Jumat, 14 Januari 2011

The[real]Engaged (Chapter 1/?)

Title: The[real]Engaged (Chapter 1/?)
Starring: ScReW, the GazettE, Sugizo (soloist)
Author: xellonich a.k.a Yuuji Sano
Pairing: guess who?
Rating: PG-16 (?)
Genre: general. abuse. crack.
Warning: crackness.
Disclaimer: They belong to whatever Gods up. Just owned the story line.
Music: My Chemical Romance – Welcome to the Black Parade


~†~†~†~


“Taka, nanti ibu harus pergi ke Kanada, ada urusan bisnis di sana, jadi kau harus taat terhadap menu yang dibuat dokter ya? Ibu tidak ingin kondisimu menurun lagi seperti yang sudah-sudah. Lalu nanti kau harus mengikuti kursus Bahasa Inggris, dan langsung pulang, oke?”

Ruki mengangguk pelan. Entah kenapa rasa manis dari buah apel yang dimakannya menguap dalam sekejap.

Wanita yang secara teoritis maupun secara biologis adalah ibunya. Berusaha bertindak menjadi ibu yang ‘baik’ untuk memperhatikan anaknya. Meski ternyata hal itu sulit dilakukan karena sukses membuat ia ingin sekali menutup telinganya dan tak ingin mendengar kata-kata sok perhatian itu.

Tidak mengerti jika ia hanya ingin sendirian.

“Baik, ibu.” Jawabnya kaku.

Yang ibunya tidak tahu, Ruki berencana pergi ke daerah Shibuya untuk sekedar menenangkan pikiran. Walaupun musim dingin, Shibuya tak akan pernah sepi dari orang-orang yang ‘haus’ dan para ‘penjaja’ di jalan. Guru kursus itu mungkin masih bisa menunggunya datang di pertemuan berikutnya.

~†~†~†~

Angin berpusar pelan melewati sepatu boots-nya.

Ruki mendecitkan atsuoko-nya di jalan. Tentu bukan atsuzoko yang biasa dipakai oleh para ‘gals’ dan ‘ganguro’ yang tingginya mencapai setengah kaki. Yang ia pakai hanya sanggup menambah tingginya sekitar lima cm. Cukuplah membuat ia sedikit lebih tinggi dari seorang anak perempuan di sebelahnya sekarang ini.

Ia menarik nafas dalam udara tajam menusuk. Tak sengaja menabrak gerombolan remaja dan terus berlalu setelah sedikit menunduk meminta maaf. Tidak terlalu dipedulikan pastinya.

Ruki berbelok di sebuah toko musik di jalan yang sebelah sana. Tak sengaja matanya menangkap sosok seorang pemuda berambut pirang pucat di lorong sebuah banguan agak ke sudut. Tangan lihainya mengambil uang yang disembunyikan ‘pelanggannya’ di dalam bra berenda yang ia kenakan. Kemeja pink-nya terbuka sedikit.

Gadis itu tertawa genit dan membuka kancing kemeja pemuda itu. Mereka berdua bergeser ke dalam pintu hitam di samping mereka. Pintu yang berhubungan dengan sebuah love hotel temaram dengan tarif sekitar ¥9000 per malam. Jauh lebih kecil dari uang yang digenggam pemuda itu saat ini.

Ruki mengerjap cepat dan berlalu, itu bukan urusannya.

Langkahnya masuk ke dalam toko dengan wajah linglung. Ia berjalan sebentar dan menyandarkan kepalanya di salah satu konter mencari CD keluaran tebaru dari Sadie dan Nightmare yang telah ia incar sejak lama.

Hampir saja ia menabrak gitar elektrik dari EP di sampingnya karena terlalu terburu-buru untuk membayar di kasir.

“Terburu-buru, sayang?” tanya kasir itu usil. Seorang gadis yang terlihat lebih tua daripada Ruki dan ia membalas dengan senyuman sekedarnya.

“Totalnya ¥8750,” dan Ruki mengeluarkan selembar sepuluh ribu yen dari tas selempangnya. Menaruh CD dengan hati-hati di antara tumpukan buku.

Ia keluar dari sana dan berjalan di selasar pertokoan yang ramai. Menabrak seorang gadis, menginjak sarung tangan seseorang. Menjatuhkan papan daftar harga di sebuah kedai. Menendang kaleng softdrink di depannya dan menghantam tempat sampah yang jelas-jelas ada di pinggir jalan.

Ruki menarik nafas.

Terbukti ia adalah orang yang benar-benar ceroboh setelah berhasil membebaskan diri dari jaket seorang pemuda. Di mana ujung rambutnya tersangkut di kancingnya dan ia hampir menangis saat pemuda berambut coklat itu hampir memotong rambut pirangnya dengan pisau kecil yang ia kantongi.

Ruki menarik rambut pirangnya hati-hati sementara pemuda berambut coklat itu memperhatikannya dengan seksama. Entah apa yang ia pikirkan, Ruki tidak mau tahu. Yang ia inginkan adalah menyudahi acara jalan-jalannya yang kurang bisa dibilang menyenangkan dengan secangkir minuman hangat dan makanan manis.

Baru saja ia melangkah, jalan di depannya sudah diserobot oleh pemuda berambut pirang pucat. Ah, ia bertemu orang yang ia lihat tadi. Wajahnya menunjukkan ketidak sukaan.

“Kau punya mata tidak sih?” ujar Ruki ketus seraya mendorong badan pemuda yang lebih tinggi daripadanya ke samping. Pemuda itu menoleh, Ruki berkerut melihat wajah pemuda itu ditutupi oleh sehelai kain berwarna putih. Apa dia sejenis orang yang memiliki penyakit begitu?

Pemuda itu berdecak sebentar dan menyentil dahi Ruki. “Bocah, kau berisik ya.” Ia berdesis di depan wajah Ruki dan masuk ke dalam café. Meninggalkan Ruki dengan wajah dongkol memasuki café yang sama.

Ia menoleh ke sana ke mari untuk mencari tempat duduk, tapi tak ada tempat duduk yang kosong di sana. Padahal di café inilah crème brûle yang paling pas dengan seleranya dijual. Ruki melihat sang waiter mendatanginya. “Silakan Tuan, ada tempat kosong di sebelah sana…” mata berbingkai eyeliner tebal milik Ruki menyipit sedikit dan mengikuti langkah sang waiter.

Waiter itu berhenti di kursi di pojok ruangan café begitu pun Ruki. Ia membungkuk sedikit kepada kedua orang yang tampaknya enggan untuk saling menyapa. Seakan mereka tak kenal satu sama lain, atau mungkin memang begitu. Mata Ruki kini melebar melihat pemuda berambut pirang pucat–yang baru saja ia maki–dan berambut coklat – yang hampir memotong rambutnya–itu duduk di meja yang sama.

“Maaf, bolehkah tuan ini bergabung dengan Anda sekalian?” tanya waiter itu sopan. Ruki hampir menolak tapi kedua orang itu mengangguk berbarengan dan jadilah ia duduk dengan sangat canggung di sebelah pemuda berambut coklat itu.

Ruki menunduk dalam, menyitir pesanannya cepat-cepat dan kembali duduk menekuri meja di depannya. Ia tak berani menoleh ke sebelah kirinya maupun ke depan. Ia bisa mendengar orang di sebelahnya juga merasa tak nyaman dan bergeser sedikit lebih merapat ke kaca etalase. Ruki menghembuskan nafas halus.

“Kenapa? Kau takut ya?” sebuah suara berat menyapa Ruki. Ia menengadah sedikit dan menatap wajah pemuda dengan kain aneh di wajahnya, bingung. “Santai saja, aku tak akan menggigitmu, tahu.” Jelasnya lagi sembari membetulkan letak sikunya di meja.

Ruki balas menatap penuh kesinisan dan pemuda itu membentuk senyuman mengganggu di ujung bibir tipisnya. “Bisa tidak kau tutup mulutmu?” ujarnya ketus untuk yang ke sekian kalinya.

Pemuda itu tertawa dan pemuda di sebelah Ruki berdehem pelan. “Bisa tidak kalian berdua diam?” ia menggerutu.

“Terlebih kau,” pemuda berambut coklat itu menatap tajam kepada Ruki, “suaramu terlalu menyakitkan telinga tahu!” cecarnya kasar. Ruki menunduk takut ditatap begitu dan menggeser duduknya sedikit lebih jauh.

Sungguh suatu kesialan ia harus berhadapan dengan orang-orang seperti ini. Ia menggigit-gigit bibirnya sementara orang di depannya sudah menerima minuman dan makanan yang ia pesan begitu juga pemuda di sampingnya.

“Sial,” desahnya teramat pelan dan kembali menatap ke meja café. Menunggu pesanan yang beberapa detik kemudian datang bersama senyuman dari sang waiter.

Ruki segera menyendok crème brûle dengan ragu dan menghabiskannya secepat mungkin. Pemuda berambut pirang di depannya memakan fettuccini dan pemuda berambut coklat di sampingnya meminum espresso, semuanya dalam diam menjemukan.

Ruki berdecak lagi, menyuap lalu meletakkan sendoknya di atas crème brûle yang belum sampai setengahnya. Tangannya melayang ke udara, memanggil waiter untuk meminta bill lalu berlari keluar dengan menggenggam macchiato di gelas kertas setelah membayarnya. Ia tak memedulikan pandangan mata pemuda berambut pirang itu dan pandangan mata pemuda berambut coklat yang begitu tajam.

Sepertinya rasa manis crème brûle itu tak tertinggal sedikit pun di lidahnya.

~†~†~†~

Tangannya menyentuh gagang pintu kamarnya barang sejenak lalu melepasnya lagi. Ia mendengar suara ayahnya memanggil-manggil dari lantai bawah. Rasa kebas di wajah dan tangannya ia tampik. Untung saja ia tadi sempat menghapus make up-nya di kamar mandi umum lalu menggantikan atsuzoko dan baju merah tuanya yang longgar dengan kemeja tartan biasa dan sneakers hitam.

Ruki berbalik dan menatap ayahnya dengan kosong.

“Ayah sudah pulang?” tapi ayahnya tak segera menjawab dan malah menyandarkan kepalanya di pundak Ruki. Menghirup aroma parfum yang Ruki pakai lekat-lekat. Membuat anaknya berjengit sedikit.

Mereka berdiri diam tak bergeming senyum ayahnya mengembang sempurna. Ia mengangkat wajahnya. “Sayang,” pria tersebut bernama Sugizo, dan meskipun ia menikahi ibu Ruki saat Ruki berumur dua belas tahun. Namun sampai detik ini Ruki tak ada respek sama sekali terhadapnya. Ruki mendorong tubuh Sugizo hingga pria itu menjauh beberapa langkah.

“Kenapa kau lama sekali?” Perlahan pria itu maju lagi layaknya tak ada penolakan sementara Ruki mundur memegangi pintu kamarnya.

Baru saja Ruki berkedip, Sugizo sudah melesat dan merengkuh tubuh anak tirinya. Ia memegang kedua bahu Ruki dan memposisikan kepalanya di sela leher anaknya. Tangannya menelusup ke dalam kemeja Ruki dari arah pinggang dan melintasi punggung Ruki.

Ia mendesah saat lidah ayahnya menyentuh lehernya. Tangan Sugizo menjalar menyentuh kulit Ruki dengan lembut. Ia merinding seketika menahan dada ayahnya dengan kedua tangan. “Ayah, berhenti!” ia mendorong ayahnya keras-keras.

Ayahnya melepasnya dan menatapnya. Tangan kebas Ruki meraba lehernya sendiri yang terasa dingin dan lembap. Matanya nanar membalas tatapan mata hijau tua milik Sugizo. Badannya ikut merasa sangat dingin terlebih saat melihat ayah tirinya tersenyum begitu janggal.

“Apa kabarmu, sayang?” Bibir Ruki hampir terbuka untuk menjawab tapi Sugizo mengatupkannya kembali dengan jemarinya. Jemari itu mengusap lembut bibirnya sembari tangan yang lain menggenggam kedua lengan Ruki yang lebih kecil.

“Sstt…” ia mendekatkan wajahnya kepada wajah pucat Ruki. Mengamati perubahan ekspresi wajah anaknya yang semakin kentara. “Aku tahu apa jawabanmu,” ucapnya lembut sekali dan mendekatkan bibirnya ke bibir merah Ruki. Seakan ingin melahapnya dengan lapar.

“A…” suaranya dipotong oleh lidah basah milik ayahnya. Matanya membelalak ketakutan. Tangannya terkunci sempurna. Tubuhnya dirapatkan sampai tak ada jarak sedikit pun di antara mereka. Ia mengerjap panik.

Pria yang disebut ayahnya malah membuka sabuk kulitnya dari celana bahan yang ia pakai. Mata Ruki basah akan air mata saat Sugizo menggigit bibirnya lalu menyilangkan sabuk kulit itu di kedua tangan Ruki. Nafasnya memburu dan liar. Lagi-lagi tangan Ruki disentak dan disatukan dengan sabuk kulit ayahnya.

‘Tidak!’ ia menjerit dalam hati ketika Sugizo mendorong pinggulnya sendiri ke arahnya, ke bagian bawah tubuhnya.

Kaki Ruki goyah menahan berat tubuh Sugizo yang semakin dalam mengambil paksa nafasnya. Udara yang ia hirup tak sampai mengisi paru-parunya. Wajahnya memerah. Tangan lain ayahnya membuka kancing kemejanya satu persatu, menyambangi tubuh dan pinggang ramping Ruki sementara tangan lainnya mencengkram tangan anaknya yang terikat.

Ia mengerang. Lidah itu dikeluarkan hanya sekejap sebelum kembali masuk lebih dalam lagi. Ruki masih belum bisa bergerak sedikit pun, badannya ditahan di pintu kamarnya keras-keras. Begitu bernafsu ayahnya mencium Ruki dan menyelipkan tangannya ke dalam skinny jeans yang bergantung di pinggul Ruki. Membuat pinggul Ruki tersiksa saat ukuran celananya dipaksa melebar.

Ia meringis kesakitan tapi ayahnya tak mau mendengarkan.

Sugizo menyentak Ruki untuk tetap berdiri tegak. Tangannya mengangkat tubuh Ruki dan mengekspos tubuh sewarna pucat susu itu kepadanya.

“Ayah… jangan…” Ruki menggerakkan kakinya tapi ayahnya tak mau mendengar dan meneruskan menyesap kulit Ruki. Membuka kemeja milik Ruki lebih lebar.

“Ayah…” air matanya mulai menetes saat ayahnya menggigit-gigit di sekitar leher dan putingnya. Tangan yang lain dirasakan meraba-raba di dalam celananya, membuatnya sulit untuk bergerak.

Sugizo berhenti, tersenyum kepada Ruki barang sejenak. Memandang Ruki yang terengah-engah ia sandarkan ke dinding, ia apit erat-erat. “Sayang, kenapa? Butuh tempat yang lebih baik, ya?” ia tertawa sendiri, Ruki menggeleng keras-keras.

“Oh, rupanya memang kau butuh tempat yang lebih baik…” Ia tersenyum, membuat Ruki cukup ngeri untuk berbicara.

“Ayah…” ia meronta lagi saat ayahnya mengangkat tubuhnya dan menendang pintu kamar Ruki hingga terbanting terbuka. Tangan terikatnya menggantung di udara, memukul-mukul punggung ayahnya tak menentu. “Lepas… lepaskan!!!”

Sugizo mengabaikan permintaan bodoh itu dan melemparnya ke atas ranjang.

Ruki bergeser dari terjangan ayahnya dan mencoba menapak lantai tapi ia ditarik kembali ke atas ranjang. Dibanting kembali untuk melihat wajah penuh nafsu Sugizo.

Takut. Hanya itu yang bisa itu teriakkan dalam angannya. Wajah itu yang mendatanginya. Dalam balutan nafsu minta dipuaskan. Dalam ketakutan dalam yang ia rasakan. Mata itu menatapnya tajam. Bibir itu dan tangan itu yang berbuat keji padanya.

Ruki tak tahu ia salah apa. Tak pernah tahu kenapa ia harus mengalami hal yang menjijikan seperti ini. Tiap kali ayahnya melakukan hal itu padanya, sesudahnya ia ingin muntah.

Jijik pada dirinya sendiri.

“Sekarang aku akan membuatmu berteriak, anak manis…”

Ruki menjerit tertahan.



To be continued…


A/N: Jeng jeng jeng… pasti lagi pada nonton nih atau lagi sibuk~ XDD
Udah ah, mood saya dirusak begitu saja sih, jadi males deh saya… fuhh~~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar