Minggu, 14 Agustus 2011

Lunatic (sequel of Last)

Title: Lunatic
Chapter: drabble
Author: Sachino Suzuki
Pairing: Reituki, Aoi x Uru
Rating: NC
Genre: angst
Warning: abuse, violence



“Selamat datang Uru…” Aoi membukakan pintu untuk seorang pemuda berambut coklat dan segera memeluk dan menciuminya.

Rutinitas yang selalu terjadi di antara sepasang kekasih. Bermesraan, bepelukan, bahkan berciuman di depan umum.

“Ah, aku harus mengantarkan makanan untuk Ruki.”

Kernyitan muncul di kening Uruha, mengkuti Aoi sampai ke kamar, ia menemukan makhluk bernama Ruki itu.

Makhluk bernama Ruki tersebut memakai kaus lengan panjang berwarna putih dan celana panjang yang berwarna senada, salah satu kakinya ditautkan pada teralis jendela dengan rantai dan digembok. Ia duduk di depan sebuah kanvas yang penuh coretan berwarna coklat dan hitam. Membelakangi Aoi dan Uruha.

“Hai Ruki, ini makananmu.” Aoi meletakkan nampan berisi semangkuk sup, sepiring daging asap dan semangkuk nasi beserta sendok, sumpit dan segelas air putih.

Ruki tak bergeming. Ia terus menggoreskan sebilah pisau secara hati-hati ke kanvasnya, membentuk sebuah gambar yag mana hanya dia yang tahu.

Uruha terdiam, memperhatikan anak lelaki itu menggulung lengan bajunya kemudian menusukan pisau itu ke tangannya sendiri. “A–” Aoi meliriknya tajam.

Diamatinya Ruki membentuk pola di kanvas dengan darahnya sendiri. Rambut pirangnya sesekali terciprat darah yang sekarang menggumpal di ujung-ujung rambutnya. Pemuda itu  merasakan perutnya bergolak, ingin muntah melihat kanvas tersebut dilumuri warna merah yang lama-lama menghitam.

“Ruki, makanlah… nanti aku akan mengambil piringnya ya.” Ia menutup pintu perlahan.

“Aoi, Ruki itu, tidak waras ya?”

“Kenapa kau berpikir begitu?”

Uruha menatap pemuda berambut perak itu dengan heran. “Karena dia membuat lukisan dengan darahnya sendiri, Aoi dia bisa saja berbahaya!”

Pemuda itu diam, menatap Uruha dengan ekspresi aneh.

~†~†~†~

“Diam kau!” sebuah tamparan mendarat di pipinya.

“A-Aoi-san… maaf.” Sebuah tendangan bersarang di perutnya.

Ruki terenga-engah, berusaha membebaskan diri dari Aoi yang memegangi kedua tangannya. Sudah satu jam lewat sejak Uruha pulang, tapi Aoi belum selesai menyiksanya.

Aoi menjambak rambut pirang Ruki sampai anak malang itu menengadah. “Sudah aku katakan, jangan berbuat yang aneh-aneh jika aku mengundang Uruha ke sini. Harus berpa kali aku katakan agar kau mengerti?!” ia menghantamkan kepala Ruki ke pinggiran ranjang berulang kali.

“Aoi-san…” Ruki terbatuk, merasakan amisnya darah mulai mengalir di bibirnya.

Aoi berhenti. Ia menyesap bibir Ruki yang berdarah dengan brutal sementara Ruki menggelinjang, menendangi udara kosong.

“Kau harus membayar lebih!” raung Aoi seraya merobek kaus usang Ruki dan mengikat tangan anak itu dengan ikat pinggang miliknya.

Ruki menutup mata. Takut. Ia selalu takut.

~†~†~†~

Ruki’s POV

Hari ini Uruha akan datang lagi.

Aoi-san menyuruhku untuk diam. Ia meletakkan lukisanku di sudut. Aoi-san mengancam akan merobek-robek lukisanku jika aku berniat melukis lagi di depan Uruha.

Padahal itu bukan salahku. Aku hanya ingin melukis dan tidak ada cat, lagipula untuk apa ia masuk ke kamarku?

Ah, itu dia. Aoi-san sedang duduk di bak mandi. Tangannya melambai padaku.

“Ruki, waktunya mandi.”

Ia membopongku dan memandikanku dengan cepat.

Perih.

Bekas lukaku yang dari kemarin belum sempat mengering. Tapi Aoi-san tidak peduli, ia menyiramiku dengan air hangat dan menyuruhku mengeringkan badan.

Aku menurut. Tapi aku penasaran, kenapa Aoi-san selalu bercukur sebelum mandi? Kenapa tidak saat mandi?

Aku menyalakan alat pencukur yang masih terpasang di stop kontak dan memasukkannya ke dalam bak mandi.

~†~†~†~

“Lunatic Asylum?” Uruha menelpon entah ke mana. Wajahnya pucat dan ia melirik padaku dengan gelisah. Sesekali suaranya bergetar entah kenapa.

“Ya… ada seseorang yang harusnya menjaadi pasien rumah sakit jiwa di sini.”

Uruha mendesah selagi dua orang pria berseragam hitam dan bersarung tangan karet membawa tandu berisi tubuh Aoi-san. Tubuh Aoi-san yang kaku.

Aku tersenyum.

Aku tahu, Aoi-san sedang tidur. Tidur untuk selamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar