Rabu, 05 Mei 2010

Sensibility Eight (Chapter 1)

Title: Sensibility Eight (Chapter 1)
Starring: the GazettE, and everyone who shown in this absurd story…
Author: Sa~
Genre: drama? Fluff? Humour?
Rating: karena umur saya 15 jadi… Parent Guide-15
Pairing: Especially for Reita x Ruki (meski ada sedikit Tora x Saga)
Warning: Reita… apakah dia seorang pedophile??? A little bit of smut scene…
Disclaimer: I’m not owned anything… Ruki belongs to Reita forever and ever~~!!!
Summary: Di pagi hari yang cerah, kala matahari pagi masih menyinari dunia dengan sinar hangat yang menyenangkan dan indah… Reita menerima kabar paling menakutkan yang membuatnya harus menahan berbagai rasa yang ada di dalam hatinya mati-matian.




“Rei-niisan?” sosok pemuda kecil berambut coklat lembut menghampirinya. Ia membawa setumpuk buku tebal yang terlihat sangat berat.

Reita merasa sedikit tersentak, menjawab panggilan itu dengan gugup, “I… iya?”

Pemuda itu tersenyum lembut, “Rei-niisan mau bertemu Uru-niisan ya?” ia bertanya, sedikit menengadah untuk menatap Reita.

Pemuda pirang itu merasa semakin gugup, “Eh? I… iya.” Ia berusaha tersenyum menatap pemuda kecil itu, namun rasa gugup mengalahkannya.

“Tapi… Rei-niisan lupa ya? Uru-niisan ‘kan sekarang sedang pergi dinas ke luar negeri…” ujarnya santai, tertawa melihat wajah Reita yang menjadi sangat merah.

“Hahah… aku hanya bercanda Rei-niisan…” ia menepuk bahu Reita. “Aku harus masuk ke apartment dulu…” pemuda kecil bernama Ruki itu nampak kesulitan mengambil kunci di kantongnya. Melihat itu Reita mengambil semua buku yang dipegang Ruki, membuat Ruki tersenyum, lalu membuka pintu dengan mudah.

“Terimakasih banyak Rei-nii…” ia mau mengambil buku itu kembali, namun Reita menahannya.

“Di mana mau kau taruh buku ini? Biar aku atur…” ujarnya ramah.

Ruki tersenyum manis, membuat Reita merasa bertambah gugup. ‘Sial! Aku harus sadar… dia ini adik Uruha… terlebih jarak umurnya denganku sampai delapan tahun… apa kata orang nanti?’ ia berpikir dalam hati, merapikan tumpukan buku itu di dalam lemari buku.

“Nah… Rei-niisan mau minum apa? Kopi? Teh? Jus?” Ruki terlihat sedikit berjinjit saat mengambil gelas.

“Eh? Mungkin kopi?” pemuda pirang itu mengendorkan ikatan dasinya, seraya duduk di sofa yang nyaman.

Ruki meletakkan secangkir kopi di depan Reita, meminum jus-nya sendiri. “Nah… lalu, perintah apalagi yang diberikan Uru-niisan kepada Rei-niisan?” tanyanya tajam.

“Eh?” Reita terlihat bingung, tersenyum. “Jadi kau sudah tahu ya?” Ruki menggeleng.

“Aku hanya menebak… jika Rei-niisan ke mari, pasti Uru-niisan yang menyuruh… aku tahu kok…” ia menatap Reita dengan tatapan yang tak bisa dilukiskan, antara senang, dan mungkin… sedikit kecewa.

“…” Reita terdiam. Bukan… bukan ini yang mau ia dapatkan… harusnya ia melihat senyum manis itu siang ini, bukan tatapan seperti itu.

“Tapi… aku sudah senang jika Rei-niisan mau mampir ke sini sesekali.” Ia berkata lagi, tersenyum dengan sangat manis, membekukan Reita, membuat otaknya bekerja dengan sangat tidak sempurna dan batinnya menjadi semakin menyesatkan.

~Flashback~

“HAH? Dua minggu?” Reita terbelalak mendengar kata-kata Uruha yang mengagetkan bagai badai petir di siang hari.

“Iya Rei, dua minggu saja… aku harus dinas ke luar negeri… hanya dua minggu kok! Tolong ya…” Uruha memohon pada Reita yang tampak membeku, dan mungkin sebentar lagi akan mati karena terkena serangan jantung.

“Ta… tapi…” Reita berusaha mencari kata yang lebih baik. ‘Tapi aku harus menjaga anak yang sangat polos dalam waktu dua minggu… apa kau tahu jika waktu itu cukup untuk berbuat apa sa- AARRGGHHH!!!’ pikirannya rupanya telah bekerja dengan sangat baik dalam hal menyesatkan nuraninya.

“Nah! Dua minggu… aku minta kau menjaga Ruki hanya untuk dua minggu! Kau sanggup ‘kan?” Uruha bertanya setengah mendesak, ponselnya sudah berdering nyaring seakan juga ikut tak sabar akan jawaban pemuda pirang itu.

Entah pikiran sesat apa yang menelusup ke dalam pikirannya, Reita mengangguk pelan. Sudah cukup menjadi jawaban bagi Uruha yang langsung melesat pergi ke bandara. Rupanya Tuhan berkenan mengabulkan doanya untuk selalu bersama dalam jangka waktu yang lama dengan pemuda kecil yang manis dan lugu itu. Meski dengan cara yang lebih merupakan hukuman dan siksaan batin daripada sebuah kesempatan…

~†~†~†~

“Untuk sementara ini… kau bisa tinggal di apartment-ku.” Reita menaruh barang-barang Ruki di sebuah kamar kosong untuk tamu. Di ruang tamu terlihat Ruki sedang mengamati pajangan yang terlihat seperti gitar dari kaca berukuran mini.

Ia melompat memasuki kamar itu, “Reita-niisan~~” Ruki tak sengaja mengagetkan Reita. Membuat pemuda pirang itu terantuk koper berat Ruki, menabrak tubuh kecil Ruki yang berdiri di hadapannya.

“Gyaa~!!!” Reita jatuh menimpa Ruki, tubuh kecil itu tak kuat untuk menopangnya.

“Maaf!!! Maaf…” Reita berdiri tergesa-gesa, mengulurkan tangannya untuk membantu Ruki bangun. Ia bisa melihat kedua pipi Ruki memerah.dengan manisnya.

“Ugh… maaf Rei-niisan…” ia menatap Reita dengan pandangan yang sangat polos dan manis, membuat Reita ingin- stop! Otaknya makin menyesatkan!

“I-iya… tidak apa Ru… aku… aku teringat aku ada pekerjaan…” Reita pun melesat keluar kamar, kabur meninggalkan Ruki yang duduk di ranjang dengan wajah sangat merah dan bingung. ‘Kenapa ini?’ pikir Ruki, menggigit bibir bawahnya sendiri.

~†~†~†~

“Reita-niisan… aku ingin mengatakan jika…” Ruki terdiam sebentar. “Jika aku tidak membawa bajuku sama sekali,” jelasnya takut-takut.

Reita mematung, koran yang sedang dibacanya terkulai lemas di lantai. “EHH???” Ruki menunduk, hingga Reita berhasil menemukan kata yang tepat.

“Lalu, koper yang kau bawa itu berisi apa???”

“Eh? Itu… itu… buku-buku pelajaran, tugas-tugasku dan seragam sekolah,” sahutnya pelan, dan entah bagaimana tubuh Reita menjadi terkulai lemas seperti koran yang sekarang tergeletak menyedihkan di lantai itu.

Setelah lima belas menit berselang, Ruki keluar dari dalam kamar mandi dengan rambut coklatnya yang basah. Ia memakai kaus abu-abu yang dipinjamkan Reita kepadanya, dan kaus itu terlalu besar baginya. Ia juga mengenakan celana panjang hitam yang kata Reita terlalu kecil untuknya, namun nyatanya juga masih terlalu besar saat dipakai olehnya.

Mata Reita mengerling sesekali, mengalihkan pandangannya dari acara berita di televisi yang ditontonnya kepada Ruki. Ia bisa melihat pundak Ruki yang putih bersih terlihat jelas dari balik kaus itu, lengannya yang kecil juga terlihat dari balik lengan pendek kaus itu.

Reita meneguk ludahnya, berusaha mengacuhkan Ruki, tapi bagaimana bisa ia mengacuhkan makhluk secantik Ruki? Terlalu sayang untuk dilewatkan, terlalu sayang jika ia tidak menyen­dan Reita menggeleng dengan keras, berusaha menyingkirkan pikiran-pikiran kotor yang menari-nari dengan liar di benaknya.

“Reita-niisan?” sebuah suara lembut mengagetkannya. Mata coklat hazel Ruki menatapnya dengan bingung.

“Ya Ruki?”

Ruki memiringkan kepalanya sedikit, memasang pose paling manis yang bisa membuat siapa pun ingin bersujud memujanya. “Kenapa Reita-niisan terlihat aneh?”

Sejenak Reita terpana membeku, sebelum bisa menjawab. “Heh?” Reita hanya bisa menjawab dengan sangat bodoh, membuat Ruki tertawa renyah.

Wajahnya terasa memanas dengan cepat. “Ada apa Ru-chan? Kenapa kau tertawa begitu?” ia bertanya, wajahnya merah, ia tahu pasti kini ia terlihat sangat bodoh.

“Tidak… tidak apa…” ia tersenyum simpul. Lalu berkata lagi, “Reita-niisan…”

Reita menoleh lagi, wajahnya sudah kembali dengan ekspresi datar yang tidak bisa ditebak oleh siapa pun. “Ya?”

Ruki mengerucutkan bibirnya sedikit, “Aku lapar… tidak bisakah kita membuat atau memesan sesuatu?” ia bertanya.

Reita menepuk kepalanya sendiri, menyadari sifat pelupanya yang semakin parah hanya karena pikirannya bekerja terlalu keras untuk hal lain. Kau tentu tahu hal lain itu apa…

“Lebih baik kita memesan sesuatu… kau ingin apa Ru?” ia bertanya, memegang ponselnya sendiri.

Dengan cepat Ruki menjawab, “Spaghetti bolognaise…” Reita tersenyum simpul.

~†~†~†~

“Oyasumi Reita-niisan…” Ruki mengucapkan selamat tidur sebelum masuk ke dalam kamarnya untuk tidur.

“Oyasumi Ru,” belum sempat Reita memegang pintunya, Ruki sudah muncul lagi.

“Aah… bisakah besok Reita-niisan mengantarku? Aku belum tahu harus naik apa untuk pergi ke sekolah jika dari sini.” Sekali lagi, pandangan mata Ruki seakan mengaktifkan tombol di otak Reita untuk menjerumuskan pemiliknya.

“Ya? Pasti aku akan mengantarmu.” Mendengar itu Ruki tersenyum sangat manis sebelum masuk ke kamarnya untuk tidur.

Di dalam kamar, Reita merebahkan dirinya di ranjang. Namun detak jantungnya yang beradu cepat melebihi dua kali putaran jarum jam di dinding itu membuatnya tidak bisa tidur dengan nyenyak. Tangannya menggapai pigura di meja dengan foto Ruki di dalamnya, ‘Ruki… kau bisa membuatku gila!!!’ ia menjerit keras dalam hati.

~†~†~†~

Pagi itu Reita bangun, masih dengan wajah kuyu dan kurang terlihat kurang tidur. Setengah mengantuk ia membawa handuk dan membuka kamar mandi. Ia membuka bajunya sendiri sampai terdengarlah olehnya suara air yang mengalir pelan.

‘Heh? Aku ‘kan belum menyalakan air, siapa yang mandi?’ Ia membuka tirai buram kamar mandi itu, dan mereka berdua berteriak bersamaan.

“GYAAAAA!!!” yah… pagi yang tenang pun terusik oleh teriakan mereka yang terdengar sampai ke apartment sebelah atau mungkin seberang…?

Saga, the beauty blonde guy awakened by that noise, but a firm hand pulls him until felt into a warm embrace. It’s his charming boyfriend’s warm nestle. “Tora…?” he asked nervesly, the raven’s hand tightened his warm-comfortable embraced. It’s always like this… the ligt-haired man’s beautiful body made he wanted to capture that irrestisible red lip, abuse it more and more.

“Stay here Saga~~” he nipping Saga’s beautiful neck in a deep lust.

“Akh… wake up Tora! It’s morning already!” Saga tried to do his best resistance, but it’s useless in everyway, he still in Tora’s tight embrace.

“Hmm? Wake up?” the raven chuckled darkly. “I wanted to feel your tempting body… last night was amazing, Princess…” he whispered in one of Saga’s ear, made the younger blushing.

“Didn’t you hear that noise? Let me go!” Saga said as the raven roaming his own hand over Saga’s undressed body, feel the adorable tenderness he loved so bad. And Saga still not allowed to move aside, even an inchi.

“Ignore it! Please… not to be a care person for anyone else… except ME…” then Tora capturing Saga’s red lip hungrily…

Yeah… baiklah kita kembali pada dua orang itu…

“…” Mereka berdua terdiam. Ruki sudah memakai seragam sekolahnya-kemeja putih lengan panjang dan celana panjang hitam, memeluk lututnya sendiri hingga ia terlihat semakin kecil di atas sofa itu. Di seberangnya Reita duduk, menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

Ruki menatap Reita dengan takut-takut dari balik lututnya. “Reita-niisan…?”

Reita menengadah, menatap Ruki yang masih dalam posisi meringkuknya. “Hmm?”

Pemuda kecil itu menunduk sedikit, menggigit bibir bawahnya sendiri. “Ja… jangan dipikirkan ya… tadi Reita-niisan tidak sengaja ‘kan? Jangan dipikirkan…” ucapnya dengan sangat tidak yakin. Reita tidak sanggup berbicara apa pun, sampai Ruki sudah berdiri, mengambil tas sekolahnya dari dalam kamar.

Sepanjang perjalanan menuju sekolah Ruki, mereka berdua diliputi hening yang menyesakkan. Reita melihat wajah Ruki sesekali dari kaca mobil, mendapati anak itu bergerak gelisah di tempat duduknya.

To be continue…

~†~†~†~

Author’s note: memang harus ada bagian yang disensor kok… dan saya (sangat) mengakui… English saya di bawah rata-rata!!! Gyaaahhh~~ maafkan saya para reader… (saya tidak mau ada yang menodai fanfic ini…)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar