Rabu, 26 Mei 2010

Sensibility Eight (chapter 5 - Reita's birthday fic)

Title: Sensibility Eight (chapter 5 - Reita's birthday fic)
Starring: the GazettE, and everyone who shown in this absurd story…
Author: Sa~
Genre: fluff, humour
Rating: PG-14
Pairing: Especially for Reita x Ruki (meski ada sedikit Tora x Saga)
Warning: Reita… apakah dia seorang pedophile??? err... kisu?
Disclaimer: I’m not owned anything… Ruki belongs to Reita forever and ever~~!!!
Summary: Di pagi hari yang cerah, kala matahari pagi masih menyinari dunia dengan sinar hangat yang menyenangkan dan indah… Reita menerima kabar paling menakutkan yang membuatnya harus menahan berbagai rasa yang ada di dalam hatinya mati-matian.


Lagi-lagi Ruki mendapat pengajaran dari sepasang kekasih di seberang apartment itu secara tidak sengaja. Mereka terlihat sangat bahagia dan terlalu mesra, memancing sebuah pertanyaan dari pikiran polos Ruki.

“Saga-niisan…” hari Sabtu pagi itu Ruki memberanikan diri untuk mengetuk pintu apartment di seberang, yang sama persis dengan pintu apartment di belakangnya.

Dari dalam terdengar langkah kaki pelan, lalu pintu terbuka, menampakkan figur langsing dan wajah cantik Saga dengan rambut pirangnya yang masih basah sehabis mandi. “Hei Ruki? Ada perlu apa?” ia berdiri di ambang pintu, menatap Ruki yang terlihat sedikit gugup.

“Ng… aku boleh masuk?” ia bertanya ragu-ragu. Setelah melihat senyum Saga dan anggukannya untuk mempersilakan ia masuk, ia pun memasuki apartment itu.

Saga meletakkan secangkir teh di hadapan Ruki, begitu juga dengan sekotak cookie yang langsung diambilnya. “Jadi ada perlu apa kau kemari Ru?” ia bertanya pada Ruki, memakan sepotong cookie sementara kedua bola mata Ruki berputar menyapu seluruh penjuru ruangan, terlihat mencari sesuatu di sana.

“Err… Ru-chan?” Saga bertanya lagi.

Pemuda kecil itu terlihat kaget, “Eh? Ng… Tora-niisan tidak ada di sini ‘kan?” ia balik bertanya, membuat Saga mengernyitkan dahinya bingung.

“Tora? Tidak, dia tidak ada di sini sekarang… Ada apa kau mencarinya, Ru? Apa kau memiliki keperluan dengannya? Maaf ya, sayangnya dia sedang keluar…” jelas Saga, mengamati tingkah pemuda kecil itu.

“Tidak… bukan… hanya saja jika ada Tora-niisan, aku tidak bisa berbicara dengan leluasa kepada Saga-niisan.” Ucapnya cepat, seraya meneguk teh di hadapannya sekedar untuk membasahi kerongkongannya yang terasa sangat kering.

Saga hanya tersenyum kecil, “Memang Ruki-chan mau bicara apa denganku?”

Pemuda kecil itu terdiam sebentar, mencoba meneliti sorot mata Saga, berusaha mencari sesuatu yang bisa dipercayainya, dan rupanya ia menemukan itu. “Saga-niisan, apa… apakah Saga-niisan berjanji untuk tidak mengatakan apa pun yang aku katakan hari ini, jam ini, detik ini, kepada siapa pun?” nada bertanya Ruki terdengar mendesak dan khawatir.

Saga mengernyitkan dahinya, namun Ruki segera menyambung setelah melihat tanda-tanda pemuda cantik di hadapannya ini membuka mulut untuk mengeluarkan protes-protes yang mungkin bisa memperpanjang masalahnya. “Tolong… jawab saja…” pintanya sedikit memelas.

Saga terlihat bimbang sejnak, namun akhirnya mengangguk pelan. “Ya, tentu saja… kau bisa mempercayaiku Ru-chan, aku tidak akan mengatakan apa pun yang kau katakan hari ini kepada seorang pun.” Ia meyakinkan Ruki.

“Bahkan pada Tora-niisan sekali pun?” ia bertanya lagi.

Saga mengangguk lagi, tersenyum ramah, “Ya, bahkan kepada Tora sekali pun.”

Ruki tersenyum samar, melanjutkan. “Saga-niisan, aku hanya ingin bertanya dengan Saga-niisan, aku ingin meminta pendapat dari orang yang bisa dipercaya. Aku tahu, Saga-niisan pasti bisa dipercaya, maka dari itu… aku tidak bisa menemukan siapa pun lagi yang bisa dipercaya olehku sendiri selain Saga-niisan.”

Saga, pemuda cantik itu berhenti memakan cookie-nya, menatap pemuda kecil di hadapannya dengan bingung, sangat bingung tentunya. “Ya? Apa yang ingin kau bicarakan? Apakah sangat penting?” Ruki mengangguk keras.

“Aku… aku sejujurnya ingin meminta pendapat… dan saran dari Saga-niisan, apakah aku pantas jika… jika mencintai Reita-niisan yang pada faktanya, berjarak delapan tahun denganku?” Saga membelalakkan matanya, menelan sisa kunyahannya dengan susah payah. Kenapa? Kenapa ia yang selalu jadi tempat berbagi masalah?

~Flashback~
Ruki POV

Aku duduk di sini, menatap Uruha-niisan yang sedang berlari di tengah lapangan bola, berkelit dan meloncat. Menggiring bola sepak yang terus berputar melintasi lapangan rumput hijau yang berkilauan tertimpa cahaya matahari.

Kenapa aku bisa di sini? Terdampar di lautan manusia yang aku tahu akan menghimpitku dan mungkin menginjakku tanpa menyadarinya sedikit pun karena terlalu, aku tekankan, terlalu! Terlalu bersemangat menonton pertandingan ini? Pertandingan sepak bola persahabatan antar SMU yang diselenggarakan di SMU tempat kakakku satu-satunya bersekolah.

Ya, aku terjebak di sini. Aku bingung, jujur saja, aku duduk di bangku pertandingan, menatap para pemain yang berlari, mengejar bola yang bergulir ke sana kemari, lalu menendangnya lagi.

Ah, aku merasa leherku semakin pegal saja, dan mataku semakin perih setelah kemarin aku harus terus-menerus mengerjakan setumpuk tugas dari guruku. Aku merasa tak kuasa menahan kantuk, namun orang-orang di sekitarku terus berteriak, berceloteh dengan sangat membisingkan. Bagaimana aku bisa tidur dalam suasana seperti ini? Panas… aku merasa sangat kepanasan dan lemas…

“GOAL!!!!!!” semua orang tiba-tiba berdiri, mengagetkanku yang tengah melamun memandangi sosok itu. Sosok berkeringat di tengah lapangan, dengan rambut pirang acak-acakannya yang berkilau tertimpa teriknya cahaya matahari siang ini.

Terus terang saja, aku takut… aku sangat takut jika aku menjadi semakin tertarik untuk memandangi sosok itu lebih lama. Karena saat sosok itu membalas tatapan mataku, sinar matanya sangat hangat dan melindungi, seakan ingin mengatakan, aku orang baik, aku orang ramah… tapi kenapa? Kenapa aku seperti ini?

Sosok itu berjalan, atau lebih tepatnya berlari dengan senyum penuh kemenangan yang lebar menghiasi wajahnya yang tertutupi sebuah bandana putih. Hmm? Aku tidak tahu alasannya memakai bandana itu. Untuk apa?

Aku tidak tahu, aku merasa jantungku berdegup sangat kencang melebihi rotasi pergantian detik demi detik. Aku tidak tahu, ini apa? Apa aku takut? Biasanya jika jantungku berdetak seperti ini, aku merasa takut, sangat ketakutan, atau gugup... Kenapa?

Aku… aku tidak tahu, kenapa aku selalu menunduk, memalingkan wajahku yang entah mengapa langsung memanas dengan cepat saat mata tajam milik sosok itu menatapku. Atau saat kami tak sengaja bersentuhan, aku tidak tahu. Aku hanya merasakan jantungku berdetak dengan sangat cepat, merasakan rasa lain menjalariku. Ugh… aku tidak tahu. Aku merasa pusing sekarang…

“Ru?” aku berusaha mengangkat wajah piasku yang disangga oleh lenganku sendiri, buram… siapa? Uruha-niisan? Re… Reita-niisan???

“Ru? Wajahmu pucat!” hanya itu yang kudengar. Lalu aku merasa diangkat, aku tidak tahu, pusing… buram…

“Rei-nii?” aku berusaha mengeluarkan kata-kata dari pikiranku yang terlintas saat itu. Sakit… tenggorokanku sangat sakit rasanya, kering…

Kemudian aku tidak tahu, rasanya dingin, membasahi kekeringan yang aku rasakan semenjak pagi tadi… sangat menyegarkan… air? Semua menjadi terang kembali, aku bisa melihat jelas, bukan Uruha-niisan yang ada di hadapanku. Tapi sosok yang sejak awal pertandingan aku amati seksama, kini ia tidak jauh lagi, kini ia sangat dekat. Ada tepat di depanku, dan terlalu dekat… ugh…

“Ja… menjauh…” aku memundurkan kepalaku, sekali lagi, seperti yang sudah-sudah, aku merasakan detak jantungku berpacu cepat sekali, kenapa? Kenapa???

“Ru… jangan begitu, kau dehidrasi…” aku merasa ada tangan lain dari belakangku, aku merasa tangan itu melingkari tubuhku dengan cepat, nyaman.

“Uruha-niisan?” tangan itu merangkulku, mencoba menenangkanku.

“Itu ‘kan salahmu…” sosok di depanku melihat Uruha-niisan dengan sangat tajam, menyilangkan tangannya di depan dada. Kenapa? Apa ia marah?

“Dasar Uruha bodoh! Adikmu ini masih terlalu kecil! Kau menyuruhnya duduk di tengah kerumunan orang dengan teriknya matahari siang ini tanpa kau beri minum sedikit pun? Kakak macam apa kau???” Aku merasa agak aneh, aku hanya dehidrasi ‘kan? Kalau tidak salah itu artinya kekurangan cairan tubuh, lalu kenapa?

“Maaf Ruki-chan…” aku hanya bisa menunduk selagi kakakku terus-menerus meminta maaf seperti bernyanyi di telingaku.

“Tidak apa… aku baik-baik saja.” Tapi aku bisa melihat ada sorot mata khawatir dari kakak maupun Reita, teman kakakku. Jangan… jangan melihatku begitu, memang ada yang salah? Aku takut… aku takut karena jantungku terus berdetak, seperti ingin meloncat dari tempatnya… jangan… aku takut…

~†~†~†~

Saga terdiam, bingung akan apa yang harus ia katakan. “Ru… itu tidak salah, kau mencintai, tak ada yang salah dari hal itu. Semua orang melakukannya, seperti aku dan Tora. Meskipun umur kami berjarak, yah… meski tidak terlalu jauh sepertimu dengan Reita… umur kami hanya berjarak dua tahun. Tapi intinya, tidak pernah ada yang salah dengan hal itu.” Ia tersenyum, dan Ruki merasa ada perasaan hangat yang menenangkannya.

“Jadi Saga-niisan setuju?”

Saga mengangguk. “Ya, tentu saja. Aku sangat setuju kau dengan Reita, dia pemuda yang baik, sangat baik. Namun ingat Ruki, tidak semua orang berpendapat sepertiku, jadi kau harus berhati-hati dalam memilih perkataan untuk menjelaskan hubunganmu dengan Reita. Kau anak baik…” ia tersenyum lagi, melihat Ruki yang terlihat sangat manis karena salah tingkah.

“Ya? Tentu… aku akan selalu mengingat perkataan Saga-niisan dengan baik, tersimpan di dalam memoriku,” ia tersenyum manis seraya mengetuk dahinya sendiri.

Saga tersenyum, dan Ruki masih terus melanjutkan. “Tapi… aku ingin bertanya satu hal lagi.” Ruki memasang mimik serius kembali, sementara Saga menghabiskan potongan cookie terakhirnya.

“Apa… apakah…” Ruki berusaha mengatakannya, Saga tetap memperhatikan sambil meminum tehnya sendiri. Tidak terdengar oleh mereka suara seseorang membuka pintu apartment, sekarang sedang membuka sepatunya sendiri.

“Apakah…” orang itu meletakkan sepatunya ke rak, berjalan menyusuri lorong dengan sangat santai, menyandang tas kerja-nya di bahu, dan membawa kantong plastik besar.

“Apakah saat melakukan ‘itu’ terasa sakit?” ia menelengkan kepalanya. Segera saja Saga hampir menyemburkan tehnya yang belum sempat ditelan.

“Buhh…” ia mengambil tissue, mengelap mulutnya terburu-buru. Ruki merasakan wajahnya memanas, ia menunduk cepat setelah mengatakan hal itu.

“HEHH???” ada suara orang lain yang merasa lebih terkejut lagi setelah ia baru saja datang, dan disambut pertanyaan dengan polos yang meluncur dari bibir Ruki.
Saga, pemuda itu merasakan seluruh wajahnya memanas, dan ia berdua bersama Ruki mengangkat wajah, menengok ke asal suara itu. Bibirnya terasa terkunci sangat rapat.

“To… To-shi? Ka… kau sudah pu… pulang?” ia berkata dengan sangat gugup, begitu juga dengan Ruki ia terlihat salah tingkah setelah bertanya seperti itu.

“Yeah… I’m home Sagacchi…” Tora menunduk, membisikkan sesuatu di salah satu telinga Saga. Yang bisa Ruki lihat adalah wajah Saga yang semakin merah, memukul pelan pundak Tora, dan Ruki merasa sangat tidak enak berada di situ.

“Ng… a… aku mau pulang ya… Tora-niisan, Saga-niisan…” ia berdiri, melihat Tora mengangguk pelan, terlihat bersandar pada sofa, tepat di belakang Saga.

Ia berlari ke pintu, hal terakhir yang dilihatnya saat itu adalah sebuah seringai yang terukir jelas di wajah tampan Tora. Entah apa yang dipikirkan oleh pemuda berambut hitam itu.

~†~†~†~

Pemuda berambut madu itu berjalan dengan sangat santai, menarik kopernya yang terlihat sangat berat dan sarat akan barang-barang yang ia beli. Semua penuh akan oleh-oleh untuk teman-temannya, dan tentu saja, untuk adik semata wayangnya yang selalu berlaku manis. Setiap ia melangkah, ada berpasang-pasang mata yang memandanginya dengan kagum, tampak terkeShima akan penampilannya.

Ia mengambil ponsel berwarna ungu tua dari kantong jaketnya, menekan speed dial, mendengar nada sambung pelan darinya.

~†~†~†~

Ruki, pemuda kecil itu berusaha berguling dari tempat ranjang yang nyaman, atau lebih tepatnya dari dalam pelukan hangat pemuda pirang yang lebih tua itu, Reita…
(author: …???) Mengusap matanya yang belum terbuka dengan sempurna, ia meraih ponsel Reita yang berdering memekakkan telinganya.

“Hng… moshi moshi?” ia menjawab dengan malas, masih mengantuk.

“HEH? Ini… Ru-chan?” suara di seberang sana terdengar terkejut. Ruki membuka mata sepenuhnya, memasang telinganya baik-baik, mendengarkan suara yang sangat dikenalnya, Uruha?

“Eh? Uru-niisan?” ia bertanya, pemuda pirang di belakangnya terbangun, menggosok wajahnya dengan keras, menyadarkan dirinya setelah kemarin malam ia jatuh terlelap, tidur sambil tetap memeluk tubuh rapuh yang dicintainya. Reita mengamati pemuda kecil yang sedang ada di sebelahnya, menerima telepon dari kakaknya.

“Siapa Ru?” ia bertanya, melingkarkan lengannya di sekeliling tubuh kecil itu.

Ruki berjengit sedikit, “I… ini Uru-niisan, ia ingin berbicara dengan Reita-niisan.” Ia menyodorkan ponsel itu kepada Reita yang menerimanya dengan malas. Kedua mata hitam itu tak pernah lepas dari gerak-gerik Ruki. Pemuda kecil itu menunduk malu, menutup mulutnya dengan sebelah tangan, menahan kuapnya.

“Hei Uru, apa kabar kau?” Reita menyapa Uruha selagi tangannya mengacak rambut Ruki yang sekarang terlihat berdiri, berjalan ke kamar mandi.

“Hei Reita, aku baik-baik saja. Apa kabar Ruki? Apakah ia merepotkanmu?” Uruha bertanya seolah-olah Ruki adalah anak kecil yang baru masuk taman kanak-kanak dan selalu rewel jika tidak diberikan mainannya.

Pemuda itu tertawa kecil, melihat sosok Ruki yang baru saja memasuki kamar mandi, memegang handuk dan pakaian bersihnya. “Hah? Tidak kok… dia bertindak sangat manis… aku menyukai-“ dan Reita langsung terdiam, sadar akan apa yang hampir saja keluar dari mulutnya.

Uruha menaikkan salah satu alisnya, melangkahkan kakinya untuk keluar dari Narita International Airport. “Menyukainya? Kau menyukai adikku, Reita?” ia berhenti, melambaikan tangan untuk memanggil taksi.

Reita membenarkan duduknya, “Aku? Err…” ia menggigit bibir bawahnya sendiri.

Blamm…
“Ayolah! Kau menyukainya ‘kan?” ia membenarkan duduknya di kursi penumpang, kopernya sudah dimasukkan ke bagasi oleh supir taksi itu yang kini telah duduk kembali di belakang kemudi. Uruha menutup ponselnya dengan tangan, “Saraba Apartment.” Lalu ia memasang pendengarannya baik-baik, menunggu jawaban Reita.

“Iya… iya… iya aku menyukai adikmu, aku bukan hanya menyukainya, Uru. Aku mencintainya, terlalu mencintainya.” Ia merasakan wajahnya memerah dengan sangat cepat, ia bisa membayangkan seringai kemenangan Uruha di seberang sana.

“Heheh, benar ‘kan? Kau tak usah malu-malu begitu, aku juga sebenarnya sudah tahu dengan melihat tingkahmu dan caramu memandangi adikku…” ia tertawa senang, menjahili orang lain memang salah satu hal favorit yang sering sekali ia lakukan.

“Iya. Lalu kau ada di mana? Kau masih lama di sana?”

“Tidak juga… bahkan, saat ini aku sedang berada di dalam taksi. Aku sedang dalam perjalanan ke apartment-mu.” Ia tertawa di sela-sela saat ia berbicara.

Reita menegakkan posisi duduknya, “HAH??? Hari ini? Bukannya kau masih harus dinas lima hari lagi? Kenapa cepat sekali???” ia mengacak rambut pirangnya. Di luar, Ruki baru saja mengeringkan rambutnya dari sisa butir-butir air dingin.

Uruha menaikkan salah satu alisnya. “Kenapa? Kau mengharapkan Ruki lebih lama tinggal bersamamu ya?” ia menyipitkan mata berbahaya. “Apa yang kau rencanakan, Suzuki Akira?”

To be continued…

~†~†~†~

lagi swt... manisnya ruki... untuk kado reita yah... XDD

Tidak ada komentar:

Posting Komentar