Selasa, 11 Januari 2011

Showcase of Shoddy (One-shot)

Title: Showcase of Shoddy (One-shot)
Starring: Alice Nine
Author: xellonich a.k.a Yuuji Sano
Pairing: Tora x Shou. Tora x Saga (side pairing)
Rating: PG - 16
Genre: drama. slash. angst
Warning: err… angst for everyone? (^ ^)a
Disclaimer: They belong to whatever Gods up. Just owned the story line.
Music: Manterou Opera – Alkaloid Showcase
(The sentences which is in this style are the translated lyrics of the song)




~†~†~†~


Wajah itu adalah wajah orang yang selalu aku dambakan.

Memiliki goresan keras, tegas dan tajam sudut matanya tanpa melupakan kelembutan yang terasa saat ia tersenyum. Rambutnya lurus hitam seperti malam yang selalu aku pandangi mencari kerlip cahaya bintang di atas sana. Membentuk gugusan rasi Orion, cluster Virgo dan Andromeda ketika kanvas langit membentang nun jauh di sana.

Berganti-ganti layaknya kau yang berganti-ganti dengan banyaknya ‘penghias’ alias teman tak menentu di sisimu. Yang terkadang hanya ingin mendompleng popularitas oleh karenamu.

Aku seringkali mencuri lihat kepadamu ketika kau lewat di depan kelasku, ketika kau sebenarnya tak pernah benar-benar sadar bahwa aku diam di ujung kelas. Memandangi kau berjalan, orang-orang di sekelilingmu melihat dan mengerling padamu. Sampai tak bisa ku hitung lagi banyaknya.

Aku tahu, pikiran penuh omong kosong kurangkai untuk sekedar menyapa tak lebih dari ejekan terhadap diriku sendiri. Implikasi akan tindakan bodoh beserta igauan dalam mimpi yang terselip keluar. Sama dengan mempermalukan diri sendiri di hadapan orang sepertimu.

Mungkin kau jadi bintang di ujung sana, dalam kurva engolastik di lintang utara. Aku tak tahu penyebutan namanya dengan benar.berada di atas horizon berjajar membentuk bintang sirkumpolar. Sampai matahari kembali pada titik paling bawah dari eliptika, pada saat itulah kehadiranmu menghilang dari pandangan.

Angan-angan. Hal paling mudah untuk dibangun dan diwujudkan dalam tidur tak lelap, dijalani tiap malam untuk menjumpa karangan. Mengarsir pertanyaan bodoh, mereka-reka jawaban yang tak kunjung dilontarkan. Melukis dengan jemari-jemari dibalut bumbu-bumbu akan penuhnya mimpi tak sampai.

Pertemuan di mana cahaya bertemu kegelapan syahdu. Menyembunyikan kilau kasat mata dari pesona melalui tangan sang Pencipta.

Itulah kau.

Aku tahu namanya adalah Tora.

Bukan, itu bukan nama aslinya, namanya adalah Amano Shinji.

Aku tahu saat mendapat info dari papan bungkam di pojok belakang sekolah. Kala sepinya koridor tak merintangi langkahku untuk mencari tahu. terlalu penasaran akan keberadaan bintang bercahaya silau yang mengerlip melesat begitu saja di hadapanku.

Tahulah aku bahawa ia anak kelas 3-B. Kakak kelas yang rupa-rupanya dikenal hampir semua orang di sekolah. Tak terkecuali aku. Dikenal karena tabiatnya buruk namun hebat dalam prestasi di bidang olahraga. Karena bidang akademik agaknya sulit ia kontrol dalam menjelajahi kehidupan damai di sekolah.

Serta-merta ia menarik perhatianku.

Menghela nafas menahan sabar. Siapa pula aku terperancah dalam pusatnya? Senandika palsu dicipta. Aku bebas. Karena kau tak tahu aku yang mengarang senandika dalam senandung-senandung lagu lama. Ah, terlalu berpuitis agaknya bukan asal diriku untuk menampak diri.

Ditilik senarai setengah hati yang kusalin dari nyatanya wujudmu. Tempat di mana lakuku dan lakumu aku arahkan sendiri. Pepesan kosong aku sertakan hanya untuk memuaskan hasrat sendiri.

Itulah diary-ku.

Isinya yang tak pernah aku bagi dengan sesiapa pun. Distikon yang kusanjung-sanjung semua tentangmu. Tertulis jelas di dalam diary-ku.

“Kohara!”

Aku tergeragap sebab sensei menatapku tajam. Apa yang ingin ia tanyakan padaku?

“Saya harap sepulang sekolahnanti kau berkenan menghadap saya di ruang guru.”

Mengangguk patuh. Percuma jika aku membantah. Karena jelas-jelas aku tidak fokus pada pelajaran di depan. Aku juga agak lupa dengan siapa kini yang mengajar di muka kelas. Guru Matematika kah? Atau guru Kimia?

Tak terlalu peduli. Lagipula dia sekarang telah beranjak pergi saat bel istirahat berkumandang. Mengundang para siswa memekik kegirangan dan bubar dari kelas dengan cepat.

Mengedarkan pandangan ke luar dan aku melihatnya.

Ia bersama dengan siswa yang bertubuh semampai dengan wajah cantik dan sempurna. Saga, atau nama aslinya Sakamoto Takashi.

Ia adalah siswa kelas satu yang masuk dalam lingkaran dalam distansi tak nyaman.

Bersanding indah dengan empunya ketampanan di area sekolah.

Aku cemburu.

Cemburu ketika tiap kali aku harus menemukan diriku terpencil. Mengamati dari jauh sang bintang layaknya astronom dengan teropongnya. Mengamati peristiwa pada tingkatan atomic dan partikel-partikel elementer sampai pada skalanya yang paling besar.

Yang kesubut sebagai peristiwa pada tingkat atomic contohnya saat aku pergi ke kantin ingin membeli susu kedelai dan sandwich. Mataku tak sengaja menangkap sosok Tora di sudut bersama kelompok kecilnya. Tentu saja kelompok kecilnya itu terdiri dari orang-orang susah. Bukan susah seperti apa yang kau kira, tapi susah dalam menghabiskan uang. Dari sana aku bisa mengamati ke mana tatapan Tora menjurus. Aku tahu kepada siapa ia menatap.

Ya, mudah sekali untuk ditebak. Tora memandang kepada barisan anak kelas satu yang masih menyebar. Tepatnya kepada anak kelas satu yang cukup mencolok, Saga. Pada saat itulah aku harus menelan sendiri rasa cemburuku, membungkam mulutku sendiri untuk tidak berteriak padanya.

Lalu yang kusebut skala paling besar adalah peristiwa paling menggemparkan seantero sekolah. Tora mengumumkan bahwa ia resmi menjadi kekasih Saga. Sontak semua orang terkejut namun mereda. Mereka tahu bahwa percuma saja iri, merong-rong Saga sebagai anak baru itu. Karena di mata mereka, Tora dan Saga adalah pasangan serasi.

Tapi tidak menurutku. Hanya akulah yang pantas menjadi kekasih Tora, bukan Saga atau siapa pun. Hanya aku.

….dan jika aku tidak bisa mendapatkan Tora, maka aku hanya perlu menyingkirkan Saga. Membuat anak yang baru saja tahu dunia sekolah menengah atas adalah kejam, mengajarnya untuk tidak bersikap sok baik padaku saat aku tertangkap basah mencuri lihat pada kekasihnya. Oke, aku ralat. Pada orang yang harusnya menjadi kekasihku tapi telah ia rebut seenaknya.

Dasar jalang!

Jika aku umpamakan dengan benda-benda langit, obyek-obyek dalam paradigma para ilmuwan dan astronom yang tak kunjung bosan bersua dengan langit di atas sana, mungkin bisa dikatakan antara asteroid, komet dan bintang.

Saga adalah asteroid berkumpar dalam distansi bintang, yaitu Tora dan aku adalah komet. Kadang datang dan pergi tertatih melintasi angkasa untuk menggapai sang bintang. Aku mengembara, inkonfeso.

~†~†~†~

Aneh.

Aku melihat distingsi akan hawa di sekelilingku saat bertatap dengannya. Ketika aku bersama Saga. Ketika aku mengerling padanya. Yang Saga tak tahu, aku selalu merasa bingung dengan orang itu.

Rambutnya sewarna kayu namun berkilap indah. Aku sering melihat ia menatap kosong kepadaku dan Saga. Siapa dia?

Setelah aku bertanya, aku tahu namany Kohara Kazamasa. Untuk selanjutnya aku tahu ia biasa dipanggil Shou.

Aku sering melihatnya membeli susu kedelai di kantin sebelum akhirnya duduk di ujung kantin dekat jendela dan termangu sendirian. Kadang aku melihat pula jika Saga balas menatapnya sementara aku menutupi wajahku dengan tangan. Dari celah jemari aku balas memandangnya. Entahlah.

Aku sendiri merasa takut.

Bukannya aku takut dengan keberadaan dia yang nyatanya inheren dengan keberadaanku. Aku baru sadar ketika Saga menyemangatiku dalam pertandingan bola basket yang memacu semangatku, aku melihat ia di balik pepohonan di sudut lapangan. Tak bisa kupungkiri jika aku juga terpacu karena kedatangannya. Hal itulah yang bisa membuatku menang telak, bukan, maksudku adalah timku. Baik Saga maupun dia bagai penyemangatku.

Aku jadi semakin tertarik dengannya.

Lalu aku ingat, aku masih punya Saga. Saga yang manis. Saga yang cantik dan kadang manja kepadaku. Aku yang bahkan seperti tak bisa menolak permintaan-permintaan kecilnya hanya untuk sekedar membalas pelukannya atau mencium keningnya dengan sayang.

Tapi aku tahu. Hatiku telah mengkhianati Saga begitu jauh.

Aku menemukan kenyataan pahit atas bohongnya diriku.

Atasnya penyangkalan tak berguna itu.

Aku tersadar, bahwa kau mencoba menyembunyikan dirimu di balik nafas putihmu terpantul di udara. Rasa-rasanya aku melihat kau seakan mencoba memanggilku dengan suara yang tak pernah bisa aku dengar. Rasa-rasanya aku mengerti bahwa kau menyukaiku. Terlalu menyukaiku hingga tak pernah bisa diungkapkan sejak lama. Kau menyimpan semuanya sendiri.

Aku tak sengaja melihat hal itu.

Kakiku melangkah seperti bukan aku yang pegang kendali. Menjauh dari sisi Saga dan menengok ke halaman belakang sekolah. Di sana entah mengapa aku memasuki tempat lonceng tua yang terkenal suram dan angker di belakang sekolah. Dulu katanya lonceng itu adalah lonceng sekolah lama yang berbunyi menandakan bel pulang, bel masuk atau bel pergantian pelajaran dan bel istirahat.

Tapi tragedi sembilan tahun lalu membuat lonceng itu tidak pernah dipakai lagi. Konon katanya pernah ada peristiwa gantung diri dengan mengikatkan leher pada tali lonceng hingga lonceng berdentang tidak sesuai dengan waktunya. Seorang siswa bunuh diri.

Sekarang tangga-tangganya dari besi karatan yang dibawahnya dilas dengan cermat. Semakin menambah kesuraman dan kengerian dengan banyaknya kelelawar yang menggelantung di sela-sela bagian jendela yang tertutup.

Dari atas tempat lonceng bergantung, aku mendengar suara tangis tercekat. Membuatku merinding hingga sekujur tubuhku ikut bereaksi terhadap suara itu. Tangisan sakit dan minta tolong.

Aku menemukan kepingan aneh dari rasa yang belum bisa kutemukan pada Saga. Perasaan membuncah yang nyatanya sakit dan pedih.

Aku melihat Shou duduk di sudut seraya menelungkup di lututnya. Tubuhnya bergetar begitu hebat. Aku juga melihat sebuah buku tebal terbuka di kakinya. Aku sekedar menebak itu adalah buku diary.

Aku tak tahu pastinya, tapi perasaanku terlalu kuat saat melihatnya menangis. Trenyuh melihat sosoknya yang tertawa dalam tangis kecemburuan.

Cemburu? Aku yakin begitu.

Karena aku selalu melihat dia memandang Saga dengan tatapan tak suka. Tatapan seakan ingin menyingkirkan Saga. Aku tak tahu, yang pasti ia seperti magnet yang membuatku tertarik padanya dengan cara yang tak lazim.

Aku melihat ia meremas-remas sebuah kantung hitam.

Aku tak tahu apa itu, tapi sepertinya itu sebuah benda metal dan agak berat. Karena ketika ia memutar-mutarnya ia mendentingkannya ke lonceng besi sehingga berdentang nyaring. Terlalu menyakitkan untuk aku dengar.

Aku menaikkan tubuhku sedikit lagi tapi tetap tak bisa terlihat. Dari sudut sini aku tak tahu benda apa yang ia bawa, tertutup oleh kakinya.

“Aku tak akan membiarkanmu!” ia berseru mengagetkanku dan beranjak turun dari sini dengan menggunakan tangga tempatku berpijak.

Buru-buru aku menarik tubuhku dan berjongkok di celah jendela dengan korden berwarna abu-abu di sebelahku. Menahan nafas saat ia pergi melewatiku. Langkahnya menggema sendiri dengan tegas di ruangan tinggi ini.

Aku tahu ia sudah pergi. Kini saatnya aku keluar dari tempatku bersembunyi.

Aku berjalan ke arah tempat Shou tadi duduk dan menangis sesenggukan.

Buku yang ternyata memang buku diary. Sampulnya berwarna hijau tua dengan ukir-ukiran berwarna hitam yang unik. Aku menjadi sangat penasaran akan buku yang merupakan bagian dari dirinya.

Di sana aku menemukan kenyataan yang membuatku terperangah, membuatku merasa sangat bersalah.


28 Februari

Aku tak sengaja melihatnya.
Inkompabilitas atas pesona hebatnya.
Menyanjung sungguh aku ingin memuja.
Tapi apa daya ia tak terkira.

Agaknya ia arogan.
Membuatku tersedu-sedan.
Menanti sebuah kesempatan.
Padahal asa dan nyata tak serupa dalam buritan.

Berjibaku dalam rasa terpendam.
Menghisap-hisap hingga adanya asam.
Berakhir sempurna saat ia berdentam.
Menampakkan mata indah laksana pualam.


Aku mengernyit sebentar. Membolak-balik halaman secara acak hingga menemukan halaman lain.

19 Juni

Wajah itu kembali terbayang.
Susah rasanya untuk aku biarkan hilang.
Ketika ia bersinar laksana bintang.
Temaram malam kini benderang.

Lagi langit lagi pun mendung.
Inikah yang tak bisa kubendung?
Menyeretku kembali pundung.
Tafsirkan getar yang tiada ujung.

Apakah yang kucari?
Dari sosok mempesona di kemudian hari.
Berpijar dalam hati.
Ia yang membuatku tak bisa menepi.


Puisi tiga bait ini adalah gambaran perasaannya yang begitu dalam.

Tapi pada siapa? Apa benar ini untukku? Apa benar ini ditujukan padaku?

Tanganku semakin liar membuka dan membaca.


3 Oktober


Aku tercekat melihat tanggal itu. Itu adalah tanggal di mana aku dan Saga resmi berpacaran, apa yang ia tulis? Mataku membaca secara cepat isi dari halaman itu.


Sang bintang tak pernah mau berpaling darinya.
Padahal aku mencoba mengusir sindresna.
Saat aku melihatnya adalah astreoid dalam siksa.
Asteroid kecil bagai penggoda.

Berdiam dalam pendar.
Bias cahaya melebihi yang terbakar.
Kapan ia mau sadar?
Aku benci ketika kabarnya tersiar.


Apa?

Sekarang aku membuka halaman terakhir yang paling baru.

Belum sempat membacanya tapi suara jeritan ramai dari gedung sekolah membuatku bingung. Ada apa?

Ku bawa langkahku berlari menuruni tangga sambil menenteng buku diary Shou erat-erat. Hampir saja aku terpeleset di kebun habis terkenaair segar dari penyiram tanaman otomatis. Menyeimbangkan tubuh dan meluncur ke dalam meski celana panjangku terciprat lumpur di dekat pintu belakang.

Aku tak menghentikan langkahku dan menabrak seorang siswi.

“Maaf, maaf,” aku mengumpulkan buku-buku miliknya secara sembarang dan menuju kelas Saga di lantai satu. Karena kulihat banyak siswa berlari mendatangi arah kelas anak satu, tapi ternyata tidak, mereka berbelok ke arah kantin yang ada di sebelah barisan kelas satu.

Aku menambah kecepatan dan terperangah.

Di tengah-tengah kantin tak ada siapa pun lagi selain Saga yang menjadi pusat perhatian dan kekhawatiran, juga Shou.

Akhirnya aku tahu apa yang ada di dalam kantung hitamnya. Sebilah pisau panjang.

~†~†~†~

Semua pikiran tumpul tertawa keras
Dengan suara yang sama seperti sebelumnya

“SHOU!” pemuda jangkung itu berteriak menggelegar.

Semua mata memandangnya.

Mata penuh prihatin, ketakutakn, keterkejutan dan apalagi yang bisa disebutkan menatapnya.

Shou berhenti menodongkan pisaunya kepada Saga. Matanya berkilat marah sekali. Tora tahu apa arti kilat menakutkan di mata Shou, arti dari wajah penuh amarah dan dendam. “Shou, hentikan semuanya.” Titah Tora sembari maju perlahan kepada Shou.

Shou tertawa kejam. Wajahnya tidak seperti yang sebelumnya Tora pernah lihat. “Apa? Kau bilang berhenti? Tahu apa kau??!” lengkingnya emosi. Saga mematung di hadapan Shou ketika ujung pisau itu menggores sedikit leher jenjangnya yang mulus.

Pemuda itu mengerang pelan, darah menetes mewarnai kerah kemejanya selagi Shou memutar ke belakang tubuhnya, menempatkan pisau di lehernya. Tora maju dan orang di sekitar mereka memekik ketakutan. “Diam!” ia berteriak kepada Tora dan seluruh orang di ruangan besar itu.

Hening seketika dan Shou menatap Tora kembali dengan tatapan sedih.

Cahaya kembali menyinari kota.
Kau meraih suaramu,
dan meneriakkan eksistensimu
Ke langit luas.

“Aku tahu,” seru Tora kepada Shou, di tangannya Saga berusaha bernafas dengan baik dan memandang kekasihnya. Matanya berair. “Aku tahu kenapa kau seperti ini,” imbuhnya lagi, langkahnya tetap berusaha mencapai tempat Shou berdiri.

Pemuda itu melihat langkah Tora dan ia mundur menendang kursi ke sampingnya. Kerumunan orang di sekeliling mereka menahan nafas melihat drama di depan mata mereka. “Memangnya tahu apa kau tentang aku?” jeritnya kasar, kentara sekali ia berusaha menahan tangis.

Tora menarik nafas, menentramkan hatinya. “Kau menyukaiku ‘kan?” tanya Tora seraya menunjukkan buku diary yang ia bawa.

Wajah Shou yang tadinya dingin berubah menjadi pucat sesaat.

Aku masih tidak bisa berpikir mereka dapat mengetahui senyummu,
Karena mereka takut akan cahaya

Saga tersengal dengan cekikan Shou dan tudingan pisau yang siap dikalungkan di lehernya. Begitu dekat dan mengancam.

“Lancang sekali kau membaca buku diary-ku!” serunya semakin marah dan kembali menggores leher Saga hingga anak itu sesak dan sulit mengambil nafas.

Buku diary berwarna hijau tua itu Tora angkat setinggi dadanya dan ia buka. Baik Shou, Saga dan semua orang di ruangan besar itu diam lagi. Hanya sengal nafas Saga sesekali muncul.

Tetaplah bernafas…
Tetaplah bernafas…
Tetaplah bernafas…

Tora menggeleng lemah, “Maaf, aku minta maaf Shou…”

Katakan… suara yang hadir di sisimu.

Shou membalas tatapan prihatin Tora dengan nyalang. “Apa maksudmu, Tora?” ia bertanya, lehernya terasa sakit karena menahan air mata yang siap jatuh untuk kesejuta kalinya. Ia hampir tersedak oleh karena banyaknya perasaan yang ia tampung, yang ia sembunyi dalam waktu lama.

“Maafkan aku karena tak pernah membalas perasaanmu lebih awal.” Tora menunduk sedih kepada tulisan-tulisan dari tinta kebencian juga perit di atas kertas putih. Semua perasaan sakit hati, cinta, benci, cemburu, iri, segala macam larut dalam tulisan tangannya yang ramping dan tergesa.

Tora bisa melihat tetes-tetes air mata yang terkadang membuyarkan suatu kata di lembar demi lembar dari buku diary itu. Hatinya ngilu membayangkan apa yang selalu Shou rasakan saat melihat ia dan Saga bersama sejak enam bulan silam.

Pasti telah banyak rasa sakit hati dan putus asa yang tidak sengaja ia torehkan pada Shou. Pasti telah banyak air mata yang jatuh dan jeritan yang ia keluarkan dari hati yang terluka begitu dalam.

Aku tahu betapa sakitnya hidup bisa terjadi.
Bagaimana mudahnya tubuh ini untuk terluka.

Saga menangis tanpa suara. Mereguk udara banyak-banyak sebelum pisau itu melayang-layang lagi bertengger di dekat pita suaranya. Matanya sakit. Hatinya lebih sakit lagi setelah Tora membuka mulut dan memberikan pengakuan tak terduga kepada semua orang yang hadir sebagai saksi.

Pemuda jangkung itu menunduk memandangi tulisan tangan Shou yang ditekankan begitu nyata hingga hampir tembus ke halaman selanjutnya. Juga kala di halaman paling belakang ia memandang nanar pada tulisan namanya.

Amano Shinji.

Ditulis dengan darah yang telah menghitam, berwarna coklat tua.

“Aku…” Tora menatap wajah Saga yang pucat dan wajah Shou yang kini terlihat penuh luapan emosi. “…aku juga mencintaimu,” ucapnya lirih namun terdengar cukup jelas di tengah senyapnya kerumunan orang yang penasaran.

Saga, pemuda merasakan tubuhnya melemas. Menahan tangis yang membanjir bersama aliran darah segar dari lehernya. Jadi selama ini apa artinya ia di hati Tora? Apa artinya semua perhatian dan kata-kata manis dari bibir pemuda jangkung itu? Apa gunanya ia telah tersipu dan tertawa dan merasa berdebar tiap kali pemuda jangkung itu ada di dekatnya?

Nyatanya itu semua omong kosong belaka.

Sekarang Saga merasa seperti seorang Rosaline. Rosaline merupakan gadis yang pernah ada di hati Romeo dalam karya Shakespeare yang terkenal ke seluruh dunia. Ya, jika orang tak mengetahui lebih dalam tentang pribadi dan kehidupan awal Romeo sebelum bertemu dengan Juliet, mereka tak akan pernah tahu siapa itu Rosaline.

Semua orang kenal Romeo. Semua orang pasti juga kenal Juliet. Tapi semua orang belum tentu kenal Rosaline. Karena Rosaline adalah masa lalu dari Romeo. Masa lalu yang bahkan tak dijelaskan secara terperinci oleh Shakespeare akan kehidupannya di Verona. Gadis yang pertama kali membuat sang Romeo jatuh cinta.

Tapi kita tahu. Tentu saja, bahwa Rosaline tidak disebutkan dalam cerita Romeo and Juliet. Jika hubungannya diperjelas dan Romeo memilih Rosaline menjadi pasangan sehidup sematinya, tak akan ada yang namanya Romeo and Juliet.

Rosaline tetaplah Rosaline. Gadis yang ditinggalkan Romeo karena pemuda tersebut tertarik dengan pesona seorang Juliet. Melupakan Rosaline terpuruk sendirian sementara  Romeo merajut kisah cinta indah dengan sang Juliet.

‘Tidak adil!’ jerit Saga dalam hati. Ia mengisak keras-keras, tak peduli lagi dengan pisau yang menekannya di leher. Membuat darahnya terus menetes.

“Kenapa?” tanya Shou getir. “Kenapa kau terlambat?!”

Kau menangis sendirian
Meski kau mencoba untuk melawannya
Cahaya kembali menyinari kota

Tora melangkah maju dan Shou membanting tubuh lemas Saga ke atas lantai. “Maafkan aku Shou…” tangan besarnya mengusap rambut Shou yang sewarna kayu keemasan, indah dan lembut sekali. Mereka berdua berpelukan di tengah ruang kantin yang luas.

Tangisan bahagia Shou mengalir deras dalam pelukan hangat Tora. Massa di sekeliling mereka menahan nafas, terkesiap melihat adegan tak terduga itu. “Aku juga mencintaimu, Shou… jangan menangis lagi.” Rayunya lembut menghirup wangi segar dari tubuh Shou, mendekapnya seakan tak ingin melepaskannya. Tak akan pernah…

Kini giliran tubuh Saga yang gemetar dan dingin merayapinya.

Nafas putih yang kau hirup
Menutupi limpahan cahaya yang mengisi mataku

Pisau yang Shou lempar bersebelahan dengan kakinya. Pisau panjang berkilau memantulkan bayangan dirinya. Saga yang cantik. Saga yang manis. Tapi kini semua berbeda.

Saga yang marah. Saga yang merasa dihina. Saga yang penuh emosi dan Saga yang siap mengembalikan martabatnya.

Suara yang aku tunggu sejak lama
Tempat yang aku ingini sejak dulu
Nafas ini sekarang ada di sini

“Jika kalian ingin begitu…” ucap Saga dalam getar amarah. Ia naik pitam dan sangat sangat marah pada kedua orang itu. Berani-beraninya mereka mempermalukan ia di edpan umum. Membuangnya begitu saja.

Saga menggertakkan gigi dengan kejam, “Akan kubuat kalian berdua bahagia.”

Kata-kata yang disitir dalam belenggu arogansi larut dalam amarah dan sakit hati. Tora dan Shou berbalik badan, menoleh pada Saga yang siap dengan pisaunya. Darah menetes-netes dari lehernya.

Aku meraih suaraku yang pernah hilang

“TORA!!!” pekik Shou dan semua orang yang ada di ruangan itu.

Pisau panjang milik Shou telah menusuk tepat di ulu hati Tora. Mata hijau Saga memandang Shou penuh ancaman, menghentikan langkah Shou untuk melihat kepada wajahnya yang tak bisa dibaca.

Jemari ramping Saga menarik gagang pisau itu dari tubuh Tora. Membalas Shou dengan senyum malaikatnya yang selalu menawan. Ia memutar gagang pisaunya sebentar.

JLEB.

Saga menghujamkan pisau itu kepada jasad Tora yang sekarat. Menikam jantung, menikam rusuknya, menikam bagaian manapun yang dulu selalu melindunginya.

Ruangan penuh suara pekik dan jeritan histeris.

Saga tak berhenti sampai di situ. Sekarang giliran dia yang menodongkan pisaunya kepada Shou, memandangnya penuh kebencian. Memandangnya begitu rupa dengan aura membunuh pekat. Gelap sekali aura ‘sang malaikat’ bernama Saga saat ini. Saga tersenyum, tersenyum murka pada Shou yang menangis. Padahal air mata Saga juga merebak dan membanjir jatuh kepada Tora yang merenggang nyawa di bawah lututnya.

Membasahi dadaku dengan air matamu
Dan membiarkan semuanya itu di sini
Di dalam diriku

Tikaman selanjutnya ia timpakan pada Shou. Pada leher Shou yang segera memotong jalannya nafas tercekat miliknya. Membuat suaranya hilang dalam sekejap.

Saga menangis. Ia menangis dalam senyumnya sementara ia menghujani Shou dengan tikaman-tikaman. Tertawa-tawa kesetanan sementara tangannya sibuk mencacah daging segar di bawahnya. Membelah rusuk Shou dan mencampakkan tubuh yang tergolek lemas itu di sebelah Tora.

“Inilah…” desis Saga.

“Teman-teman… inilah Romeo dan Juliet yang sebenarnya! Mati karena mereka saling mencintai! Namun dilarang… dilarang oleh identitas mereka sebagai ‘apa’ di sekolah ini!”

Saga tertawa-tawa melengking. Ia menjadi tak waras.

DORR!

Timah panas bersarang di betis Saga.

DORR!

Kini timah panas menusuk jantungnya. Membakarnya dalam sekejap. Membuatnya terengah dan menyambangi pintu kematian.

Orang-orang berseragam khusus memasuki ruangan.

Pemuda ramping itu jatuh berlutut memegangi dada di mata jantungnya hampir berhenti berdetak. Ia menangis sesenggukan di samping Tora. Menatap kepada Shou yang matanya telah nyalang menatap langit-langit.

DORR!

Saga terjerembap. Jatuh di samping tubuh Tora. Bersanding dengan ketampanan dari kekasihnya dan keanggunan Shou yang menjadi tokoh utama dalam cerita.

Karena ia adalah Rosaline.

Yang dilupakan Romeo, begitu ia membuka mata. Menemukan pesona lain dalam wujud Juliet. Mencintai Juliet dan meninggalkan Rosaline.

Untuk selama-lamanya…

Karena aku sadar,
aku telah sepantasnya menjadi alasan…
Untukmu agar tetap hidup.

Tora menghembuskan nafas. Shou telah berada di alam lain lebih dulu, menggenggam erat tangan Tora.

Saga tersisih, kepalanya terletak jauh dari kepala Tora, tidak seperti Shou dan Tora yang posisinya seperti orang ingin berciuman. Saga mengepalkan salah satu tangannya. Tangan lain yang berlumuran darah merayap pelan, menyentuh jari sang Romeo.

…dan Rosaline tak akan pernah bertemu Romeo.

Karena yang ada hanyalah Romeo and Juliet…

…bukan Romeo and Rosaline…

Maka aku menyanyikan nada-nada dengan seluruh hatiku
Aku akan menyanyikan ini satu kali saja
Sepenuh hatiku… hanya untukmu…




~FIN~



A/N: request song fic by Kurochi Van (Manterou Opera – Alkaloid Showcase)
Gomen ne saya lamaaaa sekali dalam pemikirannya dan sekarang saya mengetiknya dan merasa sangat puas dengan ini. jadi semoga Kuro dan readers lain puas juga dengan fic saya yang ini. Meski saya tidak mendownload lagu tersebut melainkan hanya mencatat liriknya… dan terimakasih untuk Maya Muhammad Ramdhan telah update stat tentang Romeo and Juliet juga Rosaline…
Comment please, you are allowed to remove this fic if you didn’t want it. Sorry for bothering you… (^ ^)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar