Kamis, 06 Januari 2011

Eternal Sleep (One-shot)

Title: Eternal Sleep (One-shot)
Author: Suzuki Sachino
Pairing: Reita x Ruki
Rating: PG-13
Genre: angst. slash.
Warning: angsty.
Disclaimer: They belong to whatever Gods up. Just owned the story line.
Music: the GazettE – Without A Trace



~†~†~†~


Detik demi detik aku selalu menunggunya. Aku selalu ingin berlari menyongsongnya kala senyum hangat itu menyapaku lembut. Aku hanya ingin tetes demi tetes darah dalam tubuhku tidak akan tersia-sia. Aku tidak ingin nafas yang ku hela menjadi pisau yang berbalik menusuk.

Aku tidak mau.

Aku tidak suka.

Aku benci.

Kerapuhan itu dikupas perlahan secara sadar, dan langkahku tak ingin membuat suara untukmu. Serakan dari abu keputusasaan, hanya ini, dan tidak lebih. Perasaan yang merayap perlahan bercampur dengan kepingan jiwaku yang lain.

Pagi datang dengan sinar mentari yang anehnya tak terasa hangat lagi. Malam bergiliran membekukan jasad yang belum mati hanya karena mereka ingin membunuh. Senja yang bercorak sangat indah dengan pembauran warna magenta juga jingga dan kuning keemasan kini tak lagi bisa ku lihat indahnya. Kini tak bisa lagi memandang dan meresapi yang dulu selalu kau bilang indah. Yang selalu kita ucapkan bahwa itu adalah keindahaan atas pencerminan dari perasaan indah yang terjalin di antara kita.

Aku takut.

Kamu di sana. Sendirian.

Aku juga.

Tapi sekarang aku ku tak bisa mengerti kenapa kau tak bisa bangkit dari atas ranjang belenggumu dengan selang-selang aneh lalu memelukku seperti dulu. Aku tak bisa terima ketika degup jantung yang selalu ku dengar dengan rindu kini diperdengarkan dengan sangat lancang melalui alat beserta lekak-lekuk kehidupan berpendar hijau.

Mengubur nafasmu masih dalam alasan yang sama.

Aku tak suka.

Itu hidupmu. Itu adalah degup jantung dan hanya aku yang kau ijinkan untuk mendengarkan. Dengan memelukku erat kau membisikkan kata-kata yang selalu ku tunggu. Kau menciumku dan aku membalasmu. Kau mengusap rambutku dan aku memeluk lehermu.

Aku menyukaimu dengan segenap hatiku.

Warna putih semakin menusuk mata saat aku menungguimu di sisi ranjang. Besi malang melintang sebagai penyangganya, dinaik-turunkan supaya kau nyaman saat jarum demi jarum pernah menusuk kulitmu. Kulit yang dulu terlihat segar dan sangat sehat, namun kali ini pucat. Setara dengan warna kulitku dulu. Karena sekarang aku agaknya terlupa untuk mencumbui cahaya hangat yang menjadi pusat di luar sana.

Aku takut.

Aku takut jika nanti aku beranjak dari sisimu, kau akan terbangun dan mendapati aku tak setia menunggumu memperlihatkan mata yang selalu menatapku dengan sangat hangat dan tegas juga keras dan berwibawa di saat yang sama. Lalu kau nanti akan pergi meninggalkanku, memakai sayap indahmu pergi entah ke mana.

Meski kau dan aku menunggu pertolongan dari yang ada di atas sana namun tak ada keajaiban yang datang, melebur menjadi kehampaan. Lagu ini yang menjadi milikmu, tak bisa lagi kau dengar. Menangis tanpa adanya balasan dan perkecualian.

Aku ingin ini berhenti.

Sekarang kau tirus.

Sekarang kau bernapas begitu teratur.

Padahal aku sangat menyukai bahkan mencintai ketika pada waktu tertentu kamu bernafas memburu dan panas menyentuh kulitku. Lidahmu dan tanganmu menelusuri serta menjamahku begitu rupa. Itu hal yang paling aku rindukan ketika kulitmu menyentuh kulitku dan melakukan kontak lebih dari itu. Aku menyukai ketika nafasku kau buat terengah-engah ketika hasrat memacu kita.

Aku suka.

Aku mencintaimu.

Butir-butir cairan yang masuk ke dalam tubuhmu lewat jarum infus itu membuatku cemas. Aneh sekali melihat benda aneh itu bergelantung menopang asupan gizi untukmu.

Kau tahu ‘kan?

Kau adalah orang yang paling mencintai masakan buatanku. Kau selalu memakannya dengan lahap dan kau sangat menyukai makanan. Kau selalu memintaku memasak tanpa ada sayuran, padahal tanpa sepengetahuanmu, aku telah memasukkan berbagai macam sayuran yang diolah sedemikian rupa hingga kau tidak bisa menebak rasa sayuran itu. Sayuran adalah vitamin untuk tubuh dan kau adalah vitamin untukku.

Tiap kali dadamu naik-turun dalam ketukan teratur sesuai dengan mesin kardiograf, aku hanya bisa menatapmu dan terus memandangimu penuh harap. Wajahku tak akan bisa berpaling darimu. Sekarang saja wajahmu tak pernah bisa menoleh padaku, lalu untuk apa aku berpaling? Aku tak perlu. Karena yang aku butuhkan hanyalah kamu untuk selalu di sisiku.

Pertama kali mengenalmu, kau memandangku dengan tatapan baik tidak seperti yang lain di sekitarku. Lingkungan kita seakan tak pernah bisa menerimaku seperti kau menerimaku. Lingkungan yang kita berdua sering datangi itu tak bisa memandangku seperti kau memandangku.

Aku bingung.

Karena hanya kau yang menjadi pelindung saat aku dimaki dan dihina oleh mereka. Mereka membuatku selalu tersiksa akan rasa sakit lahiriah. Kau adalah orang yang paling berharga untukku lebih dari siapa pun. Lebih dari ayahku yang brengsek yang kau usir ketika beliau ingin mencoba memperkosaku sebelum menjualku kepada orang kaya itu. Kau menebusku dengan harga yang sangat mahal.

Aku menangis.

Aku tak bisa memberontak saat mereka mecompang-campingkan pakaianku dengan tangan-tangan kotor mereka. Aku tak bisa melawan saat ayahku yang memimpin gerombolan kecil itu untuk menyudutkanku. Ayah menamparku. Ayah menggigit bibirku begitu keras sampai berdarah dan ayah mendorong dadaku untuk tetap menempel di dinding.

Aku meronta.

Aku memohon-mohon.

Tapi ayah menamparku lagi sampai telingaku pengang dan pipiku sakit sekali seperti terbakar. Jeritan marah ayah tinggal sendiri karena kawan-kawannya telah pergi ke tempat mereka. Tapi ayah memaksaku untuk tidur. Tidur di atas ranjang selembut bulu angsa yang sangat nyaman. Tangan ayah mendorongku dan horror adalah kata yang terpeta dalam otakku sejak mereka datang kepadaku. Tubuh ayah menindihku.

Aku terpejam dan menangis.

Aku ketakutan dan pasrah.

Lalu kau menerjang masuk dari jendela. Memecahkan hingga tinggal kepingan berbingkai kusen kayu dengan keras tendanganmu. Kau melompat menghantam ayah dengan tinjumu dan merampasku dari ayah.

Aku terpana.

Kekar lenganmu menopang tubuhku yang ringkih dan gemetaran. Kau memasukkan tanganmu ke dalam saku bagian dalam jaketmu dan mengeluarkan amplop coklat tebal. Kau katakan pada ayah bahwa itu adalah uang tebusan untukku dan ayahku tak perlu lagi mencariku. Karena kau sekarang telah menjadikanku sebagai milikmu.

Kemudian langkahmu berlari cepat menyelamatkanku.

Betapa banyak rasa terimakasih yang tak kunjung habisnya ku sitir padamu terutama dalam linangan air mata. Tapi kau selalu bersikap baik padaku dan berkata untuk tidak menangis lagi karena kamu ada untukku. Kau berujar bahwa kau sangat beruntung memilikiku sebagai pendampingmu dan kau mengecupku sembari mendesahkan rasa syukur. Kau merengkuhku dan aku tahu, itulah arti sebenarnya dari cinta.

Aku mencintaimu lebih dari apa pun.

Bibirmu selalu hangat ku rasakan di atas milikku sendiri. Sekarang bibirmu pucat dan kering sekali, pada aku sering membelainya lembut sama seperti kau membelai bibirku dan menempelakan milikku. Dengan gemas kau selalu mengusap dan mencubit pipiku.

Kau sekarang ini diam dan tak banyak bergerak. Aku sendiri tak tahu kenapa kau selalu tidur begitu. Aku tak ingin kau terlelap begitu lama karena kau selalu bilang untuk tidak pergi terlalu jauh dariku.

Aneh.

Kau sangat dekat tapi bagiku kau sangat jauh. Tanganku bertaut denganmu namun aku masih belum bisa melihat tanda-tanda kau akan menggenggamnya erat seperti dulu kau sering melakukannya–kita sering melakukannya.

Kapan kau bisa membuka kedua kelopak mata beratmu?

Kita sering sekali memejamkan mata dan terbuai angin semilir selagi lengan juga pundakmu menyembunyikan sebagian besar tubuhku dalam dekapmu.

Aku teringat van itu meluncur mulus ke arah kita. Aku tahu kau memberiku gaya dorong begitu kuat hingga aku terpental dan mendarat di atas tanaman dandelion malang. Tapi kau lebih malang.

Merah yang dulu selalu ku puja dan aku cinta kini mewarnai aspal hitam berdebu. Mewarnai kulitmu yang hangat. Mewarnai sekujur tubuh dan membasahi baju hitammu. Sedangkan aku cukuplah dengan warna putih yang lalu diwarnai sesuka hati oleh cairan merah. Cukuplah membuatmu tergeletak tak berdaya

Aku mengisak.

Menjerit saat tubuhmu dibopong dan ditarik ke dalam mobil putih dengan raungan sirene yang selalu membuatku paranoid. Kau terbaring lemah di atas ranjang tipis putih di mana kepalamu bersandar. Tergolek lemah tubuh pucatmu dengan warna merah membuat mataku sangat sakit.

Aku ketakutan.

Tanpa terasa air mata menetes perlahan dan sakit sekali rasanya. Perih mata dan menyiksa ketika air mata jatuh untuk yang ke sekian kali. Aku tak bisa tenang melihatmu tertidur begitu lama.

Air mata menjadi pasangan termesra dalam rasa pedihnya.

Kau yang tampan. Kau yang tak juga jemu membisikkan ungkapan sayangmu padaku. Kau yang sudi jatuh hati kepadaku. Kau yang bahkan tak pernah bertindak kasar dalam menyentuhku. Kau yang aku banggakan. Kau yang selalu menyukai tiap tingkah lakuku yang kau sebut sebagai hal paling manis. Kau yang melantunkan lagu terindah. Kau yang selalu memberiku limpahan kasih sayang dan memanjakanku. Kau yang lembut dan hangat melebihi apa pun.

Kau yang senang dengan bau tubuhku seperti aku yang juga menyenangi bau tubuhmu. Kau yang tertawa ketika aku tertawa. Kau yang mencoba membuatku tersenyum saat aku sedih. Kau yang membangkitkan semangatku. Kau yang memintaku ada di sisimu selamanya. Kau yang menyembunyikan kesedihanmu karena tak ingin aku ikut sedih melihatmu. Kau yang namanya selalu aku gemakan dalam tiap helai mimpi.

“Reita.”

Kau tak bergeming dan tetap saja bunyi itu menimbulkan gaung yang bersahut-sahutan dalam ruang putih.

“Aishiteru.”

Putih.

Putih warna dinding rumah sakit juga sprei di sini.

Putih warna selimut rumah sakit juga baju yang kau kenakan.

Putih pucat wajahmu dan putih yang aku pajang sendiri.

Putih itu menjengkelkan dan menjemukan.

Kau dan aku cinta warna itu karena itu warna paling suci dan mulia. Kita cinta banyak warna, tapi putih yang kita cintai sepenuh hati. Putih warna cantik yang selalu kau sandingkan dengan diriku. Lalu kau menyebut dirimu hitam.

Padahal kau tahu, sangat tahu bahwa aku bukanlah putih yang sempurna. Aku cacat. Aku cacat karena banyak noda yang telah mereka tumpahkan padaku. Aku memang putih yang kau selalu katakan. Karena aku seperti kanvas putih itu dengan corak dan cipratan noda-noda disengaja.

Putih yang sekarang itu menyakitkan.

Putih yang artinya tanpa daya.

“Reita, bangunlah. Kau janji padaku untuk ada di sisiku, apa kau mau melanggarnya?”

Putus asa adalah guratan dalam nada-nada berujung sepi memantul kembali dalam senyap yang dicipta lingkup ketiadaan. Kepingan pahit ditelan saat merapal doa permohonan meski payah tak bisa didengar lagi.

Aku masih ingat saat tanganmu terakhir kali memegang tanganku. Hangatmulah yang terus membuatku tak ingin lepas darimu. Kau adalah hitam. Tapi kau bukan dingin. Kau dirimu dari cahaya mentari bila Tuhan ingin menciptamu begitu berharga untuk menghangatkan dunia termasuk diriku.

“Suzuki-sama tidak bisa bertahan. Semua peralatan itu hanya akan menopangnya untuk beberapa saat dan jika ia masih belum sadar lebih dari enam minggu, kami tak tahu apakah ia akan bisa bangun lagi atau meneruskan tidur panjangnya.”

Aku menunggumu.

Garis berpendar hijau tinggal garis lurus berbunyi dalam nada tinggi.

Aku mematung.

Orang-orang berpakaian warna putih itu menyeruak masuk dan dua orang lain menyeretku keluar. Membawaku jauh pergi dari Reita, dari orang yang ku cintai sepenuh hati.

Di pangkal tenggorokan bergelantung seribu pertanyaan layaknya duri. Aku bertanya berulang kali, “Apa yang bisa aku selamatkan?”

Mereka melakukan sesuatu di dalam selagi aku mencakar-cakari dinding rumah sakit dengan wallpaper sewarna krem pucat. Jujur, aku bisa gila mendegar bunyi alat itu berdengung konstan. Tangan-tangan terlatih mengambil alih tubuh Reita begitu saja. Membuka pakaiannya hingga ia bertelanjang dada. Memacu jantungnya selagi aku menontonnya dengan nanar.

Orang berpakaian putih itu keluar lagi setelah setengah jam berkutat dengan berbagai mesin dingin yang tak bisa mengembalikan kehangatan itu. Mata-mata putus asa dengan peluh menetes muncul di depanku. Semburat ragu dan cemas ketika mata-mata itu bertemu dengan mataku. Mereka bergumam. Mereka berusaha meminta maaf. Aku melihat mereka mengerling kepadamu dengan gamang.

Yang aku ingat hanya putih.

Putih.

Pucatnya kini jelas di mataku. Dinginnya belum merayap namun aku yang telah kaku. Aku yang putih disebut kanvas dan diagungkan olehmu setiap hari setiap detik. Kau yang hitam mewarnai kanvas hati-hati sekali. Tapi aku sangat sadar kau bukan hitam, kau adalah cairan putih yang menutup kanvas putih. Menghapus noda dengan menimpanya. Menjagaku agar tetap putih.

Masa depanku mati tepat di depan kedua mataku.

Ku jejaki tiap langkah dan duduk di sisimu. Di sisi jasadmu yang tertidur dalam. Tak lagi ku lihat dadamu yang naik-turun seperti yang sudah-sudah. Tak lagi ada mesin dengung-garis-berpendar-memuakkan di atas kepalamu dengan rambut pirang pucat yang lembut. Tak ada lagi warna lain selain putih.

Kabut menyelimuti, menolak pergi hanya untuk memberiku kesempatan untuk melihat, dan berpikir jernih.

Aku meneguk cairan bening dalam botol kristal. Genggamanku tak semantap tadi bersama getar dan takut. Aku memejamkan mata lalu membukanya lagi hanya untuk melihatmu dengan jas putih bersih beserta kemeja kesayanganmu. Melihat kekasihku yang sangat tampan tertidur lelap. Aku pasti akan menyusulmu, Rei.

Pembuktian dari eksistensimu yang tidak mau menghilang dari hidupku. Karena kau adalah bagian dari jiwaku, mana mungkin aku bisa melepasmu begitu mudah.

Sulutan api menari-nari di sekitar kita berdua.

Inilah cantik. Inilah keindahan sesungguhnya yang ku pendam dalam falsafah rumit larutan luas senja, rembang petang yang selalu kita nanti bersama seperti malam di mana waktu kita bertemu dalam rajutan mimpi-mimpi indah lagi memukau. Bertamu pada gelap yang kita jumpai berulangkali.

Jika melodi ini sampai kepadamu, kau mungkin berpikir aku adalah orang yang munafik dan terlalu naif. Tapi tidak, aku memang mencintaimu meski aku tak bisa mengungkapkannya sejelas kau mengungkapkannya hanya untukku.

Cairan bening itu berpindah semua melewati kerongkonganku. Menunggu reaksi menakjubkan yang sebenarnya sangat menyenangkan. Aku senang, bersama warna api yang memelintir, meretih dan membakar. Melahap jalannya rumput tumbuh. Melahap kelopak mawar putih dan dupa yang ku sebar di sekeliling kita. Menimbulkan harum yang menyesakkan namun memabukkan.

Aku tidak bisa menaikkan suaraku lebih tinggi hingga kau sekarang tidak dapat mendengarku, belum… aku tahu dan menyadari, bahwa ini adalah kesalahan dan dosaku semata. Membuatmu menjadi tubuh kaku bersaput keindahan tak terlukis.

Di lautan api dan semua berjalan begitu cepat dan aku memejamkan mata. Menikmati kehadiranmu di sisiku kini. Kita akan bersama selamanya. Tak akan ada yang bisa memisahkan kita. Tanpa jejak, aku tak ingin jejak kita tertinggal karena kita suci.

Hanya kau dan aku.

…dan putih…


~End of Story~




A/N: yeah… menyenangkan buat angst~ Ada yang sadar tidak kalau banyak terjemahan lirik dari lagu Without A Trace saya sisipkan di sana?

Silakan dikomentari jika suka silakan memberikan gambar ibu jari itu, namun kalau tidak suka dan tidak ingin repot kena tag silakan di-remove, maaf merepotkan~
(^ ^)

1 komentar: