Selasa, 16 Agustus 2011

Fanfic: NOSY (Sequel of NIX – One-shot)

Current Music: the Gazette - Sugar Pain
Current Mood: agitated...

NOSY
(Sequel of NIX – One-shot)

Starring: ScReW, the GazettE, 12012
Author: Yuuji Sano
Genre: general…? romance. idiotic. fluff.
Rating: NC – 17
Pairing: Wataru x Ruki x Byou. Reita x OFC. Aoi x Kai.
Warning: written in Indonesian. Incest A bit of smut scene. (?)
Disclaimer: I’m owned Wataru, Byou and Ruki and never ever wanted to share them!!! =P (lies)
Summary: Di mana tempat paling baik untuk belajar? Di kamar mungkin…




Ting. Tong. Ting. Tong.

Bel tanda istirahat berbunyi. Disambut gembira oleh murid-murid di Okazaki Gakuen yang segera berlarian ke luar kelas. Berhamburan pergi ke kantin untuk mengisi perut mereka yang memprotes sejak empat jam lalu, kecuali Ruki.

Siswa bertubuh kecil – jika tidak mau dikatakan pendek – yang duduk di samping jendela dengan mata menerawang. Entah sudah ke berapa kalinya ia terlihat linglung dan tidak terlalu peduli dengan lingkungannya akhir-akhir ini. Ia bahkan tak beranjak sedikit pun dari tempat duduknya meski kelasnya sudah sangat lowong sekarang.

Seorang siswa lain dengan kain yang menutup sebgian besar wajahnya menyambangi, “Hoi Miyawaki!” ia menepuk bahu Ruki pelan, memecah konsentrasinya pada pohon pinus di ujung taman sekolah yang terlihat jelas dari tempatnya.

Ia menoleh malas-malasan, “Ya? Ada apa Suzuki?” lehernya terasa pegal dalam posisi yang sama sejak setengah jam lalu.

Siswa itu hanya menunjuk pintu kelas dengan ibu jarinya. “Tuh, adikmu datang mencarimu,” otomatis Ruki mengalihkan pandangannya ke arah ibu jari Reita – nama siswa itu – menunjuk.

… dan jantung Ruki berdegup kencang tak menentu. Di ambang pintu terlihat sosok yang paling dikenalnya selama 16 tahun kehidupannya. Sosok yang terutama ia coba hindari selama seminggu ini. Berusaha untuk tidak melakukan kontak fisik yang terlalu jauh.

“B-Byou…?” bisiknya ragu.

Reita mengernyitkan dahi, “Iya iya… itu adikmu, Miyawaki. Sudah sana kau datangi dia, dari tadi ia sudah tampil di sana, menghalangi pintu saja.” Ia berkeluh kesah dan berjalan menuju pintu melewati Byou yang membuka jalan untuknya.

Byou tertawa kecil melihat Reita lewat mendatangi Maggy, pacarnya yang menunggu di ujung koridor untuk pergi ke kantin bersama. Ia pun menoleh kembali dan tersenyum melihat wajah ragu kakaknya.

“Mau apa kau ke sini?” matanya tak berani membalas tatapan tajam Byou.

Senyum tersungging di bibir tipis Byou, “Lho? Kenapa kau bertanya begitu, Ru-chan?” ia meraih seberkas poni pirang yang menutupi mata Ruki dan menyingkirkannya. “Salah ya jika aku ingin bertemu kakakku sendiri?” ia membuat wajah pura-pura sedih yang di mata Ruki sudah cukup membuatnya merasa bersalah.

“E… eh? Tidak… maaf Byou, bukan begitu maksudku…” ia menautkan jemarinya dengan canggung.

Byou hanya tersenyum, “Bagus… kalau begitu mau ‘kan ke kantin bersamaku?” pertanyaannya lebih menyerupai perintah tak terucap, dan Ruki seperti biasa, mengangguk menuruti.

Mereka berdua berjalan santai ke kantin. Sebenarnya hanya Byou yang terlihat santai sementara Ruki gelisah menapaki lantai. Ia merasa sepasang mata selalu mengamati gerak-geriknya, mata Byou. “Apa?” dan Byou menjawabnya dengan senyum.

“Tidak, aku hanya teringat sesuatu… sesuatu yang sekarang jadi wallpaper ponselku.” Ia melambaikan ponselnya sendiri, Ruki membulatkan matanya mengingat kejadian seminggu yang lalu. Di saat ia gugup berbaring di atas ranjang, menunggu untuk Byou memulai sesuatu yang besar dalam hidupnya. Matanya membelalak saat blitz menghujaninya, tentu… dalam pose yang tidak bisa dianggap sebagai pose yang ‘wajar’.

“Ah! Kemarikan ponselmu!” tangannya menggapai tangan Byou, tapi adiknya itu mengangkat tangannya tinggi-tinggi, dan seperti yang diketahui khalayak umum, Byou jauh lebih tinggi daripada kakaknya yang hanya 158 cm itu. Pendek seperti anak perempuan~

“Heheh, coba saja kalau bisa~ Ru-chan ‘kan tidak sampai…” ia mengeluarkan lidahnya seraya melambaikan ponselnya di udara. Ya, kesenangannya adalah mengerjai kakaknya, mengurangi kestressan yang ia alami karena tadi baru saja mengerjakan soal latihan Biologi yang menyebalkan. Entah bagaimana nanti ia bisa lulus di mata pelajaran itu semester ini.

Ruki mengangkat kakinya dan memposisikan di atas sepatu Byou, “Kemarikan!” dan kakinya menginjak kaki Byou kuat-kuat.

“AWW!” ponsel yang terlepas dari genggaman tangannya segera disambut Ruki.

Ia buru-buru membuka kunci ponsel itu dan hampir berteriak melihat gambar yang menjadi wallpaper, “Byou!!!” dan Byou hanya nyengir tak bersalah melihat wajah Ruki bersemu merah. Di layar ponsel Byou hanya ada gambar yang berwarna hitam polos. Dasar iseng!

“Yah, aku tidak ingin mengumbar fotomu, aku hanya ingin melihatnya untukku sendiri, tahu!” dan itu sukses membuat pukulan-pukulan dari Ruki mendarat di dadanya, ia hanya tertawa. “Sudah ah… ayo ke kantin…” tangannya menggamit tangan kakaknya dan berjalan menuju kantin.

~†~†~†~

Ruki berbelok ke jalanan rumahnya, melambai ke arah Byou di persimpangan jalan di seberang. “Hati-hati ya, nanti jangan pulang terlalu malam…” dan ia membetulkan lentak kantung belanjaannya.

“Iya, tapi apa tidak sebaiknya aku membantumu dulu?” ia menunjuk kantung belanjaan yang menggantung di lengan ramping itu. Terlihat cukup besar dan berat.

Yang ditanya hanya menggeleng, “sudah sana cepat, nanti kau telat masuk kerja…” ia melanjutkan langkahnya menuju rumah sedangkan Byou hanya mengangguk dan meneruskan jalannya menuju café tempatnya bekerja. Jam di persimpangan itu menunjuk di antara angka tiga dan empat sementara ujung yang panjang ke angka tujuh.

Sesampainya di depan pintu belakang café, sang pemilik bernama Aoi menyapanya sebelum sempat masuk, “Hei datang juga kau, bocah Miyawaki…” tangannya yang besar mengacak rambut coklat Byou yang pada dasarnya sudah berantakan. Tangan lainnya bertengger di bibirber-piercing-nya, mengapit sebatang rokok Marlboro Menthol dan meniupkannya di depan wajah Byou.

“Uhuk uhuk…” ia mengibaskan tangannya, “singkirkan tanganmu om!” ia menepis tangan yang jemarinya penuh cincin besar-besar berwarna perak dari atas kepalanya.

Aoi tertawa, meniupkan asap rokoknya lagi ke sembarang arah, “Ah,” ia memandangi tangannya yang baru saja mengacak rambut Byou dan menatap pemuda tanggung di hadapannya dengan tatapan aneh.

Byou balik menatapnya, “apa?” tanyanya sengit.

Aoi tertawa lagi lalu menginjak rokoknya dengan boots kesayangannya, “Tidak, aku baru ingat kalau tadi aku baru saja membuang sampah dengan tanganku yang ini,” ia menunjuk tangan yang baru saja mengacak rambut Byou.

“Apa?!” mukanya berubah jijik dan segera membersihkan rambutnya, “dasar om-om jorok!” ia menerobos masuk dan menabrak Kai yang membawa nampan berisi sampah kulit buah.

“Oi! Hati-hati Byou.” Kai tak sempat lagi menepuk bahu Byou, ia menyeimbangkan tubuhnya dengan cepat. Di seberangnya Aoi duduk di bangku taman kecil yang ada di belakang café miliknya.

“Biarkan saja Kai-chu,” ia mengecup pipi Kai dan membuang sisa kulit buah itu ke tempat sampah.

Kai hanya mengangguk, “Kau apakan dia tadi, Aoi-kun?” dan oleh karena pertanyaan itu Aoi kembali tertawa. Tentu, musuh besar Byou dalam keisengan adalah Aoi, pemilik café tempat ia bekerja yang berwajah preman tapi mahir bermain gitar. Ia sering menghibur tamu di café-nya lewat permainan gitarnya.

Byou mengganti seragamnya dengan seragam café, kemeja putih, celana bahan hitam dan vest hitam dengan bordiran nama café di bagian depan, ‘Schachtel Pralinen’ yang dalam bahasa Jerman berarti ‘sekotak coklat Praline’. Di ruangan yang sama ada juga Manabu yang baru saja mengganti seragamnya, ia memang meminta shift siang kepada Aoi, karena jadwal kelasnya pagi dan sore semester ini.

“Yo Byou, aku duluan ya…” ia memukul belakang kepala Byou lalu melenggang keluar sambil menyandang tasnya, menuju universitas tempatnya menuntut ilmu di tengah kota. Beberapa saat kemudian Reita, teman sekelas Ruki muncul dengan peluh dan mengganti bajunya sementara Byou pergi keluar dengan acuh.

“Meja nomor lima,” Kai berkata seraya menyodorkan nampan berisi dua gelas mocca latte, sepotong strawberry fudges cake dan dua piring kecil berisi apple cake dengan saus madu. Byou sampai hapal pesanan orang-orang dan karakteristik orang yang memesannya setelah empat bulan kerja di sana dan ini pastilah milik…

Seorang gadis berambut merah segera histeris melihat Byou, “Kyaaa… lihat! Byou-chan yang mengantar pesanan kita, kyaaa…” Byou hanya memasang senyum menjual seraya meletakkan pesanan dua orang gadis SMU yang masih mengenakan seragam sekolahnya.

“Silakan, dinikmati pesanannya, nona-nona manis,” lagi-lagi senyum menjual di wajah Byou membuat mereka memekik, membuat gendang telinga berdenging menyakitkan, namun Byou tetap sabar dan memajang senyumnya.

Gadis lain – teman gadis berambut merah – yang berambut pirang menatapnya penuh tatapan genit, “Iya Byou-chan pasti…” dan mereka ber-kyaa ria lagi sesudah Byou pergi dan memakan pesanan mereka sendiri dengan gaduh. Dasar, anak perempuan!

Byou hanya memutar bola matanya kesal, begitulah kesehariannya sebagai waiter di café ini. Selalu disambut dengan teriakan dan pandangan terpesona oleh para gadis bahkan wanita yang banyak juga bertandang ke café ini, mengingat mereka berada di dekat salon dan spa serta area pertokoan.

Ia harus bersabar ketika para pengunjung café membaca name tag-nya dan langsung memanggil nama kecilnya dengan embel-embel ‘-chan’ yang ia rasa mengerikan. Mereka sok akrab, sok mengenal dirinya padahal penyebutan begitu harusnya ia dapatkan dari orang terdekat, entah dari orang tua atau pacar, atau saudara mungkin, contohnya kakak keduanya…

Argh! Kenapa sih pikirannya selalu melayang kepada kakaknya, selalu merasa tak tenang. Ketika memasuki café itu pukul empat kurang seperempat dan menunggu gelisah sampai empat jam ke depan untuk pulang dan memeluk kakaknya kembali. Kenapa sih dia? Empat jam sehari ia harus terpisah dari kehidupan kakaknya dan membiarkan kakaknya yang mungil itu sendirian di rumah. Selalu saja ia merasakan kekhawatiran yang tidak beralasan selama bekerja meski itu tidaklah terlalu menganggu kinerjanya, tapi kan tetap saja, ia jadi merasa tidak kompeten.

Empat jam berlalu dengan cepat dan ia sudah berganti kembali dengan seragam sekolahnya dan menyandang tas selempang coklat tanah di punggungnya.

“Hei Byou, mau pulang?” seorang pemuda tanggung lain bernama Jin yang sekolah di Okazaki Gakuen sama dengan dirinya, menyapa. Byou hanya mengangguk sopan. “Oh, tapi kau tadi dipanggil Kai tuh, disuruh ke dapur menghadapnya.”

Kemudian mau tak mau Byou menengok ke dapur, ke tempat Kai bekerja sebagai seorang pâtissier atau pembuat kue dan roti dalam bahasa Perancis. “Hei Byou,” ia berdiri di balik etalase kaca tempat kue dan roti buatannya dipajang, ia menariknya hingga terbuka. “Kau mau kue, Byou?”

“Eh? Maksud Kai-san?” pemuda ia mengernyitkan dahi bingung.

Kai hanya tertawa dan memamerkan lesung pipinya, “Yah, kau boleh membawa kue pulang, gratis.”

Lagi-lagi dahi Byou mengernyit.

“Ah sudahlah, tadi Aoi bilang mau minta maaf atas kejadian tadi.”

Seketika Byou langsung mengerti, “Oh yang tadi, sudah tak usah dipikirkan, aku mau pulang saja.”

Kai tetap memaksanya, “Jangan begitu, jarang-jarang ‘kan Aoi mau berbaik hati pada para pegawainya, sudah kau pilih saja kue yang ada, nanti aku bugkus, tapi jangan lebih dari tiga potong ya…” dan mereka berdua tertawa. Byou segera memilih honey cheese cake, opera cake dan 2 potong dannish. Ia ingat bahwa dua kue pertama adalah dua kue kesukaan kakak keduanya, oh ya, tentu ia masih mengingat kakak pertamanya, makanya ia mengambil potongan dannish.

~†~†~†~

“Tadaima,” Byou masuk dan mendapati Wataru sudah menonton berita di ruang keluarga yang bersebelahan dengan ruang makan.

“Okaeri Byou,” jawabnya sambil mengganti-ganti channel televisi di depannya.

Byou melihat makanan sudah terhidang di meja makan sedangkan orang yang dicarinya tak ada, “Ruki mana?” ia bertanya dari ruang makan dan meletakkan kotak kue yang dibawanya di atas meja.

Wataru serta merta menengok ke arah tangga, “tadi Ru-chan ke atas dan belum turun juga, entahlah, tidak akan terjadi apa-apa kok. Di rumah kita ‘kan tak ada monster yang akan keluar dan menerkamnya jika aku tak ada,” ungkapnya setengah menyindir. Ah, kalau urusan adik pertamanya ia memang selalu cepat menanggapi.

Byou hanya mendengus, “Hahah lucu juga kau Wataru-niisan…” ia tahu yang kakak sulungnya maksud adalah dirinya. “Nih, dannish, owner café tadi memberiku  secara gratis,” ia melempar dannish yang dibungkus oleh plastik bening, Wataru sigap menangkapnya.

“Yah lumayan, sankyuu otouto…” dan ia segera menggigitnya.

‘Hah, kalau ada maunya saja dan sudah mendapatkan sesuatu dariku, baru ia mau menganggilku adik.’ Begitulah yang ada di pikirannya, namun ekspresi Ruki yang baru saja turun dari lantai atas membuatnya mengalihkan perhatian dari sosok kakak sulungnya yang melahap remah demi remah dannish puff pastry berlapis-lapis dengan selai black berry dan diberi taburan gula bubuk.

“Byou-chan!” seru Ruki yang baru turun, Wataru bahkan menoleh, yah, seperti yang sudah dijelaskan, jika tentang adik pertamanya ini pasti ia cepat menanggapi.

Ruki berdiri di depan Byou dengan tatapan tajam, membuat Byou salah tingkah. “Err, Ru-chan, ini ada kue…” dan wajah Ruki berubah menjadi ceria.

“Wah, terimakasih ya…” ia tersenyum sambil menerima kotak kue dari Byou namun detik berikutnya ekspresi tadi kembali, “eh… kau jangan mengalihkan pembicaraan. Ini apa Byou?” ia memperlihatkan kertas ujian sekolah di tangannya, dilambaikan bak bendera negeri matahari terbit itu.

“Eh? Itu… kertas ujianku…?” yang ditanya hanya menggaruk rambutnya yang tidak gatal.

Ruki mengangsurkan kotak kue itu ke arah Wataru tanpa melihat, “Bukan itu Miyawaki Byou!” ia melicinkan kertas yang penuh dengan coretan tinta merah itu. “Ini nilai apa?! Lima puluh dua! Kau tidak belajar ya?” dan Byou hanya bisa tertawa gugup, sedangkan Wataru menekapkan tangannya ke mulut untuk menahan suara tawanya.

‘Yah, kena kau Byou,’ Wataru berujar sendiri dalam pikirannya, mensyukuri nasibnya sebagai kakak mereka hingga tak perlu kena semprot dari Ruki – yang sudah bersikap sebagai ibu – ketika nilainya merah.

“Sudah nanti sehabis makan malam kau harus belajar denganku!” titah Ruki dan kini giliran Byou mengangguk pasrah disambut gelak tawa Wataru yang mati-matian menahan diri untuk tetap diam namun gagal total.

~†~†~†~

Bukan Byou namanya jika tidak punya otak cerdas dalam membuat rencana. Selama makan malam berlangsung, ia memutar otak untuk acara belajarnya bersama Ruki. Rencana itu bukanlah untuk melarikan diri, tapi rencana untuk membuatnya tidak membosankan.

Tentu, Byou tahu jawabannya…

“Buka bajumu,” baru saja Ruki menutup pintu kamar Byou dan berbalik badan tapi sudah ditodong dengan permintaan vulgar adiknya.

“HAH?” wajahnya terpaku tak mengerti, di hadapannya Byou berdiri dekatnya dan memamerkan gigi putihnya lewat seringai.

“Ruki tadi bilang kalau Ruki mau mengajariku ‘kan?” ia bertanya sambil mendekatkan tangannya ke salah satu pergelangan tangan Ruki.

“Eh? I… iya, tapi apa hubungannya denganku yang harus membuka baju?” ia bertanya memprotes.

Byou mengecup dahi Ruki sebentar, “Yah, karena kertas ujian yang tadi Ruki dapati dengan nilai jelek itu adalah ujian Biologi,” ia kembali melambaikan kertas itu di udara seperti kala Ruki melambaikan di depan wajahnya. “Maka aku mau Ruki mengajariku tentang BIologi…”

Ruki melihat wajah Byou ragu, “La… lalu kenapa aku harus buka baju?”

Byou tersenyum lagi, “Kenapa? Yah… Ruki tahu sendiri ‘kan jika Biologi pasti harus mempunyai objek praktek guna menunjang proses belajar?” ia melihat Ruki mengangguk kecil. “Nah, oleh karena itu aku mau Ru-chan menjadi objek praktekku.”

Ruki beringsut dan berusaha meraih gagang pintu, tapi tangan Byou yang sudah bersiap menangkapnya cepat. “Eits, Ruki tidak boleh pergi,” ia melihat Ruki menelan ludah, “’kan Ruki sendiri yang berjanji mau mengajariku, sesudah makan malam…”


Kemudian entah seberapa cepat, Ruki tinggal mengenakan kaus dalam dan boxer-nya, duduk di ranjang Byou. “Nah,” adiknya tersebut membuka lembar demi lembar buku Biologi miliknya dan menemukan halaman yang tepat. “Aku rasa ini halaman yang tepat, bab empat tentang ‘Sistem Gerak Manusia’.” Katanya lagi seraya duduk di sebelah Ruki.

Byou berdeham sebentar seblum menengok kepada Ruki, “Di sini tertulis bahwa rangka manusia terdiri dari dua bagian yaitu rangka aksial meliputi tengkorak,” Byou mengetuk dahi kakaknya sedikit, “ruas tulang belakang,” Ruki terkaget ketika tangan Byou mengusap sepanjang punggung hingga ke pinggangnya. “Tulang dada,” dan Ruki kembali kaget ketika Byou mendorongnya rebah ke tepat tidur sambil menahannya di dada, membuat garis lurus di atas dadanya, “dan tulang rusuk,” Byou menunjuk agak ke pinggir, menggelitiki kakaknya.

“Geli Byou,” Ruki menangkap tangan adiknya namun adiknya terlihat serius.

“Kau mau membantuku tidak?” Ruki menggigit-gigit bibirnya, “aku hanya ingin belajar,” dan tubuh Ruki diangkat Byou untuk direbahkan di tengah ranjang.

“Kita lanjutkan,” ia kembali membaca bukunya lalu memperhatikan Ruki lagi, “lalu rangka apendikuler, meliputi tulang lengan,” ia membelai lengan mulus Ruki lembut, “tulang telapak tangan,” ia menggenggam telapak tangannya yang lebih kecil darinya erat-erat, “tungkai,” dan ia menjalankan jemarinya dari paha atas sampai ke betis kakaknya perlahan, Ruki mendesah membuat Byou tersenyum. “Telapak kaki,” Byou mengelus telapak kaki Ruki dan membuat Ruki tertawa kegelian, “bahu,” ia menyentuh bahu sewarna susu milik kakaknya, “dan pinggul,” ia memegang pinggul kakaknya, lebih tepatnya memegang ujung baju kakaknya lalu membukanya.

“Byou!” refleks ia duduk menepak tangan Byou.

“Ingat Ru-chan, objek praktek…” Byou meletakkan jari rampingnya di ujung bibir Ruki dan mengecup bibirnya, rasanya sangat manis dan ia kembali mengecupnya, menahan tubuh kecil tersebut tetap di atas ranjang. “Objek praktek…” dan Byou mendorong tubuh itu lebih kuat.

Ia memberontak dan melepaskan diri, “Hahh hahh… apa-apaan kau!” wajahnya merah dan tersengal.

Byou menekankan tangan Ruki di atas bantal dan meneruskan berbicara seakan tak ada interupsi, “tulang tengkorak terdiri atas 28 buah tulang, fungsinya sebagai pelindung organ tubuh yang lemah dan amat vital, contohnya mata,” ia mengecup kelopak mata Ruki, “otak,” ia kembali mengecup puncak kepala Ruki, “dan telinga,” lidahnya menggigit pelan daun telinga Ruki, kakaknya itu menutup mata.

“Sebagian tulang lagi membentuk wajah, seperti tulang pipi,” ia menelusuri pipi Ruki dengan bibir keringnya, “tulang hidung,” ia menyentuhkan dengan hidungnya sendiri yang mancung, “rahang atas,” namun Byou menjilat bibir atas Ruki, “rahang bawah,” ia menjilat bibir bawah Ruki. “Tulang lidah,” lalu ia menggigit bibir bawah Ruki hingga bibirnya terbuka dan memberikan jalan untuk memperdalam ciumannya. Ketika ia melepas ciumannya ia meneruskan kata-katanya, “dan lain-lain,” kembali ia menyergap bibir kakaknya.

“Sekarang kita menuju ke tulang anggota badan…” ia mengubah posisinya sampai bisa memegang tangan Ruki dengan benar, menaruh bukunya yang terbuka di sebelah tubuh Ruki. “Yang ini lengan atas,” tangannya memijat pelan lengan atas Ruki, “tulang hasta,” tangannya beralih ke lengan bawah Ruki di sekitar sikunya, “pergelangan tangan,” ia mencengkram pergelangan Ruki sampai merah, “dan jari tangan,” ia mencium jemari kecil Ruki seraya menatap kakaknya dengan tatapan serius.

Mereka terdiam sampai beberapa detik, masih dalam posisi Ruki yang berbaring di bawah badan Byou. Wajah Ruki merona, melihat Byou menggesekkan jemarinya ke bibir kering milik adiknya itu.

“Tulang tungkai yang terdiri dari tempurung lutut,” ia mengetuk lutut Ruki pelan, “tulang kering dan betis,” ia memijat tungkai bawah Ruki, membuat Ruki merasa geli dan tertawa kecil. “Pergelangan kaki,” ia memutari pergelangan kaki kakaknya dengan ujung jari, “telapak kaki,” lagi-lagi kakak keduanya merasa geli karena sentuhan tangan Byou, “jemari kaki,” dan mereka berdua tertawa-tawa, “lalu tulang paha,” dan Ruki hampir menjerit saat Byou menarik boxer-nya ke atas dan menjilat pangkal pahanya.

“Hahh… Byou, berhenti…” ia menggerakkan kakinya untuk membuat Byou berhenti, tapi tidak mau berhenti, ia bangun sedikit dan mencopot boxer kakaknya. “Byou!”

Tapi terlambat, Byou tidak mendengarkannya dan mulai sibuk menggigit paha bagian dalam Ruki. “Akh sakit Byou-chan!” Ruki meringis dan Byou malah naik ke atas badannya.

“Aku belum selesai, Ru-chan!” ia menyatukan pergelangan tangan Ruki di dadanya sendiri.

“Tulang rusuk terdiri atas tujuh pasang rusuk sejati,” ia melarikan jemarinya di atas dada kakaknya yang tersekpos, “tiga pasang rusuk palsu dan dua pasang rusuk melayang,” Ruki menahan nafasnya saat bibir Byou mengecup dadanya. “Lalu yang ini tulang belikat…” ia memasukkan tangannya ke bawah badan Ruki dan memijat punggungnya, “… yang tersambung ke tulang selangka,” ia kembali mendaratkan ciuman di atas tulang selangka dan membuat banyak tanda merah di sekitar lehernya.

Ruki terengah, “lalu tulang usus di sini,” ia menjilat pinggul rampingnya dan kakaknya berusaha untuk tidak berteriak, “disambungkan ke tulang duduk,” dan ia mangangkat pinggang Ruki.

“Sudah, sudah! Berhenti Byou-chan!” Ruki ketakutan, ia melihat Byou tersenyum dan menepuk bahunya.

“Ru-chan, ingat… objek praktek…” dan demi mendengar itu Ruki mengangguk pasrah dan menuruti kemauan Byou, lagi.

~†~†~†~

Bel masuk berbunyi keras, dan senyum sumingrah di wajah Byou tidak kunjung bisa dihapus sejak pagi. Sejak Ruki masih setengah tertunduk mengedarkan sarapan kepada dua saudaranya. Ia tersenyum melihat Ruki menggigit bibirnya dan terlihat rapuh saat ia berdiri dan menolak memandang matanya, sementara di sisi lain Wataru bertanya-tanya. Terlebih ia ingin mempertanyakan dari mana tanda merah di leher adik pertamanya tercipta – ia melihatnya saat mengecup kening adiknya.

Ia kembali tertawa mengingat Ruki canggung berjalan di sebelahnya, membuat jarak hampir dua meter. Byou hanya berdecak dan merangkul kakaknya, menyeretnya untuk berdiri dan berjalan beriringan dengannya.

Ia positif hari ini ia bisa mengerjakan soal Biologi macam apa pun karena semangat barunya. Jin hanya menggeleng-gelengkan kepala, prihatin melihat teman sekelas sekaligus sekerjanya itu seperti orang kurang waras ketika menerima soal Biologi.


Seminggu setelah pekan ujian berlalu…

“Hoi Byou! Bagaimana nilaimu?” Jin menepuk bahunya kencang dan Byou hanya menjawabnya dengan senyum lebar di wajah tampannya.

“Yah, lihat saja sendiri, Jin…” ia menunjuk ke papan pengumuman berukuran selebar satu meter dan panjang sekali sampai kira-kira dua kali lipat lebarnya. Di sana terpampang nilai-nilai semua siswa Okazaki Gakuen, diurutkan berdasarkan peringkat dari total jumlah nilai yang mereka dapatkan dari kelima belas mata pelajaran di kelas mereka.

Jin setengah berteriak di antar kerumunan siswa siswi yangberdesakkan melihat nilai mereka, “Miyawaki Byou peringkat dua??!” riuh rendah menyambut teriakan Jin. Byou mengangguk keras-keras, sementara di peringkat satu dipajang nama yang tidak terlalu asing, Kazuki biasa ia dipanggil.

“Hebat kau!” semua menepuk bahu dan kepalanya, memberi ucapan selamat kepadanya dan senyumnya mengembang makin lebar dan cerah sambil mengucapkan banyak kata terimakasih secara sembarang ke arah kerumunan siswa.

“Bagaimana bisa kau mendapat nilai paling tinggi di Biologi? Mengalahkan Kazuki yang selalu mendapat nilai sempurna??” Jin bertanya heran dan takjub.

Byou hanya tertawa mengingat malam sebelum ulangan karena berkat ‘objek prakteknya’ ia bisa mendapat nilai bagus… “Rahasia, yang pasti ini berkat latihan itensif…” ia tertawa sendiri meninggalkan Jin yang terperangah.

Matanya menangkap sosok kakaknya di kerumunan kelas dua yang juga gemuruh dalam kesibukkan melihat papan nilai. “Ru-chan… halo…” ia melompat dan memeluk tubuh kakaknya dari belakang.

“Byou!” setengah terkejut dan kesal ia menginjak kaki Byou, membuat Byou berteriak kaget dan malah memeluk Ruki makin erat. Meski mereka bertengkar kecil, kerumunan di sekitar mereka tak kunjung berhenti berdengung.

“Aku peringkat dua lho~ Ru-chan peringkat berapa?” Byou melihat papan nilai dan wajah Ruki bergantian.

“Peringkatku turun, aku peringkat dua sekarang…” dan Byou menarik Ruki keluar dari kerumunanlalu memeluknya di bawah pohon yang terlindung dan lebih sepi.

“Ssshh… jangan menangis ya, peringkatmu hanya turun satu kok…” ia menenangkan kakaknya yang mulai bergetar.

“Hiks… Byou…” ia menangis di bahu Byou, sedangkan adiknya hanya menghela nafas dan tersenyum lembut.

Ia mengelus punggung kakaknya, “tenang saja… nanti kita belajar bersama lagi ya?” dan Ruki memekik mendengar perkataan Byou.


FIN…?


Author’s note: akhirnya saya update kawan-kawan~~ sankyuu sudah mau membaca fanfic sequel ini…
Semoga sequelnya memuaskan ya, meski mungkin agak aneh, karena sebenarnya fanfic ini terinspirasi dari Pak S dan Bu E, guru-guru Biologi saya yang berhasil, sukses membuat saya remedial di bab empat itu… juga atas pembicaraan saya dengan mbak Reiko Shiraishi di angkot. Padahal saya janji lho, menyelesaikan teks drama hari ini, tapi apa daya, hasrat buat fanfic lebih besar… maaf Reiko! XDD
nah, jangan tertpengaruh sama judul, sekali lagi sodara-sodara, jangan terlalu terpengaruh!

… mau sequel? Atau mau berpendapat? Atau mau beri kritik? Ayo silakan di comment, tapi saya balasnya baru bisa sekitar sehari sampai tiga hari ke depan, pokoknya yang dapat balasan comment saya dapat door prize deh… nah sekian dulu ya, maaf saya udah komat-kamit ngga jelas.
See ya next fic~ (>x

Tidak ada komentar:

Posting Komentar