balik celemekku dan ke balik bajuku, meremas-remas bagian tubuhku seakan ingin membuatku mati lemas saat itu juga.

“Ahn~” aku memejamkan mata, mencengkram tangan pria yang membuatku gila dengan tangannya di mana-mana. Aku berusaha menahan eranganku dan menolaknya untuk saat ini. Astaga, kami masih ada di dapur dan aku masih memasak! Bahkan kompor di bawah penggorengan berisi tumisan daging yang aku buat masih menyala.

Nafasnya menyapu leherku, membuatku sedikit bergidik. “One of my fetish is to see you in an apron. Wanna have sex in the kitchen?” bisiknya sembari menjilat cuping telingaku. Tulangku terasa seperti dilolosi, aku lemas di dalam pelukan hangatnya sebelum akhirnya sebuah suara mengagetkan kami.

“Ayah, ada petugas keamanan,” suara Tora membuatku menyentak tangannya yang bermukim di tubuhku kemudian merapikan pakaianku.

Aku berbalik dan melihat punggung pria itu menjauh menuju koridor dan Tora melihatku dengan wajah tanpa ekspresi yang seringkali membuatku gugup, punggungnya juga ikut menjauh. Punggungnya dan punggung ayahnya yang senantiasa aku lihat dengan penuh kekaguman. Punggungnya yang tidak mungkin aku peluk seperti punggung ayahnya.

Aku tersenyum getir, menumis kembali kemudian menyajikankan di tiga mangkuk yang berukuran sama. Untuk Gackt, untukku, dan untuknya. Kutata semua masakan menurut aturan tradisi yang diajarkan ibu kepadaku. Aku tidak ingin mengecewakan mereka yang sudah memperbolehkanku menginap di rumahnya. Aku harus berusaha membantu mereka dan membuat mereka senang. Apapun caranya, pasti aku akan melakukan yang terbaik.

“Toraniichan itu sangat hebat, dia adalah kakak yang terbaik di seluruh dunia!” suara ceria Hiroto menggema di dalam pikiranku. Selama tiga tahun terakhir ini aku selalu memikirkannya dan kepergiannya yang sering kali membuatku sulit untuk bernafas.

Hiroto, maafkan aku ketika aku terlambat untuk memainkan lagu terindah yang kujanjikan itu. Aku tidak menyangka, bahwa lagu terindah yang aku mainkan untukmu itu harus menjadi lagu untuk pemakamanmu. Maafkan aku karena kau belum sempat mendengarkannya. Kau belum sempat mengomentariku dengan gaya bicaramu yang ceriwis dan polos.

Aku mengusap air mataku yang bergulir pipi secara tak sengaja.

“Saganiichan sangat cantik, ibuku juga sangat cantik, aku merasa bersama ibu jika Saganiichan ada bersamaku. Aku harap ibuku bisa menyayangiku seperti yang kau lakukan padaku.” Hiroto memelukku erat, membenamkan kepalanya di leherku, membuatku harus berpegangan pada bangku taman supaya tidak jatuh menimpa tubuh ringkihnya.

Aku tersenyum selembut mungkin sembari mengusap punggungnya dan mengecup dahinya. “Ibumu pasti menyayangimu, Hiropon, semua ibu begitu.” Tuturku pelan.

Suaranya yang teredam membuatku merasa tercekat. “Kalau ibuku sayang padaku, pasti ia sudah datang sekarang. Tapi kenyataannya hanya ada Saganiichan, lebih baik ibuku itu kamu.”

Lidahku kelu dan tubuhku terasa dingin seketika. Aku tahu ini terdengar sangat klise, tapi pada saat ini aku merasa kaku dan bingung untuk melekukan apa. Mengusap punggungnya dan memeluknyalah yang kuperbuat sedari tadi sembari memikirkan apa yang harus aku katakan untuk menanggapinya.

“Aku berharap waktu bisa diputar ulang dan semuanya tidak seperti ini. Aku lebih baik tidak ada di sini.” Ia berkata dengan suara paling lirih yang pernah aku dengar. Meneguk ludah dan menunduk berusaha melihat wajahnya, aku berusaha menahan air mata yang menggenang di pelupukku.

Aku mendesah pelan, berkonsentrasi menata makanan sesuai dengan posisi meja dan urutan makan kemudian melepaskan celemekku dan menggantungnya di samping lemari pendingin. Kedua orang itu sudah kembali dengan sebuah surat edaran di tangan Gackt yang duduk di sebelahku dengan senyum lebar.

“Wah sudah matang ya?” tanyanya yang siap mengambil karage di piringnya.

Aku menepak tangannya pelan, “Hush!” aku menegurnya main-main. “Cuci tangan dulu sana.” Aku menyuruhnya dan menangkap sosok Tora sedang mencuci tangannya di dapur. Punggungnya terlihat besar dan gagah.

Tora, maafkan aku ya.

Aku tahu pasti kau merasa sebal dan risih melihatku selalu ada di dalam rumahmu. Aku tahu kau pasti tidak betah jika harus bersamaku karena berulang kali aku memergokimu memandangku dengan tatapan aneh yang sering kali memperbesar rasa bersalahku. Maaf, sampai kapanpun, aku memang bukan orang yang pantas bersanding dengan ayahmu yang begitu sempurna dan begitu baiknya menerimaku apa adanya. Padahal aku masih bisa dibilang kekanakan dan ceroboh, tapi kau paling tidak mau menerimaku, meski aku yakin itu pasti terpaksa.



LA FIN...?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar