Rabu, 25 Mei 2011

Good Night My Dearest Pain

Title: Good Night My Dearest Pain
Starring: the GazettE
Author: xellonich a.k.a Suzuki Sachino
Pairing: Reita x Ruki | Reita x Uruha | Kai x Ruki
Rating: PG
Genre: drama | angst | fantasy | mystery
Warning: MxM
Disclaimer: I’m only owned the story; they belong to whatever Gods up! (_   _ )a



Mungkin jika aku yang salah karena tidak lebih dulu menjumpainya, aku akan merasa harus mundur saat itu juga. Karena aku sadar, aku sudah salah langkah dari awal. Aku sudah salah memperhitungkan sejak dulu. Karena kau mungkin tak akan pernah bisa berpaling darinya.

Mungkin aku juga salah memilih waktu. Aku muncul ketika kau terlalu lama terpikat oleh belaian mimpi yang ia bentuk. Dari halusnya angan dan imajinasi yang sengaja ia pupuk hingga tumbuh dan berkembang begitu rupa. Mendobrak batasan-batasan yang selalu kau bangun di antara kau dan dunia luarmu.

Mungkin kau juga salah memilih untuk apa yang bisa kau kagumi. Kau puji-puji dan kau rayu dengan sejuta kata meski dirinya tak pernah menjawabmu. Kau salah karena memilih ia adalah sebuah dosa paling hitam yang kemudian kau gali dan kau selami meski tak ada dasarnya.

Adakah rasa letih menghampirimu ketika tiap hari kau cumbui malammu dan dirinya yang membisu? Adakah kau harus berteriak sedemikian sampai semua makhluk malam mendengarmu dalam kesakitan? Adakah kau sadar jika semua hal yang kau lakukan adalah relungan dari eskapisme?

Aku lupa.

Lupa jika siapa pun tak akan bisa memaksamu berpaling dari sosok itu sementara yang lain menjaga distingsinya dunia denganmu. Apakah kau ambil sejumput gelap yang kau tebarkan agar menghalangi mata semua orang dari hubunganmu dengan dirinya? Lalu mereka harus menyisihkanmu sebegitu jauh sampai tak peduli lagi kau menggelinjang dan meretihnya api menari indah di sekelilingmu?

Itu dia. Aku menaikkan kepalaku lebih lagi dari balik kaca tebal ini. Menyangga tubuhku untuk tegap memperhatikanmu di bawah sana sedang menyaruk-nyaruk tanah kering yang mengepulkan debu. Aku melihatmu merengkuh pasirnya dan kau tebarkan lagi sampai mengelilingi dirimu yang tegak berdiri.

Memang aku berada di tempat yang paling ujung dan tinggi. Aku menatapmu dari atas sini dan memperhatikanmu dengan baik-baik. Berharap suatu saat kau mau menoleh ke atas dan juga melihatku sedang mengamatimu. Aku yang selalu memperhatikanmu. Terlebih ketika hal itu tiba.

Kau akan menjerit sejadi-jadinya, kau akan meronta dan menghentak ke sana kemari. Aku takut, aku tak bisa. Kau menakuti burung hantu dan kelelawar yang terbang rendah memakan tikus yang mencicit dan buah-buah liar yang bergelantungan di sana. Aku tak bisa menggapaimu, aku tak kuat untuk berlari menenangkanmu saat hal itu masih ada.

Saat matahari bersembunyi di balik buminya yang lain. Saat kabut putihnya bertambah tebal dan saat aku lupa bagaimana rasanya tidur. Saat itulah kau menampakkan dirimu seutuhnya dalam pelukan mimpi yang tak bisa membawaku ke mana pun.

Kau sakit.

Aku juga.

“Ruki, kau masih belum tidur?” buru-buru aku memejamkan mataku dan merebahkan kepalaku ke bantal. Aku dengar langkah kaki Kai mendekat.

“Ah, lampunya masih menyala… aku matikan ya?” kemudian dengan satu bunyi klik, ia membuat kamarku menjadi gelap.

Tidak apa, aku tidak keberatan. Cahaya temaram bulan dan lampu jalanan yang berkedap-kedip karena mau putus di luar sana menerangi kamarku. Memberi cahaya remang yang sangat aku sukai selagi aku memandangimu berdiri menatap langit seperti yang sudah-sudah. Aku juga memandangimu, memperhatikan gerak-gerikmu yang sedang menyanjungi dirinya yang membuatmu tak bisa pergi, sama seperti yang sudah-sudah.

“Selamat tidur, Ruki…” Kai berlalu dan menutup pintu kamarku perlahan. Mencoba tak membangun diriku yang sedari tadi terbangun.

Karenamu aku menghabiskan siangku dengan tertidur di bawah kaki pilar yang kau pajang di tengah-tengahnya. Seakan kau mau menghalangi pandanganku darimu. Menghalangiku untuk bisa memandangimu lebih lama meski aku takut untuk menyapamu. Terlalu takut.

Lagi-lagi kau mengecupnya. Lagi-lagi kau bernyanyi untuknya selagi jemarimu menari di atas tuts putih yang mengusam dan tuts hitam yang mengeropos. Lagi-lagi kau menina-bobokannya sampai aku menangis lagi dari atas sini. Lagi-lagi aku harus sakit hati melihatmu begitu mencintai dan mengagumi sosok cantiknya.
Kapan? Kapan kau mau berhenti?

“Namanya Reita… mungkin yang kau lihat itu dia.” Aku mendengarkan Kai berbicara selagi mataku mencuri pandang kepada sosok pria yang berambut pirang pucat di seberang. Kini kau sedang duduk di kursi besi yang melengkung-lengkung dengan partitur di pangkuanmu. Aku tahu jika partitur itu adalah lagu nina bobo sang putri tidurmu. Yang kau mainkan tanpa lelah dengan piano berpelitur hitam tersebut.

“Reita adalah pria yang baik, ia mencintai seseorang yang dipanggilnya dengan nama Uruha sepenuh hati. Ia mengagumi keindahan Uruha dan selalu menyanjungnya.” Penuturan Kai membuat hatiku semakin hancur saat pertama aku menanyakan perihal tentangmu dan orang yang selalu kau limpahi cinta begitu besar.

“Siapa mereka?” aku bertanya pada Kai yang tersenyum lembut sekali, membuatku selalu nyaman dekat dengannya.

“Mereka adalah dua orang sahabat Ruki. Mereka sangat akrab sampai mereka akhirnya saling jatuh cinta.” 

Mataku nanar memandangmu yang kini menyapu wajah orang yang kau kasihi, orang yang kau panggil dengan nama Uruha. “Mereka sangat mencintai satu sama lain.” Susah payah aku menelan isak tangisku yang seperti ingin meledakkan jantungku karena sakitnya.

“Mereka sama seperti dongeng tragis yang dikarang oleh Shakespeare jauh sebelum kau lahir, dan jauh sebelum hal ini terjadi.” Aku memandangimu yang mengusap kayu pelituran hitam yang selalu kau hiasi dengan mawar merah. Dengan segarnya dan harumnya hingga kau tak sanggup menyandingkannya dengan kecantikan Uruha. Kecantikan yang selalu aku cemburui.

“Jadi Shakespeare berhasil meramalkan mereka berdua sebagai dua kekasih yang tak terpisahkan?” Kai tersenyum dan menepuk-nepuk punggung tanganku.

“Sepertinya begitu.” Kai menanggapi yang berhasil membuatku bertambah ingin meneriakkan yang selalu mengganjal di dalam dadaku.

Tak bosan aku melihatmu yang tersenyum lemah. Namun rantai dan bola besi berduri tajam yang disangkutkan di kakimu membuatmu juga ikut lemah. Kau tersaruk-saruk untuk memanjakan sang putri tidur yang kau cintai. Membelainya dengan kelopak mawar yang sengaja kau copoti hingga tanganmu ikut berdarah terkena durinya.

Aku memandangimu dari balik pilar ini, mengingat-ingat percakapanku dengan Kai. Tentang dirimu dan sahabat yang kau cintai meski dalam dunia pucat membeku tanpa merahnya yang membuatmu hidup. Meski tubuh kita sama-sama menjadi rangkaian bening dan sutra-sutra nyawa kehidupan yang dipintal halus sampai berkilapan hingga dunia tak bisa lagi melihat kita, kau tetap tak bisa berpaing darinya.

Sekali lagi aku menghembuskan nafas penyesalan.

~†~†~†~

“Sudahlah Kai!” hardik Aoi untuk yang keseribu kalinya kepada pemuda yang masih termenung di pinggir jendela, memandangi rumah tua yang setengah hancur di bawah sana, dipagari oleh pagar hidup yang hijau kehitaman. Bagai tempat rahasia yang tak terjamah.

“Percuma juga kau mengharapkannya, dia tak akan pernah bisa kembali.” Beribu kali Aoi harus menjelaskan tapi telinganya seakan tak mau mendengar.

“Ia sangat mencintai pria itu, ia sangat mengagumi pria itu,” gumam Kai dengan mata nyalang sementara pikirannya melayang ke waktu ia dan orang yang sangat ia cintai selalu mengobrol. “Salahku yang membawanya kemari!”

Sebuah tamparan mendarat di pipinya dan Aoi memandangnya dengan mata merah.

“Sadarlah, kau dan dia berbeda. Dulu mungkin kau masih bisa, tapi sekarang, dia sudah tak bisa kau gapai.” Kai menuduk dalam mendengar perkataan Aoi yang menusuk. Memandang lagi kepada rumah tua yang tak pernah bergeming, jarang bermandikan cahaya matahari seutuhnya.

~†~†~†~

Uruha, aku tak pernah melihat sosok cantik itu selain dari gambar yang selalu kau ciumi. Selain dari sosok yang tak pernah mau bangun dari atas tahtanya yang mengkilat sementara rambut madunya kau usap perlahan. Seakan kau memintanya untuk terus ada di sini, menemanimu yang terpaku ke tanah yang tak bisa kau pijak sementara pikiranmu masih mencarinya.

“Kau tahu Ru, tidak baik bagimu hanya terus di dalam sini… ayo kita berjalan-jalan, aku sudah menyiapkan kursi roda untukmu jika kau masih merasa lemah untuk berdiri.” Kai mengusap pipiku sementara aku melihatmu sedang tercenung di depan pianomu, kemudian menyanyikan nada yang sama. Nada yang aku dengar ratusan kali sejak aku ada di sini, memperhatikanmu yang sedang merajuk pada Uruha untuk bangun dari tidurnya. Meski rajukan dan rayuanmu tiada pernah membawa hasil.

“Tidak Kai, aku belum mau keluar… aku merasa masih belum kuat.” Aku berusaha tersenyum pada Kai yang begitu baik. Begitu memperhatikan diriku yang bahkan jarang mengambil pusing akan diriku sendiri. Karena aku terlalu sibuk untuk memperhatikanmu, melihatmu melakukan kegiatan yang menjenuhkan untuk membangunkan sang putri tidurmu.

Kai tersenyum lembut, sama seperti yang sering aku lihat. “Tapi aku khawatir denganmu, Ru. Kulitmu terlalu pucat dan kau jarang bertemu cahaya matahari yang sangat baik untuk kesehatanmu, ayolah…” aku menghela nafas, mungkin ada benarnya juga perkataan Kai.

“Baiklah, aku mau.” Kai tersenyum lebih cerah. Ia memegangi tubuhku dan menggendongku sampai ke kursi roda. Rasanya ia begitu mudah melakukan hal ini. Apakah karena dia sangat kuat atau memang tubuhku yang terlalu ringan untuknya aku tidak pernah tahu.

Kai membetulkan letak bantal sandaranku dan mengusap rambutku perlahan. “Syukurlah Ru… ayo kita pergi ke taman, kita beli crepes kesukaanmu.” Aku menggeleng.

“Eh? Kenapa? Kau tidak mau membeli crepes?” Aku memandang wajah Kai yang memasang mimik khawatir.

Aku menggeleng lagi, “Aku mau ke rumah itu.” Aku menunjuk ke bawah sana tapi Kai membelalakan matanya.

“Tidak boleh!” ia berseru, wajahnya terlihat takut. “Aku, maksudnya kita tidak bisa ke sana.” Ia meremas tangannya, memandangku tak percaya.

“Kenapa tidak boleh?” aku mendelik padanya

“Karena tempat itu terlarang!” ia berteriak padaku, sesuatu yang tak pernah ia lakukan padaku, tapi kini ia terang-terangan membentakku.

Sepanjang perjalanan aku terdiam. Kai juga diam. Menuntunku di bawah guguran bunga sakura di atasku. Beberapa kelopaknya mampir di pangkuanku dan aku mengusap kelopak-kelopak merah jambu dan putih itu dengan perlahan, takut mengoyakkannya.

“Maafkan aku,” Kai membuka suara sambil mendorong kursi rodaku menghindari kerikil kasar yang menghalangi kami. “Aku bukannya tak mau membawamu ke sana.” Aku tetap membisu, memandangi kelopak bunga sakura yang kujatuhkan satu-persatu seakan membuat jejak dari mana dan ke mana aku berada.

“Tidak apa Kai, aku mengerti…” aku menggigit bibirku. Tidak, aku tidak akan pernah mengerti, tapi supaya Kai tidak terlalu merasa bersalah, aku berusaha saja mengatakannya. Hanya supaya Kai tak merasa terlalu memikirkanku adalah hal yang penting, dia juga memiliki hidupnya sendiri.

“Iya… tapi aku benar-benar minta maaf.” Kai menghentikan kursi rodaku di dekat sebuah kursi taman yang panjang. Kemudian Kai berdiri di depanku. “Maafkan aku,” setengah berjongkok, Kai mengusap tanganku dan menampakkan senyum penyesalannya.

Aku mengangguk dan Kai tersenyum lega. “Aku belikan crepes di sana ya? Kau mau rasa apa?” ia menunjuk ke seberang sana di mana sebuah stand kecil tempat crepes yang biasa aku makan dengan rasa suka berdiri, di bawah naungan pohon-pohon yang hijau.

Double chocolate and milk.” Jawabku mantap. Kai mengecup punggung tanganku sebentar dan berdiri.

“Tunggu sebentar ya, akan aku belikan.” Ia berdiri dan berjalan ke arah sana sementara aku masih memandangi langit musim semi yang cerah, seakan mengejek keberadaanku dan nasibmu yang tak seindah dunia saat ini.

Aku hanya bisa membayangkan. Mungkin dulu Reita dan Uruha pernah mengalami saat-saat bersama seperti ini. Saat Uruha masih bisa bangun dan membalas pelukan yang selalu Reita berikan sama hangatnya. Saat Reita masih bisa tersenyum lembut dan menikmati cahaya mentari yang hangat menelusup ke dalam tulang-tulangnya, memberikan kekuatan untuk tetap bisa bertahan hidup.

~†~†~†~

“Kau tahu, kau bisa disangka tidak waras jika terus-terusan seperti ini,” Aoi meletakkan sepiring nasi kare yang masih mengepul.

Kai hanya tersenyum, “Kau yang lebih tidak waras karena mau saja berbicara denganku yang jelas-jelas sudah tak waras ini.” Ia mengaduk-aduk nasi kare itu dengan tidak minat.

“Kau ketularan anak itu ya?” ia bertanya setengah tidak suka kepada Kai yang menerawang jauh.

Kai menerawang kepada saat ia masih bisa memeluk Ruki sebelum berangkat kerja. Saat ia masih bisa melihat Ruki tersenyum balik kepadanya meski dalam pedih dan miris. Kepada saat ia masih bisa memuaskan dirinya untuk memandangi wajahnya meski jelas-jelas Ruki memandang ke arah lain.

Ke arah rumah tua yang setengah hancur tersebut.

Ke arah Reita yang tak pernah bisa membuatnya berpaling kepada siapa pun.

~†~†~†~

“Kai… kenapa dia bisa berada di sana?” Aku tahu Kai pasti mengerti apa yang aku maksudkan, karena ia terlihat berpikir untuk menemukan jawaban dalam ingatannya yang memang kurang bagus. Tapi meski pun begitu, ia tidak pernah lupa jadwalku minum obat, hebat, padahal aku sering kali lupa karena sering sibuk mengamati gerak-gerikmu.

“Ahh… ceritanya panjang Ru, yang pasti aku kurang tahu dan mengerti, maaf ya…” Kai menundukkan kepalanya.

Aku tersenyum, setidaknya jika Kai tidak tahu, aku bisa mencari tahu bukan?

“Tidak apa… tapi Kai,” Kai mengangkat kepalanya, “aku mau meminjam notebook-mu besok ya.” Dahi Kai berkerut mendengar permintaanku yang tidak biasa. “Bisa tidak?” dan akhirnya ia mengangguk.

“Bisa kok, aku akan membawakannya beserta modemnya ke sini besok pagi.” Aku tersenyum puas.

Malam ini aku memandangimu lagi yang tengah memainkan untaian nada yang begitu lekat di telinga maupun jiwaku. Nada yang tak akan pernah kau berikan untukku, melainkan kepadanya yang selalu tertidur di antara kelopak mawar merah. Di antara kenyataan dan mimpi yang dibangun sang waktu dan cinta abadi.

~†~†~†~

Uruha berjalan di tengah kebun mawarnya yang indah. Menyemprotkan air hingga menjadi butir-butir yang menyegarkan marah-mawar merah yang begitu cantik tumbuh dalam lingkupan rasa syukur dan terimakasih. Dari satu rumpun ke rumpun lain memberikan kesejukkan di kala matahari musim semi terlalu cerah memberikan cahaya hangatnya.

“Uruha?” pria berambut pirang itu memeluk tubuh Uruha dari belakang. “Selamat pagi…”

Uruha menarik nafasnya dan tersenyum. “Selamat pagi Rei…” pria yang bernama Reita tersebut meletakkan kepalanya di punggung Uruha dan menghirup wangi mawar yang selalu menenangkan dirinya dalam keadaan paling suntuk sekalipun.

“Kau cantik, sama seperti yang sebelumnya.” Ia mengeratkan pelukannya dan Uruha tertawa renyah, mengusap lengan kekar Reita yang berada di pinggangnya. “Kau cantik, dan aku suka…” ia mengecup leher Uruha yang tersipu.

Hubungan mereka memang lebih erat daripada sekedar sahabat sejak kecil. Mereka seperti telah ditakdirkan bersama untuk tetap saling mencintai dan membagi yang mereka punya kepada satu sama lain. Sebagai dua sejoli yang sebenarnya tak akan bisa dipisahkan.

“Uruha… aku mencintaimu, lebih dari apa pun… maukah kau menikah denganku?” setengah berlutut pria itu menanujukkan sebuah cincin berkilau di kotak empuk berwarna ungu tua yang ia pegang.

Uruha terkesiap menatapnya, terbuai oleh kilauannya sampai akhirnya ia bisa mengiyakan pertanyaan Reita. Pria yang sangat ia cintai itu merengkuhnya dengan sayang, tak memperdulikan jika Uruha sebenarnya seorang pria sama seperti dirinya.

Karena cinta bisa membutakan siapapun, membuat segalanya tampak baik-baik saja di matamu. Segalanya tampak sangat lumrah dan begitu sempurna. Sampai tak ada seorang pun yang boleh menghinakan orang yang kau cintai, menjelekkannya sedikit saja adalah suatu kesalahan paling besar dimatamu.

“Aku mencintaimu bahkan sampai ajal menjemput.”

~†~†~†~

Aku tak kuasa mendengarmu menjerit lagi di malam yang sunyi ini. Aku tak tega melihatmu memandang rembulan yang menyinari bumi dengan cahaya peraknya dengan wajah pedih yang tersiksa. Aku tak mau… biar…biarkan aku yang membuatmu tersenyum sayangku, ya… sayangku yang tak pernah bisa kumiliki.

“Reita… sudahlah…” aku memukul-mukul kaca jendela yang luas ini, berusaha memanggilmu yang tak pernah bisa mendengar suaraku dari atas sini. Tapi kau tetap berteriak dan memandang bulan dengan tatapan benci.

“Reita! Reita! Reita!” aku menangis melihatmu membungkuk-bungkuk tertarik oleh rantai-rantai besi itu ke tanah.

Kenapa kau tidak meneruskan nada manis itu untuk sang putri tidurmu itu? Sang putri tidur yang tak akan pernah bisa terbangun. Kau cinta dia bukan? Kau sangat mencintainya dan tidak pernah mengerti betapa aku mencintaimu bukan?

Pintu menjeblak dan aku merasakan hawa kehidupan masuk, “Astaga, Ruki! Kau kenapa?!”

“Reita! Reita!!!” aku berusaha memanggil namamu yang begitu aku cintai.

“Ruki! Berhentilah! Sadarlah Ru!” Kai menarikku menjauh dari jendela itu dan memelukku dari belakang. “Ruki… tenanglah…”

“Reita!” aku masih menjerit-jerit seperti orang kesetanan saat melihatmu di sana terbentur-bentur dinding, disayat oleh pisau-pisau keji yang tak ku tahu dari mana asalnya. Kau berteriak, melengking, menjerit sejadi-jadinya.

Kenapa? Kenapa kau tidak menampilkan mawar merah segar lagi untuk kau berikan kepada putri tidurmu yang cantik? Yang senantiasa memasang wajah indahnya meski aku harus sakit? Wajah cantik yang selalu aku cemburui saat kau mengecupnya, mengusapnya dengan rasa sayang tak terkira.

“Reita!!!” aku tetap memanggilmu yang tak menoleh sedikit pun kepadaku.

Kenapa harus dia, Rei? Kenapa bukan aku? Kenapa bukan aku yang kau rayu dan kau sanjung dengan segala kata puitis dan tutur manismu? Kenapa?

Kenapa bukan untukku kau menggubah lagu? Nina-bobokanku dengan itu, nina-bobokanku dengan melodi yang paling manis dan menentramkan hati. Kenapa harus sang putri tidurmu yang tak akan pernah bisa membuka kedua matanya lagi? Kenapa bukan aku yang ada di sini? Yang menangis untukku berulang kali sampai pedih menyambut?

Kenapa bukan aku?

“Hentikan Ruki!” aku tak mau… aku tak mau menghentikan teriakanku. Aku tak mau berkedip karena harus mengentaskan air mata yang tak bisa berhenti mengalir ini. Aku tak mau berhenti dengan semua ini.

“Ruki ingatlah!” susah payah aku meronta dari pelukan Kai, mencoba menggerakkan tubuh bagian atasku yang sudah kuyup oleh keringat dan air mata untuk lepas darinya.

Lepaskan! Lepaskan aku… biar aku bisa datang kepadamu. Kepadamu yang tak kunjung mau berhenti mencintai orang yang tak bisa mencintaimu lagi. Biarkan aku memelukmu, biarkan aku yang memberikan rasa cinta yang sekarang terasa begitu hambar dan menyakitkan untukmu. Biarkan aku menggantikan sang putri yang tidak akan pernah terbangun dari tidr abadinya.

“Reita sudah lama mati!” Kai ikut berteriak menimpali teriakanku yang bercampur tangis.

Rasanya sakit… rasanya sesak. Aku berusaha menarik nafas lebih panjang. Lebih panjang lagi untuk bisa melihatmu, untuk tetap melihatmu. Tapi yang aku lihat, kenapa hanyalah gelap di antara hubungan kita yang tak akan pernah bisa menjadi nyata?

Inikah ilusi paling indah dan juga paling menyakitkan?

~†~†~†~

“Keluar kalian!” orang-orang ramai membawa obor yang menyala-nyala di tengah malam yang gelap dan dingin. Mereka semua berkerumun di depan rumah indah tempat Reita dan Uruha bermukim menjalani hidup mereka yang penuh cinta yang begitu damai.

Orang-orang marah mengacungkan obornya ke langit berulang kali, memanggil angin untuk mengobarkannya lebih lagi. Orang-orang memandang benci dan jijik kepada Reita yang keluar bersama Uruha yang resmi sudah menjadi ‘istrinya’ di belakangnya. Pria itu terlihat tenang saja sementara Uruha memegangi bajunya dengan sangat ketakutan.

“Ada apa kalian semua berkumpul di sini?” ia bertanya dengan nada halus kepada massa yang terlanjur berkobar layaknya obor yang mereka bawa. Apinya melecut-lecut ketika angin meniupnya kasar.

“Kami mendengar kalian meresmikan hubungan kalian berdua?” seorang dari mereka bertanya dengan nada menusuk, menunjuk wajahnya dan Uruha dengan katana yang ia bawa.

Melihat itu Uruha memepet kepada Reita semakin dekat, gemetaran menyaksikan semuanya berwajah marah dan jijik. Sementara Reita tersenyum, tenang saja mendengarkan pertanyaan begitu. “Jika itu yang kalian semua dengar, maka itulah yang terjadi.” Ia membungkukkan badan kepada mereka semua.

Namun semua yang ada di sana bergejolak. Tanpa aba-aba mereka merenggut Uruha dari Reita. Sebagian memukuli dan menendangi Reita dengan keji dan sebagian menampari dan menginjak-injak Uruha tanpa ampun. Sisanya, yang paling kejam, melemparkan obor yang mereka bawa ke rumah indah dengan halaman penuh rumpun mawar tersebut.

Reita melawan, menggoyahkan beberapa orang hingga terjatuh. Ia berdiri, berusaha berjalan mendekati Uruha yang sedang berteriak minta tolong saat tubuhnya diremukkan di bawah sepatu boots karet yang keras. Badannya ditarik kembali, ia diseret ke dalam rumah yang berkobar oleh orang-orang.

Uruha melengking kesakitan, ia dihantamkan ke aspal jalanan. Entah dari mana dan dari siapa, sebuah peti mati berwarna hitam sudah menganga. Peliturnya yang cemerlang memantulkan cahaya indah rembulan di atasnya. Sayangnya, apa yang terjadi di sini jauh dari kata indah.

Pria berambut pirang pucat itu meninju orang di sekitarnya, mencoba bertahan untuk menyelamatkan cintanya yang tengah di ambang kematian. Di depan matanya, ia melihat kecantikan Uruha dihapus paksa dengan katana yang dibawa oleh salah seorang dari mereka. Ia berteriak memprotes.

Uruha berteriak, tubuhnya terantuk lagi dengan aspal yang keji melukai wajahnya. Menjerit saat dirinya ditendang masuk ke dalam peti mati. Saat ia ditahan untuk tidak bisa keluar dan rambutnya dijambak untuk tetap diam.

Ia mencoba bernafas saat tutup peti mati yang berat itu digeser.

“REITA!!!” jeritannya sampai ke telinga Reita yang susah payah menendangi orang di sekitarnya yang begitu banyak. Mereka semua membawakan rantai dan bola besi berduri tajam untuk dipersembahkan kepada pria yang kehilangan harga dirinya itu.

Api membakar, melalap sebagian besar rumah mereka saat orang-orang mendorong Uruha dalam peti mati menuju kobarannya. Mata Reita nanar, ia kalap melihat apa yang orang-orang lakukan kepadanya cintanya yang selalu ia jaga mati-matian.

Orang-orang mengerumuninya, sibuk mengikatkan rantai belenggu di tubuhnya dan bola besi berduri tajam di salah satu kakinya. “Bakar dua orang menjijikkan ini bersama!” sebuah komando membuat Reita terpelanting jauh. Masuk ke dalam rumahnya yang menyala di tengah kegelapan.

Ia sesak menghirup asap yang mengisi rongga paru-parunya. Terbatuk karena banyaknya kobaran yang melalap ke sana ke mari. Reita mencoba berdiri, tapi jatuh terjerembap tertimpa kayu yang dilahap api. Tersengal-sengal ia mencoba untuk tidak menjerit saat api menjilati tubuhnya.
  
URUHA!!!” ia menjerit sejadi-jadinya dan akhirnya menutup mata.

Untuk selamanya.

~†~†~†~

 “Lihat Kai, masih ada aku, kau harus cepat pergi dari sini!” Aoi menyeret koper Kai yang bergeletakkan di lantai sementara pemiliknya sibuk mengepak barang lain di sebuah tas yang berbeda.

“Iya… terimakasih Aoi, untung saja kau mau membantuku.” Kai menutup tasnya dan menyandangnya di punggung. Tak sengaja ujung matanya menatap ke kamar di mana Ruki biasa tidur dan bercengkrama dengan dirinya. Meski tak jarang juga ia melihat Ruki menangis. Menangisi orang yang dicintainya karena ia mencintai orang lain.

Ironis bukan?

~†~†~†~

Aku senang bisa melihatmu sebegini dekat. Aku senang ternyata darahku habis di jalan waktu itu. Sekarang aku tidak perlu susah lagi untuk memandangimu dengan terpesona, dengan sangat iri kepada putri tidurmu yang kau cumbui dengan cintamu yang begitu besar.

Aku kemarin dulu melihatmu menangis. Aku kemarin dulu melihat dan selalu mendengar lagumu yang sangat indah, yang begitu menyayat hatiku karena tak bisa dekat denganmu. Tapi sekarang kau sangat dekat, kau bisa ku lihat dari baik pilar ini. Betapa aku mencintaimu, Reita.

Aku bersyukur akhirnya aku berhasil membuka jendela kamarku sepenuhnya. Aku jadi bisa menghirup aroma mawar dan lumut basah yang selalu membuatku penasaran. Aku bersyukur aku bisa tertatih menggapai tanaman rambat itu namun akhirnya aku terjatuh. Dengan kepala lebih dahulu, dan lihat sekarang? Aku bisa bersamamu.

Betapa senangku tak terkira saat mendengarkan perawat tersebut memanggil namaku untuk tetap sadar sementara banjirnya cairan merah dari kepala dan perutku yang tertusuk pagar itu tidak berhenti. Oh betapa aku menyukai saat aku melihatmu menoleh padaku meski hanya sebentar saat aku memandangimu dari atas pagar itu.

Reita… kini berbaliklah, berpalinglah… aku sudah ada di sini. Di balik pilar ini, aku menontonmu. Di balik pilar ini kau akan menemukan kau tidak sendirian. Di balik pilar ini, kau akan melihat bahwa putrimu tak hanya satu, tetapi juga ada aku.

Tolonglah… sayangku…

~†~†~†~

“Ah… Ruki… kau berdebu,” Kai mengelap pigura berisi foto Ruki yang sedang tersenyum bagai malaikat dengan hati-hati.

“Nah, sekarang sudah bersih kembali.” Setelah puas, ia meletakkan pigura itu kembali ke dalam sebuah kamar kecil yang berharum vanilla sama seperti rasa es krim yang selalu Ruki pesan ketika tidak ada penjual crepes di taman.

“Kau mau tidur bukan?” ia mengusap kaca pigura sebuah lukisan besar bergambat potret Ruki bergantung perlahan-lahan.

“Sudah bersih! Sekarang kau pasti bisa tidur dengan nyenyak.” Ia tersenyum senang.

“Aku matikan ya?” ia mematikan saklar lampu ruangan itu dan menutup pintunya perlahan-lahan. “Selamat tidur Ruki…”



FIN

4 komentar:

  1. huee... T0T Udah dibaca 3x pun maish mewek huks..hukss... ka sachii (T0T)b

    BalasHapus
  2. cup cup jangan nangis nanti didatengin arwah Ruki lho...
    (plak!)

    heheh sankyuu udah baca... (^ ^)

    BalasHapus
  3. sumpah...
    ini bikin mewek !
    hhhhuuuuuuwwwwwaaaaaa TT^TT

    BalasHapus
  4. udah berulang kali baca ini tapi ndak bosen-bosen TT^TT keren....

    BalasHapus