Selasa, 18 Januari 2011

The[real]Engaged (Chapter 2/?)

Title: The[real]Engaged (Chapter 2/?)Starring: ScReW, the GazettE, Sugizo (soloist)
Author: xellonich a.k.a Yuuji Sano
Pairing: Sugizo x Ruki. Byou x Ruki. Reita x OFC. Reita x Ruki.
Rating: NC-17
Genre: drama. smut. crack.
Warning: crackness. smut scene.
Disclaimer: They belong to whatever Gods up. Just owned the story line.
Music: ScReW – The Previous Night of Hell



~†~†~†~


Wajah itu kembali hampa.

Meringkuk di ranjangnya sendiri yang lebar bagai anak kecil ketakukan oleh petir atau kegelapan atau monster yang bisa saja keluar dari lemarinya. Meski kini yang ia takuti jauh lebih menakutkan. Monster itu bukan berwujud makhluk buruk rupa melainkan sangat tampan. Monster itu tidak keluar dari lemari, tapi bisa muncul dari tempat yang tak diduga, kebanyakan muncul di depan kamarnya.

Selimut tebal, hanya itulah yang menghangatkannya. Karena tubuhnya polos tanpa sehelai benang pun. Karena ia merasa kedinginan dengan hawa pria itu. Juga salju yang turun di luar sana membuatnya semakin menggigil.

Jika diperhatikan lebih seksama, terlihat banyak bercak darah di sana juga bau amisnya menguar ketika mendekat.

Bercak darah berceceran mewarnai selimut putih miliknya juga sprei merahnya. Bercak darah yang menghitam dan mengering juga menempel di badannya. Tak mau hilang dari kulit pucatnya karena ia tak kunjung bisa bergerak untuk membasuhnya.

Suara derit pintu terbuka mengalihkan perhatiannya dari jendela yang hanya seleret memperlihatkan cahaya. Ia mengangkat kepalanya yang terasa sangat berat. Bulir air mata jatuh pelan membasahi bantal tempat kepalanya bersandar lemah. Lembapnya oleh air mata sejak semalam. Ada pula cairan bening yang menempel menodai bagian-bagian bawah tubuhnya dan lengket di sekitara selangkangan dan sprei di bawahnya.

“Selamat pagi, sayang…”

Ruki gemetar mendengar suaranya. Ia tahu persis suara milik siapa itu dan perutnya bergolak kembali. Perasaan ingin muntah yang dari tadi mengisi, kini semakin kuat.

“Kau masih belum berpakaian,” komentar Sugizo seraya merangkak di atas ranjang Ruki, menghampiri tubuh yang tersembunyi di balik selimut itu.

“Jangan mendekat.” Suara parau Ruki akibat terlalu banyak berteriak menyiratkan rasa benci. Perasaan muak.

Mendengar itu cukup membuat Sugizo tersenyum lembut. “Jangan ketus begitu…” ia duduk tepat di sebelah Ruki yang memunggunginya. Pria itu membungkuk dan mengecup pipi basah anaknya. “Bangunlah, sayang… atau kau mau kita melakukannya lagi, hmm?” ia menyeringai dan Ruki meneguk ludahnya dengan susah payah.

“Seks di pagi hari juga sama menyenangkannya… sama seperti sarapan, untuk menambah stamina, kau tahu ‘kan?” bisik Sugizo dengan nafas berat, menjilat bibirnya sendiri. Telapak tangannya kini berada di tepi selimut Ruki, siap menyibaknya.

Pemuda itu mengeratkan pegangannya pada selimut. Ia bertambah gemetar saat ayahnya memasukkannya tangannya ke dalam selimut dan memeluknya dari belakang. “Ayah, aku tidak mau.” Jawabnya lirih sementara ayahnya membenamkan wajahnya di punggung Ruki.

Ayahnya tersenyum. Ruki bisa merasakan bibir ayahnya menempel di punggung. Basah menelusuri bahunya. “Ayah!” ia memaksa bergerak menjauh. Sebentar saja ia sudah jatuh dari tempat tidur, mendarat di lantai berlapis karpet hitam. Memang, ia sejak semalam meringkuk di sisi paling ujung dari ranjang.

Sugizo tersenyum lagi, terlihat ia sangat menikmati perlawanan Ruki, “Ya ampun, kau memang tak bisa tenang ya…” ia berdecak sedikit, menjejak di atas selimut tepat di hadapan Ruki. Detik berikutnya anaknya menarik selimut yang ia bawa jatuh bersamanya kuat-kuat hingga ayahnya jatuh terjengkang. Kepalanya menghantam sisi ranjang.

“Akh!” Sugizo jatuh terduduk, mengusap belakang kepalanya. Di saat itulah Ruki melemparkan selimutnya kepadanya dan berlari cepat-cepat ke dalam kamar mandinya. Terlalu takut untuk mengerling melihat ekspresi ayahnya.

Ia membanting pintu kamar mandi hingga tertutup dan menguncinya. Melanjutkan langkahnya ke arah closet.

Ia ingin muntah.

Memuntahkan isi perut yang telah diisinya sejak kemarin. Padahal yang ia makan hanyalah sepotong apel, beberapa sendok crème brûle, sebotol air mineral dan segelas macchiato. Ia ingin muntah hingga hanya sampai tinggal cairan pahit yang bisa ia muntahkan. Padahal ia berharap bisa mengeluarkan cairan sperma yang ayahnya suruh telan kemarin malam dari lambungnya. Ia ingin memuntahkan semua hal kotor yang mengisi tubuhnya.

Menjijikan.

Ruki terlanjur jijik pada dirinya sendiri yang kotor.

~†~†~†~

Dingin.

Byou memijat tengkuknya sendiri yang terasa sangat dingin dan pegal. Tumpukan berkas di atas meja kerjanya telah menunggu sementara ia sudah tak kuasa menahan kuap. Tidak tidur semalaman untuk menyelesaikan laporan tahunan dari laporan-laporan sejak setahun yang lalu telah didata. Sungguh melelahkan.

Kemarin baru saja ia berkeliaran di Shibuya dan bertemu dengan seseorang yang menarik perhatiannya. Ia mengingat detail wajah pemuda bertubuh kecil tersebut. Mata coklat hazelnya yang suram, kulitnya yang pucat sekali. Cantik tapi rapuh. Ia juga menyukai rambut pirang itu yang sangat lembut saat tersangkut di kancing jaketnya.

Mungkin sikapnya kurang sopan kemarin. Ia ingat bahwa ia mengeluarkan pisau kecil dari kantong belakang celananya untuk memotong rambut pirang itu. Tapi ia berhenti karena melihat wajah pemuda itu hampir menangis. Ia berhenti karena melihat pemuda tersebut susah payah melepaskan rambutnya dari kancing jaket Byou.

Byou menarik nafas dan menyapu meja kerjanya dengan tangan secara kasar. Menyerakan semua alat tulis, berkas, dan apa pun yang ada di atasnya. Membuangnya hingga jatuh ke atas lantai dan kertas-kertas berterbangan sebelum turun perlahan berkumpul bersama benda lainnya di atas lantai.

Belum puas, ia mengambil gelas minuman berisi setengah oleh air putih lalu menghantamkannya ke dinding di sebrang tempatnya berdiri. Pecahan gelas berdenting mesra dengan lantai. Sesudahnya ia berdiri mematung, membuka laci meja kerjanya dan memandangi foto di sana.

“Kau…” ia bergumam, memegang lembar foto itu dengan gamang.

Sejenak ia tercekat lalu menghempaskan diri ke kursinya. Ia mengingat wajah pemuda itu, ia juga sangat mengingat suaranya ketika di café meski dalam nada ketus. Semuanya sama dengan apa yang dikatakan ayah dan juga wanita itu. Mereka yang mempromosikan pemuda itu untuk bertunangan dengannya.

Tapi ia menolak. Karena ia tidak tahu siapa dia. Meski melalui cerita-cerita itu yang hampir meyakinkannya, tapi tetap saja tak bisa. Ia tidak suka dipaksa, dan sepertinya ada yang salah dengan anak itu. Ada yang salah dengan ekspresi wajahnya.

Tapi Byou belum tahu itu apa dan Byou belum bisa menerimanya.

“Ah… aku tidak tahu harus bilang apa…” ia menunduk, meremas pinggiran foto tersebut dan melemparnya kembali ke dalam laci.

Sekarang ia butuh rokok untuk menjernihkan pikirannya. Sebatang Pianissimo One ia sulut dan hisap sedalam-dalamnya seraya membuat jalan ke arah beranda kantornya. Menghembuskan asap beracun menambah polusi kota Tokyo dalam kelembapan udara yang sangat tinggi. Pagi yang dingin dan suram diwarnai hiruk pikuk keramaian di bawah kubah langit.

~†~†~†~

Nafas Reita memburu.

Terengah-engah dalam pengapnya ruangan kecil itu. Berpeluh yang menetes pelan di sekujur tubuhnya, beradu dalam tatih-tatih hembusan hangat nafas si wanita. Bergerak dalam ritme cepat tak menentu demi mengejar kepuasan batin. Mencecap rasa yang sebenarnya sudah terlampau sering ia rasakan.

Reita menggeram. Wanita berambut hitam legam itu melenguh. Mereka terputus-putus mendesau dan mendesah. Memagut bibir lawannya dengan nafsu sementara tubuh-tubuh mereka berguncang di atas ranjang. Deritannya terdengar dan tidak bisa lagi menggema di ruang kecil itu. Bersama dengan deru penghangat ruangan yang membuat kamar itu semakin panas.

Jeritan mereka keluar berbarengan bersama puncak orgasme.

Wanita itu menggapai udara cepat-cepat lalu menggigit bibir Reita. Senang hatinya. Rupanya hanya dengan ¥50000 ia sudah bisa menikmati sesuatu yang tak terkira, yang tak bisa ia dapatkan dari pacar ‘tersayang’nya di luar sana. Uang berpindah tangan ke kantung celana jeans Reita. Uang yang sebenarnya diberikan dari pacar ‘tersayang’nya kepada pria yang telah dibelinya untuk berhubungan seks malam ini.

“Terimakasih.” Ucap wanita itu seraya tertawa-tawa, memandangi Reita yang tersenyum simpul sedang memasang kembali pakaiannya. Ia sendiri masih belum beranjak untuk memakai bajunya kembali, ia terlalu lelah setelah dipuaskan oleh pemuda yang ‘hebat’.

“Ah!” wanita itu berseru menghentikan langkah Reita yang baru selesai memasang jaketnya menuju pintu. Reita berbalik dengan wajah bertanya. “Bisakah aku minta nomor telponmu?” tanya wanita tersebut penuh harap. Ia ingin menjalin hubungan lebih dalam dengan pemuda yang membuatnya terpana tersebut, ingin membuatnya takluk padanya.

Pemuda itu menatapnya lurus-lurus. Wajahnya menjadi sangat dingin dan tak bisa ditebak. Ia mendengus pelan. Kamar itu berbau seks yang pekat. “Kau yang memintaku tadi di pinggir jalan,” ujarnya dalam nada sinis. “Lalu sekarang kau meminta nomor telponku, tidakkah kau berpikir jika kau meminta terlalu banyak?” tanyanya dan ia membuka pintu love hotel, berlalu meninggalkan si wanita. Hanya sebagai pelampiasan dalam satu malam. Reita tak tertarik.

Dirinya sudah terlalu lama tenggelam dalam gelapnya bisnis kotor. Dirinya terlampau sering mencumbui uang yang didapaytnya dengan cara nikmat dan terlarang. Menjual harga dirinya untuk mendapat apa yang ia mau. Melupakan nama marganya dan bertingkah seenaknya untuk memancing uang datang kepadanya, mengalir dengan deras.

Jalannya menuju kamar mandi love hotel di ujung sana dan segera membuang sisa kondom dari kantongnya dan mencuci wajahnya dengan air dingin. Menyegarkan syaraf-syaraf yang terasa tertahan di ujung-ujung dendritnya.

Ah, lagi-lagi ia harus melakukan hal ini.

Lagi-lagi ia harus bersama seorang wanita dari satu hotel ke hotel lain demi mendapat lembaran uang yang wangi itu. Merendahkan dirinya untuk ‘dibeli’, untuk menjalani hidu yang ia sendiri benci. Meski tak dapat dipungkiri, ia sangat membutuhkan uang untuk biaya hidupnya.

Waktu ia pertama kali masuk ke daerah Shibuya, ia belum merencanakan semua ini. Ia baru saja kebingungan untuk meneruskan sekolahnya. Hampir saja ia berhenti menuntut ilmu di sekolah yang tergolong elit.

Ya, elit. Ia bersekolah di tempat elit karena dia adalah seorang anak dari keluarga besar Suzuki, nama aslinya adalah Suzuki Akira. Tapi ia membuat nama palsu untuk dirinya sendiri dan memakai noseband juga menata rambutnya sedemikian rupa. Ia ingin menutupi identitas aslinya.

Keluarga Suzuki yang dihormati, yang disegani.

Sayangnya ia tidak dianggap sebagai anak dari keluarga terhomat tersebut. Ia tidak dianggap dan dipandang sebelah mata. Ia dikucilkan oleh ibunya. Ibu tirinya.

Ayahnya, Suzuki Arashi ternyata telah lama menyimpan rahasia besar bahwa ia pernah bermain api dan menghasilkan anak di luar nikah. Yaitu dirinya sendiri, dari seseorang bernama Erika yang sekarang entah berada di mana.

Reita sudah terlalu terbiasa menerima siksaan mental, hinaan dan cemoohan sebelum akhirnya mundur teratur dari kehidupannya sebagai keluarga Suzuki. Ia memutuskan untuk keluarga dari lingkaran keluarga kaya itu, membuatnya jalannya sendiri.

Jika dengan uang ia bisa hidup, ia akan melakukan apa pun untuk mendapatkannya.

Jika dengan membuang namanya ia bisa bertahan, maka ia akan membuangnya.

Pemuda itu pindah dari sekolahnya yang dulu dan kini bersekolah di SMA yang lebih sederhana dan lebih bisa ia ikuti dalam hal pembiayaan. Bertindak mandiri dan dewasa meski dengan cara yang salah.

Ia tertawa pada dirinya sendiri, mengelap wajahnya dan mengganti kain di wajahnya yang ia sebut sebagai noseband dengan yang masih bersih. Merapikan rambutnya dengan tangan dan keluar dari tempat maksiat itu. Tempat yang sering ia datangi saban hari untuk mencari nafkah.

Pegal rasanya dan bosan.

Rutinitas yang terlalu menguras tenaganya. Ia jadi harus belajar ekstra keras untuk mengerti pelajaran di sekolahnya. Untung saja ia orang yang cepat tanggap, mengejar ketertinggalannya dengan cepat dan berbalik menjadi salah satu siswa pintar di sekolahnya. Meski guru-guru melihat dia masih dengan sebelah mata sebagai siswa berandalan, namun banyak yang segan terhadapnya atas kepintarannya

Reita menahan kantuk dan berjalan pulang dengan gontai. Uang sudah di tangan tapi ia masih belum merasakan kesenangan. Yang penting sekarang ia bisa membayar uang sekolahnya dan melunasi uang pendaftaran siswa di awal tahun lalu.

“Fuh, mungkin lain kali aku harus vakum dulu,” ia berjalan seraya merentangkan tangannya, mengusir penat di tubuhnya.

Dari ujung matanya ia bisa melihat jalanan Shibuya kembali ramai. Tapi yang menarik perhatiannya, ia melihat pemuda yang sama yang dilihatnya kemarin mengambil tempat duduk di bangku di sisi jalan, di dekat stand kecil tempat berjualan gula-gula dan kue-kue kecil.

Ia berhenti sejenak. Meneliti wajah anak malang itu dari jarak kurang lebih lima meter. Wajah suram yang anehnya membuat ia tertarik.

Langkahnya ringan menghampiri pemuda itu dan duduk di sebelahnya pelan-pelan. Terlihat sekali jika ia tidak ingin menganggu anak itu padahal secara tak langsung ia sudah mengusik pikiran sang anak.

Ia menatap Ruki sebentar sebelum bertanya, “Boleh aku tahu kenapa wajahmu selalu begitu?”

Ruki, merasa terusik langsung menengok ke sampingnya dan memberikan Reita tatapan dingin. “Itu bukan urusanmu.” Jawabnya ketus seraya balik memandangi teh hangat di cangkir kertasnya, teh yang sudah tak bisa dibilang hangat lagi.

“Nah, aku tahu.” ucap Reita sambil menyenderkan punggungnya ke bangku kayu itu. “Tapi aku hanya ingin tahu, menurutku itu wajar kok.” Katanya halus setengah memaksa dalam makna tersirat.

Ruki menghirup tehnya dan berdecak, kerongkongannya terasa kering dari kemarin dan ia merasa sangat kedinginan. Belum cukup dengan semua itu, ia harus menanggapi orang aneh ini. Lengkaplah sudah.

Reita memandang Ruki sekali lagi dan melihat bercak-bercak merah di leher pucat Ruki. Pasti merah pada awalnya, karena sekarang warnanya sudah membiru dan terlihat mengganggu. Lidahnya kembali usil ingin menegur Ruki. “Kau baru melakukan ‘itu’ ya?” tanyanya langsung.

Mendengar itu Ruki membelalak tak percaya, “Aku tidak melakukan seks!” jawab Ruki tajam, ia sangat marah mendengar Reita bertanya seenaknya.

Sekarang Reita tertawa, “Siapa yang bilang kau melakukan seks? Aku hanya bertanya apakah kau baru melakukan ‘itu’? Aku tak bilang apa pun soal seks…” katanya enteng dan Ruki sadar ia telah membongkar rahasianya sendiri.

Wajahnya horror dan ia menghirup nafas dalam-dalam. Menenangkan hatinya sementara matanya menjadi perih sekali, perutnya terasa menyakitkan, perutnya kembali bergolak. “Hiks,” ia mengisak tertahan. Air matanya menetes ke gelas kertasnya.

“Sakit…” tangannya gemetaran hingga menjatuhkan gelasnya dan memeluk dirinya sendiri. Mencengkram mantelnya dan membenamkan wajahnya ke dalam lututnya yang dilipat merapat ke tubuhnya.

Reita yang melihatnya menjadi bingung dan takut. “He-hei… kau kenapa? Aku minta maaf jika aku salah bicara.” Ia menunduk dan sepatunya menginjak tumpahan minuman Ruki. “Kau kenapa?” Reita bertambah panik saat Ruki menangis tersedu.

Yang ia bisa dengar hanyalah kata ‘sakit’ dan Ruki yang terbatuk-batuk, mengerang seraya mencengkram perutnya sendiri.

“Kau kenapa??”



To be continued…




A/N: cliffhanger~ XDDD

Tidak ada komentar:

Posting Komentar