Selasa, 25 Mei 2010

Sensibility Eight (chapter 4 - Reita's birthday fic)

Title: Sensibility Eight (chapter 4 - Reita's birthday fic)
Starring: the GazettE, and everyone who shown in this absurd story…
Author: Sa~
Genre: fluff, humour
Rating: PG-14
Pairing: Especially for Reita x Ruki (meski ada sedikit Tora x Saga)
Warning: Reita… apakah dia seorang pedophile??? err... kisu?
Disclaimer: I’m not owned anything… Ruki belongs to Reita forever and ever~~!!!
Summary: Di pagi hari yang cerah, kala matahari pagi masih menyinari dunia dengan sinar hangat yang menyenangkan dan indah… Reita menerima kabar paling menakutkan yang membuatnya harus menahan berbagai rasa yang ada di dalam hatinya mati-matian.




It’s birthday fic especially for Suzuki Akira…

…dan Reita tidak tahu siapa nama yang tercantum di sana, karena pemuda kecil yang selalu membuatnya menahan semua perasaannya itu telah mengambil kertas itu dari tangannya…

~†~†~†~

“He? Ruki-chan? Ada masalah ya?” Hiroto melompat ke hadapan Ruki yang sedang menatap bentounya dengan sangat tidak berminat.

“Ho? Hiro-pon?” Ruki menengadah, melihat Hiroto yang sedang membawa-bawa busur panahnya di punggung. Kemudian terlihatlah perbedaan yang sangat besar antara busur yang dipegangnya dengan ukuran badannya… (author disambit gitar) ia terlihat kerepotan membawanya, dan ke mana Shou? Biasanya dia menemani dan menjaga Hiroto ke mana pun dia pergi.

“Ne, Hiro-pon? Di mana Shou? Biasanya dia ada jika kau ada. Kau sedang marahan ya dengan Shou-kun?” ia bertanya, dan Hiroto hanya tertawa kecil.

“Shou-un? Dia sedang ada perlu dengan ketua klub. Sudahlah Ruki-chan, kau ada masalah? Kau tentu bisa cerita denganku…” ia duduk di sebelah Ruki, menaruh busur itu di dekat kakinya.

“Ng… Hiro-pon, sebenarnya apakah jatuh cinta itu salah?” Hiroto tertawa lagi.

“Kau itu lucu… tentu saja tidak ada yang salah dengan itu. Memang kenapa? Ruki-chan, kau menyukai siapa sekarang ini?” ia bertanya lagi, membuat wajah Ruki memerah.

“Ehh… Ruki… Ruki menyukai teman sekerja sekaligus sahabat karib kakakku…” jawabnya polos.

Hiroto hanya mengangguk pelan sebelum menyadari sesuatu. Ia terdiam sebentar. “Hahh? Temannya Uruha, kakakmu?” Ruki mengangguk yakin. “Ru… kakakmu itu kan jaraknya hampir delapan tahun denganmu, dan… err…” Hiroto menelan kata-katanya kembali, berusaha untuk tidak menambah kesusahan Ruki.

~†~†~†~

“Enam hari… sudah enam hari aku di sini…” Ruki menelungkupkan wajahnya ke dalam bantal itu. Sudah satu jam penuh ia begitu, tidak melakukan apa pun. Pemuda kecil berambut coklat itu berguling di ranjang besar itu.

“Rei-niisan…” ia tahu bahwa ia sebenarnya tidak boleh memasuki ruangan Reita tanpa seizin pemiliknya, namun rasa lain menuntunnya untuk memasuki kamar itu. Tangannya mendekap bantal yang biasa digunakan Reita untuk tidur, menghirup wangi yang sekarang lebih memabukkan, wangi milik Reita.

Lalu matanya tertuju kepada foto Reita yang dipajang di atas meja di samping ranjang itu. “Foto Reita-niisan…” ia mengusap kaca pigura itu, mengamati dengan seksama. Sebenarnya ada rasa sangat bersalah yang ia dapatkan setiap kali jantungnya berdetak lebih cepat saat pemuda pirang itu berada di dekatnya.

Delapan tahun, delapan tahun jarak usia mereka… Reita dua puluh tiga tahun, dan Ruki masih lima belas tahun. Lalu apakah itu menjadi dosa jika mereka berdua saling jatuh cinta? Lalu semua orang akan menatap mereka, menganggap mereka tidak pantas karena usia mereka yang terpaut delapan tahun. Terlalu jauh…

“Rei…ta…?” ia menelusuri bingkai pigura itu, lalu menemukan celah kecil yang memanjang, ada yang salah… ada yang sangat salah… ia melihat ada sebuah foto lain di balik foto itu. Apa ini?

Kemudian Ruki memandangi foto itu lamat-lamat. “Ini… aku???” ia mencoba mengecek jika matanya salah atau penglihatannya menjadi sangat buruk. Meskipun ia melihat dari sudut mana pun, ia tahu, ini fotonya, foto diriNYA yang sedang duduk di sebuah ayunan besar berwarna putih, menyangga dagunya dengan sebelah tangan, terlihat sedang melamun. Tapi kapan foto ini diambil?

“Ru…?” suara yang sangat dalam itu membuatnya tersentak. Ruki menoleh, terpaku akan sosok pemuda itu yang membeku di depan pintu. Ia menyadari jika tangan pemuda kecil itu memegang benda yang selalu ia pandangi setiap malam, sejak pertama kali ia bertemu Ruki…

Pemuda itu sudah membuat album sendiri tentang Ruki, bahkan, setiap kali ia bisa memperbaharui foto Ruki di piguranya, ia akan memperlakukan foto itu seakan memuja-muja kecantikannya dan keindahannya yang semakin bertumbuh dan terlihat.

~Flashback~
Reita POV

Aku baru saja mengantarkan temanku ini pulang, yeah… menyusahkan saja! Hanya karena terpeleset bola sepak, ia jatuh dengan gerakan lambat dan mendarat dengan sangat tidak mulus di lapangan. Ingin rasanya aku menggetok kepalanya itu dengan mistar besi yang kubawa saat ini. Jika aku tidak ingat ia baru saja jatuh, aku mungkin akan langsung melajukan sepedaku sekencang-kencangnya untuk pulang, bukannya menolong anak manja yang satu ini!!!

“Hoi Reita!!!” lalu kurasakan sebuah benda asing yang keras menghantam kepalaku.

“ARGH!!! Bakayaro!” aku mengusap kepalaku yang berdenyut, sakit juga, apa sih yang dilempar oleh anak berambut coklat madu yang aneh dan sok berkuasa ini?

Hehh? Aku mengambilnya, ternyata itu adalah sebuah buku sketsa, eh? Sketsa? Memang anak bodoh ini bisa menggambar ya? Yang kutahu ia hanya bisa bermain bola, gitar, video game, dan sedikit belajar, atau ia malah tidak menyentuh buku pelajaran sama sekali? Ahh… apa peduliku sih?

Aku mengamati gambar-gambar dalam buku sketsa itu. Banyak sekali gambar mengenai alam, indah, meski bisa kulihat goresan kekanakan dan kepolosan di buku sketsa itu. Memang siapa pemilik buku ini? Ru… ki? Oh, tapi kok tidak ada nama keluarganya? Atau ini nama panggilan ya?

“Reita… sana jemput adikku!” ia menyuruhku seenaknya setelah aku bersusah payah membawanya pulang ke rumah. Makanya, lain kali jangan latihan salto seperti itu!!!

“Apa? Jemput adikmu??? Seenaknya saja kau menyuruhku!!!” aku memukul balik kepalanya dengan buku sketsa itu.

“Jangan protes! Kau itu temanku ‘kan? Sana!!! Aku minta tolong untuk kau menjemput adik kecilku! Dia sedang bersekolah di Mirai-gakuen, sana jemput! Punggungku masih terasa sakit nih!” ia menepuk-nepuk punggungnya sendiri. Salah siapa dia begitu? Dasar teman yang egois!

“Baiklah… memang kapan harusnya adikmu itu pulang?” merentangkan tanganku yang terasa sangat pegal.

“Hehh? Sejak satu jam yang lalu…” aku terperangah mendengar nada bicaranya yang sesantai ini.

“HAHH? Satu jam? Kau gila ya??? Dasar Uruha, BAKA!!!” tanpa buang waktu aku berlari keluar dari rumahnya, masih sempat mendengar tawa Uruha yang membahana, kakak yang sinting menurutku.

Aku melajukan sepedaku sekencang mungkin, melewati jalan-jalan kecil hingga akhirnya bisa sampai ke depan Mirai-gakuen. Di sana aku bingung sendiri, menyadari betapa bodohya aku! Aku tidak sempat menanyakan nama adik Uruha padanya!!!

Kosong, halaman sekolah itu sudah kosong dan terlihat sangat sepi, tentu saja, jam pelajaran telah usai lebih dari satu jam yang lalu. Aku menyapukan pandanganku ke seluruh sudut halaman sekolah. Mana sih adik anak bodoh itu? Apa sama bodoh dan menyebalkannya dengan Uru… eh? Siapa itu?

Dari kejauhan aku melihat seorang anak kecil berambut coklat, sedang berbaring di sebuah bangku panjang. Tas-nya tergeletak begitu saja di sampingnya. Mungkin saja itu adik Uruha? Aku tidak yakin… tapi apa salahnya aku mencoba menghampirinya? Sebab tinggal ia yang terlihat sendiri, mungkin menunggu Uruha terlalu lama?

Aku melihat ia seperti tertidur kelelahan, his tenderness skin in milky-colored, the cute chubby cheeks, soft darkbrown hair... long eyelahyes he has and, I could saw the red plush kissable lip... All of the part mixed into the adorable angelic face, I thought that he looks the most beautiful creature which created by God’s hands in the world…

Namun aku berusaha membuang pikiran-pikiran anehku jauh-jauh, lalu bertanya untuk memastikan, “Maaf?” anak itu membuka matanya.

Aku tak tahu, entah kenapa mata coklat tua yang besar itu membuatku sangat gugup, pandangannya begitu lembut dan-ARGHH!!! Berpikir apa sih aku ini?

“Apakah kau adik dari… Uruha?” aku bertanya ragu-ragu, anak itu memiringkan kepalanya sedikit, membuat rambut coklatnya jatuh menutupi sebelah mata, dan aku merasa sangat aneh akan detak jantungku.

“Uruha?” suaranya lembut terdengar. “Ruki memang adik Uru-niisan. Nii-san siapa?” aku mendengar ia bertanya dengan nada takut-takut, manis sekali…

Aku mencoba tesenyum setulus mungkin, “Aku? Aku teman kakakmu… namaku Reita, namamu Ruki ya?” ia mengangguk pelan, tingkahnya polos sekali di mataku. “Senang berkenalan denganmu Ru…” aku menyodorkan tanganku untuk bersalaman dengannya.

Lalu entah perasaan apa yang mengalir dengan cepat, ketika tangan kecil itu menyentuh kulitku, membuatku menutup mata untuk meresapinya. “Reita-niisan?” aku membuka mata, melihat wajah polosnya terlihat manis sekali. Matanya menatap ke genggaman tangan kami berdua, “Reita-niisan… sakit…” ia mengerang sedikit.

Aku terkejut, menarik tanganku cepat-cepat, rupanya kau telah tidak sengaja meremas tangan kecilnya, aku merasa wajahku terasa sangat panas. “Err… Ru, lebih baik kita pulang sekarang… aku disuruh kakakmu untuk menjemputmu.” Ia mengangguk lagi, dan sekejap saja kami telah menelusuri jalanan dengan santai. Aku sangat bersyukur membawa sepeda dengan boncengan, bukan sepeda balap yang biasa kubawa, hingga Ruki kecil ini bisa duduk nyaman sepanjang perjalanan.

“Rei-niisan… lihat matahari terbenam, indahnya…” aku tersenyum mendengar kata-kata polosnya, manis sekali anak ini, berbeda dengan kakaknya yang malas dan kurang peduli akan orang lain…

~†~†~†~

Lagi, keheningan menyelimuti mereka berdua, keheningan yang terasa hangat, namun membuat jantung mereka masing-masing berpacu lebih cepat. Pemuda pirang itu menyandarkan kepalanya di sofa dengan bingung, dan di sebelahnya, pemuda yang lebih kecil terlihat menyandarkan kepalanya pada sisi sofa yang lain.

“Ru…” ia berusaha membuka mulutnya, namun lidahnya terasa kelu. “Ru… aku…” pemuda pirang itu menoleh, dan ia merasa tertohok oleh pandangan Ruki, pandangan polosnya yang terlihat manis, selalu seperti itu. Selalu berhasil membuat otaknya bekerja dengan sangat tidak baik, membuat detak jantungnya dalam irama yang semakin menakutkan.

“Rei-niisan?” ia memiringkan kepalanya, bingung menatap Reita yang sejak tadi hanya memanggil namanya tanpa melanjutkan bicara.

“Ru… I love you.” Ucap Reita singkat padat dan sangat jelas untuk bisa dicerna oleh Ruki yang masih merasa ada yang salah dengan pendengarannya, ia tidak yakin jika Reita baru saja mengucapkan perkataan yang selalu ia tunggu sejak lama, sejak dulu takdir menyapa mereka di senja itu.

“Rei-nii? Tadi… apa…” Ruki masih bingung mencari-cari kata yang cocok untuk menggambarkan suasana ini, seperti jalur berliku tercipta di dalam pikirannya.

“I love you. I love you… I love you a lot, I’m become a mad because of you, Ru…” well, Reita said it in a deep and soft tone seriously, made his own cheeks getting heat. What the hell he said??! Now he couldn’t lifted his handsome face to faces Ruki’s angelic face, because his face was totally in red. Dumbass!

“Rei-niisan… I… I… love you too…” he bit his own plush lip nervesly, make his lip looked more irretisible to be kissed, to be abused.

He never thought his brother’s bestfriend – which in the facts is eight years elder than him, will said love for him, it’s like a… a dream. Yeah, maybe it just a dream in his daydreaming time? Maybe the elder never noticed and never has same feeling like him? Yeah, he was pretty sure, it’s just a sweet dream.

“Mm… what is it just a dream? My sweet dream?” he asked like a dumb, because he can’t belieft while Reita said ‘I love you a lot’ for him, just for him.

“Dream? You say it a dream in a whole beautiful night passed, cute?” the elder made a move towards the younger fragile-figure.

“Cute? What did Rei-niisan mean?” he tilted his head, faces Reita.

“Cute… you’re so cute Ru, nobody ever told you huhh?” those words made the younger’s chubby cheeks blushing in a beautiful way, so innocent.

“No! I’m not cute Rei-nii!” he pouted as Reita chuckled happily, love at the loveable cute sight.

“Yes you are! You are absolutely cute Ru-chan…” he teased Ruki again, made the younger pouted again, how so adorable! Inner thought, Reita wanted to pinching or kissing or biting those cute chubby cheeks, anything he can do to taste it.

“Ugh…” the brunette hissed whiles the blond watching him intensly. “Huh? What’s the matter Rei-oh…” he gasped because Reita gives him a deep kiss.

The kiss parted by Ruki, he feel it’s not the right thing they could do, “I love you… I love you… I love you since we met in a first time… I love you in the first sight Ru…” Reita said it so fast just like singing, made Ruki look confessed again. What’s it spells for begging his pure heart?

The younger, smile alightly in angelic gesture, “Rei-nii… I love you too.” Then Ruki leant down his head, inhaling his deep breath as Reita pecked his plush lip gently.




To be continued…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar